“Tolong … jambret! Tolong!” Intan berteriak sekuat tenaga karena tas kecil yang dia bawa diambil orang tak kenal saat dia dan anaknya tengah beristirahat.Saat itu, spontan Intan berlari mengejar jambret. Tapi karena teringat anak-anaknya, Intan memilih kembali ke tempat awal dengan tetap berteriak meminta tolong. Orang-orang yang mendengar teriakan Intan mulai mendekat. Ada beberapa orang yang berusaha mencari penjambret berbekal dengan keterangan Intan. Tapi nyatanya nihil. Penjambret itu berhasil lolos dengan membawa uang hasil penjual hp Intan. Intan sudah tidak bisa menangis lagi. Dia tidak bisa berkata-kata dan tidak berpikir lagi. Uang itu adalah harapan terakhirnya untuk bisa sampai ke kampung halaman. “Ya Allah … sekarang aku harus bagaimana? Bagaimana dengan anak-anak?” Batin Intan berkecamuk. Kumpulan orang-orang yang mengeliling Intan sudah pergi satu per satu. Kini hanya tinggal Intan dan kedua anaknya. Tadi ada yang menyarankan Intan untuk lapor polisi. Tapi sepertin
Saat mendengar Agung mengucapkan kata ‘sayang’, Dona melompat kegirangan di dalam kamarnya. Yap! Dona seperti orang g*la karena ini pertama kalinya Agung menyebutnya dengan kata-kata itu. Dia tak segera membuka pintu untuk Agung karena masih mengontrol emosinya yang tengah meledak karena gembira. Dan panggilan ‘sayang’ dari Agung pun terdengar kembali. “Kontrol dirimu, Dona! Jangan sampai suamimu itu besar kepala. Kamu harus bisa membuat dia selalu patuh padamu,” gumam Dona pada dirinya sendiri. Tok! Tok! Tok!“Kalau kamu tidak mau buka pintunya, lebih baik aku pergi saja, ya.”Suara kaki Agung yang berjalan pun begitu jelas terdengar oleh Dona. Dia pun bergegas membuka pintu kamarnya dan,“Tunggu, Mas!” seru Dona. Agung berhenti tapi tidak berbalik badan hingga beberapa detik. “Kamu mau di situ terus? Katanya mau bicara denganku,” kata Dona karena Agung tak kunjung bicara. Agung menatap Ibu Siti yang ternyata tengah bersembunyi dibalik tembok. Ibunya itu sengaja berbuat demikian
“Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih telah memberi kami rezeki makanan yang tak terduga. Terima kasih masih memberikan kesempatan pada anak saya untuk bisa merasakan makanan enak. Terima kasih, Ya Allah.” Intan berulang kali berkata demikian di dalam hatinya. Dia yang sudah putus asa ternyata Allah kirimkan orang baik untuk membantunya. Abid dan Aldo merasa sangat senang karena bisa makan sate. Mereka makan dengan sangat lahap sekali. Intan yang hendak meneteskan air mata, buru-buru menghapusnya karena tak ingin dilihat oleh sang anak. Tak tahu harus kemana, Intan dan kedua anaknya masih bertahan di masjid itu. Saat itu jarum sudah menunjukkan pukul delapan malam. Masih ada beberapa jamaah yang bertahan di masjid. “Aku harus kemana sekarang? Anak-anak juga sudah tidur. Bagaimana ini?” gumam Intan seorang diri. Tiba-tiba saja ada perempuan yang menghampiri Intan yang tengah kebingungan. “Maaf, Bu, apa ada yang bisa saya bantu?” tanya perempuan muda itu.“Saya sejak tadi memperli
“A—ada apa, ya, ini, Pak?” tanya Intan pada dua orang laki-laki bertubuh tegap di depan pintu kamarnya. Mereka berdua memakai seragam polisi yang membuat Intan ketakutan setengah m*ti. “Selamat pagi! Mohon maaf kalau kedatangan kami mengganggu. Kami hanya melakukan patroli rutin ke penginapan-penginapan di dekat sini. Boleh kami minta identitasnya? Dan boleh kami periksa ke dalam?” kata salah seorang polisi kepada Intan. Sungguh ini adalah pengalaman pertama bagi Intan. Oleh karena itu, dia sangat gugup menghadapinya. Seumur-umur baru kali ini dia berhadapan langsung dengan polisi. “Bo—leh, Pak. Silahkan!” Intan mengizinkan polisi untuk memeriksa ke dalam. “Tapi mohon maaf, Pak, untuk identitas asli saya tidak ada. Kemarin saya habis kena jambret dan kebetulan KTP saya ada di tas yang dijambret. Tapi, saya punya salinannya, Pak. Tunggu sebentar saya ambilkan!” Intan membuka tas jinjing yang berisi baju itu. Dia meletakkan dokumen penting seperti buku nikah, akte kelahiran anak da
