LOGINArsya Asyanti, seorang ibu muda berusia 28 tahun yang menjalani hidup sederhana bersama suaminya Bima Pradipta dan putri semata wayangnya, Reysa yang baru berusia 4 tahun. Arsya percaya bahwa rumah tangganya adalah segalanya—sebuah pelabuhan tempat hati dan cinta bertumbuh. Arsya mengorbankan karier dan impian masa mudanya demi menjadi ibu rumah tangga yang baik. Bima, yang bekerja di sebuah perusahaan properti, tampak seperti suami idaman, pekerja keras, dan penyayang. Namun, kebahagiaan itu ternyata hanyalah ilusi. Semua mulai berubah ketika Bima mendapatkan promosi. Ia semakin sering pulang larut malam dengan alasan pekerjaan. Arsya mulai curiga, namun menepisnya tak ingin berburuk sangka. Tapi kecurigaan itu akhirnya menjadi kenyataan pahit ketika ia memergoki Bima berselingkuh dengan wanita yang merupakan sahabat Arsya sejak SMA. Pengkhianatan itu menghancurkan dunianya, ditambah Bima mengatakan Arsya tidak lagi menarik dan merasa Arsya hanyalah bebannya, untuk membela dirinya. Perceraian membuat Arsya harus meninggalkan rumah dan anaknya. Setiap malamnya dilalui dengan air mata, memeluk baju kecil Reysa yang tertinggal. Namun penderitaannya belum berakhir. Beberapa bulan kemudian, kabar tragis datang padanya, Reysa, putri tunggalnya meninggal dunia. Arsya nyaris tak mampu bernapas saat menerima berita itu. Arsya hanya bisa menjerit histeris di depan jasad putrinya yang terdapat banyak luka lebam. ia tahu bahwa Bima dan Resalah pelakunya. Arsya benar-benar hancur, tidak ada lagi kehidupan dalam dirinya, hanya kehampaan, kebencian, dan dendam. Tapi pada saat terendah dalam hidupnya, semesta mempertemukannya dengan seorang pria bernama Yasa Wiranata seorang pewaris perusahan properti tempat Bima bekerja. Pertemuan keduanya membuat Arsya memiliki dorongan untuk terus hidup. Yasa tak menawarkan simpati, tetapi kejujuran dan dorongan untuk bangkit. “Reysa tak akan ingin ibunya hancur seperti ini,” kalimat itulah yang mampu membuat Arsya bangkit dan memiliki keinginan untuk melanjutkan hidupnya. Sedikit demi sedikit, Arsya mulai membenahi hidupnya. Ia belajar berusaha bangkit dari keterpurukannya. Ia akan mengandalkan dirinya untuk membalaskan dendam putrinya.
View MoreHujan turun tanpa henti malam itu, seakan langit ikut menangis bersama seorang wanita yang berdiri di atas sebuah jembatan di pinggiran kota. Angin menusuk tulang, dingin merayap seperti rasa putus asa yang telah lama menghuni hatinya. Entah sudah berapa lama ia menyusuri jalan yang sunyi tanpa alas kaki, Wajahnya basah, entah karena hujan atau air mata yang tak lagi mampu ia bedakan. Di tangannya tergenggam erat sebuah foto kecil yang sudah mulai kusut—foto seorang anak perempuan yang tersenyum lebar sambil memeluk boneka beruang kesayangannya.
