Sore itu, lapangan di dekat balai desa menjadi tempat berkumpulnya beberapa pria dan wanita desa. Mereka berdiri dalam barisan yang tidak rapih, wajah mereka risau penuh keraguan. Sebagian besar dari mereka membawa alat-alat seadanya, mulai dai tongkat kayu, cangkul, bahkan gagang sapu yang sudah tua.
"Dengar," suara lantang Rakasura memecah suasana canggung. Ia berdiri di depan mereka dengan sikap tegas, memandangi setiap wajah yang ada. "Aku tahu kalian bukan pejuang, tetapi kalian bisa belajar untuk melindungi diri dan keluarga kalian. Tidak ada yang terlalu lemah jika memiliki tekad. Bersama-sama, kita bisa menjaga desa ini dari ancaman apa pun." Beberapa orang saling berpandangan, lalu mulai mengangguk pelan. Semangat Rakasura tampaknya mulai menghapus keraguan mereka. "Ambil tongkat atau apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata. Kita akan berlatih!" Latihan dimulai dengan gerakan dasar mulai dari agaimana cara memegang senjata, posisi bertahan, dan langkah sederhana untuk menghindar. Rakasura memperhatikan mereka satu per satu, memberikan koreksi dengan sabar. Meski banyak yang canggung dan sering kali salah, Rakasura tidak menunjukkan rasa kesal. Dari kejauhan, Ayu memperhatikan dengan saksama. Senyum kecil terbit di wajahnya saat melihat semangat para penduduk mulai terlihat lihai dalam melakukan gerakan-gerakan yang diajarkan. "Dia benar-benar berbeda," gumam Ayu pelan. Latihan berlanjut hingga matahari hampir tenggelam. Meski lelah, para penduduk desa tampak lebih percaya diri daripada sebelumnya. "Latihan selesai untuk hari ini," Rakasura mengumumkan. "Kalian sudah berkembang cukup cepat. Teruskan semangat ini, dan kita pasti bisa menjaga desa ini tetap aman." Para penduduk desa tersenyum dan saling memberi semangat sebelum bubar. Saat malam mulai turun, Rakasura berdiri di tengah lapangan kosong, memandang ke langit yang perlahan gelap. Dalam hati, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengecewakan kepercayaan mereka. Malam itu, langit desa tampak begitu cerah, dipenuhi oleh bintang-bintang yang berkilauan. Namun, di balik keindahan tersebut, Rakasura merasakan sesuatu yang mengusik pikirannya. Suasana desa yang semula damai seolah menyimpan misteri yang belum terungkap. Rakasura duduk di depan balai desa, ditemani Ayu yang membawakan secangkir teh hangat. Wajah Ayu tampak cerah di bawah sinar bulan, meskipun ada sedikit gurat kelelahan setelah hari yang panjang. "Kau tampak memikirkan sesuatu," ujar Ayu, menatap Rakasura yang diam menatap langit. "Ada sesuatu yang aneh," jawab Rakasura tanpa mengalihkan pandangan. "Aku merasa desa ini bukan sekadar sasaran acak bagi siluman. Ada sesuatu yang mereka cari." Ayu terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan itu. "Tapi, desa ini hanyalah desa kecil. Apa yang bisa menarik perhatian mereka?" "Itulah yang harus kita cari tahu." Rakasura beralih menatap Ayu, sorot matanya serius. "Apa kau pernah mendengar cerita atau legenda tentang desa ini?" Tanya Rakasura menyelidik. Ayu berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Tidak ada yang spesial. Desa ini hanya tempat tinggal para petani. Tidak ada pusaka atau kekayaan yang bisa diincar." "Tidak semua harta berupa emas atau benda" gumam Rakasura kepada dirinya sendiri. Percakapan mereka terhenti saat suara langkah kaki mendekat. Kepala desa muncul dari balik bayangan, membawa obor yang menyala terang. Wajahnya tampak muram, seolah membawa berita buruk. "Rakasura! Aku harus memberitahumu sesuatu." Panggil kepala desa. "Ada apa?" Rakasura segera berdiri, merasa ada yang mendesak. Kepala desa mendekat, menurunkan suaranya. "Baru saja aku mendapat kabar dari desa sebelah. Mereka juga diserang oleh siluman beberapa malam lalu." "Apakah pola serangannya sama?" Ucap Rakasura sedikit terkejut. "Ya. Mereka menyerang dengan cepat, merusak segalanya, lalu menghilang sebelum ada yang bisa melawan." Jelas kepala desa "Berapa korban?" "Beberapa terluka, tetapi untungnya tidak ada yang tewas. Namun, ada sesuatu yang aneh. Beberapa penduduk desa sebelah melaporkan melihat bayangan besar melayang di atas mereka. Mereka menggambarkannya sebagai makhluk yang tampak seperti... burung besar dengan mata menyala merah." Kepala desa menjawab, lalu melanjutkan dengan nada lebih lirih. " Ayu terkejut mendengar itu. "Itu pasti siluman yang lebih kuat!" "Itu mungkin pemimpin mereka, dan jika benar, maka kita harus bersiap untuk sesuatu yang lebih besar." Gumam Rakasura. "Aku akan memastikan penduduk tetap waspada. Tapi, tolong, lakukan apa pun yang kau bisa untuk melindungi desa ini." Kepala desa mengangguk pelan sembari menepuk pundak Rakasura "Aku tidak akan membiarkan mereka menguasai desa ini." Ucap Rakasura kepada kepala desa dengan tatapan tegas. Setelah kepala desa pergi, Rakasura kembali duduk, pikirannya penuh dengan rencana dan strategi. Ayu, yang masih berada di sana, memandangnya dengan kekhawatiran. "Kau yakin bisa melawan mereka, Rakasura?" tanyanya pelan. "Aku sudah menghadapi banyak hal yang lebih buruk daripada ini. Tapi aku tidak bisa melakukannya sendiri." Rakasura tersenyum samar. "Apa yang bisa kulakukan untuk membantu?" Rakasura menatap Ayu sejenak, lalu berkata, "Aku butuh semua informasi yang bisa kau dapatkan tentang desa ini. Cerita lama, legenda, atau apa pun yang mungkin memberi petunjuk. Siluman tidak menyerang tanpa alasan." "Aku akan bertanya kepada penduduk yang lebih tua. Mungkin mereka tahu sesuatu." "Terima kasih, Aku akan berjaga malam ini. Siluman bisa menyerang kapan saja." Rakasura bangkit berdiri, membawa pedangnya.Langkah-langkah mereka bergema di lorong bercahaya samar. Setelah ujian Tirta berakhir, jalan yang terbuka kini membawa mereka semakin jauh ke dalam perut kabut. Tidak ada suara selain detak langkah dan bisikan samar dari dinding-dinding kabut yang berdenyut, seakan tiap molekul udara memiliki ingatan sendiri. Tirta masih terengah, wajahnya pucat, namun matanya menatap jauh ke depan dengan tekad baru yang sulit diuraikan dengan kata-kata.Rakasura berjalan di depan, cahaya gelang di pergelangannya kini berdenyut lebih konsisten, seakan mengenali bahwa salah satu simpul ujian telah dilewati. Ayu mengikuti di samping Tirta, sesekali menoleh padanya, memastikan pemuda itu benar-benar pulih. Namun jauh di lubuk hatinya, Ayu merasa resah—seolah giliran dirinya semakin dekat.Lorong itu melebar menjadi ruang besar. Atapnya menjulang tak terlihat, seakan malam itu sendiri melengkung di atas mereka. Di tengah ruangan berdiri sebuah kolam dangkal, airnya tenang tanpa riak
Jalan cahaya di balik Gerbang Awan terasa tidak berujung. Rakasura, Ayu, dan Tirta seperti melangkah dalam lorong tanpa waktu. Tidak ada tanah yang jelas, tidak ada langit yang bisa dipastikan. Hanya pijakan cahaya yang muncul setiap kali kaki mereka terangkat, seolah lorong itu membentuk dirinya seiring keberanian mereka melangkah.Kabut tipis menyelimuti segalanya, tapi kali ini bukan kabut lembap dari hutan. Ia berkilau, seperti uap perak yang melayang, kadang berputar membentuk pusaran singkat, lalu menghilang tanpa jejak. Sesekali, gema langkah mereka tidak hanya terdengar di bawah, tapi juga di samping dan atas, seakan suara itu memantul dari dinding-dinding tak kasatmata."Aku benci tempat ini," gumam Tirta dengan suara rendah. Ia memeluk tubuhnya sendiri, meski udara di sini tidak benar-benar dingin. "Rasanya... seperti ada yang berjalan di sampingku, tapi tidak kelihatan."Ayu menoleh, tatapannya penuh kewaspadaan. "Kau tidak salah. Tempat ini bukan sek