“Hey, Intan …” Suara perempuan yang sudah tidak ingin didengar Intan. Perempuan itu berdiri tepat di depan Intan saat ini. “Mau apa kamu? Jadi, semua orang ini suruhan kamu?” tanya Intan ketus. “Tentu saja. Apa, sih, yang gak bisa buat aku? Asalkan ada uang, semuanya beres!” Perempuan itu menjawab dengan nada yang angkuh. “Dan kamu tahu gak kalau yang membayar ibu kontrakan kamu yang dulu itu aku? Gak tahu, ya! Ya sudah sekarang aku kasih tahu kamu. Itu aku sengaja membayar bisa mau mengusir kamu dari sana,” sambungnya lagi. “Apa? Astaghfirullah hal adzim! Belum puas kamu menyakiti hatiku dan anak-anak? Apalagi yang akan kamu lakukan? Ini sudah sangat keterlaluan!” Intan begitu terbawa emosi hingga tak sadar dirinya bicara sambil berteriak. Hingga orang-orang yang ada di sana memperhatikannya beberapa detik. “Belum! Kamu belum menderita seperti aku dan ibuku, Intan! Aku akan lebih buat kamu menderita lagi dan lagi!” Terlihat sekali amarah perempuan itu meluap. “Kenapa kamu seper
“Assalamu'alaikum.” Suara Intan menarik perhatian orang yang berkerumun di rumah Ibu Lastri. Mereka semua menoleh ke belakang melihat Intan yang berjalan ke arah rumah Ibu Lastri. Satu di antara kerumunan ibu-ibu itu menghampiri Intan dengan tergopoh-gopoh. “Ini Intan? Betul Intan, kan?” kata Ibu itu. Intan mengangguk dan ibu tadi langsung memeluk Intan dengan sangat erat. Ibu itu adalah Ibu Marni yang juga adik dari Ibu Lastri—ibunya Intan. “Ada apa ini, Bulek? Kenapa di rumah banyak orang?” tanya Intan sambil melihat sekeliling. “Ibumu, Nduk! Ibumu …” ujar Ibu Marni tanpa penjelasan apapun. “Ibu kenapa, Bulek? Ibu baik-baik saja, kan?” Intan mulai panik karena Bu Marni bicara sambil menangis. Tanpa menunggu jawaban Bu Marni, Intan langsung merangsek masuk ke dalam rumah. Dia meninggalkan Abid dengan Bu Marni, sedangkan Aldo ada digendongannya. “Ibu …” lirih Intan saat melihat ibunya terbaring di dipan ruang tamu. Ibu Lastri tak berdaya. Di samping Ibu Lastri, ada seorang l
"Apa? Kok bisa?" pekik Agung saat istrinya membuat pengakuan mengejutkan. "Apa kamu gak sadar, Mas, kalau kamu sudah lebih dari setahun kerja serabutan? Anak kita sudah dua, Mas! Kebutuhan kita tambah banyak. Belum lagi untuk bayar tagihan listrik, kontrakan, wifi dan lain-lain," jawab Intan tanpa melihat ke mata Agung karena dia takut. ***Sudah lebih dari satu tahun yang lalu Intan bermain dengan aplikasi pinjaman online. Yang awalnya hanya sembilan ratus ribu, kini hutang Intan mencapai puluhan juta. Sungguh Intan tak menyangka jika yang awalnya hanya satu aplikasi kini berubah menjadi beberapa aplikasi. Itu terjadi karena Intan hanya melakukan gali lubang tutup lubang. Di saat Intan menjumlahkan jumlah hutang di beberapa aplikasi tersebut dia sangat terkejut karena tak menyangka sebanyak itu. Ada dua aplikasi yang akan jatuh tempo dua hari lagi dan saat ini di dompetnya hanya ada uang lima puluh ribu. Intan kalut dan kebingungan karena tak ada uang. Dia pun mencoba mencari-ca
Agung mematung sejenak. Dia mencoba mencerna ucapan Intan yang baru saja keluar dari mulut. "Pinjol? Kok bisa?" Pertanyaan itulah yang pertama kali diucapkan oleh Agung. "Karena semakin hari kebutuhan kita semakin banyak. Aku juga gak mengira bisa terjebak di lingkaran ini, Yah. Maafin aku, Yah!" Intan selalu meminta maaf di setiap kalimat yang dia katakan. "Berapa hutangnya?" tanya Agung dengan raut wajah yang jelas sangat kecewa dengan Intan. "Tiga puluh juta, Yah," jawab Intan. Kepalanya masih menunduk. Dia sangat ketakutan sekali jika Agung marah padanya. Sungguh Intan tak menyangka jika angka hutangnya menyentuh angka besar. Dia selama ini tidak pernah menghitungnya. Dan kemarin dia dengan iseng menulis dan menjumlahkan semuanya. Tentu saja Intan terkejut. Dia semakin pusing karena tidak tahu bagaimana akan membayarnya. "Apa? Astaga! Uang sebanyak itu kamu buat apa? Gak habis pikir aku sama kamu!" Agung pun juga terkejut. Tiga puluh juta itu bukan nominal yang kecil. Agung