Arsya Asyanti, itulah nama wanita yang saat ini sedang dalam keputus asaan. Malam ini, ia berniat menjadikannya sebagai nama terakhir yang tertulis dalam berita esok hari. Setelah berhenti cukup lama di atas jembatan, Kakinyapun perlahan melewati pagar pembatas. Di bawah sana, sungai mengalir deras, gelap, dan sepi. Seperti hidupnya saat ini. Tidak ada lagi yang bisa ia genggam. Tidak ada lagi yang bisa ia perjuangkan. Reysa telah tiada. Dunia telah menghancurkannya, dan satu-satunya yang tersisa hanyalah kehampaan. "Maafkan Mama, Reysa... Maafkan Mama....Mama terlalu lelah..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar oleh angin malam. Tubuhnya mulai condong ke depan, bersiap melepas semua beban hidupnya, bersama dengan gengaman tangannya. Tapi takdir kadang datang dalam bentuk yang tak disangka. Suara hentakan sepatu memecah keheningan, menjejak genangan air tanpa peduli basah. Dalam hitungan detik, tangan pria itu berhasil mencengkeram tubuh Arsya sebelum ia terjun ke dalam gelapnya arus. Arsya meronta lemah, tubuhnya gemetar dan basah kuyup. Tapi pria itu lebih cepat. Ia menariknya ke sisi aman jembatan, memeluknya erat seolah mencoba menahan dunia agar tidak runtuh di sekitarnya. “Jangan lakukan itu...,” ucap pria itu dengan suara serak, separuh panik, separuh ketakutan. Ia masih memeluk Arsya dengan erat, memastikan wanita itu tak kabur dari pelukannya. Arsya tidak menjawab, tapi masih terus berusaha memberontak dengan lemah. Perlahan kepalanya terkulai di dada pria itu, dan sebelum ia bisa mengatakan apapun, tubuhnya lunglai. Matanya menutup perlahan. Suara dunia memudar. Kegelapan perlahan mengambil alih kesadarannya. Semua menjadi senyap. Tapi di balik keheningan itu, alam bawah sadarnya membawa Arsya kembali, jauh ke masa lalu. Ke masa di mana segalanya belum hancur. Sinar matahari sore menyusup melalui jendela kamar mungil itu. Arsya, yang saat itu baru berusia dua puluh tiga tahun, tertawa lepas sambil merapikan pakaian bayi mungil di rak. Perutnya sudah membuncit, usia kehamilan memasuki bulan ketujuh, membuat ia sedikit kesulitan dalam bergerak. Di sudut ruangan, Bima suaminya sedang memasang lukisan kayu bertuliskan nama, Reysa Pradipta. “Kalau nanti anak kita bandel kayak kamu gimana?” tanya Arsya sambil memanyunkan bibirnya, mengusap perutnya dengan lembut. Ia kembali pada sisi ranjang, setelah merapikan pakaian bayi. Bima mendekat dan mencium keningnya. “Kalau dia bandel kayak aku, berarti dia cerdas. Tapi kalau dia manis dan penyayang kayak kamu, berarti dia anugerah.” Bima menarik senyum bibirnya, manatap istrinya. Arsya tertawa kecil, lalu mengangguk mendengar jawaban suaminya. Saat itu, mereka tinggal di rumah sewa kecil di pinggiran kota, tapi kebahagiaan begitu sederhana dan nyata. Mereka tidak punya banyak harta, tapi punya banyak cinta. Mereka saling mengisi, menjalani hari dengan sederhana. Arsya memasak makanan sederhana setiap pagi, membangunkan Bima dengan senyum, dan menunggu suaminya pulang dengan senyuman dari balik pintu. Bima, meski tidak sempurna, selalu berusaha menjadi suami yang setia dan ayah yang penuh harapan. Saat Reysa lahir, dunia Arsya menjadi sempurna. Ia belajar menjadi ibu dari nol, bangun di tengah malam untuk menyusui, mengganti popok dengan tangan gemetar, dan menangis saat Reysa demam dan rewel. Tapi semua rasa lelah itu terbayar lunas saat anak kecil itu memanggilnya "Mama" untuk pertama kali. Bima juga tampak begitu menyayangi Reysa. Ia suka menggendongnya di pundak, menyanyi di kamar tidur saat malam, dan membacakan buku dongeng sebelum tidur. Mereka juga akan rajin melakukan kegiatan kecil bersama seperti, pergi piknik setiap akhir pekan, makan mie ayam favorit di sudut gang, dan berswafoto dengan wajah konyol. Itu semua dulu. Sebelum Bima mulai berubah. Sebelum cinta mulai pudar. Sebelum Resa datang dan mengambil segala miliknya, merebut kebahagiannya. Dalam lamunannya, Arsya melihat bayangan masa itu seperti potongan film lama, samar, retak, dan menyakitkan. Ia