"Kamu lagi ngeliatin apaan?" tanya Ben. Mengalihkan perhatian sepupunya yang sedari tadi hanya fokus pada satu titik."Menarik," gumam Alex sambil menarik seulas senyum misterius."Mau kemana?" Tahan Ben cepat saat Alex bangkit dari sofa.Keduanya baru saja menginjakkan kaki di tempat ini. Ben tidak ingin Alex tiba-tiba menghilang dengan berbagai alasan hanya untuk pulang ke rumah lebih awal."Toilet. Kenapa? Kamu mau ikut?" Goda Alex. "Asal nggak kabur aja.""Tenang. Aku cuma mau ke toilet." Alex berlalu pergi meninggalkan meja yang ditempatinya bersama Ben. Langkah Alex terhenti di lorong masuk yang memisahkan antara bathroom wanita dan pria.'Di mana dia?' batin Alex. Matanya tak lepas dari pintu masuk bathroom. Menunggu sosok yang telah lama menarik perhatiannya muncul dari balik pintu."Kamu baik-baik saja?" Sambut Alex begitu sosok yang di tunggu-tunggu muncul dengan langkah sempoyongan.Wanita itu mengangkat kepalanya untuk balas menatap Alex. "Sunny, kamu kemana aja?" racaun
"Harry." Gaby menghampiri pria yang duduk di pojok cafe hotel bertemankan sebuah laptop dan secangkir kopi."Hai, Baby." Harry bangkit untuk menyambut kedatangan wanita yang ditunggunya. Ia menarik tubuh yang mendekat kearahnya, ke dalam pelukan. "Apa kabarmu?" sapanya sembari mengecup kedua pipi putih itu bergantian. "Aku merindukanmu," imbuh Harry bersama senyum lebar di wajah tampannya, yang berhasil memancing rona merah di kedua pipi Gaby."Aku juga," balas Gaby malu-malu. "Bagaimana perjalanan mu? Apa kamu mengalami jetlag?"Harry menggeleng pelan. Ia menarik kursi disampingnya—mempersilahkan Gaby duduk lalu kembali mendorong hingga sang wanita duduk pada posisi nyaman lalu mengambil posisi lain disampingnya."Semuanya baik. Hanya ada beberapa menit delay, selebihnya berjalan lancar."Gaby mendesah lega. "Seharusnya kamu tidak usah merepotkan diri untuk datang. Aku yakin, kamu pasti lelah 'kan?""Justru seharusnya aku tiba lebih cepat. Seandainya saja pekerjaan tidak menahan, pas
Gaby turun dari lantai atas rumahnya dengan penampilan rapi. Di balut pakaian formal—kemeja putih di lapisi jas dan celana berbahan senada. Ia menepuk pelan lipatan di lengan, memastikan pakaian itu tampak sempurna untuk menunjang penampilan pertamanya sebagai wanita kantoran."Apa yang kamu lakukan disini?" Sentak Gaby kaget kala Mike menyambutnya dengan senyum terkembang."Aku datang untuk menjemput Miguel dan mengantarnya ke sekolah," jelas Mike."Sarapan dulu, Gaby. Kamu harus memastikan perut mu terisi penuh untuk mendapatkan energi di hari pertama kerja," ujar Natasha yang tengah sibuk menyiapkan bekal cucu semata wayangnya, Miguel.Gaby menyesap kopi yang dihidangkan para asisten rumah tangga. "Kamu mau bareng?"Tawaran yang dilontarkan Mike membuat gerakan Gaby terhenti di udara."Tidak." Sela Erika yang muncul dari balik tembok pembatas ruangan. Ia mengandeng tangan putranya yang baru menginjak usia keenam untuk segera menghampiri Mike."Papa." Miguel menyongsong Mike, memelu
"Apa lagi yang mau paman bicarakan?"Gaby melempar tubuhnya ke sofa lalu menatap pria yang tampak serius membolak-balik dokumen di tangannya. "Dan lagi, kenapa harus disini?" Imbuhnya malas. Matanya teralihkan pada deret pigura kecil yang tersusun rapi di dalam lemari—merapat di sudut ruangan. Semua foto masa kecilnya bersama papa ada disana, bersanding dengan foto-foto baru lainnya dimana Natasha dan Erika ikut bergabung bersama."Papamu mengumpulkan semua foto-foto masa kecil mu disana. Dia selalu mengeluh karena begitu beranjak dewasa kamu tak lagi mau di foto maupun ikut dalam foto keluarga," tutur Samuel. Ia mengikuti arah pandang wanita muda itu."Aku hanya tidak ingin menjadi duri dalam keluarga baru papa," ucap Gaby lirih. Sinar di balik matanya meredup bersama memori kelam yang silih berganti muncul diingatannya."Itu hanya perasaanmu saja, Gaby. Pada kenyataannya, Natasha menerima mu dengan baik sebagai putri sambungnya.""Paman terlalu polos. Tidak semua yang terlihat baik
'Apa yang dilakukannya disini?' Pikir Gaby penasaran.Dari ujung meja terdengar suara tepuk tangan, membuat semua mata beralih untuk mengikuti arah datangnya suara. Di mana seorang Alexander Xavier—presiden direktur Xavier Group tengah duduk dengan gaya santai dan senyum diplomatis. Pria itu datang sebagai salah satu pemegang saham di DH Group."Aku setuju dengan semangat yang ditunjukkan presiden direktur Geubrina, dan sebagai tunangannya sekaligus pimpinan Xavier Group, aku akan selalu mendukung Deuremham di masa depan."Mata dari orang-orang yang ada di dalam ruangan semakin melebar kala mendengar kata tunangan. Siapapun tahu, sebesar apa kekuasaan Xavier Group di negara ini dan menjadi satu kubu dengannya merupakan keuntungan besar bagi perusahaan lainnya.Gaby menatap Alex dari kejauhan, ia curiga pria itu punya maksud terselubung. Begitu melihat senyum miring di bibir pemilik Xavier Group, Gaby segera tahu ada udang di balik batu dan gunting dibawah lipatan—pria licik itu mengin
"Hentikan, Alex," sergah Mike, ia muak melihat sahabatnya terus saja mengolok-olok perasaannya.Alex mengangkat tangannya tanda menyerah. "Baiklah. Aku akan langsung ke inti masalah.""Keluargaku menentang pembatalan pertunangan, mereka akan menarik semua saham dan menjatuhkan DH Group bila pertunangan ini di batalkan," jelas Alex lugas lalu beralih fokus pada Mike. "Kamu pasti tahu, Mike. Apa efek domino yang akan terjadi?”“Masalah ini juga akan mengancam perusahaan cangkang milikmu yang terhubung dengan DH Group. Asal kamu tahu saja, Papa sangat tertarik pada mu."Mike mendesah dalam. Beberapa bulan belakangan ia mulai mencium gelagat ketua Xavier Group yang ingin melebarkan sayap ke bisnis teknologi dan pria tua itu menargetkan perusahaan start up milik Mike sebagai partner. "Tak bisakah kamu menghentikan niat Papa mu?"Alex menggeleng. "Tak semudah itu.”“Karena ini’lah, aku ingin menunda kabar pembatalan ini sampai kondisi lebih kondusif dan …” Perhatian Alex terpusat pada Gaby.
"Alexander Xavier."Alex berbalik untuk melihat orang yang memanggil namanya. Keningnya mengerut begitu mendapati Vania berdiri di depan pintu apartemennya."Vania?"Tanpa aba-aba, wanita itu mengayunkan telapak tangannya hingga mendarat tepat di pipi kanan Alex."Apa-apaan ini!" Seru Ben yang berlari dari dalam apartemen setelah mendengar bunyi yang cukup keras. Ia segera menahan tangan Vania yang kembali melayang di udara."Kenapa begitu datang, main nampar-nampar aja!""Bukan urusanmu! Urusan ku sama dia." Sergah Vania. Menarik kasar tangannya dalam cengkraman Ben.Alex mendesah pasrah. "Apa ini berhubungan sama Fey?" Vania menatap Alex tajam. Sebenarnya tujuannya ke rumah Alex bukan untuk membuat keributan, dia hanya datang untuk menggertak pria itu agar berhenti mempermainkan perasaan Fey.Meski dari luar, Fey terlihat ceria menjurus konyol, namun sebenarnya Fey mempunyai hati yang sangat rapuh. Sekali tersakiti, luka di hatinya membekas dan sulit untuk disembuhkan."Lebih baik k
"Kamu yakin mau membantu Alex?" Tahan Mike sebelum Gaby turun dari mobilnya."Tidak ada yang salah dari Alex. Aku rasa dia akan menjadi pasangan yang cocok bagi Fey,” ungkap Fey yakin.Meski terkadang ia muak dengan tingkah sombong sang pewaris Xavier Group, tapi ia tak bisa menapik kenyataan bahwa Alex merupakan pria yang bertanggung jawab serta berkomitmen atas perkataannya. Terbukti dari betapa gigihnya pria itu mengejar Fey meski berkali di tolak mentah-mentah. Dengan spek sempurna, secara wajah dan finansial, dipastikan ada banyak wanita yang mengantri bahkan rela melemparkan diri padanya, namun Alex telah menetapkan Fey sebagai tambatan hatinya.Mike mendesah pelan. "Bukan masalah itu.""Lalu?""Pertunangan kalian," erang Mike tak senang. "Kita bisa mencari solusi lain daripada meneruskan pertunangan ini," lanjutnya sambil menatap Gaby dalam."Ini hanya bersifat sementara Mike. Lagipula kamu tahu, Alex menyukai Fey dan apa yang aku lakukan sekarang bisa menyatukan Alex dengan s