INICIAR SESIÓNMalam semakin larut, tetapi rasa waspada tetap menyelimuti desa. Rakasura berdiri di tengah lapangan desa, matanya tajam mengamati setiap sudut gelap. Suara jangkrik yang monoton seakan mengiringi pengamatan Rakasura, sementara udara malam yang dingin terasa menusuk kulit.
Ia memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan kehadiran apa pun yang asing. Namun, yang ia rasakan hanyalah keheningan selain suara jangkrik dan binatang malam lainnya. Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Rakasura membuka matanya dengan cepat, mencengkeram gagang pedangnya. "Mereka datang," Ucap Rakasura memperingatkan beberapa orang yang berjaga dengannya. Suara kentongan pertanda bahaya dibunyikan, para warga berjaga di rumah-rumah mereka. Mereka mempersenjatai diri dengan alat alat bertani yang tersedia di rumah. Beberapa warga yang mempunyai senjata yang memadai keluar untuk membantu kelompok Rakasura Dari kejauhan, suara langkah kaki berat mulai terdengar. Bayangan-bayangan besar muncul dari balik pepohonan, siluet mereka tampak menyeramkan di bawah cahaya bulan. Rakasura bergerak maju, pedangnya bersinar lembut, seolah menyerap cahaya bulan. "Jika kalian mencari perlawanan, kalian datang ke tempat yang tepat” Ucap Rakasura dengan percaya diri Siluman-siluman itu mendekat, mengeluarkan suara geraman yang mengerikan. Kali ini, jumlah mereka jauh lebih banyak dan ukuran yang lebih beragam dibandingkan malam sebelumnya. Tanpa ragu, Rakasura melangkah maju, menghadapi mereka dengan keberanian seorang dewa. Pertempuran malam itu adalah awal dari tantangan yang jauh lebih besar, dan Rakasura tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil akan semakin membawanya mendekati takdirnya. Rakasura menebas siluman-siluman yang besarnya satu setengah kali laki-laki dewasa sementara yang lainnya menyerang siluman siluman kecil agar tak masuk ke rumah rumah warga. Pertempuran kala itu cukup menguji latihan para warga sedangkan Rakasura— menikmati pertarungan malam itu, ia perlahan menyesuaikan diri dengan batas kemampuannya yang sedang tidak dalam mode dewa. Pertempuran malam itu selesai tanpa memerlukan waktu yang panjang. Para warga juga semakin bernyali dan tak ragu dalam bertarung melawan siluman. Fajar mulai menyingsing di desa, mewarnai langit dengan pancaran oranye yang lembut. Kabut tipis menyelimuti tanah, menciptakan suasana yang damai namun tetap mencekam setelah malam penuh ketegangan. Rakasura berdiri di depan balai desa, memperhatikan penduduk yang mulai keluar dari rumah mereka. Wajah-wajah mereka penuh keletihan, tetapi ada sedikit harapan karena desa masih utuh. Ayu menghampirinya, membawa nampan dengan semangkuk bubur dan segelas air. "Kau belum makan sejak tadi malam," katanya lembut, meletakkan nampan di atas meja kayu. "Terima kasih," Rakasura menjawab singkat. Ia mengambil mangkuk itu. Ia duduk di kursi panjang, mencicipi bubur hangat tersebut. Meski sederhana, makanan itu terasa nikmat setelah malam yang panjang. "Semalam kau hebat," Ayu memulai percakapan, duduk di sebelahnya. "Penduduk desa merasa lebih aman denganmu di sini." "Ini baru permulaan," Rakasura menjawab sambil menatap ke arah lapangan desa. "Siluman-siluman itu pasti akan kembali. Kita harus bersiap." Ayu mengangguk, lalu mengeluarkan sebuah buku kecil dari saku bajunya. "Aku bertanya pada Pak Darmo pagi ini. Dia memberiku ini. Katanya, ini adalah catatan lama tentang desa kita." Rakasura mengambil buku itu dan membuka halamannya yang sudah tua dan rapuh. Tulisannya hampir pudar, tetapi masih bisa terbaca. Di dalamnya terdapat berbagai cerita tentang desa, mulai dari asal-usulnya