Harta, takhta dan cinta, tiga bagian penting yang tak pernah lepas dari kehidupan manusia. Setiap hasrat dan keinginan selalu menuntut pengorbanan. Kadang menuntut tumbal, dan tak jarang semuanya berujung tragis. Namun apa jadinya jika dirimu menjadi tumbal dari hasrat orang lain? Itulah yang terjadi pada Rangkahasa, menjadi tumbal atas nafsu orang lain yang tak ada hubungan dengan dirinya. Meski dia selamat, dia sudah terlanjur mengenal sang iblis dan sang iblis pun mengenalnya. Seakan pertemuan mereka seperti sebuah takdir yang sudah digariskan. Mampukah dia lari dari takdirnya dan lepas dari jeratan sang iblis? Ini adalah cerita seorang pemuda ksatria yang tidak hanya berusaha bertahan di tengah ambisi dan hasrat manusia, namun juga perjuangannya untuk bertahan dan lepas dari belenggu sang iblis yang terus mengikutinya.
View MoreWanita itu menatap kelu, rasa sakit setelah melahirkan kedua putranya bahkan masih terasa. Tubuhnya lemah, namun ia sudah dihadapkan pada pilihan yang begitu sulit. Tak pernah terbayang di benak Nares jika ia harus memilih satu diantara kedua bayi kembarnya itu.
Nares menggeleng pelan, seolah menolak perintah suaminya. "Aku tidak bisa, Megan." Ucap Nares lirih. Kebahagiaan yang seharusnya Nares dapatkan justru berubah menjadi duka yang dalam. "Aku tidak pernah memintamu untuk melahirkan bayi kembar, Nares. Karena aku hanya membutuhkan satu putra untuk menjadi penerusku. Pewaris De Aluna Company!" Megan mengatakan itu dengan tegas, tak sedikitpun ada rasa belas kasihan di dalam dirinya. "Tapi mereka adalah putramu, Megan. Tidak bisakah kau berubah pikiran?" Nares menitikkan air matanya, suaranya begitu serak saat ia memohon kepada Megan. "Peraturan ini sudah ada sejak dulu, Nares. Tak seorangpun boleh mengabaikannya. Kau tidak berhak untuk memberi pertimbangan!" Lelaki tampan dengan rahang yang tegas itu berjalan mendekati kedua bayinya, tangannya yang tampak kekar terulur untuk menyentuh mereka. "Kau tega, Megan!" Megan tersenyum tipis, ia lantas menatap Nares dengan dingin, "Jangan berbantah denganku, aku benci itu!" "Lalu? Kau akan membuang salah satunya?" Nares bergerak, dahinya berkerut menahan sakit di tubuhnya. Wanita itu menatap ke dua bayi lelaki yang tertidur pulas di dalam sebuah box bayi, wajah keduanya begitu teduh dan tenang. "Bukan membuangnya, hanya menjauhkan satu diantara mereka. Sebentar lagi mereka akan datang, Nares." Nares terkejut, "Siapa?" "Orang yang akan membawa salah satu diantara mereka. Mereka akan membesarkan putramu dengan baik. Kau tidak perlu cemas, Nares." Megan kembali menatap kedua bayi itu. Bayi - bayi tampan yang lahir identik. "Lagipula mereka begitu mirip, Nares. Kau tidak akan merasa kehilangan." Nares menatap Megan tak percaya, ia bahkan belum menyentuh kedua putranya itu. "Megan, setidaknya beri aku waktu untuk bersama mereka, aku mohon padamu." "Tidak, Sayang. Salah satu diantaranya tidak boleh berada di sini terlalu lama. Tak seorangpun boleh tahu kalau kau melahirkan bayi kembar!" Nares memalingkan wajahnya, ia tak ingin melihat lelaki itu lebih lama lagi. Saat ini, Nares merasa jika dirinya sedang berhadapan dengan pria asing. Ia sama sekali tak mampu memahami Megan. "Mereka sudah datang, Tuan." Wanita paruh baya yang membantu Nares melahirkan itu berkata lirih kepada Megan seraya membuka pintu. "Megan, aku tidak bisa menyerahkan putraku kepada orang asing!" Kata Nares nyaring dan berusaha untuk bangun, tapi Nares kembali terduduk dan menahan sakit yang masih mendera tubuhnya itu. "Nares, kau harus menjaga dirimu itu. Tetaplah berada di tempat tidurmu!" Gertak Megan dan meminta wanita paruh baya itu untuk menyerahkan salah satu dari bayinya. "Tidak! Aku mohon, jangan lakukan itu!" Nares menangis, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya terlalu sakit dan lemah untuk dapat membawa putranya kembali. Ia hanya bisa menatap kepergian putranya yang bahkan belum sempat ia sentuh. ... Megan mengecup pipi Nares, membuat wanita muda itu membuka matanya. Entah sudah berapa lama Nares tertidur di dalam tangisnya, matanya berkantung karena air mata yang tak bisa berhenti mengalir itu. "Apa kau merasa lebih baik, Sayang?" Megan bertanya lembut, bola matanya menyapu wajah pucat Nares. "Aku ingin putraku, Megan." Nares berkata serak, ditatapnya ruangan kamar yang terasa begitu sepi dan dingin. Sedingin hati wanita itu. "Pengasuh bersama Thanos, kau akan bertemu dengannya setelah tubuhmu kembali pulih, Sayang." "Thanos?" Nares menautkan keningnya. "Nama putra tunggal kita, Nares. Kuharap kau menyukai nama yang kuberikan padanya." Nares menggeleng tak percaya. Ia bahkan menyebut Thanos sebagai putra tunggalnya. "Lalu, bagaimana dengan dia? Dia juga putramu. Kau pasti memberinya nama, kan, Megan?" Megan mengusap kepala Nares, ia menatap istrinya tajam, "Kau harus melupakan dia. Thanos adalah putra pilihanku, Nares. Tidak ada bayi lain yang lahir di rumah ini selain Thanos. Kau mengerti?" Nares menutup mulutnya, sekali lagi air mata itu mengalir dan Megan tak menyukainya. "Berhenti menangis! Aku benci melihatnya, Nares!" Megan beranjak dari sisi wanita itu, meninggalkan Nares begitu saja. Tidak ada rasa belas kasih di dalam diri Megan, lelaki tampan itu kini menunjukkan siapa dirinya.... "Kau mendapat kabar, Sera?" Nares menatap pelayan pribadinya itu dengan penuh harap, tapi lagi - lagi ia kembali kecewa saat melihat raut sedih di wajah gadis itu. "Saya sudah berusaha, tapi tak seorangpun pernah melihat anak itu. Mereka bahkan menertawakan saya karena terus mencari Tuan muda yang sebenarnya berada di rumah ini, Nyonya." Nares memejamkan matanya sesaat, berulang kali terdengar tarikan napas berat dari mulutnya. "Ini sudah lima tahun, kenapa tak seorangpun di kota ini yang melihatnya? Sera, aku takut kalau putraku..." "Jangan katakan apapun, dia pasti baik-baik saja. Mungkinkah dia tidak berada di kota ini, Nyonya?" Nares membuka mulutnya, kenapa ia tak pernah memikirkan itu. Sera benar, mereka pasti membawa putranya ke tempat yang cukup jauh. Anak itu pasti tidak berada di kota Valencia ini. Hati Nares semakin pedih dengan hal itu, hubungannya dengan Megan juga tak berjalan dengan baik. Rasanya Nares telah kehilangan rasa cintanya untuk Megan, ia bahkan tak mampu lagi merasakan sentuhan - sentuhan yang diberikan lelaki itu padanya. "Sepertinya aku benar - benar kehilangan dia. Aku bahkan tidak tahu siapa nama anak itu, Sera. Apakah dia masih hidup atau..." "Nyonya, aku yakin dia baik - baik saja. Jangan berkecil hati karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Saya tahu anda begitu menderita, namun jangan mengabaikan Tuan muda Thanos." Sera mengingatkan. "Megan sangat mencintai Thanos. Aku merasa kalau anak itu kerap melakukan hal yang tidak benar, dia seolah mewarisi sifat ayahnya. Tapi Megan selalu melarangku, Sera, setiap kali aku ingin mendidik anak itu dengan benar. Aku takut dia akan tumbuh seperti ayahnya." Nares menatap ke luar jendela, di mana Thanos sedang berlarian di halaman rumah yang sangat luas itu. Thanos bahkan tertawa saat melihat pengasuhnya mulai kelelahan saat mengejar dirinya. "Mungkinkah Tuan Megan sengaja melakukan itu?" Nares kembali menatap Sera, wajah gadis itu terlihat serius saat mengatakannya, "Sepertinya kita memiliki pikiran yang sama, Sera. Dan, aku tidak rela kalau itu terjadi kepada putraku. Dia sudah memisahkan aku dengan putraku yang lain dan sekarang dia ingin menjadikan Thanos seperti dirinya? Aku tidak pernah rela." "Masih ada waktu, Nyonya. Saya harap Tuan muda mendengarkan anda." Nares mengangguk dan Sera meninggalkan dia karena melihat Megan datang untuk mendekati istrinya itu.Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments