Telunjuk Mumu masih terarah ke wajah Iman. "Kamu nanyanya kayak nggak suka gitu?!""Saya nggak suka gimana emangnya, Baaaang?" Nada panggil Iman mulai panjang karena marah. "Kamu mau nguasain juga?" ketus Edi. "Kok jadi bilang begitu? Kapan Saya nguasain? Nguasain apa, coba?" Iman mulai panas. Mereka tidak dapat langsung menjawab. "Kamu jangan sok ngatur, Man? Terserah Kita mau beli di mana!""Terserah Abang mau beli di mana! Duit ya duit Abang! Saya nggak punya urusan!" Iman melotot. Tangannya sudah terkepal. Edi melirik buku jari Iman yang sudah memutih. Pertanda Iman mengepalkan tangannya dengan sangat keras, pertanda ia sedang menahan kemarahannya. Ini gawat. Diantara mereka hanya Iman yang jago berkelahi. Mereka hanya jago adu mulut saja. Edi menarik Mumu. "Ayo, Bang. Kita ke rumah Bang Hasby!"Mumu yang tidak dapat membaca keadaan justru menolak dan berkata:"Emang Kamu itu sok kuasa, Man! Apa apa mau Kamu kuasain. Sekarang semua tanah Bang Hasby juga.."Buk!Bruk!Mumu
Mata Yanti hanya tertuju pada Iman. Ingin rasanya ia balas menonjok Iman. Tapi seperti Mumu, hanya mulutnya yang terlatih untuk adu mulut. "Suami Kamu ini nggak ngehargain Abangnya! Udah tau Bang Mumu lagi mabok, pakai dilayanin omongannya!""Orang mabok ngapain dihargain?" gerutu Iman sebal. "Pah?" "Kamu nggak boleh begitu sama Bang Mumu. Dia itu lebih tua dari Kamu! Bilangin Suamimu dong, Nisa?" pelototan marah Yanti berubah menjadi pelototan kaget setelah ia berpaling pada Nisa. "Pipi Kamu kenapa, Nisa?" Nisa tersenyum kecut. Apa yang dapat ia katakan? "Ini semua gara - gara Bang Mumu!" Yanti terkaget kaget mendengarnya. Bang Mumu hanya mengatakan pipinya biru karena ditonjok Iman, apa masalahnya, ia tidak mau menceritakannya. "Kamu nggak papa, Nisa?" sikapnya berubah lebih lunak. Ia lalu duduk di depan Nisa. Ia merasa iba melihat Nisa seperti itu. "Nggak papa, Teh. Ini udah dikompres sama Iman.""Bang Mumu yang nonjok?" tanyanya tidak percaya. Sekasar - kasarnya Mumu, ia ti
Perempuan itu memang manis dan masih sangat muda. Nisa tidak habis pikir, mengapa ada laki - laki yang tega menyia - nyiakan perempuan yang begitu terlihat manis seperti ini. Nisa saja begitu bertemu langsung suka dan jatuh hati, apalagi kaum adam? "Nama Saya Tini, Bu. Kata Teh Maya Saya boleh kerja di sini?" Nisa mengangguk. "Tapi kalau Ibu boleh tahu, kenapa Kamu bercerai? Bukannya anak Kamu masih kecil - kecil?" Tini tertunduk. Entah apa yang ia rasakan atas pertanyaan Nisa tadi. "Maaf, Tin. Kalau ucapan Ibu nyakitin perasaan Kamu." ucap Nisa terburu - buru. Nisa tidak melihat ada senyum miring di bibir Tini. "Nggak papa, Bu.Maaf Saya belum bisa cerita, Bu. Rasanya masih sakit." Nisa mengangguk dengan hati iba.Malam ini Tini mulai bekerja di warung pemancingan. Kehadirannya membuat heboh para pemancing dan karyawan Iman."Mereka bersedia mengantar dan menjemput Tini pulang pergi bekerja. "Udah keduluan sama si Rasya." keluh Juned. "Kamu 'kan punya istri, Ned. Ngapain Kamu i
Setelah Mumu pergi, Nisa juga ingin bergegas masuk ke dalam rumah. Ia ingin melepaskan tangisannya di atas bantal. Tapi baru sampai pintu Iman menegurnya."Mau kemana, Mah?""Kan tadi disuruh Masuk? Dasar plin - plan!"Iman melongo. Sebenarnya ada apa, sih?"May, sebenarnya ada apa, sih?" Hanya Maya yang dapat diminta pertanggungjawabannya. Bukan pertanggung jawaban juga, sih.. Maksudnya diminta penjelasannya karena ia yang dari tadi bersama Nisa di sini. Ia pasti tahu kejadiannya. "Maya nggak pinter cerita, Bang. Nanti malah salah." "Udah, cerita aja. Kenapa Bang Mumu sampai melabrak Nisa?""Iya, Bang. Tapi sebelumnya, kalau ada salah - salah kata, maafin Maya, ya.""Kok malah pidato? Ayo cepetan cerita!"Maya berusaha mengingat. Ia terlihat bingung. "Darimana dulu, ya?" Iman mengacak kasar rambutnya. Mau mengacak rambut Maya nanti dibilang pelecehan."Jangan bertele - tele! Cepetan cerita!" ucapnya tidak sabar."Eh! Iya, Bang!" dengan sedikit gugup Maya mulai bercerita.Mata Ima
Nisa mengulurkan upah Maya untuk hari ini. "Makasih, Mbak.""Hati - hati, May!" setelah memastikan Maya sudah naik ke boncengan suami yang menjemputnya, Nisa masuk ke dalam rumah. Warung Nisa sekarang ada di depan rumah atau menjadi bagian dari rumahnya."Ibu, Saya pulang dulu, Bu." pamit Rasya."kok pulang?""Ada perlu sebentar. Nanti Saya balik lagi, kok." Nisa melihat mata Rasya yang merah. Sepertinya ia menyembunyikan sesuatu. Lagi - lagi Nisa merasa tidak enak. Ia juga mencium bau alkohol dari mulut Rasya. "Kamu minum, ya?" selidik Nisa. Rasya menunduk. Semua yang bekerja di empang tau kalau Iman dan Nisa melarang mereka minum minuman keras di area pemencingan."Kalian mau mabok di mana - mana terserah! Yang penting jangan di empang Aku!" begitu tegas Iman. Nisa bersyukur, sejelek - jeleknya Iman, ia tidak pernah mau menyentuh barang haram itu. Tidak seperti Bang Mumu dan bang Edi. "Maaf Bu, Saya sedikit pusing.""Rasya, kalau pusing itu minum obat, bukan minum itu!""Saya p
Kita lupakan dulu masa lalu Iman dan Nisa. Masa yang tidak terlalu lama sebenarnya. Hanya hitungan tahun saja. 'Mamaaah! Kartu ulangan Doni ditahan, Mah. Mamah belum bayar uang bangunan, ya? Doni nggak boleh ikut ulangan!' chat Doni pada Nisa. Doni sepertinya panik. Dan kepanikan itu menular pada Nisa. 'Iya, Nang. Maafin Mamah, ya?''Sekarang suruh bayar, Mah. Setengahnya dulu juga nggak papa.' airmata Nisa meluncur turun. 'Mamah belum ada uangnya, Nang. Bagaimana ini?''Gimana dong, Mah?''Mamah pinjem sama pinjol dulu, ya? Tapi ya nggak bisa sekarang bayarannya.''Jangan coba - coba pinjem sama pinjol, Mah. Mamah jangan gitu, dong.' Meskipun bungsu, jalan pikiran Doni itu jauh lebih dewasa dari usianya. Hanya kadang ia terlihat ingin bermanja - manja, seperti ingin tidur bersama sang Mama saat Papahnya menginap di luar kota.'Habisnya Mamah mau kemana lagi, Nang? Itu jalan satu - satunya.''Aduh, Mamah. Jangan gitu, dong. Jangan bikin Doni jadi stress!' hp Doni langsung tidak akt
Dalam keheningan hati, dalam sempitnya jiwa angan Nisa tersesat tak tentu rimba. Ia berusaha mencari jalan keluar. Apa ia sanggup tanpa pertolongan Sang MAHA CINTA?"Ya Allah, berilah hidayahMU pada suami hamba. Kembalikan Dia pada saat Dia masih sangat mencintai Hamba." itu selalu doa yang Nisa panjatkan setelah sholatnya. Apakah Iman akan berubah? "Pagi, Nisa." Nisa yang sedang menyapu terasnya yang luas itu mengangkat kepalanya. Ia tersenyum melihat siapa yang datang. "Pagi, Bang. Mau servis, ya?" Nisa lalu celingukan karena ia tidak mendengar suara mobil datang."Iya, Aku mau servis motorku itu." Putra menunjuk motor yang di parkir di depan rumah Teh Yanah. "Bang Imannya ada, 'kan?" Nisa mengangguk. Hatinya lega karena ada pekerjaan untuk Iman hari ini. Sudah 2 hari tidak ada pemasukan selain dari pemancing yang hanya 1 - 2 orang itu. "Ada di belakang. Lagi ngasih makan ikan, mungkin." Nisa melambai pada Umboh yang sedang duduk di depan rumahnya. "Boh, tolong panggilin Mang
Suasana romantis tiba - tiba hadir. Dipagutnya bibir Nisa yang penuh dan menantang. Nisa membalasnya dengan tak kalah hangatnya. Iman mengeluh. Tangannya mulai mengembara ke bukit kembar milik Nisa."Mmhh.." Nisa ganti mengeluh saat Iman mulai meremasnya.."Aw!" Iman mengaduh karena Nisa tiba - tiba menggigit bibirnya dengan gemas."Mah?!" protes Iman. Ia mengusap bibirnya."Untung saja tidak sampai berdarah!" gerutunya. Nisa menggigitnya cukup keras. Keromantisan yang baru terasa langsung bubar jalan."Ini masih pagi, Pah. Aku belum selesai bebenah! Kamu juga belum mandi. Badan Kamu bau ikan!" Nisa bergegas bangun untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.Iman menggaruk kepalanya. Kelelakiannya sudah terlanjur menegang, bagaimana melemaskannya lagi? "Aaaahh..!!" gerutunya lagi. Ia langsung masuk ke kamar mandi untuk mengguyur kepalanya.Nisa sibuk sepagian ini. Semua pekerjaan rumah ia yang mengerjakannya setelah Wiwi kembali bekerja. Rifki ia bawa untuk dititipkan di rumah ib