hingga beberapa mitos yang pernah beredar. Salah satu halaman menarik perhatiannya. Di sana tertulis tentang gelang kayu kuno yang dianggap sebagai jimat pelindung desa. "Apa kau tahu tentang ini?" tanyanya sambil menunjukkan halaman tersebut pada Ayu. Ayu mengangguk pelan. "Iya, aku pernah mendengar cerita itu. Katanya, gelang itu diberikan oleh seorang dewa sebagai tanda perlindungan. Tapi, itu hanya legenda, bukan?" "Legenda seringkali memiliki kebenaran di baliknya," Rakasura berkata sambil meneliti lebih jauh. Ia mendapati deskripsi gelang itu sangat mirip dengan gelang yang ia cari. *** Setelah sarapan, Rakasura memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh. Berdasarkan catatan di buku itu, gelang tersebut disimpan di suatu tempat di hutan yang berada di pinggiran desa, di bawah sebuah pohon besar yang disebut Pohon Raksasa. Ayu bersikeras untuk ikut, meskipun Rakasura sempat menolak. "Aku mengenal hutan ini lebih baik darimu," Ayu bersikukuh. "Kalau kau tersesat, siapa yang akan membawamu kembali?" "Baiklah, tapi tetaplah di belakangku. Jika ada bahaya, kau harus kembali ke desa." Rakasura akhirnya mengalah. Mereka berjalan memasuki hutan yang gelap dan lebat. Cahaya matahari hanya menembus sedikit melalui kanopi pepohonan yang rapat. Suara burung dan serangga menjadi satu-satunya suara yang terdengar. "Jadi, kau benar-benar percaya gelang itu ada?" Ayu bertanya, memecah keheningan. "Aku harus percaya," Rakasura menjawab tegas. "Gelang itu adalah bagian dari diriku. Jika aku bisa menemukannya, aku mungkin bisa mendapatkan kembali kekuatanku sepenuhnya." Ucap Rakasura tanpa sedar mulai membuka dirinya kepada Ayu Ayu terdiam, memikirkan jawaban itu. Ia ingin bertanya lebih banyak, tetapi sesuatu di ekspresi Rakasura membuatnya ragu untuk melanjutkan. Setelah perjalanan panjang, mereka akhirnya tiba di sebuah pohon besar yang menjulang tinggi. Pohon itu tampak tua, dengan akar-akar yang mencuat dari tanah seperti ular raksasa. Di bawahnya, ada sebuah batu besar yang tampak seperti altar. "Inilah tempatnya," Rakasura berkata, mendekati batu itu. Ia memperhatikan ukiran-ukiran di permukaannya, yang menggambarkan sosok seorang dewa yang memegang gelang. Namun, gelang itu tidak ada di sana. Hanya ada jejak kosong di tengah altar, seolah sesuatu telah diambil dari sana. "Apa ini berarti gelangnya sudah hilang?" Ayu bertanya, suaranya penuh kekecewaan. "Seseorang telah mengambilnya dan aku rasa aku tahu siapa." Rakasura menjawab sambil memeriksa sekeliling. "Siapa?" Ayu menatapnya dengan bingung. "Salah satu siluman yang menyerang desa, Mereka tahu gelang ini penting, dan mereka ingin memastikan aku tidak mendapatkannya." Rakasura menjawab, mengingat bayangan besar yang dilihat kepala desa. *** Saat mereka kembali ke desa, matahari sudah hampir terbenam. Penduduk desa mulai menyalakan obor, bersiap menghadapi malam yang mungkin membawa ancaman baru. Rakasura dan Ayu langsung menuju balai desa untuk memberitahu kepala desa tentang temuan mereka. Namun, saat mereka tiba, suasana di sana tampak tegang. "Apa yang terjadi?" Rakasura bertanya kepada seorang penduduk. "Pak Darmo— D-dia hilang! Tidak ada yang melihatnya sejak pagi." Ucapnya dengan ekspresi panik "Dia tidak mungkin pergi jauh tanpa memberi tahu siapa pun," Ayu berkata, panik. "Kita harus mencarinya. Kalau dia diambil oleh siluman, kita mungkin tidak punya banyak waktu." Rakasura langsung bergerak cepat. Dengan cepat, Rakasura mengumpulkan beberapa penduduk untuk membantu pencarian. Ayu bersikeras ikut, meskipun Rakasura memintanya tetap di desa. "Pak Darmo mungkin tahu sesuatu yang penting, Aku tidak bisa hanya diam menunggu." Ucap Ayu meyakinkan Rakasura Rakasura akhirnya setuju, meskipun ia tetap khawatir. Mereka semua menyebar, menyusuri hutan di sekitar desa. Malam semakin gelap, dan suasana menjadi semakin mencekam. Angin bertiup kencang, membawa suara-suara aneh yang membuat bulu kuduk merinding. Tiba-tiba, Rakasura mendengar suara lemah memanggil namanya. "Rakasura..." "Pak Darmo?" Ia langsung berhenti, mencoba mendengarkan lebih jelas. Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. "Rakasura... tolong..." Suara itu terdengar serak. Dengan cepat, Rakasura berlari menuju arah suara itu, sementara Ayu mengikuti di belakangnya. Mereka akhirnya menemukan Pak Darmo tergeletak di tanah, tubuhnya lemah dan penuh luka. "Pak Darmo!" Ayu berteriak, mendekatinya. Rakasura segera memeriksa keadaan pria tua itu. "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini?" Pak Darmo membuka matanya perlahan, suaranya hampir tidak terdengar. "Mereka... mereka datang... mencari... sesuatu..." Sebelum Rakasura sempat bertanya lebih jauh, Pak Darmo pingsan. "Dia butuh perawatan" Ayu berkata cemas. "Kita bawa dia kembali ke desa," Rakasura menjawab, mengangkat tubuh Pak Darmo dengan hati-hati. Namun, dalam hatinya, Rakasura tahu bahwa ini baru permulaan. Siluman-siluman itu semakin agresif, dan waktu mereka untuk bertindak semakin sedikit.Kabut belum sepenuhnya sirna ketika fajar perlahan menjalar di lembah. Cahaya pertama yang menembus sela pepohonan tampak pucat, seperti sinar yang kehilangan keberaniannya setelah malam yang panjang. Rakasura membuka matanya perlahan, mendengar sayup desiran air di kejauhan. Udara dingin masih menusuk, namun tak lagi menggigit. Hening itu terasa berbeda, seolah dunia baru saja menarik napas panjang setelah ketegangan yang tak berujung.Ayu sudah terjaga lebih dulu. Ia duduk di atas batu besar, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya menatap jauh ke arah lembah yang tertutup kabut. Tangan kanannya memegang selendang, sementara tangan kirinya mengusap batu di sampingnya perlahan, seolah sedang menenangkan sesuatu yang tidak kasatmata.Tirta masih tidur, tubuhnya meringkuk di balik jubah yang lembap. Napasnya teratur, sesekali terdengar dengkuran kecil. Rakasura menatapnya sebentar, lalu berjalan mendekati Ayu."Kau tidak tidur sama sekali?" tanyanya pelan.Ayu menggeleng tanpa menoleh.
Setelah gema terakhir dari pertempuran itu sirna, lembah kembali tenggelam dalam diam. Kabut yang tadi terbelah oleh cahaya dan suara kini perlahan menutup lagi, seolah ingin menelan semua yang baru saja terjadi. Bau tanah hangus dan getah terbakar masih menggantung di udara, namun rasa gentar yang tadi menyelimuti mereka kini berganti dengan kelelahan yang dalam.Rakasura berdiri di tengah bebatuan, napasnya teratur tapi berat. Gelang di pergelangannya tampak redup, seperti bara yang hampir padam. Ia menatap ke arah jalur di mana makhluk bayangan terakhir tadi lenyap, lalu menunduk, memandangi tanah yang masih berasap.Ayu berjalan pelan menghampirinya. Raut wajahnya tidak lagi tegang, namun di balik ketenangan itu, ada sorot mata yang lelah dan khawatir. “Kau terluka?” tanyanya perlahan.Rakasura menggeleng. “Tidak. Tapi gelang ini... terlalu banyak menyerap yang seharusnya tidak ia tanggung.”Tirta datang menyusul, wajahnya kotor oleh debu dan abu. Ia mengusap peluh dengan lengan b
