Mereka tiba di Rawasinga menjelang petang.
Langit bergelayut jingga pucat, memandikan bukit dan reruntuhan rumah dengan warna tembaga muram. Desa itu sunyi—terlalu sunyi. Sebagian rumah terlihat utuh, sebagian lain nyaris roboh, ditelan lumut dan akar. Angin berhembus lambat, membawa aroma daun basah dan tanah yang lama tidak dijamah manusia.
“Tempat ini... seperti dilupakan dunia,” bisik Ayu, mengedarkan pandangan.
“Bukan dilupakan,” sahut Rakasura pelan. “Tapi ditinggalkan.”
Tirta mendekatkan tombaknya, waspada. “Kita masuk nggak nih? Aku bisa rasa udara di sini aneh.”
Saat mereka ragu-ragu di gerbang desa yang terbuat dari bambu lapuk, seorang lelaki tua muncul dari bal
Perjalanan menuju Puncak Senyap dimulai di bawah langit kelabu. Tidak ada burung, tidak ada angin, hanya sunyi yang begitu padat hingga suara langkah kaki pun terdengar seolah menentang kehendak alam.Rakasura berjalan paling depan. Di pergelangan tangannya, gelang yang kini bersatu sempurna memancarkan sinar tenang, seolah bernafas bersama bumi. Setiap langkahnya terasa seperti menjelajahi bagian terdalam dari dirinya sendiri.Ayu dan Tirta mengikuti di belakang, langkah mereka selaras, mata mereka menatap lurus ke depan. Tak ada candaan dari Tirta kali ini. Tak ada pertanyaan dari Ayu. Semuanya seperti tahu: inilah bagian akhir dari perjalanan yang telah terlalu lama menyimpan beban tak bernama.Mereka tiba di sebuah jalan setapak batu yang menanjak tajam, membelah hutan cemara kecil yang meranggas. Udara semakin
Langit cerah menggantung di atas lembah saat Rakasura, Ayu, dan Tirta menuruni sisi lain dari Puncak Senyap. Tak ada lagi pusaran kehendak atau bisikan suara lama. Yang ada hanya langit biru, awan berarak perlahan, dan angin yang kini kembali terasa seperti milik dunia.Mereka berjalan dalam diam untuk waktu yang cukup lama. Tidak karena tidak ada yang ingin dikatakan, tapi karena kata-kata belum mampu menyamai beban dari peristiwa yang baru mereka lewati. Langkah kaki di atas tanah berbatu menjadi satu-satunya suara yang terus menyertai.Barulah ketika lembah mulai terbuka menjadi padang rumput yang akrab, Tirta menyahut pelan, “Kukira setelah menyelamatkan dunia, kita dapat sambutan karpet merah dan piring emas.”Ayu terkekeh. “Kalau ada karpet merah di sini, pasti sudah jadi alas kandang kambing.”Rakasura hanya tersenyum tipis. Tapi meski tak berkata apa-apa, matanya tampak lebih ringan. Beban yang dulu menggelayut di pundaknya kini seolah melebur ke dalam langkahnya.Mereka menga
Pagi berikutnya, kabut belum sepenuhnya terangkat dari lembah ketika Rakasura, Ayu, dan Tirta meninggalkan dataran Napas Pertama. Angin mengalir tenang, tak lagi berdesir seperti semalam, seolah dunia memberi ruang untuk mereka berjalan tanpa gangguan.Mereka menuju barat—ke wilayah yang selama ini tidak disebut dalam peta maupun dongeng. Wilayah yang dijauhi oleh para pelancong, bukan karena bahaya... tapi karena dilupakan. Sebuah tanah tak bernama yang menurut Rakasura adalah tempat kehendak keempat tertanam: Tanah Yang Mengubur.“Ini... bagian terakhir?” tanya Tirta sambil memanggul kantung bekalnya.“Bukan,” jawab Rakasura. “Tapi ini bagian yang akan membuat kita memilih.”Ayu mengernyit. “Memilih apa?”“Apakah kita masih sanggup memikul semuanya, atau menyerahkannya pada orang lain.”Perjalanan mereka memakan waktu dua hari penuh. Mereka menyeberangi sungai besar, mendaki bukit sunyi, dan menyusuri padang ilalang tinggi yang nyaris menelan tubuh. Di hari ketiga, medan berubah: ta
Hari telah berganti. Mereka kini berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah keluar dari hutan Tendala, meninggalkan tempat suci penyimpan api dan suara-suara lama yang telah dibebaskan. Tapi meski cahaya pagi menyambut mereka, hati Rakasura, Ayu, dan Tirta tidak sepenuhnya ringan.“Dengar, aku tahu kita sudah sering bertemu hal aneh,” Tirta membuka pembicaraan sambil mengunyah potongan buah asam hutan. “Tapi bisikan tadi malam? Yang kayak suara dari makam zaman purba? Itu... beda.”Ayu berjalan pelan di sampingnya, wajahnya masih terlihat muram. “Bukan hanya aneh. Itu menyakitkan. Seolah ada sesuatu dari dalam diri kita yang ikut bicara.”“Karena itu bukan hanya kenangan orang lain,” Rakasura menjawab tanpa menoleh. “Itu kenangan dunia. Dan ketika dunia mengi
Pagi di hutan Tendala datang dengan perlahan. Kabut bergulung di antara pohon-pohon tua, membawa aroma tanah basah dan serbuk bunga liar yang hanya mekar di malam hari. Tapi pagi ini terasa berbeda. Langit tak benar-benar cerah, namun juga tak sepenuhnya mendung. Ada getaran halus di udara, seperti bisikan yang belum diucapkan.Rakasura berdiri di luar kuil yang mereka tinggalkan malam sebelumnya. Lentera merah telah padam, tapi bayangannya masih tertinggal di matanya. Ia tahu, sesuatu telah terbuka. Sesuatu yang tidak bisa ditutup kembali.Ayu datang dari arah sungai kecil, membawa air segar dalam tabung bambu.“Kau tidak tidur sama sekali?” tanyanya.Rakasura menggeleng. “Bukan karena takut. Tapi karena setiap kali aku pejamkan mata, suara itu kembali
Setelah peristiwa di mata air suci, nama Rakasura perlahan menyebar di antara desa-desa lembah timur. Bukan sebagai dewa, bukan pula sebagai pahlawan, tapi sebagai pelintas yang membawa keseimbangan. Orang-orang menyebutnya "Yang Membawa Cahaya di Tangan".Namun gelar-gelar itu tidak pernah menyentuhnya. Rakasura tetap berjalan seperti sebelumnya—senyap, teguh, dan waspada. Karena ia tahu, setiap ketenangan adalah awal dari ujian baru.Mereka bertiga kini melanjutkan perjalanan ke utara, menuju kawasan hutan belantara yang dikenal sebagai Tendala—wilayah luas yang belum pernah dijamah kerajaan manapun. Di sana, menurut petunjuk dari benih cahaya Adaka, ada jejak-jejak pertama dari sekte bayangan.“Katanya daerah itu bahkan peta pun enggan menyentuh,” celetuk Tirta sambil menggigit buah mangga
Tiga hari setelah mereka meninggalkan Sabana Sangsaka dan menetap sementara di Desa Sumberkaya, ketenangan mulai terasa seperti bagian dari dunia mereka. Tapi seperti semua hal yang terlalu damai, sesuatu yang gelisah mulai menyusup.Rakasura duduk sendirian di beranda rumah bambu, menatap cahaya senja yang membelah kabut tipis di kaki bukit. Tangannya menggenggam kain tenun pemberian warga, tapi pikirannya tak berada di sana. Gelang di lengannya, meski diam, seperti mengingatkannya bahwa waktu mereka tak bisa berlama-lama.Ayu datang membawa dua cangkir air rebusan akar. “Aku belum pernah melihatmu sepagi ini tidak bermeditasi.”“Aku mencoba,” jawab Rakasura pelan. “Tapi hari ini... pikiranku tidak bisa diam.”“Kau mimpi buruk l
Langit telah kembali tenang. Setelah cahaya, setelah tameng putih menahan gelombang merah, setelah suara-suara dari masa lalu menggema... akhirnya hanya ada keheningan.Mereka bertiga berjalan menyusuri lereng yang mengarah ke timur, turun dari Sabana Sangsaka menuju daratan yang lebih hijau. Di bawah sana, lembah-lembah mulai hidup kembali. Sungai mengalir jernih, burung-burung bernyanyi, dan warna mulai kembali pada dedaunan.Tirta mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, lalu menjatuhkannya sambil mendesah puas. “Akhirnya tempat yang gak menyeramkan. Aku bisa tidur di rerumputan tanpa mimpi diserang bayangan!”Ayu tersenyum, kali ini tidak setipis biasanya. “Mungkin kita memang butuh istirahat. Warga desa pun berhak cuti, apalagi kita.”Rakasu
Langit telah pecah.Bukan pecah seperti badai atau perang petir. Tapi retak perlahan, seperti kulit lama yang mengelupas dari tubuh yang tumbuh. Retakan itu membentang di atas Sabana Sangsaka, membentuk celah cahaya yang tak menyilaukan—justru terasa menatap balik. Seolah langit itu bukan hanya langit, tapi mata. Mata tua yang selama ini tertutup.Rakasura berdiri di tengah sabana, gelang di lengannya kini memancarkan cahaya keperakan yang tenang, tapi dalam. Ia seperti diselimuti aura tak kasatmata yang membuat angin pun tak berani menyentuhnya.Tirta berjalan perlahan ke sisinya. “Kau... baik-baik saja?”“Tidak,” jawab Rakasura jujur. “Tapi aku siap.”Ayu berdiri tak jauh, matanya m