Menjadi janda, bukanlah keinginan semua wanita. Termasuk Dita. Wanita muda yang harus menjadi janda dikarenakan sang suami berselingkuh. Setelah menjadi janda, datang seorang lelaki di kehidupan Dita. Lelaki tersebut berniat menikahi Dita, namun dengan banyak persyaratan. Salah satunya adalah, Dita tidak boleh membawa anaknya turut serta untuk tinggal bersama mereka. Bahkan, lelaki dan ibunya meminta Dita untuk membantunya bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga baru mereka. Akankah Dita setuju dengan syarat yanag diajukan calon suaminya?
View MoreCari Istri atau Babu?
"Siapa nama, kamu?" tanya wanita paruh baya di hadapanku.
Hari ini, Mas Adi membawaku bertemu dengan Ibunya. Kami sudah sepakat untuk saling memperkenalkan diri pada keluarga masing-masing.
Mas Adi mengatakan jika dia ingin menjalin hubungan yang lebih serius denganku. Jadi, kami harus saling berkenalan pada kedua belah pihak keluarga.
Mas Adi sudah kubawa ke rumah orang tuaku, dan sambutan orang tuaku sangat baik. Orang tuaku juga menyerahkan semua keputusan padaku.
Aku dan Mas Adi sudah dekat sejak tiga bulan yang lalu. Dan dia memberanikan diri untuk menikahiku.
Aku belum pernah membahas terlalu jauh dengannya. Hanya sebatas menikah saja. Aku tau dia adalah seorang duda beranak empat yang ditinggalkan oleh istrinya. Mas Adit, membawa tiga anaknya, sementara sang mantan istri membawa satu anak bungsunya.
Kata Mas Adi, mantan istrinya itu meninggalkan dirinya gara-gara sang istri malas mengurus banyak anak.
Entahlah, aku belum percaya seratus persen padanya.
Dan aku juga janda ber-anak dua yang ditinggalkan oleh suamiku karena kepincut wanita lain. Sudah satu setengah tahun aku bercerai dengan Mas Fadli. Dan baru tiga bulan terakhir ini aku dekat dengan laki-laki lagi.
Aku menerima Mas Adi, karena nasibnya sama denganku, yaitu ditinggalkan oleh pasangan. Jadi aku tahu bagaimana perasaannya.
"Sttt! Ditanya Ibu, itu!" Mas Adi menyenggol lenganku pelan.
"Nama saya, Dita, Bu," jawabku se-sopan mungkin.
Kesan pertama, tidak boleh buruk. Soal lanjut atau enggaknya, itu urusan belakangan.
"Oh, kamu janda?" tanyanya dengan tatapan tidak suka.
"Iya, Bu, saya janda anak dua, dan kedua anak saya, ikut dengan saya," jawabku jujur.
"Ohhh, bercerai karena apa?" tanyanya lagi, masih sinis.
"Karena mantan suami selingkuh, Bu."
"Sudah berapa tahun kamu menjadi janda?"
"Satu setengah tahun, Bu."
"Selama itu, apakah bapak dari anak-anakmu pernah mengirim uang untuk nafkah kedua anaknya?"
"Tidak pernah, Bu. Alhamdulillah, saya bekerja."
"Bekerja di mana?" tanyanya seperti detektif.
Mau cari menantu, atau cari penjahat sih?
"Bekerja di rumah saja, Bu. Mencuci dan menggosok pakaian tetangga. Saya juga antar jemput anak tetangga ke sekolah."
"Berapa gajimu sebulan?"
Sampai gaji pun, ditanyakan?
"Dua setengah juta, Bu," jawabku berbohong.
Gajiku sebulan, bisa mencapai empat juta. Karena aku mengantar jemput banyak anak tetangga. Mencuci pakaian juga tidak hanya satu rumah saja. Ada beberapa ibu rumah tangga yang mempercayakan pakaiannya padaku untuk kucuci dan gosok.
"Owh, bagus lah. Kau tau anak Adi ada tiga, kan?"
"Iya, Bu, saya tau." Aku mengangguk.
"Bagus. Jadi, jika nanti kalian menikah, ibu tidak mau kau bawa anakmu untuk tinggal bersama kalian. Kau bisa menitipkan anakmu pada Ibumu, atau mantan mertua dan suamimu. Ibu mau, kau hanya fokus mengurus ketiga anak Adi beserta rumahnya. Ibu tidak mau melihat rumah Adi berantakan oleh segala macam maianan ketiga anaknya. Kau tahu kan, jika Adi adalah karyawan di salah satu pabrik terbesar di kota ini?" tanyanya.
Aku hanya mengangguk saja, untuk menjawabnya.
