Langkah-langkah mereka menggema di jalanan desa yang masih basah oleh hujan dini hari. Udara lembap membawa aroma tanah dan kayu basah, dan dari kejauhan, ayam jantan sudah mulai bersuara—terlambat, seakan desa pun enggan terbangun terlalu cepat pagi ini.
Pak Wira dan beberapa warga menyambut mereka dengan wajah tegang. Dua warga memapah tubuh luka Mang Wirya dari tandu sederhana. Tirta segera membantu, wajahnya berubah serius. Ayu menatap luka di dada Mang Wirya yang terbalut kain gelap—darahnya sudah mengering, tapi bau logamnya masih pekat.
"Serangan seperti ini... bukan dari siluman biasa," gumam Ayu pelan.
"Bukan," jawab Pak Wira. "Kami disergap saat berusaha mencari sisa logistik di gudang tua sebelah utara. Ada... bayangan. Dan bisikan."
Rakasura langsung menoleh. "Bisikan?"
Pak Wira mengangguk, wajahnya tegang. "Seperti suara-suara yang tidak berasal dari satu arah. Mengelilingi kami. Seolah desa ini sedang diincar oleh sesuatu
Kabut tipis menggantung di langit, menyelimuti desa seperti tirai halus yang menunda kedatangan mentari. Embusan angin membawa aroma tanah basah dan sisa-sisa pembakaran dupa yang belum padam sejak malam tadi. Rakasura berdiri di depan balai desa, matanya tertuju ke arah utara—ke tempat di mana langit tampak lebih kelam, seolah menyimpan sesuatu yang belum selesai."Mereka belum kembali?" suara Pak Wira terdengar dari balik pilar kayu.Rakasura menggeleng perlahan. "Belum. Tapi aku bisa merasakan riak kekuatan mereka. Laras dan para penjaga sedang menahan batas. Tapi itu tidak akan bertahan lama."Pak Wira berjalan mendekat, wajahnya penuh gurat khawatir. Di tangannya tergenggam segulung kain putih yang biasa dipakai untuk menutupi altar. Tapi kali ini, kain itu belum digunakan. "Sejak gema itu berhenti, langit seolah menunggu sesuatu. Aku tidak tahu apakah ini pertanda baik atau sebaliknya."Rakasura menatap langit lagi. Di balik lapisan tipis awan
Awan menggantung berat di atas langit desa. Rintik hujan pertama jatuh seperti bisikan halus di atas atap-atap rumah yang masih gelap. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan kenangan yang belum sempat dirapikan. Di halaman rumah Pak Wira, suara langkah kaki menyusuri bebatuan basah—pelan, tapi penuh arah.Rakasura berdiri di bawah pohon sawo tua, mengenakan jubah abu panjang yang sebagian robek di bagian bahu. Gelang di tangannya tak lagi bersinar mencolok, tapi denyut halusnya tetap terasa. Ia menatap langit yang suram, lalu menunduk pada jejak-jejak kecil di tanah. Jejak kenangan. Jejak kehilangan. Tapi juga jejak pulang.Ayu keluar dari rumah, membawa dua cangkir kayu berisi teh panas. Uapnya mengepul, menyatu dengan dingin pagi. Ia menyodorkan salah satunya pada Rakasura, yang menerimanya tanpa kata. Mereka duduk di bangku bambu dekat pohon."Hujan pertama setelah kita kembali," kata Ayu pelan."Hujan yang berbeda," jawab Rakasura. "Bukan seka
Langkah-langkah mereka menggema di jalanan desa yang masih basah oleh hujan dini hari. Udara lembap membawa aroma tanah dan kayu basah, dan dari kejauhan, ayam jantan sudah mulai bersuara—terlambat, seakan desa pun enggan terbangun terlalu cepat pagi ini.Pak Wira dan beberapa warga menyambut mereka dengan wajah tegang. Dua warga memapah tubuh luka Mang Wirya dari tandu sederhana. Tirta segera membantu, wajahnya berubah serius. Ayu menatap luka di dada Mang Wirya yang terbalut kain gelap—darahnya sudah mengering, tapi bau logamnya masih pekat."Serangan seperti ini... bukan dari siluman biasa," gumam Ayu pelan."Bukan," jawab Pak Wira. "Kami disergap saat berusaha mencari sisa logistik di gudang tua sebelah utara. Ada... bayangan. Dan bisikan."Rakasura langsung menoleh. "Bisikan?"Pak Wira mengangguk, wajahnya tegang. "Seperti suara-suara yang tidak berasal dari satu arah. Mengelilingi kami. Seolah desa ini sedang diincar oleh sesuatu
