"Zie, antarkan laporan bulanan ini ke ruangan Pak Andra. Tadi dia minta untuk dicek. Secepatnya ya, dia gak suka menunggu." Kepala staf keuangan menaruh berkas yang cukup tebal di meja Zievana. Tanpa menunggu jawaban, staf cantik itu meninggalkan Zie.
Tubuh sang gadis menegang, bukan karena perintahnya, tapi tempat tujuannya, kantor Affandra.
Duh, kenapa harus dirinya? Rena, sih, lama banget di toilet. Kan, bisa minta dia yang anterin.
Zie menarik udara banyak-banyak, kemudian diembuskan kembali, tapi gemuruh di dadanya tidak berkurang. Dia kesal, terpaksa meraih berkas yang harus diantarkan.
Namun, Zie tidak lekas beranjak, masih menunggu Rena. Berharap gadis mungil itu cepat datang supaya bisa mengoper perintah. Namun, tunggu punya tunggu Rena tak kunjung juga.
**
Zie membeku di depan pintu coklat dengan handle keperakan. Gadis berambut hitam sepunggung bergelombang indah itu masih bertarung dengan ketakutan. Takut tidak mampu menguasai rasa malunya.
Selepas menggumamkan bismillah, Zie mengetuk benda menjulang kokoh di depannya. Tiga kali ketukan tidak juga terdengar sahutan. Ia gamang antara masuk tanpa permisi atau balik lagi ke meja kerjanya.
Namun, berkas ini sangat ditunggu sang bos, kata kepala staf. Akhirnya masuk tanpa permisi keputusan terakhir yang ada di benak Zie.
Dengan hati-hati, handle yang dirasa berat bagi Zie ditekan ke bawah, pintu pun terlepas dari sambungannya. Kepala gadis itu melongok ke dalam, tatapan mengedar.
Zie membuang napas, seumpama membuang beban, langkahnya sedikit ringan saat masuk, karena kantor ini tidak berpenghuni, pertanda ia selamat dari pertemuannya dengan Andra.
Sesaat Zie menikmati suasana sejuk dalam kantor yang luasnya hampir menyamai lapang volly. Rapi dan serba mewah barang yang terdapat di ruangan ini.
Zie menghidu aroma lavender dari pengharum ruangan, bagai aroma relaksasi yang begitu menenangkan, membuat gadis berkulit seputih pualam itu enggan beranjak.
Setelah merasa cukup menikmati suasana ruangan yang membuatnya damai, Zie memutar badan, meninggalkan tempatnya. Namun, senyum yang terukir di bibir ranumnya buyar sekaligus.
Zie tertegun, mendapati sosok tinggi tegap berdiri dengan kedua tangan dimasukan ke saku celana. Wajah tampan itu tanpa ekspresi.
Pasokan udara di sekitar ruangan seakan disedot paksa, darah seolah berhenti mengalir dari tubuhnya. Zie berharap pingsan saat ini.
"Ma-maaf, a-ku diminta m-mengantarkan berkas ...." Zie mengutuk diri yang begitu kepayahan berbicara.
Tidak ada jawaban dari Andra. Zie merasakan jemarinya dingin, darah seolah terserap lenyap oleh tatapan sang pria yang mengintimidasi.
Perlahan Andra melangkah. Tatapan yang semula menyorot tajam mulai melembut. Zie sadar netra legam itu menaburkan pengaruh berbahaya, membuatnya takut terlena.
Zie mundur, saat langkah lebar Andra kian mengikis dengannya.
"Kenapa kamu selalu melarikan diri ... Zievana?" Suara Andra yang berat penuh penekanan berdenting, mengaliri pendengaran sang gadis.
Zie menggigit bibir bawah, keringat dingin semakin menguyupkan pakaiannya. Kembali gadis itu mundur dengan gemetar, hingga bokong membentur meja.
Andra kian dekat, langkahnya berhenti setelah menyisakan dua jengkal dari gadis yang semakin membeku bagai terhipnotis. Tatapan sayu Zie sulit Andra baca maknanya, takut, gusar, atau mendamba.
Aroma maskulin yang menguar dari tubuh Andra semakin membekukan saraf-saraf dalam tubuh Zie, benar-benar tidak berkutik disertai getaran tidak menentu.
"Dua tahun mencarimu, ternyata kamu ada di kota ini, bahkan di gedung milikku." Andra berdesis pelan. Netra legamnya memanah tepat di bola mata beriris coklat madu yang sarat akan cemas. Entah mencemaskan apa.
Jantung Zie serasa mau jatuh, Andra tiba-tiba menyelipkan jemari di gerai rambutnya, kemudian menarik leher jenjang itu, hingga wajah keduanya tanpa jarak. Mata sang gadis membulat sempurna.