"Nah, gaji Adi itu besar. Setiap bulan, dia mendapatkan lima juta rupiah. Dari semua itu, setiap bulan, Adi membagi gajinya pada Ibu satu juta rupiah. Untuk adiknya Adi, lima ratus ribu, dan adiknya yang satu lagi lima ratus ribu. Dia harus membantu adiknya karena dulu Ibu menyekolahkan dia sampai dia bisa bekerja dan berada di posisi ini. Sisa uang hanya tiga, juta. Kau bagi untuk keperluan dapur dan keperluan anak-anak. Oh, ya, jangan lupa berikan dulu satu juta untuk biaya transportasi Adi."
Mataku melotot sempurna mendengar rincian calon Ibu mertua.
"Hanya tersisa dua juta, Bu," ucapku mengingatkan Ibu, agar dia sadar jika uang itu tidak lah cukup untuk keperluan sekeluarga dengan lima orang.
"Iya. Ibu tau. Makanya, kau bagi-bagi itu untuk keperluan dapur dan sekolah anak-anak. Jika masih kurang, kau masih bisa bekerja untuk membantu keuangan Adi. Gajimu juga besar itu, dua setengah juta. Untuk kedua anakmu, cukup beri lima ratus saja pada Ibumu. Dan sisanya, bisa untuk keperluan rumah tanggamu. Toh, kedua anakmu itu, sepenuhnya masih tanggung jawab Ayahnya, meskipun kalian telah berpisah. Minta saja pada Ayahnya tiap bulan untuk nafkah anaknya. Sedangkan Adi, ketiga anaknya adalah tanggung jawabnya. Jadi, kau harus membantunya," ucap Ibu panjang lebar dengan sangat enteng.
"Pagi kau bisa bangun jam setengah empat pagi, memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah. Pokoknya, jam enam pagi semuanya harus sudah selesai. Jadi, jadi kau bisa mengurus semua keperluan anak Adi untuk bersekolah. Setelah itu, kau antarkan anak-anak sekolah, dan kau bisa bekerja mengantar anak tetanggamu bersekolah dan kau juga masih bisa menerima cucian pakaian." Calon Ibu mertuaku itu juga merinci setiap pekerjaan rumah serta pekerjaanku.
"Bagaimana, Dit? Kamu setuju dengan Ibuku, kan?" tanya Mas Adi seraya tersenyum.
"Maaf, Mas. Kau ingin mencari istri, atau mencari babu gratisan yang bisa sekalian mencari uang untuk keluargamu?" tanyaku seraya tersenyum sinis.
"Heh, bocah! Aku belum menikah. Kenpa kamu bilang sudah banyak anak? Tadi, kan, sudah Paman belikan jajan. Kenapa sekarang nggak bisa kerja sama?" tanya Pandu kesal."Kalau kakek-kakek, kan, anaknya sudah banyak. Buktinya aja, kakek Bapak anaknya, juga udah banyak," jelas Dara dengan sangat polos. Kakek Bapak adalah sebutan untuk Bapakku. Dia selalu memanggilnya dengan kakek Bapak karena terlalu banyak kakeknya. Untuk membedakan, dia selalu punya cara sendiri untuk memanggilnya. "Huuhhh. Susah memang ngejelaskan sama bocah ingusan begini!" Pandu mengacak-acak rambutnya sampai berantakan. Frustasi sekali dia gara-gara tak jadi berkenalan dengan Afifah. Hmmm, dasar lelaki! Lihat yang kinclong sedikit, aja. Langsung hijau matanya. "Kek, lihat tuh rambutnya, kayak singa bangun tidur!" Dara menunjuk kepala Pandu dan membuat lelaki itu menatap Dara dengan tajam. Kenapa sekarang ada tom and jerry di sini. Dara adalah penggantiku yang suka adu mulut dengan pandu. Hahahaha Ternyata memang
"Nggak bisa, Dit! Aku nggak mau dipanggil kakek. Aku masih muda, masih perjaka ting-ting pula. Dengar ya, anak-anak. Kalian harus panggil saya Paman Pandu. Nanti, Paman kasih uang untuk beli jajan." Pandu merayu kedua anakku yang masih berdiri sambil bersedekap tangan di teras. "Anda mau nyuap kami? Nggak ingat dosa, tah? Maaf, ya, Kek. Aku tidak mau makan uang haram," ucap Dara tegas. Gadisku satu ini. Apa yang diajarkan oleh gurunya, selalu meresap di otaknya. Dia akan selalu menerapkan apa yang menurut gurunya baik. Dia selalu patuh bahkan kadang mempraktikkan apa saja yang sudah diajarkan gurunya. "Ini bukan uang haram sayang. Ini uang halal. Yakin deh sama Paman," ucap Pandu meyakinkan Dara."Suap itu hukumnya haram. Jadi itu uang haram. Lagian, udah cocok kok di panggil Kakek, tuh rambutnya sudah banyak yang putih!" Dara menahan tawanya. Ia menunjuk ke arah kepala Pandu. Lelaki dengan postur tinggi tegap itu langsung memegangi kepalanya. Ingin kacahan, tapi tak. ada kaca. "