Kabut menyingkir perlahan, membuka ruang asing yang seolah-olah tak terikat lagi pada hutan yang baru saja mereka tinggalkan. Jalan bercahaya di bawah kaki Rakasura, Ayu, dan Tirta bergetar pelan, seakan menegaskan bahwa setiap langkah mereka sedang dicatat oleh sesuatu yang lebih tua dari ingatan manusia. Aroma lembap tanah lenyap berganti dengan wangi samar—paduan antara kemenyan terbakar dan udara besi. Mereka berada di dunia lain, sebuah lorong yang tidak lagi tunduk pada hukum bumi.Rakasura berjalan paling depan. Mata emasnya menyapu dinding kabut yang perlahan memadat menjadi permukaan cermin raksasa. Tak hanya satu—ratusan, ribuan. Cermin-cermin itu tersusun di sepanjang jalan, berdiri tegak dalam lengkungan yang tak pernah berakhir. Ada yang setinggi manusia, ada pula yang menjulang seperti menara. Namun anehnya, tak ada satu pun cermin yang benar-benar memantulkan diri mereka sebagaimana mestinya. Bayangan yang muncul di balik kaca seolah hidup dengan ke
Embun pagi menempel di setiap permukaan, membuat jalur batu yang mereka lalui licin seperti kaca. Kabut tipis menggantung rendah, membentuk tirai abu-abu yang menyembunyikan hutan di kiri dan kanan jalur. Dari kejauhan terdengar suara burung-burung yang baru bangun, suaranya samar, seakan ragu-ragu untuk menembus keheningan. Udara dingin menusuk hingga ke tulang, memaksa setiap tarikan napas menjadi uap yang cepat menghilang.Rakasura berjalan paling depan, langkahnya mantap walau mata tetap awas. Ia menunduk sesekali, memperhatikan bekas-bekas kaki yang tercetak samar di permukaan batu. Ada yang baru, ada pula yang telah mulai terhapus hujan. "Kita tidak sendirian di jalur ini," ucapnya tanpa menoleh.Tirta yang berjalan di belakangnya menegakkan tubuh, wajahnya serius untuk ukuran dirinya yang biasanya ringan. "Bekas kaki binatang, atau manusia?" tanyanya. Suaranya tidak keras, seakan takut mengganggu kabut yang rapuh.Rakasura mengangguk pelan. "Manusia. Lihat bentuknya, masih jela
Malam turun dengan lambat, seakan enggan menelan cahaya terakhir dari senja yang masih menggantung di ujung cakrawala. Langit berubah menjadi kanvas berlapis, ungu bercampur jingga lalu meredup ke dalam biru pekat yang akhirnya ditutupi kilauan bintang. Di lembah sunyi yang baru saja mereka tinggalkan, gema suara masih terasa samar, bagai jejak melodi yang enggan hilang sepenuhnya.Rakasura berjalan paling depan, langkahnya mantap tapi tatapannya tak pernah benar-benar lepas dari kegelapan di sekeliling. Gelang di pergelangannya berdenyut dengan cahaya tipis, seolah merespons sesuatu yang tak terlihat oleh mata biasa. Ayu berjalan tepat di belakangnya, jari-jarinya sesekali menyentuh daun-daun yang bergoyang diterpa angin malam. Tirta menyusul di belakang, menggenggam tombaknya dengan erat, meski wajahnya tampak lebih sibuk memandangi bintang daripada jalan setapak."Sunyi di sini terasa berbeda," gumam Tirta sambil menoleh ke kanan dan kiri. "Bukan seperti di lembah t
Langit sore menjelma kanvas oranye yang luas, membentang di atas hutan yang seolah tak pernah habis. Awan-awan tipis melayang perlahan, menyerap warna senja, sementara cahaya matahari terakhir jatuh di sela dahan-dahan tinggi. Jalan setapak yang mereka lalui menurun dan menanjak silih berganti, seakan menguji kesabaran serta kekuatan kaki. Namun di balik itu, ada kedamaian yang sulit dijelaskan: suara alam telah kembali, dan setiap desir angin membawa cerita yang pernah hilang.Rakasura berjalan di depan, langkahnya mantap walau bahunya menanggung beban yang tak terlihat. Gelang di pergelangannya berdenyut halus, merespons perubahan langit seolah ikut bernapas bersama dunia. Ia tak lagi melihat benda itu hanya sebagai tanda hukuman, melainkan sebagai jembatan. Di belakangnya, Ayu dan Tirta menyusuri jalan dengan kecepatan lebih lambat, mata mereka sibuk menyapu pemandangan di sekitar. Sesekali, Ayu berhenti untuk menyingkirkan ranting atau batu agar Tirta tidak tersandung.