Mulut Zie mengatup rapat, tidak memberi kesempatan Andra mengeksplor sapuan bibirnya yang berusaha menerobos paksa.
Gadis itu mengerahkan tenaga mendorong dada sang pria disertai pukulan, tapi sia-sia. Tangan Andra terlalu kuat di lehernya.
Kuluman Andra semakin brutal, hingga menggigit kelopak yang senantiasa merekah bak mawar merah. Daging kenyal semanis gula terpaksa membuka.
"Eugh!" Entah desahan, entah erang kesakitan, terlepas begitu saja dari mulut Zie.
Tarikan di pinggang oleh tangan Andra merapatkan tubuh keduanya, sehingga tanpa sedikitpun celah tersisa. Hasrat liar berlafalkan dosa yang dikobarkan sang pria membuat Zie tidak berdaya.
Tayangan peristiwa di malam terlarang itu kembali menyeruak di pikiran Zie. Meski dalam pengaruh obat terkutuk, dia masih mengingat setiap sentuhan Andra yang membuat tubuhnya serasa melayang ke langit Nirwana.
Zie meremas kemeja Andra menyalurkan rasa mendamba yang semula menolak keras. Di saat itulah sang pria melepaskan sentuhannya. Sudut bibir lelaki itu tertarik ke samping.
"Itulah hukuman kenapa kamu selalu pergi tanpa pamit dariku!" desis Andra.
Kaki Zie lemas, napas tersengal-sengal. Penampilan keduanya cukup berantakan, terutama sang wanita.
Zie mengumpulkan segenap kekuatan, kemudian mendorong tubuh Andra ke pinggir hingga bergeser beberapa langkah, membuka jalan untuknya berlari.
Andra membiarkan gadis itu keluar dari ruangannya tanpa niat mengejar. Menatap dalam dan penuh makna, detik kemudian salah satu sudut bibirnya berkedut samar.
**
Zie berlari menuju toilet sambil menangis, beberapa karyawan yang berpapasan dengannya merasa heran. Ada apa dengan gadis itu?
Zie mengurung diri di toilet untuk beberapa saat demi menenangkan hatinya yang berkecamuk. Sesekali mengutuk kebodohannya kenapa sempat-sempatnya menikmati pelecehan Andra.
Kejadian di ruang kantor kembali mengoyak harga diri Zie. Dua tahun mati-matian melupakan kenangan suram, kini terasa sia-sia. Justru memory kelamnya bertambah dengan sentuhan Andra yang tidak diduga beberapa menit lalu.
Argh, bodoh, bodoh, kamu, Zievana!
Zie menyudahi meratap diri, banyak kerjaan menunggu. Gadis itu membereskan penampilannya yang berantakan. Merapikan rambut dengan sisir lima jari sambil menatap pantulan dirinya di cermin toilet.
Polesan lipstiknya tergerus habis oleh sapuan bibir Andra, bahkan meninggalkan bengkak bekas gigitan pria tidak berperasaan itu.
Sial! Zie kesal tidak bisa menyamarkan luka di bibir, sebab tidak menyakui alat rias.
Tidak ada pilihan lain, Zie keluar dengan penampilan seadanya, kepala ditundukkan, berharap tidak ada yang memperhatikan apa lagi menaruh curiga, kecuali makhluk satu yang bernama Rena.
"Yaa sallam, Zie ... kamu Zievana asli, kan? Bukan demit yang menyerupai sahabatku?" Rena langsung menghambur begitu Zie duduk di kursi kerjanya.
Zievana pura-pura menyibukan diri. Namun, tangan jahil Rena mengapit wajah Zie, lalu dipaksa supaya menghadap ke arahnya. Jiwa kepo gadis bertubuh mungil itu meronta-ronta.
Mata Rena membulat. "Astaga, bibirmu disengat apa, Zie? Ah, elaaah, ampe jeding gitu. Kamu abis ciuman sama capitan kuku, ya?"
"Sialan! Aku kejedot pintu toilet, tau!" Zie melepaskan tangan Rena dari wajahnya, lantas kembali bangkit dari kursi, menyambar gelas kosong di atas meja.
Zie berjalan menuju pantri, meninggalkan Rena yang sedang geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada sahabatnya. Timbul curiga, tapi belum bisa menyimpulkan penyebabnya.
Bersambung
Dua tahun bukan waktu sebentar, jika bernapas diiringi siksaan batin, membuat Andra tidak mampu lagi memikul lama. Dia mencoba berdamai dengan ketidakberuntungan atas hilangnya Zievana.Andra dengan niat terkumpul mendatangi kediaman Zievana. Namun, apa yang dia dapat, gadis itu dikabarkan tidak lagi tinggal di sana. Meskipun ia bukan lelaki suci, tapi merenggut keperawanan seorang gadis membuatnya dikejar tanggung jawab, walaupun kejadian tersebut bukan bermula darinya. Terlebih ia menaruh rasa yang berbeda terhadap gadis itu.Andra hanya diberitahu oleh Mbok Nah bahwa Zie pergi entah ke mana. Saat itu orang tua sang gadis sedang tidak berada di tempat, sehingga pria itu memilih menyudahi bertamu dengan benak dipenuhi tanda tanya.Tidak perlu mengorek keterangan lebih jauh, penjelasan Mbok Nah yang singkat cukup membuat Andra menyimpulkan bahwa Zie kabur lagi sampai dia benar-benar menyerah dengan menerima tawaran orang tuanya pindah kepemimpinan di perusahaan Jakarta yang semula di
Zie melangkah tergesa begitu turun dari ojek online, ingin lekas memburu sang buah hati. Kakinya ia arahkan ke rumah induk pemilik kontrakan, sebab di sanalah Alana, putrinya dititipkan.Sedangkan Rena memilih langsung menuju kamar kontrakannya. Mereka terbiasa pulang-pergi bersama, meskipun beda menaiki tumpangan."Assalamualaikum, Bu!" panggil Zie. Meskipun pintu sedikit terbuka, ia tidak berani seenaknya masuk tanpa diperintah."Waalaikumsallam, masuk aja, Zie!" suara berat wanita menyahut dari dalam.Barulah Zie melangkah pasti memasuki rumah setelah mendapat izin. Di ruang tamu, wanita berusia setengah abad yang biasa dipanggil Bu Laila, tengah mencandai bayi perempuan yang montok menggemaskan."Tuh, Bundanya datang!" ucap wanita tersebut, mengarahkan sang bayi supaya menghadap Zie. Seolah mengerti bayi perempuan cantik berkulit putih bak pualam itu tersenyum lebar."Hallo, putrinya bunda." Zie meraup sang buah hati, mencium gemas pipi gembil nan lembut, hingga sang bayi menderai
"Zie aku antar kamu, ya?" tawar Derry menghentikan motornya di hadapan sang wanita. Kemudian melepas helm.Pemuda itu menunjukkan wajah tampannya, rambut disugar ke belakang. Kemeja putih didobel jaket dengan resleting terbuka, dipadupadankan celana kain hitam, menambah penampilan sang pria kian menawan. Gagah kesan yang Zie tangkap pada diri Derry, apalagi duduk di jok tunggangan bermerk ternama, ditambah senyuman manis mengalahkan sari madu, hati wanita mana yang tidak akan meleleh dibuatnya. "Gak usah, Der. Aku bisa naik ojol." Zie menolak halus ajakan putra kedua dari Bu Laila."Mau sampai kapan kamu nolak ajakanku terus, Zie. Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu, sungguh." Derry setengah becanda, tapi Zie berpraduga lain."Eh, bu-bukan begitu. Aku cuma gak mau ngerepotin kamu. Kita kan, beda arah, kalau kamu nganterin aku dulu nanti kamu harus putar balik, bisa terlambat masuk kerja.""Aku gak merasa direpotkan, aku malah senang bisa nganterin bundanya Alana. Sekali-kali berkorban
"Zie dipanggil Pak Andra ke ruangannya," ucap Pak Gayus.Zie terang saja terkejut, seketika bergemuruhlah dalam dadanya. Rena yang duduk tidak jauh dari Zie ikut mendengarkan juga heran."M-mau apa, Pak?" Kegugupan tidak dapat Zie kendalikan.Pak Gayus sedikit mencebik sambil menjengkitkan bahu. "Bapak juga kurang tau. Ayo, cepetan ke sana. Pak Andra tidak suka menunggu lama.""I-iya, Pak."Pria tambun berusia setengah abad itu meninggalkan Zie dalam kegamangan. Menggigit kuku ibu jari atau bibir bawah adalah suatu kebiasaan gadis berhidung mancung itu di kala bingung merecokinya.Zie meratap sial, kenapa zona damainya tidak bisa ditawar kembali ke semula, di kala Andra belum menginjakkan kaki di pelataran gedung megah Pranajaya Jakarta.Kenapa pria tersebut tidak berdiam di Semarang saja, tempatnya meraja sebagai direktur perusahan cabang. Kenapa Pak Anjay harus menyerahkan jabatannya pada anak kedua, lalu anak pertama di mana?Kenapa, kenapa, kenapa?Zie merafal istighfar dalam hati