Pov Dita"Apaan sih, kamu bekap-bekap mulutku!" gerutu Pandu setelah berhasil melepaskan tanganku dari mulutnya. Aku sengaja membekap mulutnya agar dia tidak menjawab pertanyaan Mas Adi. Biarkan saja dia semakin kebakaran mendengar jawabanku yang mengatakan jika Pandu adalah kekasihku. Aku tau dia sangat marah padaku saat melihat aku berboncengan dengan laki-laki, makanya dia sampai berani mengataiku gatal.Dia juga pasti masih merasa cemburu melihatku jalan dengan lelaki lain, sampai-sampai dia kehilangan fokus dan nyebur ke parit. Untung saja bukan sungai. Kalau sungai, kurasa sudah hilang dia terbawa arus. Mas Adi belum tau jika aku memiliki Paman yang usianya masih sangat muda. Aku belum mengenalkan padanya semua anggota saudaraku. Yang dia tau hanyalah Bapak dan Ibu."Elah! Cuma gitu doang marah!" Aku memutar bola mata malas seraya nersedekap. Pandu sudah menaiki sepeda motornya sementara aku masih setia berdiri di sampingnya. "Kamu pikir, nggak engap tu tangan juga menutup
Pov Adi"Dasar, gatal!" teriakku pada Dita yang sedang dibonceng oleh seorang laki-laki. Dasar, murahan sekali dia! Baru saja lepas dariku, sudah dapat pengganti.Ternyata, dia menolakku karena sudah mendapatkan penggangiku. Awas, saja kau Dita! Tunggu karma untukmu! 'GRRUUSSAAKK!'Karena terlalu fokus melihat Dita bersama kekasihnya, aku sampai masuk parit seperti ini. Air di dalam parit lumayan dalam. Jika diukur, mungkin air tersebut sedalam betisborang dewasa. "Bangs*t!" Makiku, saat kaki ini terasa terjepit sepeda motor. Ini semua gara-gara Dita. Untuk apa coba dia bertemu denganku di jalan ini? Pasti dia sengaja melewati jalan ini karena ingin membuatku cemburu. Dia ingin memamerkan kekasih barunya itu. Aku kembali menoleh ke belakang untuk melihat Dita. Ternyata dia berhenti, dan terlihat sedang berdebat dengan lelaki itu. Huh, malas sekali melihat mereka berdua. Aku membuang muka, dan tak lagi peduli dengan mereka berdua. Aku mencoba berdiri tapi, gagal dikarenakan posis
"Iya, Paman. Dita tau. Makanya Dita tidak mau asal-asalan memilih pasangan lagi. Takutnya malah menjanda dua kali. Biarpun status Dita janda, Dita harus selektif memilih pasangan. Biarlah lama prosesnya. Yang terpenting, Dita tidak akan menjadi janda lagi." Aku mengucapkan isi hatiku yang sudah lama terpendam. Aku tidak mau terus menerus dipaksa menikah oleh Paman. Apalagi pilihan paman tidaklah sesuai dengan keinginanku. Paman membuang napas kasar. Aku tau dia sedikit kecewa denganku. Tapi aku harus bagaimana? Aku benar-benar tidak bisa menerima pilihanhya, yang menurutku tidak sesuai dengan pilihanku. Aku benar-benar tidak mau mendapatkan suami yang hanya bermalas-malasan, dan hanya mau menerimaku saja. Aku inginnya dia juga bisa menerima anakku, dan dia juga rajin bekerja.Mungkin bagi sebagian orang, keinginanku ini terlalu berlebihan. Mengingat statusku sebagai janda. Tapi, menurutku, saat kita sudah menjadi janda, maka kita harus pintar-pintar memilih pasangan. Jangan sembar
Pandu tertawa setelah Luki pergi. Dia sampai memegangi perutnya. "Ada yang lucu?" tanyaku sewot."Ahm. Nggak ada," jawabnya seraya menahan tawanya. "Senang sekali ya, kamu melihatku menyedihkan begini!" sungutku. "Siapa yang senang? Jangan su'udzon, kamu itu!" sahutnya seraya tersenyum. Senyum yang membuatku semakin jengkel. Sudah bertahun-tahun tidak bertemu, dia masih saja menjengkelkan."Hiish!" Aku menyandarkan tubuhku ke sandaran sofa. "Jangan marah-marah, nanti cepat tua!" Pandu menatapku sambil mengulum senyum. "Memang sudah tua. Puas kamu!""Kamu itu, sama Pamannya kok galak banget. Kuwalat nanti kamu sama orang tua!"Awas saja. Tunggu pembalasan dariku. Aku tau, dia sangat suka melihatku terlihat menyedihkan begini. Dia itu, suka banget menggangguku dari dulu. Bahkan dia pernah berpura-pura menjadi Abang yang galak saat ada teman lelakiku yang datang ke rumah ingin PDKT. Dia akan memarahi lelaki itu habis-habisan. Ceramah panjang lebar juga ia lontarkan. Yang katanya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments