Sang gadis terkesiap, sendok yang Zie genggam nyaris terjatuh. "Eh, apa?" tanyanya spontan, Rena tepuk jidat.
Makan siang yang tersaji di atas meja tidak membuat selera makan Zie tergugah. Padahal jika menghirup aromanya saja, siapapun akan tergoda untuk menyantap.
Zie mengembuskan napas panjang, menimbulkan tanda tanya besar di benak Rena, tidak biasanya Zie begitu, seperti menyimpan beban yang cukup berat.
"Zie, kamu tuh kenapa, sih? Pengen kawin, ya?"
Zie mendelik, Rena nyengir. "Lagian wajahmu gitu amat, sih. Mirip kanebo kering."
"Ren, kenapa bos kita mesti diganti, ya?" ucap Zie tiba-tiba seraya menaruh sendok di alas makan, lantas menopang dagu. Tatapan menarawang entah ke mana.
"Hah! Kamu gak salah ngomong, Surabi Oncom? Seisi gedung ini berharap banget bos Pranajaya diganti. Wong dia galak, nyebelin, cerewet, udah bangkotan pula. Kamu ini aneh, Zie, diganti sama yang tampannya ngalahin Burack Ozcivit kok, protes!"
"Tapi aku lebih nyaman sama Pak Sanjay meskipun tua. Menurutku dia baik, kok." Zie hanya beralasan, padahal yang dikatakan Rena memang benar.
Bos yang lama nyebelin plus cerewet bukan main. Ada kesalahan seupil saja nyerocos panjangnya mengalahkan gerbong kereta api. Semua orang nyaris stres kalau sudah dapat teguran dari bos besar.
Ah, mereka tidak tahu, Zie hanya tidak ingin bertemu si perampas zona damainya. Jangankan satu gedung, satu propinsi pun ia tidak berharap dipertemukan dengan pria yang dianggap Dewa oleh para kaum berjenis kelamin wanita.
Mereka terlalu berlebihan memuja pria itu, pikir Zie. Ah, teringat lagi dia tentang malam nahas itu.
Andra memang tampan, memiliki sejuta pesona yang tidak bisa dibantah, mampu menghipnotis kaum Hawa sampai histeris mendambanya, tapi tidak bagi Zie, pria itu laksana algojo dengan segudang ultimatum eksekusinya.
"Eh, ngelamun lagi! Makananmu pada recok, Zie. Kapan katanya ngusi ke perutmu?" Rena agak kesal dengan sikap Zie. Raganya di kafe Venus, jiwanya entah berkelana ke planet mana.
"Alaaah, Mak!" pekik kecil Zie, belingsatan menutup wajah dengan buku menu.
"Kamu kenapa lagi, Zie?" Rena menyibak buku dari wajah sahabatnya, tapi ditepis pelan oleh Zie.
"Sssttthh, kamu bisa gak jangan dulu ngajak ngomong aku, Taplak Meja?! Aku lagi sembunyi!" Zie berbisik, tapi masih terdengar jelas di telinga Rena.
"Hah, sembunyi? Sembunyi dari apa, Manusia purba, dasar aneh!" Rena celingak-celinguk mencari sumber yang jadi masalah bagi Zie, sampai sahabatnya itu memilih sembunyikan wajah cantiknya di balik buku bergambar aneka menu.
Pemimpin baru perusahaan Pranajaya terlihat melenggang memasuki resto, lalu mengambil posisi duduk di sudut ruangan.
Aha! Jangan-jangan Pak Andra yang membuat Zie bersikap aneh seperti ini? Monolog hati Rena, manggut-manggut, paham.
Tapi ... kenapa Zie harus bersikap demikian? Mereka kan tidak saling kenal, kenapa Zie seperti ketakutan bertemu laki-laki seganteng dan setampan Pak Andra. Harus diselidiki ini mah, batin gadis berdarah sunda itu.
Zie mendumel, kenapa harus resto ini yang Andra singgahi. Kalau dia lapar, di gedung miliknya kan ada kantin atau biasanya bos tinggal minta dipesanin lalu diantarkan OB atau sekertaris.
Dunia Zie berada serasa semakin menyempit di sisinya. Seolah Tuhan sengaja membuatnya sering dipertemukan dengan pria pemilik hidung mancung mirip perosotan itu.
Entah Tuhan sedang merencanakan apa untuknya, yang jelas Zie ingin menolak rencana itu.
Zie dan Rena terbiasa memilih resto di seberang gedung bertingkat dua belas milik Pranajaya, sebagai tempat istirahat makan siang. Namun, sepertinya Zie harus mencari tempat makan lain supaya tidak bentrok dengan Andra.
"Zie, cepetan makannya, sepuluh menit lagi kita masuk." Rena menoel, Zie mengintip sedikit dari samping buku.
Netra berbulu mata lentik sang gadis diarahkan pada pria berjas hitam yang duduk agak di pojok, bertepatan lelaki itu sedang menoleh. Secepatnya buku menu Zie pakai kembali menutup wajah.
"Aduh, gimana ini? Mana pintu keluar harus ngelewatin dia lagi!" Zie meracau gelisah.
"Kamu ngomong apaan, sih, Zie? Ini gimana, mau dimakan gak?"
"Perutku udah kenyang, aku pengen cepet keluar dari sini. Ayo, Ren." Dari hasil ngintip, Zie melihat Andra sibuk dengan ponsel. Kesempatan untuk gadis itu keluar dari resto. Dia menarik lengan Rrna sekuatnya.
"Aduh, Zie, pelan-pelan napa?!"
Zie tidak menggubris gerutuan Rena. Langkahnya terus berayun dengan cepat sambil tubuh mepet ke sahabatnya, bermaksud menutupi badan dari sasaran penglihatan Andra. Meski percuma tubuh Rena yang mungil atau dirinya yang ketinggian tidak dapat tertutupi.
Rena pontang-panting mengikuti Zie, sebab tangannya ditarik setengah diseret.
"Selamat siang, Pak Andra," sapa Rena saat melintas di hadapan sang bos.
Yaa sallam! Zie nyaris mengumpat Rena yang entah sengaja atau memang tidak paham kalau dirinya tengah menghindari pria itu. Dan sialnya, Rena malah menghentikan langkah.
Aaarrrggghhh! Zie berteriak kencang, tapi hanya berani dalam hati. Cuma tangan mereka yang saling tarik-menarik.
"Siang juga." Andra melirik Zie yang masih sembunyi di samping kanan Rena.
Gadis itu pura-pura mengedarkan pandangannya ke arah lain sambil menggigit jari. Dalam hati Zie jengkel campur gemas bukan main terhadap Rena yang tidak peka.
"Kalian sudah makan?" tanya Andra.
"Mmm, sudah, Pak. Tapi kalau Zie belum!" Ucapan Rena membuat kedongkolan Zie kian naik ke ubun-ubun, rasanya ingin melumat makhluk mungil itu.
Andra kembali menjatuhan pandangannya ke arah Zie. "Kenapa temannya belum makan? Kalau sakit gimana, sedangkan kerjaan kalian banyak."
"Tuh, dengar, Zie. Kata Pak Bos juga kamu harus makan biar gak sakit, ntar menghambat kerjaan. Iya, kan, Pak?"
Zie membanting napas kasar. Dasar Rena, cari muka. "Tadi saya masih kenyang, jadi saya pilih gak makan." Zie memberanikan menjawab tanpa melihat lawan bicaranya.
"Tapi--"
"Maaf, Pak, kami harus kembali kerja, permisi." Zie memotong cepat ucapan Rena, kemudian menarik paksa gadis berambut sebahu itu sampai keluar dari resto.
"Alhamdulillah," desis Zie. Lega berasa terbebas dari sarang harimau, tapi sampai kapan?
Hari pertama dengan bos baru sudah begitu menyiksa, bagaimana selanjutnya.
"Tanganku sakit, Parudan Kelapa!" Rena sewot, menghentakan tangan Zie dari lengannya.
Gadis mungil itu meringis, pergelangannya terasa panas dan kebas bekas genggaman Zie yang terlalu kencang.
"Kamu sih, Upik Abu, gak ngerti banget sama perasaan aku!" Zie balik sewot.
"Emang kenapa dengan perasaanmu? Mmm, jangan-jangan ...."
"Apa?" Zie melotot.
"Kamu suka Pak Andra ya, makanya kamu gak mau ketemu, soalnya takut ketauan kalo kamu naksir dia."
"Ish, ngaco! Udah ah, waktunya kerja!" Zie kembali menarik lengan sahabatnya memasuki gedung.
"Ziiie, bisa putus tangankuuu!"
"Bodo amat, tinggal tempelin lagi."
"Emangnya robot?"
"Anggap aja begitu."
"Ziiie, kamu mah jahat!"
Tawa renyah Zie mengiring langkah mereka yang semakin dalam memasuki gedung Pranajaya.
Bersambung
"Zie, antarkan laporan bulanan ini ke ruangan Pak Andra. Tadi dia minta untuk dicek. Secepatnya ya, dia gak suka menunggu." Kepala staf keuangan menaruh berkas yang cukup tebal di meja Zievana. Tanpa menunggu jawaban, staf cantik itu meninggalkan Zie. Tubuh sang gadis menegang, bukan karena perintahnya, tapi tempat tujuannya, kantor Affandra.Duh, kenapa harus dirinya? Rena, sih, lama banget di toilet. Kan, bisa minta dia yang anterin.Zie menarik udara banyak-banyak, kemudian diembuskan kembali, tapi gemuruh di dadanya tidak berkurang. Dia kesal, terpaksa meraih berkas yang harus diantarkan.Namun, Zie tidak lekas beranjak, masih menunggu Rena. Berharap gadis mungil itu cepat datang supaya bisa mengoper perintah. Namun, tunggu punya tunggu Rena tak kunjung juga.**Zie membeku di depan pintu coklat dengan handle keperakan. Gadis berambut hitam sepunggung bergelombang indah itu masih bertarung dengan ketakutan. Takut tidak mampu menguasai rasa malunya.Selepas menggumamkan bismillah,
Dua tahun bukan waktu sebentar, jika bernapas diiringi siksaan batin, membuat Andra tidak mampu lagi memikul lama. Dia mencoba berdamai dengan ketidakberuntungan atas hilangnya Zievana.Andra dengan niat terkumpul mendatangi kediaman Zievana. Namun, apa yang dia dapat, gadis itu dikabarkan tidak lagi tinggal di sana. Meskipun ia bukan lelaki suci, tapi merenggut keperawanan seorang gadis membuatnya dikejar tanggung jawab, walaupun kejadian tersebut bukan bermula darinya. Terlebih ia menaruh rasa yang berbeda terhadap gadis itu.Andra hanya diberitahu oleh Mbok Nah bahwa Zie pergi entah ke mana. Saat itu orang tua sang gadis sedang tidak berada di tempat, sehingga pria itu memilih menyudahi bertamu dengan benak dipenuhi tanda tanya.Tidak perlu mengorek keterangan lebih jauh, penjelasan Mbok Nah yang singkat cukup membuat Andra menyimpulkan bahwa Zie kabur lagi sampai dia benar-benar menyerah dengan menerima tawaran orang tuanya pindah kepemimpinan di perusahaan Jakarta yang semula di
Zie melangkah tergesa begitu turun dari ojek online, ingin lekas memburu sang buah hati. Kakinya ia arahkan ke rumah induk pemilik kontrakan, sebab di sanalah Alana, putrinya dititipkan.Sedangkan Rena memilih langsung menuju kamar kontrakannya. Mereka terbiasa pulang-pergi bersama, meskipun beda menaiki tumpangan."Assalamualaikum, Bu!" panggil Zie. Meskipun pintu sedikit terbuka, ia tidak berani seenaknya masuk tanpa diperintah."Waalaikumsallam, masuk aja, Zie!" suara berat wanita menyahut dari dalam.Barulah Zie melangkah pasti memasuki rumah setelah mendapat izin. Di ruang tamu, wanita berusia setengah abad yang biasa dipanggil Bu Laila, tengah mencandai bayi perempuan yang montok menggemaskan."Tuh, Bundanya datang!" ucap wanita tersebut, mengarahkan sang bayi supaya menghadap Zie. Seolah mengerti bayi perempuan cantik berkulit putih bak pualam itu tersenyum lebar."Hallo, putrinya bunda." Zie meraup sang buah hati, mencium gemas pipi gembil nan lembut, hingga sang bayi menderai
"Zie aku antar kamu, ya?" tawar Derry menghentikan motornya di hadapan sang wanita. Kemudian melepas helm.Pemuda itu menunjukkan wajah tampannya, rambut disugar ke belakang. Kemeja putih didobel jaket dengan resleting terbuka, dipadupadankan celana kain hitam, menambah penampilan sang pria kian menawan. Gagah kesan yang Zie tangkap pada diri Derry, apalagi duduk di jok tunggangan bermerk ternama, ditambah senyuman manis mengalahkan sari madu, hati wanita mana yang tidak akan meleleh dibuatnya. "Gak usah, Der. Aku bisa naik ojol." Zie menolak halus ajakan putra kedua dari Bu Laila."Mau sampai kapan kamu nolak ajakanku terus, Zie. Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu, sungguh." Derry setengah becanda, tapi Zie berpraduga lain."Eh, bu-bukan begitu. Aku cuma gak mau ngerepotin kamu. Kita kan, beda arah, kalau kamu nganterin aku dulu nanti kamu harus putar balik, bisa terlambat masuk kerja.""Aku gak merasa direpotkan, aku malah senang bisa nganterin bundanya Alana. Sekali-kali berkorban
"Zie dipanggil Pak Andra ke ruangannya," ucap Pak Gayus.Zie terang saja terkejut, seketika bergemuruhlah dalam dadanya. Rena yang duduk tidak jauh dari Zie ikut mendengarkan juga heran."M-mau apa, Pak?" Kegugupan tidak dapat Zie kendalikan.Pak Gayus sedikit mencebik sambil menjengkitkan bahu. "Bapak juga kurang tau. Ayo, cepetan ke sana. Pak Andra tidak suka menunggu lama.""I-iya, Pak."Pria tambun berusia setengah abad itu meninggalkan Zie dalam kegamangan. Menggigit kuku ibu jari atau bibir bawah adalah suatu kebiasaan gadis berhidung mancung itu di kala bingung merecokinya.Zie meratap sial, kenapa zona damainya tidak bisa ditawar kembali ke semula, di kala Andra belum menginjakkan kaki di pelataran gedung megah Pranajaya Jakarta.Kenapa pria tersebut tidak berdiam di Semarang saja, tempatnya meraja sebagai direktur perusahan cabang. Kenapa Pak Anjay harus menyerahkan jabatannya pada anak kedua, lalu anak pertama di mana?Kenapa, kenapa, kenapa?Zie merafal istighfar dalam hati
Zie kembali ke ruang kerja dengan wajah yang ditekuk. Lemas bagai raga habis dilolosi tulang, dan tentu saja mengundang tanya sang ratu kepo Rena. Gadis mungil itu langsung menghampiri, dengan menggeser kursi berodanya saat Zie tiba di meja kerja."Kamu kenapa kok, murung, Zie?" Rena siku di meja, tangan yang digunakan untuk menopang dagu. Mengamati raut yang berlapis mendung sang sahabat.Zie menghela napas, kemudian menjatuhkan telengkup, kening menempel di lengan yang saling tumpang tindih di atas meja. erangan resah, menambah keheranan Rena semakin memenuhi pikiran."Zie, hei, Zie! Jangan bikin aku cemas, dong! Sikapmu kek abis dilamar buaya darat bangkotan."Ucapan konyol Rena menggerakkan kepala Zie, sehingga sedikit mendongak. "Aarrrggghh!" pekik Zie tiba-tiba sambil mengacak rambut.Rena terlonjak sampai mundur bersama kursinya, meraba dada merasakan detak jantung yang tidak beraturan. Wajah merengut. Karyawan di dekat mereka langsung terkejut, lantas membocorkan aneh penuh
Meskipun Andra tidak ingin ikut campur permasalahan sakitnya Alana, tapi ia seolah ditarik masuk dalam kecemasan seperti yang Zie dan Bu Laila rasakan.Pria yang memiliki postur tinggi itu bergeming tidak jauh dari ambang pintu, mengamati Zie dengan wajah khawatir mengambil Alana dari gendongan Bu Laila.Bayi berusia tiga belas bulan itu menangis, Zie nampak kesulitan meredakan sambil menimang-nimang. Sesekali melirik pria yang datang bersamanya, seolah menyampaikan kata melalui pancaran mata bahwa ia membutuhkannya."Apa kamu tidak mau menyusuinya?" Andra buka suara, dari nadanya terdengar agak jengkel, tersebab prihatin dengan kondisi malaikat kecil yang terus mendengungkan tangis sampai suaranya parau."Aku sudah tidak menyusui ASI, Alana minum susu formula. Karena ASI-ku sedikit, tidak memuaskannya, lalu dia berhenti sendiri."Pantas, bagian dada Zie normal-normal saja, pikir Andra.Pria berambut cepak itu masuk lebih dalam lagi, mendekati Zie. Tangannya lantas menyentuh kening Al
Rena berlari dari arah kontrakannya yang berada di seberang."Hai, Ren." Zie melempar senyum pada sahabat baiknya itu."Eh, Pak Andra. Selamat malam, Pak." Meskipun dari kejauhan sudah melihat Zie ditemani bos mereka, perasaan kikuk tetap hinggap di hati Rena saat berhadapan."Malam." Andra mengangguk kecil, seraya menyunggingkan senyum tipis.Rena mengalihkan perhatian kembali ke tujuan utama, menanyakan kabar buah hati sahabatnya. "Gimana keadaan Alana, dia baik-baik saja, kan?" Meraba kening sang bayi, panasnya mulai sedikit reda."Alana baik-baik saja.""Ah, syukurlah. Ya, udah deh, bawa masuk gih, udara malam gak bagus buat Alana.""Kamu masuk dulu, Ren," tawar Zie, berharap Rena mau menemaninya di dalam. Perasaan tidak enak menyapa jika harus berduaan dengan Andra nantinya.Rena melirik sang pria yang hanya diam membisu seperti patung manekin tampan. Gadis mungil itu menggeleng, tanda menolak tawaran sahabatnya. Zie mendesah pelan."Aku lagi ada kerjaan, Zie. Biar Pak Andra aja