melihat wajah Bima yang dulu penuh cinta, perlahan berubah menjadi dingin dan asing, seperti bukan Bima yang sebelumnya. Ia melihat dirinya sendiri tersenyum meski dihancurkan, berdiri meski dipukul berkali-kali oleh kenyataan. Hingga akhirnya, ia melihat momen paling kelam dan menyakitkan, jasad Reysa di kamar mayat rumah sakit. Mata anaknya terpejam, wajahnya pucat, tubuh mungilnya dibungkus kain putih. Arsya menjerit histeris dalam mimpinya. Air mata membanjiri wajahnya yang tertidur, bahkan dalam ketidaksadaran. Ketika kesadarannya perlahan kembali, Arsya mencium aroma antiseptik dan mendengar bunyi alat monitor berdetak pelan. Ia membuka matanya perlahan dan mendapati dirinya terbaring di sebuah ranjang rumah sakit dalam ruangan hangat. Di sudut ruangan, seorang pria duduk dengan pakaian setengah basah, matanya terus menatap ke arahnya. “Syukurlah kamu sadar,” ucap pria itu, suaranya lembut tapi tegas. Ia perlahan berjalan ke tepi ranjang, mendekat pada Arsya. Arsya memandangnya dengan mata bingung, tak mengenalnya pria itu. Melihat kebingungan Arsya membuatnya memperkenalkan diri “Saya Yasa, saya yang… menarikmu dari jembatan tadi.” jelasnya. Arsya memalingkan wajah, malu dan marah pada dirinya sendiri. Tapi yang paling kuat adalah rasa hampa itu… yang selalu kembali, bahkan saat ia mencoba lari. Yasa tidak berkata-kata lagi. Ia kembali duduk pada sofa yang berada di sudut ruangan, memberi ruang untuk Arsya, Tidak mencoba menghakimi. Tidak mencoba memaksa. Ia hanya diam, tapi dengan kehadiran yang tidak menyakitkan. Dalam hati kecilnya, Arsya bertanya-tanya, Mengapa pria ini menghentikannya? Mengapa seseorang peduli padanya? Ia tidak tahu jawabannya. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya setelah insiden yang membuatnya putus asa, Arsya tidak merasa benar-benar sendirian. Dan mungkin, itu adalah permulaan dari sesuatu. Sesuatu yang belum ia pahami. Sesuatu yang akan banyak mengubah hidupnya untuk selamanya.Pagi itu, suasana kantor tampak seperti biasa. Semua berjalan normal, namun di balik aktivitas yang terlihat rutin, tiga wanita yang selama ini menjadi duri bagi Arsya telah menyusun rencana baru. Rencana yang jauh lebih keji dari sebelumnya.Setelah kegagalan mereka kemarin yang malah berakhir dengan kekalahan memalukan, mereka tidak mau lagi sekadar bermain-main. Rasa iri yang sudah membakar mereka semakin menjadi-jadi setelah melihat Arsya kembali bekerja dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan, dari pengamatan mereka, hubungan Arsya dengan Yasa tampak semakin dekat. Yasa mulai lebih sering memanggilnya ke ruangannya, memberinya tugas-tugas penting, bahkan beberapa kali terlihat mengajaknya bicara dengan nada yang tidak pernah mereka dapatkan selama bertahun-tahun bekerja.“Lihat aja tuh,” desis Rita, matanya tak lepas dari meja Arsya. “Dikasih perhatian lebih, disenyumin pula sama Pak Yasa. Padahal kemarin abis gue jambak tuh orang.”“Dan dia balik lagi kayak nggak ada a
Hari itu, suasana kantor terlihat seperti biasa. Aktivitas berjalan norma deru printer, suara langkah terburu-buru pegawai yang berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, dan aroma kopi yang samar menyelimuti lantai tempat Arsya bekerja. Namun, ada satu hal yang masih belum reda, gosip tentang dirinya.Sejak ia membawa bekal buatan sendiri dan memberikannya kepada Yasa, topik itu seperti api kecil yang terus dikipasi agar menyala. Beberapa staf perempuan, terutama yang merasa memiliki kedekatan lama dengan Yasa atau sekadar ingin diakui keberadaannya, semakin panas hatinya. Mereka tidak mengerti bagaimana seorang wanita yang baru beberapa minggu bekerja di sini bisa mendapatkan perhatian khusus dari sang pemilik perusahaan.“Lihat saja tadi pas makan siang,” bisik seorang pegawai di pantry, menahan suara agar tak terlalu jelas terdengar. “Pak Yasa makan bekal dari dia. Gila nggak tuh? Selama gue kerja di sini, nggak pernah ada yang kayak gitu.&rdquo
Pagi itu, jam baru menunjukkan pukul lima lewat sedikit ketika Arsya membuka matanya. Cahaya matahari belum sepenuhnya menyentuh permukaan kota, hanya samar-samar menembus gorden tipis apartemen yang ia tinggali. Suasana masih sunyi. Udara pagi terasa sedikit dingin, membuat kulitnya merinding sejenak saat kakinya menyentuh lantai.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan debar jantung yang entah kenapa pagi ini terasa sedikit berbeda. Hari ini ia punya rencana kecil. Bukan rencana yang besar seperti balas dendam yang selama ini ia pendam, tetapi langkah sederhana yang mungkin saja bisa membuka jalur yang lebih luas menuju kepercayaan Yasa.Arsya melangkah ke kamar mandi, membiarkan air dingin mengalir di wajahnya. Selesai membersihkan diri, ia berdiri di depan cermin, memperhatikan wajahnya yang masih basah. Ada sedikit lingkaran gelap di bawah mata akibat begadang beberapa malam lalu, namun itu bukan masalah. Ia tersenyum samar pada bayangannya, lalu melilitkan
Hari-hari terasa berjalan dengan ritme yang berbeda bagi Arsya. Sudah hampir seminggu sejak ia resmi bekerja di perusahaan milik Yasa. Pagi, siang, hingga sore harinya kini dihabiskan di kantor besar itu, sebuah gedung tinggi yang berlapis kaca dengan suasana yang awalnya terasa asing, namun kini perlahan menjadi tempatnya belajar kembali mengenal dunia kerja.Sejak hari pertama ia diperkenalkan sebagai asisten pribadi Yasa di kantor, perhatian banyak mata seolah terus mengawalnya. Dari bisikan samar di balik meja, lirikan penuh rasa ingin tahu di lorong-lorong kantor, hingga tatapan sinis beberapa pegawai wanita yang merasa posisinya terusik. Arsya bisa merasakan semuanya, meski ia tidak menunjukkan reaksi berlebihan.“Katanya dia nggak punya pengalaman kerja di bidang ini sebelumnya, ya?” bisik salah satu karyawan yang melintas di dekat pantry.“Iya, tapi bisa langsung jadi asisten pribadi Pak Yasa. Coba bayangin, orang-orang di sini antri bertahun-tahun buat deket sama beliau,” sahu
Pagi itu, sinar matahari yang baru saja menyelinap di balik gedung-gedung tinggi Jakarta menembus tirai tipis kamar apartemen Arsya. Alarm kecil di meja nakas berbunyi pelan, cukup untuk membangunkan Arsya yang sudah terbiasa dengan rutinitas rumah besar milik Yasa . Namun, kali ini ada yang berbeda. Tidak ada langkah kaki pembantu rumah yang lalu-lalang, tidak ada suara Bi Narsih yang membangunkannya dengan panggilan lembut jika ia kesiangan, tidak ada hiruk pikuk rumah besar itu. Yang ada hanya kesunyian, aroma apartemen baru, dan secercah semangat yang mulai ia pupuk dalam dirinya.Arsya bangun lebih awal dari biasanya. Ia tahu hari ini akan menjadi hari pertama dirinya masuk ke kantor Yasa. Sebuah langkah besar dari seorang wanita yang dulunya hanya berstatus pembantu rumah tangga, menjadi asisten pribadi di perusahaan besar. Perubahan yang terjadi begitu cepat, namun semuanya terasa sangat nyata.Setelah membereskan tempat tidurnya, Arsya melangkah menuju koper yang ia letakkan d
Pagi itu, udara di rumah besar keluarga Yasa terasa berbeda bagi Arsya. Ia berdiri di depan kamarnya, koper kecil sudah rapi di tangannya, dan beberapa tas lain tersusun di lantai. Ada rasa getir yang menggelayut di dadanya. Sejak beberapa minggu terakhir, rumah itu menjadi tempat ia berpijak meskipun penuh dengan pura-pura dan rahasia, tetap saja rumah itu memberikan kehangatan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.Sebelum ia benar-benar pergi, Arsya menyempatkan diri untuk berpamitan pada orang yang pertama kali menyambutnya di rumah itu, Bi Narsih. Perempuan paruh baya itu sedang membereskan ruang makan ketika Arsya menghampirinya.“Bi…” suara Arsya pelan, tapi cukup membuat wanita itu menoleh.“Oh, Mba Arsya. Ada apa? Mau sarapan dulu sebelum berangkat?” tanya Bi Narsih sambil mengusap tangannya yang sedikit basah karena bekas melap piring.Arsya menggeleng pelan. “Tidak, Bi. Saya cuma… mau pamit.”Dahi Bi Narsih berkerut, terlihat bingung. “Pamit? Memangnya mau ke mana, Mba?”A






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments