Jejak Luka, Jejak Cinta

Jejak Luka, Jejak Cinta

last updateLast Updated : 2025-09-15
By:  AlfpaintOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 rating. 1 review
25Chapters
208views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Arsya Asyanti, seorang ibu muda berusia 28 tahun yang menjalani hidup sederhana bersama suaminya Bima Pradipta dan putri semata wayangnya, Reysa yang baru berusia 4 tahun. Arsya percaya bahwa rumah tangganya adalah segalanya—sebuah pelabuhan tempat hati dan cinta bertumbuh. Arsya mengorbankan karier dan impian masa mudanya demi menjadi ibu rumah tangga yang baik. Bima, yang bekerja di sebuah perusahaan properti, tampak seperti suami idaman, pekerja keras, dan penyayang. Namun, kebahagiaan itu ternyata hanyalah ilusi. Semua mulai berubah ketika Bima mendapatkan promosi. Ia semakin sering pulang larut malam dengan alasan pekerjaan. Arsya mulai curiga, namun menepisnya tak ingin berburuk sangka. Tapi kecurigaan itu akhirnya menjadi kenyataan pahit ketika ia memergoki Bima berselingkuh dengan wanita yang merupakan sahabat Arsya sejak SMA. Pengkhianatan itu menghancurkan dunianya, ditambah Bima mengatakan Arsya tidak lagi menarik dan merasa Arsya hanyalah bebannya, untuk membela dirinya. Perceraian membuat Arsya harus meninggalkan rumah dan anaknya. Setiap malamnya dilalui dengan air mata, memeluk baju kecil Reysa yang tertinggal. Namun penderitaannya belum berakhir. Beberapa bulan kemudian, kabar tragis datang padanya, Reysa, putri tunggalnya meninggal dunia. Arsya nyaris tak mampu bernapas saat menerima berita itu. Arsya hanya bisa menjerit histeris di depan jasad putrinya yang terdapat banyak luka lebam. ia tahu bahwa Bima dan Resalah pelakunya. Arsya benar-benar hancur, tidak ada lagi kehidupan dalam dirinya, hanya kehampaan, kebencian, dan dendam. Tapi pada saat terendah dalam hidupnya, semesta mempertemukannya dengan seorang pria bernama Yasa Wiranata seorang pewaris perusahan properti tempat Bima bekerja. Pertemuan keduanya membuat Arsya memiliki dorongan untuk terus hidup. Yasa tak menawarkan simpati, tetapi kejujuran dan dorongan untuk bangkit. “Reysa tak akan ingin ibunya hancur seperti ini,” kalimat itulah yang mampu membuat Arsya bangkit dan memiliki keinginan untuk melanjutkan hidupnya. Sedikit demi sedikit, Arsya mulai membenahi hidupnya. Ia belajar berusaha bangkit dari keterpurukannya. Ia akan mengandalkan dirinya untuk membalaskan dendam putrinya.

View More

Chapter 1

Bab 1 Titik Nol

Hujan turun tanpa henti malam itu, seakan langit ikut menangis bersama seorang wanita yang berdiri di atas sebuah jembatan di pinggiran kota. Angin menusuk tulang, dingin merayap seperti rasa putus asa yang telah lama menghuni hatinya. Entah sudah berapa lama ia menyusuri jalan yang sunyi tanpa alas kaki, Wajahnya basah, entah karena hujan atau air mata yang tak lagi mampu ia bedakan. Di tangannya tergenggam erat sebuah foto kecil yang sudah mulai kusut—foto seorang anak perempuan yang tersenyum lebar sambil memeluk boneka beruang kesayangannya.

Arsya Asyanti, itulah nama wanita yang saat ini sedang dalam keputus asaan. Malam ini, ia berniat menjadikannya sebagai nama terakhir yang tertulis dalam berita esok hari.

Setelah berhenti cukup lama di atas jembatan, Kakinyapun perlahan melewati pagar pembatas. Di bawah sana, sungai mengalir deras, gelap, dan sepi. Seperti hidupnya saat ini. Tidak ada lagi yang bisa ia genggam. Tidak ada lagi yang bisa ia perjuangkan. Reysa telah tiada. Dunia telah menghancurkannya, dan satu-satunya yang tersisa hanyalah kehampaan.

"Maafkan Mama, Reysa... Maafkan Mama....Mama terlalu lelah..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar oleh angin malam.

Tubuhnya mulai condong ke depan, bersiap melepas semua beban hidupnya, bersama dengan gengaman tangannya. Tapi takdir kadang datang dalam bentuk yang tak disangka.

Suara hentakan sepatu memecah keheningan, menjejak genangan air tanpa peduli basah. Dalam hitungan detik, tangan pria itu berhasil mencengkeram tubuh Arsya sebelum ia terjun ke dalam gelapnya arus.

Arsya meronta lemah, tubuhnya gemetar dan basah kuyup. Tapi pria itu lebih cepat. Ia menariknya ke sisi aman jembatan, memeluknya erat seolah mencoba menahan dunia agar tidak runtuh di sekitarnya.

“Jangan lakukan itu...,” ucap pria itu dengan suara serak, separuh panik, separuh ketakutan. Ia masih memeluk Arsya dengan erat, memastikan wanita itu tak kabur dari pelukannya.

Arsya tidak menjawab, tapi masih terus berusaha memberontak dengan lemah. Perlahan kepalanya terkulai di dada pria itu, dan sebelum ia bisa mengatakan apapun, tubuhnya lunglai. Matanya menutup perlahan. Suara dunia memudar. Kegelapan perlahan mengambil alih kesadarannya.