Senja menggantung malas di langit saat mereka meninggalkan ceruk antara dua tebing. Kabut lembah sudah lama menghilang, tapi ada bekas dingin yang tertinggal di kulit, seolah tempat itu masih menyimpan napas sunyinya. Jalan yang mereka tempuh sekarang mulai mendaki pelan menuju punggungan bukit, tempat hutan kembali menebal. Tapi ini bukan hutan yang sama."Pohon-pohonnya berbeda," kata Ayu lirih. "Batangnya seperti menyala dari dalam."Tirta melirik sekeliling. Kulit pohon-pohon itu memang mengeluarkan kilau samar, seperti urat-urat bercahaya yang mengalir di balik kulit kayunya."Ini bukan cahaya matahari yang memantul. Ini... dari dalam pohon itu sendiri," katanya, setengah kagum, setengah cemas.Rakasura memperhatikan langkah-langkah mereka dengan hati-hati. Semakin dalam mereka masuk ke kawasan hutan menyala itu, semakin terasa bahwa mereka telah memasuki wilayah yang asing—bukan dunia manusia, bukan pula sepenuhnya dunia arwah."Kalian
Setelah melewati ceruk peristirahatan dan hari yang relatif damai, ketiganya kembali melanjutkan perjalanan. Kabut sudah benar-benar sirna dari jalur utama, dan jalanan yang dahulu terasa sempit dan menyesakkan kini tampak lebih luas dan bernapas. Pohon-pohon menggeliat perlahan seperti baru terbangun dari tidur panjang, dan angin membawa aroma rerumputan basah.Namun, keheningan itu tak sepenuhnya sunyi. Ada sesuatu yang berubah. Bukan pada jalan, bukan pula pada alam, melainkan pada langkah-langkah mereka sendiri."Kita makin dekat dengan batas lembah," ucap Ayu sambil memandangi medan di depan yang mulai menanjak ringan.Rakasura berjalan tanpa suara, matanya terus mengamati horizon. Di kejauhan, mulai tampak lekukan yang menandai batas dunia sunyi ini. Gelang di pergelangannya sudah tak bercahaya lagi, tapi ia tahu bahwa gema dari nada keenam masih hidup di dalam dirinya.Tirta yang berjalan di belakang mereka tampak lebih tenang dari biasanya. Ia tak
Pagi itu, lembah terasa lebih bersahabat. Kabut telah surut menjadi selimut tipis disertai udara sejuk seakan menyambut hari baru yang damai dan tentram. Matahari muncul malu-malu di balik celah batu, menyiramkan cahaya hangat ke sela-sela dedaunan berembun. Kicauan burung bersahut sahutan, bercengkrama satu sama lain bernyanyi mengiringi Rakasura dan kawan kawan yang sedang beristirahat.Tirta menguap lebar sambil meregangkan punggung di atas selembar tikar daun, Memberikan otot-ototnya kesempatan untuk beristirahat sejenak."Kalau bukan karena hampir mati kemarin, ini bisa dibilang tempat piknik paling syahdu," gumamnya.Ayu yang berada di sampingnya sedang mengikat rambutnya dengan potongan tali rami yang ia temukan semalam. "Lucunya walau hampir mati, kau masih bisa tidur nyenyak di atas akar pohon yang kerasnya kayak kepalamu""Hei hei hei! Aku juga pria yang punya perasaan loh nona. Lagipula aku kan ahli bertahan hidup!" Tirta menepuk dadanya bangga seakan lupa dengan sindiran y