Dua tahun bukan waktu sebentar, jika bernapas diiringi siksaan batin, membuat Andra tidak mampu lagi memikul lama. Dia mencoba berdamai dengan ketidakberuntungan atas hilangnya Zievana.
Andra dengan niat terkumpul mendatangi kediaman Zievana. Namun, apa yang dia dapat, gadis itu dikabarkan tidak lagi tinggal di sana.
Meskipun ia bukan lelaki suci, tapi merenggut keperawanan seorang gadis membuatnya dikejar tanggung jawab, walaupun kejadian tersebut bukan bermula darinya. Terlebih ia menaruh rasa yang berbeda terhadap gadis itu.
Andra hanya diberitahu oleh Mbok Nah bahwa Zie pergi entah ke mana. Saat itu orang tua sang gadis sedang tidak berada di tempat, sehingga pria itu memilih menyudahi bertamu dengan benak dipenuhi tanda tanya.
Tidak perlu mengorek keterangan lebih jauh, penjelasan Mbok Nah yang singkat cukup membuat Andra menyimpulkan bahwa Zie kabur lagi sampai dia benar-benar menyerah dengan menerima tawaran orang tuanya pindah kepemimpinan di perusahaan Jakarta yang semula di Semarang.
Rupanya keberuntungan masih memihak, saat menyerah dalam pencarian, Tuhan menunjukan keajaiban dengan menampakan wujud nyata wanita yang nyaris membuatnya frustasi. Kini, Zie ada di depan mata.
Andra melirik jam tangan, jarum pendeknya menunjukan angka lima sore. Pria itu beranjak dari kursi kebesaran, saatnya pulang. Berkas-berkas yang membutuhkan tanda kepemilikannya belum selesai dan dibiarkan begitu saja. Berserak di atas meja sekian jam tanpa tersentuh.
Otak Andra tidak dapat diajak bekerjasama untuk fokus pada pekerjaan. Zievana adalah penyebabnya. Pertama jumpa Zie di ruang meeting darahnya langsung tersirap.
Andra bersikeras menerka apa yang hatinya rasakan. Rindu yang membuncah, itu yang lebih dominan. Saking terpanggang oleh kerinduan, dorongan untuk menjamah kelopak merah menggairahkan tidak tertahankan.
Andra memburu pahatan indah yang mulai mencanduinya semenjak menyelam dilautan asmara malam itu. Hasrat mengentak-entak kala tatapan beradu pertama kali di ruang rapat, setelah pertemuan terakhir dua tahun yang lalu.
Zie sukses menjungkirbalikan dunia Andra yang terkenal dingin dan sedikit arogan. Semenjak mengenal gadis berambut indah di malam berselimut dosa itu, rasa rindu menyiksa hari-harinya.
Sungguh sebelum Zie hadir disetiap embusan napasnya, Andra baik-baik saja menjalani masa ke masa, tanpa harus terperangkap antara semu dan realita.
Kecantikan dan sentuhan Zievana membungkus rasa yang sulit Andra sangkal logikanya sebab itu dia sempat merasa gila saat Zievana tak ditemukan.
"Astaga, memikirkan semua ini benar-benar melelahkan!" Andra mengacak rambut belakangnya, gusar.
Gumaman Andra cukup terdengar oleh dua bawahannya yang ikut menunggu lift. Mereka saling berpandangan dengan sorot menyiratkan pertanyaan yang sama, 'Ada apa dengan sang bos?'
Apa Zie sudah pulang? Batin Andra seraya memasuki lift, disusul yang lainnya.
Benda kotak bergerak itu tiba di lantai bawah. Dentuman suara sepatu Andra beradu dengan lantai marmer mewah mengilat mengundang perhatian karyawan yang mulai menyemut, kemudian melontarkan sapaan.
Sama seperti halnya sang bos, masa kerja para karyawannya sudah habis, waktunya pulang ke peraduan masing-masing.
Tatapan elang Andra menyambar satu persatu orang yang berseliweran di depannya, berharap menemukan kelinci manis buruannya.
Berhasil! Andra menemukan Zie di teras luar gedung, bertepatan seorang wanita cantik berhijab mendekatinya, kemudian mereka saling berpelukan.
Sang pria tidak asing dengan wanita yang baru datang itu, yang jadi pertanyaan di benaknya, bagaimana Zie bisa kenal wanita tersebut?
Andra berdiri di balik dinding dekat pintu, sosoknya sedikit tersembunyi dari sasaran pandangan dua wanita di luar sana, tapi obrolan mereka masih dapat terdengar, meski samar.
"Apa kabar, Mbak Syahra?" tanya Zie. Nadanya terdengar semringah atas pertemuan itu.
Syahra tersenyum manis, menggenggam tangan Zie sambil berkata, "Alhamdulillah, kabarku baik, Zie. Kamu terlihat sehat dan semakin bersinar dari terakhir kita bertemu."
Zie terkekeh, menutup mulutnya dengan jemari. "Mbak Syahra pun semakin cantik. Aku kangen kamu, Mbak."
"Sama, aku pun kangen kamu, Zie."
Di mata Zievana, Syahra terlihat semakin dewasa dan bertambah cantik dari terakhir bertemu dua tahun lalu. Sebulan setelah pertemuan pertama di jembatan saat Zie mencoba mengakhiri hidup, mereka kembali dipertemukan.
Kala itu Zie tengah dirundung lara, karena dilema yang membuatnya nyaris putus asa lagi. Syahra bak malaikat yang dikirim Tuhan, kembali hadir menyelamatkan jiwa raganya yang terombang-ambing dihempas derita.
Syahra memberi Zie sebuah alamat di Jakarta, sebab gadis itu menolak ikut dengannya. Sedangkan Syahra sendiri harus pergi ke suatu kota dalam rangka bisnis, sehingga tidak bisa mengantarkan Zie ke stasiun kereta yang akan membawanya.
Zie tiba di alamat yang diberikan Syahra, tapi sekadar bertamu saja. Cukup tahu bahwa yang dia sambangi memang rumah milik Syahra.
Di hari itu juga selepas bertandang ke rumah Syahra, Zie memilih mencari tempat tinggal sendiri, mengabaikan pesan Syahra untuk menunggu kepulangannya di rumah itu.
Zie mengontrak di sebuah rumah petak, lalu bertemu Rena yang sama menyewa salah satu kontrakan di sana. Keduanya langsung akrab saat itu juga.
Rena, gadis perantau dari tanah sunda, hadir dikehidupan Zie sebagai sahabat terbaik, bahkan mengajaknya bekerja di perusahaan yang sama.
Zie beruntung membawa bekal cukup, uang dari hasil menabung selama kuliah. Dia membawa serta ijazah yang bisa diandalkan, dipakai untuk melamar kerjaan yang sesuai dengan gelarnya sewaktu menganyam pendidikan diperguruan tinggi.
Namun gelar yang tertera di dokumen ijazah tersebut tidak menjamin bisa masuk kerja dengan mudah, ditambah dia sedang berbadan dua. Zie pontang-panting berbulan-bulan dalam kesulitan, sampai ke titik paling rendah.
Terlebih Zie yang dicap sebagai gadis rumahan, terbiasa hidup bergelimang harta, dan tidak terbiasa jauh dari orang tua membuatnya kian merana dalam mengadu nasib.
Berkat kegigihan Rena yang bersikeras memasukkan Zie kerja di perusahaan Pranajaya membuahkan hasil, akhirnya mereka bisa satu pekerjaan, selepas Zie melahirkandan kelangsungan hidupnya terselamatkan.
"Ngomong-ngomong Mbak Syahra, kok, bisa ada di sini?" tanya Zie sedikit heran.
"Aku mau mengunjungi calon suamiku, Zie."
"Oh iya? Wah, bentar lagi merit, nih! Siapa laki-laki yang sangat beruntung memenangkan hatimu, Mbak?" Zie menggoda Syahra dengan kedipan sambil mengerling jahil.
Syahra tertawa renyah. "Tunggu saja tanggal mainnya, Zie. Dia pria limited edition. Namanya--"
"Ziiie, ojolnya udah dateng dari tadi!" Teriakan Rena yang berdiri cukup jauh dari mereka mematahkan ucapan Syahra.
Zie memberikan lambaian pada Rena, meminta waktu untuk pamit pada wanita yang dia anggap sebagai Dewi Penolong.
"Aduh, Maaf banget, Mbak, aku harus segera pulang, ojolnya udah nungguin, lagian anakku pasti sudah menungguku di rumah."
"Ah iya, gak masalah, Zie. Kapan-kapan kita bertemu lagi, dan kita ngobrol banyak. Salam sama anakmu, ya."
"Insyaa Allah, Mbak, aku pergi."
"Hati-hati, Zie." Syahra mengiringi kepergian Zievana dengan senyuman bahagia. Bahagia atas keberhasilan Zie melalui masa suramnya.
Di tempat persembunyian, Andra terkejut bukan kepalang mendengar kata 'Anak' yang digaungkan kedua wanita beda usia itu.
Apakah Zie sudah menikah?
Bersambung
Zie melangkah tergesa begitu turun dari ojek online, ingin lekas memburu sang buah hati. Kakinya ia arahkan ke rumah induk pemilik kontrakan, sebab di sanalah Alana, putrinya dititipkan.Sedangkan Rena memilih langsung menuju kamar kontrakannya. Mereka terbiasa pulang-pergi bersama, meskipun beda menaiki tumpangan."Assalamualaikum, Bu!" panggil Zie. Meskipun pintu sedikit terbuka, ia tidak berani seenaknya masuk tanpa diperintah."Waalaikumsallam, masuk aja, Zie!" suara berat wanita menyahut dari dalam.Barulah Zie melangkah pasti memasuki rumah setelah mendapat izin. Di ruang tamu, wanita berusia setengah abad yang biasa dipanggil Bu Laila, tengah mencandai bayi perempuan yang montok menggemaskan."Tuh, Bundanya datang!" ucap wanita tersebut, mengarahkan sang bayi supaya menghadap Zie. Seolah mengerti bayi perempuan cantik berkulit putih bak pualam itu tersenyum lebar."Hallo, putrinya bunda." Zie meraup sang buah hati, mencium gemas pipi gembil nan lembut, hingga sang bayi menderai
"Zie aku antar kamu, ya?" tawar Derry menghentikan motornya di hadapan sang wanita. Kemudian melepas helm.Pemuda itu menunjukkan wajah tampannya, rambut disugar ke belakang. Kemeja putih didobel jaket dengan resleting terbuka, dipadupadankan celana kain hitam, menambah penampilan sang pria kian menawan. Gagah kesan yang Zie tangkap pada diri Derry, apalagi duduk di jok tunggangan bermerk ternama, ditambah senyuman manis mengalahkan sari madu, hati wanita mana yang tidak akan meleleh dibuatnya. "Gak usah, Der. Aku bisa naik ojol." Zie menolak halus ajakan putra kedua dari Bu Laila."Mau sampai kapan kamu nolak ajakanku terus, Zie. Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu, sungguh." Derry setengah becanda, tapi Zie berpraduga lain."Eh, bu-bukan begitu. Aku cuma gak mau ngerepotin kamu. Kita kan, beda arah, kalau kamu nganterin aku dulu nanti kamu harus putar balik, bisa terlambat masuk kerja.""Aku gak merasa direpotkan, aku malah senang bisa nganterin bundanya Alana. Sekali-kali berkorban
"Zie dipanggil Pak Andra ke ruangannya," ucap Pak Gayus.Zie terang saja terkejut, seketika bergemuruhlah dalam dadanya. Rena yang duduk tidak jauh dari Zie ikut mendengarkan juga heran."M-mau apa, Pak?" Kegugupan tidak dapat Zie kendalikan.Pak Gayus sedikit mencebik sambil menjengkitkan bahu. "Bapak juga kurang tau. Ayo, cepetan ke sana. Pak Andra tidak suka menunggu lama.""I-iya, Pak."Pria tambun berusia setengah abad itu meninggalkan Zie dalam kegamangan. Menggigit kuku ibu jari atau bibir bawah adalah suatu kebiasaan gadis berhidung mancung itu di kala bingung merecokinya.Zie meratap sial, kenapa zona damainya tidak bisa ditawar kembali ke semula, di kala Andra belum menginjakkan kaki di pelataran gedung megah Pranajaya Jakarta.Kenapa pria tersebut tidak berdiam di Semarang saja, tempatnya meraja sebagai direktur perusahan cabang. Kenapa Pak Anjay harus menyerahkan jabatannya pada anak kedua, lalu anak pertama di mana?Kenapa, kenapa, kenapa?Zie merafal istighfar dalam hati
Zie kembali ke ruang kerja dengan wajah yang ditekuk. Lemas bagai raga habis dilolosi tulang, dan tentu saja mengundang tanya sang ratu kepo Rena. Gadis mungil itu langsung menghampiri, dengan menggeser kursi berodanya saat Zie tiba di meja kerja."Kamu kenapa kok, murung, Zie?" Rena siku di meja, tangan yang digunakan untuk menopang dagu. Mengamati raut yang berlapis mendung sang sahabat.Zie menghela napas, kemudian menjatuhkan telengkup, kening menempel di lengan yang saling tumpang tindih di atas meja. erangan resah, menambah keheranan Rena semakin memenuhi pikiran."Zie, hei, Zie! Jangan bikin aku cemas, dong! Sikapmu kek abis dilamar buaya darat bangkotan."Ucapan konyol Rena menggerakkan kepala Zie, sehingga sedikit mendongak. "Aarrrggghh!" pekik Zie tiba-tiba sambil mengacak rambut.Rena terlonjak sampai mundur bersama kursinya, meraba dada merasakan detak jantung yang tidak beraturan. Wajah merengut. Karyawan di dekat mereka langsung terkejut, lantas membocorkan aneh penuh
Meskipun Andra tidak ingin ikut campur permasalahan sakitnya Alana, tapi ia seolah ditarik masuk dalam kecemasan seperti yang Zie dan Bu Laila rasakan.Pria yang memiliki postur tinggi itu bergeming tidak jauh dari ambang pintu, mengamati Zie dengan wajah khawatir mengambil Alana dari gendongan Bu Laila.Bayi berusia tiga belas bulan itu menangis, Zie nampak kesulitan meredakan sambil menimang-nimang. Sesekali melirik pria yang datang bersamanya, seolah menyampaikan kata melalui pancaran mata bahwa ia membutuhkannya."Apa kamu tidak mau menyusuinya?" Andra buka suara, dari nadanya terdengar agak jengkel, tersebab prihatin dengan kondisi malaikat kecil yang terus mendengungkan tangis sampai suaranya parau."Aku sudah tidak menyusui ASI, Alana minum susu formula. Karena ASI-ku sedikit, tidak memuaskannya, lalu dia berhenti sendiri."Pantas, bagian dada Zie normal-normal saja, pikir Andra.Pria berambut cepak itu masuk lebih dalam lagi, mendekati Zie. Tangannya lantas menyentuh kening Al
Rena berlari dari arah kontrakannya yang berada di seberang."Hai, Ren." Zie melempar senyum pada sahabat baiknya itu."Eh, Pak Andra. Selamat malam, Pak." Meskipun dari kejauhan sudah melihat Zie ditemani bos mereka, perasaan kikuk tetap hinggap di hati Rena saat berhadapan."Malam." Andra mengangguk kecil, seraya menyunggingkan senyum tipis.Rena mengalihkan perhatian kembali ke tujuan utama, menanyakan kabar buah hati sahabatnya. "Gimana keadaan Alana, dia baik-baik saja, kan?" Meraba kening sang bayi, panasnya mulai sedikit reda."Alana baik-baik saja.""Ah, syukurlah. Ya, udah deh, bawa masuk gih, udara malam gak bagus buat Alana.""Kamu masuk dulu, Ren," tawar Zie, berharap Rena mau menemaninya di dalam. Perasaan tidak enak menyapa jika harus berduaan dengan Andra nantinya.Rena melirik sang pria yang hanya diam membisu seperti patung manekin tampan. Gadis mungil itu menggeleng, tanda menolak tawaran sahabatnya. Zie mendesah pelan."Aku lagi ada kerjaan, Zie. Biar Pak Andra aja
"Dia?" Andra menunggu Zie melanjutkan kata-katanya dengan rasa penasaran tinggi. "Bukan suamiku."Andra diam, lebih intens masuk ke netra bening Zie, mencoba berenang di kedalamannya demi menemukan sebuah fakta dari dua kata yang meluncur melalui bibir semerah delima."Derry... dia hanya berusaha jadi pria yang melindungiku juga Alana. Hanya itu."Andra mendesah pelan, lalu menertawakan diri sendiri. Dari hari ke hari membiarkan diri jadi manusia bodoh. Praduga yang dikuasi tidak jelas dan kecemburuan tidak beralasan. Bukannya menemukan kebenaran malah berkubang dengan lara.Tangan kanan Andra terangkat, menyentuh pipi selembut kapas, sedingin es karena diterpa angin malam. Mengelus, mengalirkan kehangatan disertai sensasi yang tidak biasa.Andra mendorong sedikit tubuh Zie hingga bersandar di mobil. Mereka berdiri tanpa jarak, sehingga napas panas saling menyapu wajah. "Aku mau kamu ... jadi milikku, Zievana.""Pak Andra...." Bibir Zie tertarik kelu. Tenggorokan seperti ada yang me
Jantung Zie serasa terlempar dari tempatnya, wajah pucat kesi, melihat sosok gagah berdiri menjulang di hadapan dengan senyum manis terukir di bibirnya. Sebuah rasa sakit dan kecewa merangsek masuk tanpa aba-aba. Zie tidak tahu bagaimana cara menggambarkan kedua rasa itu. Demi Tuhan, Pak Andra adalah calon suami Mbak Syahra--si wanita berhati Malaikat, jerit hati Zievana.Wanita berambut panjang hitam bergelombang itu mencoba memunguti kepingan-kepingan indah saat bersama Andra. Meskipun singkat, tapi sangat membekas. Barisan aksara yang mengalun merdu dua hari lalu tentang 'Kamu Milikku', masih segar diingatan, bahkan di abadikan di memory otak paling terdalam. Namun, baru saja Zie mencecap manisnya cinta, kini langsung dihempas badai nestapa."Zie, kamu baik-baik saja?" Syahra menyentuh tangan Zie yang dingin.Zievana tersadar dari angan yang melambungkannya. Andra sudah duduk di dekat Syahra tanpa Zie tahu kapan bergeraknya. Tanpa disadari oleh kedua wanita itu, sang pria sedang