Semua menjadi senyap. Tapi di balik keheningan itu, alam bawah sadarnya membawa Arsya kembali, jauh ke masa lalu. Ke masa di mana segalanya belum hancur.

Sinar matahari sore menyusup melalui jendela kamar mungil itu. Arsya, yang saat itu baru berusia dua puluh tiga tahun, tertawa lepas sambil merapikan pakaian bayi mungil di rak. Perutnya sudah membuncit, usia kehamilan memasuki bulan ketujuh, membuat ia sedikit kesulitan dalam bergerak. Di sudut ruangan, Bima suaminya sedang memasang lukisan kayu bertuliskan nama, Reysa Pradipta.

“Kalau nanti anak kita bandel kayak kamu gimana?” tanya Arsya sambil memanyunkan bibirnya, mengusap perutnya dengan lembut. Ia kembali pada sisi ranjang, setelah merapikan pakaian bayi.

Bima mendekat dan mencium keningnya. “Kalau dia bandel kayak aku, berarti dia cerdas. Tapi kalau dia manis dan penyayang kayak kamu, berarti dia anugerah.” Bima menarik senyum bibirnya, manatap istrinya.

Arsya tertawa kecil, lalu mengangguk mendengar jawaban suaminya. Saat itu, mereka tinggal di rumah sewa kecil di pinggiran kota, tapi kebahagiaan begitu sederhana dan nyata. Mereka tidak punya banyak harta, tapi punya banyak cinta.

Mereka saling mengisi, menjalani hari dengan sederhana. Arsya memasak makanan sederhana setiap pagi, membangunkan Bima dengan senyum, dan menunggu suaminya pulang dengan senyuman dari balik pintu. Bima, meski tidak sempurna, selalu berusaha menjadi suami yang setia dan ayah yang penuh harapan.

Saat Reysa lahir, dunia Arsya menjadi sempurna. Ia belajar menjadi ibu dari nol, bangun di tengah malam untuk menyusui, mengganti popok dengan tangan gemetar, dan menangis saat Reysa demam dan rewel. Tapi semua rasa lelah itu terbayar lunas saat anak kecil itu memanggilnya "Mama" untuk pertama kali.

Bima juga tampak begitu menyayangi Reysa. Ia suka menggendongnya di pundak, menyanyi di kamar tidur saat malam, dan membacakan buku dongeng sebelum tidur.

Mereka juga akan rajin melakukan kegiatan kecil bersama seperti, pergi piknik setiap akhir pekan, makan mie ayam favorit di sudut gang, dan berswafoto dengan wajah konyol.

Itu semua dulu. Sebelum Bima mulai berubah. Sebelum cinta mulai pudar. Sebelum Resa datang dan mengambil segala miliknya, merebut kebahagiannya.

Dalam lamunannya, Arsya melihat bayangan masa itu seperti potongan film lama, samar, retak, dan menyakitkan. Ia melihat wajah Bima yang dulu penuh cinta, perlahan berubah menjadi dingin dan asing, seperti bukan Bima yang sebelumnya. Ia melihat dirinya sendiri tersenyum meski dihancurkan, berdiri meski dipukul berkali-kali oleh kenyataan.

Hingga akhirnya, ia melihat momen paling kelam dan menyakitkan, jasad Reysa di kamar mayat rumah sakit. Mata anaknya terpejam, wajahnya pucat, tubuh mungilnya dibungkus kain putih. Arsya menjerit histeris dalam mimpinya. Air mata membanjiri wajahnya yang tertidur, bahkan dalam ketidaksadaran.

Ketika kesadarannya perlahan kembali, Arsya mencium aroma antiseptik dan mendengar bunyi alat monitor berdetak pelan. Ia membuka matanya perlahan dan mendapati dirinya terbaring di sebuah ranjang rumah sakit dalam ruangan hangat. Di sudut ruangan, seorang pria duduk dengan pakaian setengah basah, matanya terus menatap ke arahnya.

“Syukurlah kamu sadar,” ucap pria itu, suaranya lembut tapi tegas. Ia perlahan berjalan ke tepi ranjang, mendekat pada Arsya.

Arsya memandangnya dengan mata bingung, tak mengenalnya pria itu.

Melihat kebingungan Arsya membuatnya memperkenalkan diri “Saya Yasa, saya yang… menarikmu dari jembatan tadi.” jelasnya.

Arsya memalingkan wajah, malu dan marah pada dirinya sendiri. Tapi yang paling kuat adalah rasa hampa itu… yang selalu kembali, bahkan saat ia mencoba lari.

Yasa tidak berkata-kata lagi. Ia kembali duduk pada sofa yang berada di sudut ruangan, memberi ruang untuk Arsya, Tidak mencoba menghakimi. Tidak mencoba memaksa. Ia hanya diam, tapi dengan kehadiran yang tidak menyakitkan.

Dalam hati kecilnya, Arsya bertanya-tanya, Mengapa pria ini menghentikannya? Mengapa seseorang peduli padanya?

Ia tidak tahu jawabannya. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya setelah insiden yang membuatnya putus asa, Arsya tidak merasa benar-benar sendirian.

Dan mungkin, itu adalah permulaan dari sesuatu.

Sesuatu yang belum ia pahami.

Sesuatu yang akan banyak mengubah hidupnya untuk selamanya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
Alfpaint
Cerita pertama aku, jangan lupa vote ya.....
2025-09-12 19:53:55
1
25 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status