Zie kembali ke ruang kerja dengan wajah yang ditekuk. Lemas bagai raga habis dilolosi tulang, dan tentu saja mengundang tanya sang ratu kepo Rena. Gadis mungil itu langsung menghampiri, dengan menggeser kursi berodanya saat Zie tiba di meja kerja."Kamu kenapa kok, murung, Zie?" Rena siku di meja, tangan yang digunakan untuk menopang dagu. Mengamati raut yang berlapis mendung sang sahabat.Zie menghela napas, kemudian menjatuhkan telengkup, kening menempel di lengan yang saling tumpang tindih di atas meja. erangan resah, menambah keheranan Rena semakin memenuhi pikiran."Zie, hei, Zie! Jangan bikin aku cemas, dong! Sikapmu kek abis dilamar buaya darat bangkotan."Ucapan konyol Rena menggerakkan kepala Zie, sehingga sedikit mendongak. "Aarrrggghh!" pekik Zie tiba-tiba sambil mengacak rambut.Rena terlonjak sampai mundur bersama kursinya, meraba dada merasakan detak jantung yang tidak beraturan. Wajah merengut. Karyawan di dekat mereka langsung terkejut, lantas membocorkan aneh penuh
Meskipun Andra tidak ingin ikut campur permasalahan sakitnya Alana, tapi ia seolah ditarik masuk dalam kecemasan seperti yang Zie dan Bu Laila rasakan.Pria yang memiliki postur tinggi itu bergeming tidak jauh dari ambang pintu, mengamati Zie dengan wajah khawatir mengambil Alana dari gendongan Bu Laila.Bayi berusia tiga belas bulan itu menangis, Zie nampak kesulitan meredakan sambil menimang-nimang. Sesekali melirik pria yang datang bersamanya, seolah menyampaikan kata melalui pancaran mata bahwa ia membutuhkannya."Apa kamu tidak mau menyusuinya?" Andra buka suara, dari nadanya terdengar agak jengkel, tersebab prihatin dengan kondisi malaikat kecil yang terus mendengungkan tangis sampai suaranya parau."Aku sudah tidak menyusui ASI, Alana minum susu formula. Karena ASI-ku sedikit, tidak memuaskannya, lalu dia berhenti sendiri."Pantas, bagian dada Zie normal-normal saja, pikir Andra.Pria berambut cepak itu masuk lebih dalam lagi, mendekati Zie. Tangannya lantas menyentuh kening Al
Rena berlari dari arah kontrakannya yang berada di seberang."Hai, Ren." Zie melempar senyum pada sahabat baiknya itu."Eh, Pak Andra. Selamat malam, Pak." Meskipun dari kejauhan sudah melihat Zie ditemani bos mereka, perasaan kikuk tetap hinggap di hati Rena saat berhadapan."Malam." Andra mengangguk kecil, seraya menyunggingkan senyum tipis.Rena mengalihkan perhatian kembali ke tujuan utama, menanyakan kabar buah hati sahabatnya. "Gimana keadaan Alana, dia baik-baik saja, kan?" Meraba kening sang bayi, panasnya mulai sedikit reda."Alana baik-baik saja.""Ah, syukurlah. Ya, udah deh, bawa masuk gih, udara malam gak bagus buat Alana.""Kamu masuk dulu, Ren," tawar Zie, berharap Rena mau menemaninya di dalam. Perasaan tidak enak menyapa jika harus berduaan dengan Andra nantinya.Rena melirik sang pria yang hanya diam membisu seperti patung manekin tampan. Gadis mungil itu menggeleng, tanda menolak tawaran sahabatnya. Zie mendesah pelan."Aku lagi ada kerjaan, Zie. Biar Pak Andra aja
"Dia?" Andra menunggu Zie melanjutkan kata-katanya dengan rasa penasaran tinggi. "Bukan suamiku."Andra diam, lebih intens masuk ke netra bening Zie, mencoba berenang di kedalamannya demi menemukan sebuah fakta dari dua kata yang meluncur melalui bibir semerah delima."Derry... dia hanya berusaha jadi pria yang melindungiku juga Alana. Hanya itu."Andra mendesah pelan, lalu menertawakan diri sendiri. Dari hari ke hari membiarkan diri jadi manusia bodoh. Praduga yang dikuasi tidak jelas dan kecemburuan tidak beralasan. Bukannya menemukan kebenaran malah berkubang dengan lara.Tangan kanan Andra terangkat, menyentuh pipi selembut kapas, sedingin es karena diterpa angin malam. Mengelus, mengalirkan kehangatan disertai sensasi yang tidak biasa.Andra mendorong sedikit tubuh Zie hingga bersandar di mobil. Mereka berdiri tanpa jarak, sehingga napas panas saling menyapu wajah. "Aku mau kamu ... jadi milikku, Zievana.""Pak Andra...." Bibir Zie tertarik kelu. Tenggorokan seperti ada yang me