“Maksudnya apa, ya? Dan ini bukannya gudang?” tanya Intan. Intan dibawa Dona ke bagian paling belakang rumah mewahnya. Ada satu ruangan kecil yang tidak terpakai dan dijadikan sebagai gudang. “Iya memang gudang. Dan sekarang menjadi kamar kamu. Biar anak-anak kamu ada di kamar yang tadi. Aku dan suamiku akan menjaga mereka,” ujar Dona percaya diri. “Gak bisa! Mereka gak bisa tidur kalau tidak bersama denganku. Dia anak-anak aku, Dona!” tolak Intan tegas. “Dia juga anak suamiku. Suamiku juga berhak memberikan kenyamanan untuk mereka. Bukankah Mas Agung sudah bilang kalau kamu gak boleh egois?” “Tujuan sebenarnya kamu melakukan ini apa, Dona? Katakan! Aku yakin kamu akan maksud tersembunyi dibalik semua ini.”Dona tertawa kecil. Dia menatap tajam Intan lalu pergi begitu saja meninggalkan Intan di sana. Intan tak bergerak sama sekali di sana. Dia masih mencerna semua yang terjadi kepada dirinya. “Apa semua ini? Dan apa ini? Aku dijadikan ba*u oleh maduku? Allah …” Rasanya tidak te
Sebenarnya berat bagi Intan melepas anak-anaknya tidur bersama dengan Dona. Tapi, rengekan Aldo membuatnya tidak bisa menolak. Sungguh hatinya terasa begitu sakit kala yang meminta sendiri adalah anaknya. Dengan berat hati Intan melepas anaknya untuk tidur bersama dengan ayah dan juga Dona. Ini adalah kali pertama dilakukan oleh Intan. “Nanti kalau adik tidak bisa tidur, minta ayah antar ke sini, ya?” Aldo menganggukkan kepalanya. Malam pun semakin larut. Mata Intan tidak bisa terpejam. Dia yang sudah terbiasa tidur bersama kedua anaknya, tidak bisa kalau tidak ada mereka. Intan sudah berkali-kali memejamkan mata tapi tidak bisa juga terpejam. Akhirnya Intan inisiatif untuk melihat ke kamar Dona. Dia berjalan perlahan menuju ke kamar itu. Dia berharap anak-anaknya juga sama seperti dirinya yang tidak bisa tidur. Pintu kamar Dona tidak tertutup rapat. Dari celah pintu itu, Intan mengintip ke dalam. Sebuah pemandangan yang ingin dilihat oleh Intan pun tersaji. Kedua anak Intan bis
“Iya, Bu. Kakak mau di mandiin sama Mama Dona. Boleh, kan?” sahut mulut kecil Abid. Suara Intan tertahan di tenggorokan. Dia sampai tak bisa berkata-kata karena anaknya sudah memanggil Dona dengan sebutan ‘mama’. Ucapan Dona tidak bisa diabaikan begitu saja. Semakin dibiarkan, dia akan semakin menguasai anak-anaknya. “Sama Ibu saja, ya, Kak. Ibu sudah selesai beres-beres dan masaknya kok. Ayo!” kata Intan memaksa. Abid menggelengkan kepala. “Tidak, Ibu. Kakak maunya sama Mama Dona. Kata Mama Dona, nanti kakak mau dibelikan mobil-mobilan yang bisa dinaiki. Tapi, kakak harus nurut sama Mama Dona.”Tangan Intan mengepal kuat. Dia sungguh emosi karena perbuatan Dona. Bisa-bisanya Dona memanipulasi anak sekecil Abid hanya untuk kepentingannya semata. “Kamu apakan anakku, Dona? Jangan cuci ot*k anakku dengan hal-hal yang tidak seharusnya! Dia anakku bukan anakmu!” ujar Intan pelan tapi sangat jelas. Dona mengangkat bahunya. “Tanya sendiri sama anaknya. Aku aja gak ngapa-ngapain kok. Ja
Tamu pertama belum duduk, disusul tamu-tamu yang lainnya. Melihat semua tamu Dona, Intan semakin kaku dan kakinya tidak bisa digerakkan. “Apa yang aku lihat ini? Kenapa mereka semua ada di sini? Mereka tamu Dona?” ucap Intan dalam hati. Yap! Intan mengenal semua tamu yang diundang oleh Dona dan begitu pula sebaliknya. Mereka semua tertawa melihat penampilan Intan yang lusuh. Hanya satu orang yang tidak tertawa dan belum lama ini dia bertemu dengan orang itu. “Bukannya dia itu Intan yang —” Dona mengangguk ketika salah satu dari mereka bertanya. “Benaran Intan itu?” tanya yang lainnya memastikan. Satu diantara mereka menghampiri Intan dan yakin kalau Intan orang yang dimaksud. Semuanya kembali tertawa lebar. Tawa yang begitu nyaring terdengar di telinga. Dona sukses mempermalukan Intan. Namun pertunjukan belum selesai. Masih ada hal yang lebih membuat Intan malu. “Dia di sini ngapain, Don? Kamu nampung dia? Bukannya kamu itu benci banget sama dia, ya?” bisik teman dekat Dona. Te
Agung menarik Dona agak menjauh dari teman-teman Dona. Dia tidak ingin pembicaraannya didengarkan oleh orang lain. Apalagi ini menyangkut urusan pribadi keluarganya. “Apa? Menceraikan Intan? Mana mungkin aku melakukan itu, Dona!” kata Agung dengan ekspresi wajah yang terkejut. “Kenapa tidak mungkin? Bukankah aku sudah mengikuti semua kemauan kamu?” “Tapi, bukan seperti ini kesepakatan kita. Kamu hanya ingin aku menikahi saja, kan?”“Iya itu, kan, dulu. Sekarang aku mau kamu jadikan aku istri satu-satunya. Aku gak mau ada orang lain di antara kita.”“Gak bisa begitu, dong, Dona. Kasihan anak-anak.” Agung masih berusaha untuk tetap mempertahankan pernikahannya dengan Intan. “Biar anak-anak aku yang urus. Aku bisa dan mampu kok. Jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan, bukan?” ucap Dona sangat percaya diri. Agung frustasi mendengar permintaan Dona. Tak mungkin dia menceraikan Intan karena ada Abid dan Aldo. Agung tak ingin mental anaknya terganggu karena perceraian kedua orang tuanya
“Tapi aku sudah tidak sanggup lagi di sini. Satu hari saja rasanya sudah satu tahun. Tolong biarkan aku dan anak-anak pergi!” ucap Intan terisak. “Kamu kenapa, sih, Intan?! Harusnya kamu itu bersyukur aku masih mau mencari uang untuk menutupi hutangmu. Andai aku tak peduli padamu, sudah aku tinggalkan kamu dan anak-anak dengan hutangmu yang banyak itu. Sudahlah terima saja semua ini. Dona sudah berbaik hati padamu dengan menampung kamu dan anak-anak di sini. Jangan banyak menuntut!” Agung mulai muak dengan Intan. Bukannya bersyukur, Intan malah seakan menyalahkan dirinya.“Apa kamu bilang, Mas? Aku banyak nuntut? Nuntut apa coba kamu sebutkan?!” Intan mulai terpancing juga emosinya. Sudah cukup bersabar dia dengan kehidupan rumah tangganya itu. Dia sama sekali tak mengeluh berapapun uang yang diberikan oleh Agung. Intan begitu paham jika suaminya itu sudah bekerja keras. Dia juga tidak mengeluh ketika mertuanya sering minta jatah uangnya. “Aku gak mau bertengkar. Capek!” kata Agun
“Intan! Aku mau bicara,” ucap Dona. Intan yang melihat pintu rumah Dona terbuka berusaha untuk menerobos tanpa menghiraukan ucapan Dona. Dona yang sudah pasang badan pun menghalangi Intan agar tidak masuk ke dalam rumah. “Aku mau ambil anakku, Dona! Tolong izinkan aku masuk!” ucap Intan sendu. Dona mendorong tubuh Intan dengan sangat kencang. Dia tak mengizinkan Intan untuk masuk ke dalam rumahnya. “Tak aku izinkan kamu masuk rumahku lagi!” “Aku mau mengambil anakku, Dona! Tolong kembalikan mereka padaku! Tolong …” Intan tak kuasa menahan air matanya karena tak mau meninggalkan anak-anaknya di rumah Dona. Dona diam saja melihat Intan yang memohon-mohon kepadanya dengan tangannya berkacak pinggang. “Aku akan lakukan apa saja asal aku boleh masuk, Dona. Tolong aku!” Lagi-lagi Intan mengiba. “Benarkah itu? Kamu yakin dengan ucapanmu? Apapun yang aku mau?” tanya Dona memastikan. Intan menganggukkan kepala. “Kembalikan uangku dan kamu harus mau bercerai dengan Mas Agung,” kata D
Ibu Siti mendorong Abid dan Aldo dengan sangat kencang. Tubuh kedua balita yang notabenenya adalah cucunya sendiri itu terjerembab ke lantai dengan sangat keras. Tangisan Abid dan Aldo sangat kencang sekali karena kaki mereka terbentur lantai. Intan dengan cepat segera berlari dan menghampiri keduanya. Dia memeluk kedua buah hatinya dengan perasaan yang tidak karuan. “Mereka ini cucu, Ibu! Kenapa Ibu tega? Ibu boleh benci sama Intan. Tapi, jangan pada mereka, Bu,” kata Intan sambil menatap mata Ibu Siti. “Cuih! Tak sudi aku memiliki cucu dari wanita seperti kamu! Pergi kamu dari sini!” usir Ibu Siti dengan tangan kanan menunjuk ke arah jalan. “Astaghfirullah hal adzim! Tega sekali, Ibu.” Sakit rasanya mendengar ucapan Ibu Siti yang tak mau menganggap Abid dan Aldo sebagai cucunya, darah dagingnya sendiri. “Sudahlah kamu cepat pergi dari sini. Muak aku wajahmu!” kata Ibu Siti lagi. “Baiklah, Bu. Ibu tenang saja mulai hari ini, aku tidak akan mengganggu ibu dan juga anak ibu. Aku