Alex mengedarkan pandangannya ke sekeliling Bar. Mencari keberadaan kedua temannya yang sejak dua jam llau terus menerornya untuk segera datang."Kenapa, Sob? Ada masalah?" Sapanya sambil menepuk pundak yang menekuk wajahnya.Alex sudah bisa menebak apa yang terjadi, selama ini ia dan Ben telah menjadi saksi pasang surut hubungan Mike dengan Erika dan betapa pria itu tak pernah bisa melupakan sosok cinta pertamanya."Kamu udah makan malam, Alex?" tanya Ben yang datang dengan sepiring besar lasagna."Belum," sahut Alex lalu melirik Mike yang masih terpekur menatap lantai. "Bagaimana dengannya?"Ben mendesah pelan sambil menunjuk puluhan kaleng minuman yang berserakan di meja hingga lantai. Ia meletakkan piring di atas meja dan membuka kantong sampah yang di bawanya dari dapur, ia mengumpulkan semua kaleng kosong ke dalamnya."Apa yang terjadi? Kamu bertengkar dengan Gaby?" tanya Alex penasaran. Ia mengambil tempat disamping Mike lalu menyendok potongan lasagna ke dalam mulutnya."Aku
Pria bermata teduh dengan iris bernuansa gelap nan menghanyutkan, duduk di sofa sambil menonton channel berita tengah malam ditemani segelas Pinot Noir (anggur merah). Telinganya terusik oleh sayup-sayup suara ketukan keras yang bergema hingga mengetarkan daun pintu apartemennya.Mike beranjak turun dari duduknya, meletakkan gelas berkaki jenjang di atas meja lalu menyeret langkahnya melewati ruang tengah, menuju pintu masuk. "Gaby?" Gumamnya saat melihat wajah yang muncul di layar intercom.Tanpa aba-aba, Mike menyibak daun pintu dan menatap tamunya dengan kening berkerut."Apa yang kamu lakukan disini?" tanyanya pada wanita yang menyandarkan kepalanya di kusen pintu.Tubuhnya limbung, sempoyongan ke kiri dan kanan—tak mampu untuk menopang bobot tubuhnya sendiri."Kamu mabuk?" Mike mendekatkan wajahnya untuk mencium bau alkohol yang cukup menyengat dari tubuh sintal berbalut pakaian minim itu.Gaby menggeleng. "Aku mau masuk," ucapnya setengah bergumam tak jelas.Wanita itu mendoro
Gaby bergelung dalam tidurnya, mengerang pelan lalu berbalik untuk mencari posisi nyaman. Ia melebarkan tangan untuk memeluk guling lebih erat.'Hmm, kenapa bantal ini lebar sekali? Tunggu, apa ini? Keras …' Gaby terus bergumam dalam pikirannya, untuk menjabarkan bentuk dari guling yang dipeluknya.Udara hangat terasa menyentuh kulit disusul sentuhan lembut yang membelai bibirnya. Gaby tergoda untuk merengkuh sentuhan di bibirnya, mencicipi manis dan kehangatan yang ditawarkan."Morning kiss," ucap suara serak yang baru saja menyentuh bibir Gaby. "Aku suka dengan cara mu menyapa."Mendengar suara yang tak asing di dekatnya membuat Gaby buru-buru membuka mata. Ia melotot dan bangkit dari posisi tidurnya. Matanya nyaris keluar saat menyadari tubuh polosnya terekspos bebas karena selimut yang menutupi jatuh bertumpuk di pinggang saat dia tiba-tiba bangun."Apa yang kamu lakukan disini?" Hardiknya marah sambil menarik selimut untuk menutupi sekaligus membungkus tubuhnya.Mike terkekeh pel
"Kalian kenapa, sih? Lesu banget."Vania meletakkan dua cangkir teh yang mengepulkan aroma melati dihadapan kedua sahabatnya, Gaby dan Fey.Gaby mendengus pelan lalu menyesap teh hangat itu. Ia mengabaikan rasa ingin tahu Vania yang besar, terhadap kemunculannya tiba-tiba di depan pintu apartemen."Udah kayak ayam yang mau di potong besok aja," lanjut Vania meneruskan sindirannya.Fey mendesis pelan tapi, tidak berniat untuk membalas ejekan wanita itu. Dia masih berhutang penjelasan tentang apa yang terjadi semalam dan Fey yakin tidak akan bisa menjelaskan apapun untuk saat ini. Lebih baik menahan diri agar tidak memancing rasa penasaran Vania lebih jauh. Vania mengernyitkan keningnya, heran. Semalam ia sudah cukup dikagetkan dengan menghilangnya Gaby dan Fey secara tiba-tiba dan kini kedua wanita itu kompak muncul dengan wajah di tekuk tanpa mengeluarkan sepatah katapun sebagai penjelasan.Biasanya, mereka akan memborbardir ponsel Vania terlebih dulu sebelum benar-benar sampai di apa
"Kamu nggak jadi ikut?" Gaby melirik Vania yang baru saja menutup sambungan ponselnya.Vania menggeleng lemah. "Kamu tahu 'kan? Aku sangat ingin ikut tapi ada klien yang mendadak datang dan menunggu ku di kantor.""Oke." Gaby mengangguk paham lalu menepuk pundak sahabatnya. Ia membuka pintu dan melompat turun."Sampai nanti," pamit Vania sambil melambaikan tangan.Begitu mobil Vania meninggalkan area parkiran rumah keluarga Deuremham, sebuah sedan hitam bergerak masuk.Gaby terpaku sesaat sebelum akhirnya sadar dan mempercepat langkahnya melewati perkarangan rumah."Gaby." Panggil Mike yang turun dari dalam mobil. "Kamu baru pulang?"Langkah Gaby terhenti, ia meringis bingung. "Ya," sahutnya tanpa berbalik.Sebisa mungkin dia menghindar beradu pandang dengan Mike. Peristiwa semalam sayup-sayup terngiang kembali di ingatannya. Membuatnya kembali menyesali sembari mengutuk kebodohannya."Kamu harus lebih sering pulang ke rumah, Gaby," kata Mike. "Mama Natasha khawatir padamu.""Hmm," sah
Mike memasang raut serius di wajahnya, tangannya sibuk membolak balik laporan kerja yang dikumpulkan para mahasiswa. Perhatian Mike teralihkan kala terdengar suara ketukan di depan pintu ruang kerja, membuatnya mengangkat kepala dan segera bangkit untuk menyambut orang yang muncul dari balik pintu kaca."Paman Samuel, silahkan masuk," sambut Mike sembari menggeser pintu."Kamu sibuk?" Samuel menepuk pelan pundak dari salah satu anak didiknya.Mike menggeleng pelan. "Tidak. Hanya sedang memeriksa laporan mahasiswa.""Aku harap kehadiran ku tidak menganggu pekerjaan seorang Professor," ungkap Samuel setengah bercanda.Mike terkekeh pelan. "Rektor akan langsung mengirim surat SP, bila tahu aku merasa keberatan akan kehadiran almamater terbaik dari kampus ini," balasnya.Samuel mengibaskan tangannya sambil tertawa. "Selalu menyenangkan bicara dengan mu, Mike.""Ayo, Paman." Mike mengajak Samuel duduk di satu-satunya sofa panjang yang ada di ruang kerjanya. "Paman ingin kopi atau teh?""Cu
Gaby menginjak pedal rem sedalam mungkin begitu mobil memasuki area lobi hotel Xavier.Disampingnya, Vania mencengkram tali seatbelt erat saat mobil berhenti tiba-tiba dengan suara decit yang bergema ke seantero lobi hingga memancing perhatian orang-orang yang ada disekitarnya."Hei, gila! Kamu mau mati muda ya," hardik Vania panik. "Emangnya kita mau kemana? Buru-buru banget." "Hotel Xavier." balas Gaby cuek. Ia melirik sahabatnya sekilas lalu menarik tuas pintu dan turun dari mobil. "Lah? Ngapain kesana?" Vania mengikuti langkah Gaby yang telah turun dari mobil dan memberikan kuncinya pada petugas valet.Gaby terkekeh pelan. "Tentu saja melakukan apa yang Paman Samuel inginkan?" balasnya bersama senyum misterius."Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" Selidik Vania curiga. "Kamu mau menemui calon tunangan mu?" tanyanya ragu."Hmm … kurang lebih seperti itu." Kilah Gaby, masih berbalut sikap misterius. "Lalu, dimana Fey?" "Gaby, Vania!" Teriakan dari kejauhan membuat Vania batal untu
“Selamat siang, Tuan Xavier."Gaby dan kedua sahabatnya mendekati meja yang di huni tiga pria. Salah satunya berambut pirang sedangkan dua pria lainnya duduk menghadap jendela sehingga wajahnya tak terlihat dengan jelas."Ah, kamu," tunjuk pria pirang ke arah Fey.Gaby dan Vania kompak mengikuti arah telunjuk pria pirang."Kamu kenal?" tanya Vania tapi Fey menggeleng cepat sebagai jawaban.Tak lama, dua pria yang duduk membelakangi—bangkit dari kursinya dan berbalik untuk menyambut para tamu."Gaby, apa yang kamu lakukan disini?"'Mike!' Tubuh Gaby mendadak kaku begitu melihat pemilik suara yang mati-matian berusaha dihindarinya. "Feyleria?"Fey mengerutkan kening karena pria asing yang menyebut namanya, kini tengah menatapnya lekat. "Maaf, apa aku mengenal mu?" tanyanya ragu.Pria berambut pirang tergelak sembari menepuk pundak pria disampingnya. "Malangnya nasib mu Alex. Dia bahkan tak mengingat wajahmu," kekehnya mengejek.Pria yang dipanggil dengan nama Alex, mengeram dalam. "Diam