Udara di lembah itu diam. Tak ada suara burung, tak ada desir angin. Hanya sisa abu yang melayang perlahan, membentuk pusaran samar di atas tanah. Di tengahnya, Rakasura berdiri dengan tubuh nyaris tak bergerak. Napasnya berat, tapi matanya masih menatap ke arah di mana bayangan dirinya tadi menghilang.Cahaya gelang di pergelangannya kini tenang. Tidak berdenyut, tidak bergetar, seolah sedang menunggu. Tapi di antara keheningan itu, ada sesuatu yang baru—gema halus, seperti bisikan yang datang dari dalam gelang sendiri."Kau sudah menatap dirimu sendiri, Rakasura," suara itu bergaung lembut. Bukan suara asing, melainkan pantulan dari dirinya sendiri. Suara yang pernah ia dengar di masa ketika masih menjadi dewa langit. "Tapi apakah kau sudah mengenali dirimu sepenuhnya?"Rakasura menutup mata. Dalam gelap, ia melihat kilasan masa lalu: istana langit yang runtuh oleh kesombongannya, petir yang ia lempar ke bumi, dan wajah-wajah manusia yang ia remehkan. Lalu berganti menjadi wajah Ayu
Sisa gema pertempuran masih terasa di udara ketika mereka bertiga memasuki ruang yang lebih luas. Cahaya yang berdenyut dari gelang di pergelangan Rakasura memantul di dinding-dinding batu, memperlihatkan relief-relief kuno yang menggambarkan sosok-sosok bersayap dan manusia yang berlutut, tangan terentang ke arah langit. Udara di sini tidak lagi hanya dingin, tetapi sarat getaran, seperti suara yang nyaris terdengar namun menahan diri untuk tidak pecah.Rakasura melangkah pelan. Kakinya menyentuh permukaan lantai yang licin, namun setiap pijakan terasa seolah menyentuh nadi bumi. Gelang di pergelangannya berdenyut makin kencang, seakan mengenali tempat ini. Ayu berdiri di sampingnya, wajahnya pucat namun mata bersinar. Tirta berjalan sedikit di belakang, jemarinya menggenggam pusaka kecil yang diberikan oleh ayahnya dulu."Ini… ruang inti perjanjian lama," gumam Rakasura lirih. "Semua jalan yang kita tempuh mengarah ke sini." Kata-katanya tidak sekadar penegasa
Kabut tebal yang tercabik oleh ledakan pertemuan mereka dengan Makhluk Bayangan perlahan menutup kembali, seperti luka yang berusaha sembuh. Bau tanah basah bercampur darah samar masih tertinggal di udara. Sisa-sisa energi hitam berputar di atas tanah, menari-nari sebelum lenyap menjadi percikan cahaya dingin. Di tengahnya, Rakasura berdiri tegak dengan napas tersengal. Gelang di pergelangannya berdenyut seirama dengan jantungnya, memancarkan sinar biru pucat yang kini terasa lebih berat daripada sebelumnya.Ayu menahan tubuhnya dengan tongkat kayu yang ditemukan di sela bebatuan. Bibirnya memucat, namun matanya tetap menyala. "Itu... baru bayangannya saja," ucapnya lirih. "Seperti penjaga awal. Kita bahkan belum sampai ke inti."Tirta menatap sekeliling, memegangi bahu yang tadi sempat tercakar. "Kalau ini baru awal, aku tidak bisa membayangkan apa yang menunggu kita nanti." Ia berusaha tertawa kecil, tapi suaranya teredam oleh kabut.Rakasura mengangkat wajahn
Langkah mereka membawa ke sebuah ruang lapang yang tak ada di peta gunung mana pun. Permukaan tanahnya rata, seperti dipahat tangan raksasa, dan setiap sisi dipenuhi tiang batu menjulang seperti senar instrumen purba. Kabut yang tadi lembut kini berputar-putar, membentuk pusaran besar di atas kepala. Di tengah pusaran itu, seberkas bayangan menggantung—makhluk itu seakan tak memiliki bentuk tetap, hanya gumpalan gelap dengan ujung-ujung menjulur seperti tinta yang larut dalam air.Rakasura berhenti di bibir lapangan. Cahaya gelangnya berdenyut cepat, kali ini panasnya terasa sampai ke tulang. Ayu menutup telinga, karena dari bayangan itu terdengar bunyi rendah yang bukan suara manusia atau hewan; bunyi yang lebih mirip gema dari perjanjian lama yang patah. Tirta melangkah maju satu langkah, lalu terhenti. "Itu dia… makhluk yang selalu mengikuti kita." Suaranya lirih.Bayangan itu memanjang, menjalar ke tiang-tiang batu. Tiap kali menyentuh permukaan, muncul kilatan gambar: Rakasura di







