Share

Bab 3

         Mobil yang dikendarai Jivan sampai di kediaman keluarga Naratama tepat pukul 19.00, suasana halaman utama sudah ramai dengan mobil yang hilir mudik menurunkan para tamu.

         Sosok Jana langsung menyambut Jivan, kala anak itu turun dari mobilnya. Disebelahnya, terlihat Deva yang malam ini tampak gagah dengan setelan tuxedonya.

“Padahal Mama nggak usah tunggu disini, kasihan tamu yang lain ditinggal,”

“Nggak apa-apa kok, kan anak kesayangan Mama mau datang,” Jana merangkul Jivan.

“Gimana kabar Papamu, Van? Padahal Om berharap dia datang,” ujar Deva, membimbing anak sambungnya dan istrinya untuk masuk, menuju taman belakang.

“Maaf ya, Om. Papa nggak bisa datang, bentrok sama kerjaan soalnya,”

“Om paham, by the way welcome to Adara’s party. Enjoy ya,” Deva tersenyum dan meninggalkan Jivan juga Jana, lelaki tersebut langsung bergabung dengan kolega bisnisnya.

“Adara mana, Ma?” netra Jivan mencari keberadaan adik perempuannya itu.

“Lagi diganti bajunya sama suster, soalnya kan udah mau acara tiup lilin,”

            Jivan diajak Mamanya untuk menikmati berbagai makanan yang tersaji, saat tengah asyik menyantap fettucini, seorang gadis datang dengan wanita seusia Mamanya itu.

“Kenalin Van, ini Jiandra—anak Om Deva sama Ibunya, Anindia Larasati,” ucap Jana.

“Bentar, jadi kamu anaknya Om Deva?” Jivan mengerenyitkan alisnya.

            Terang saja ia kaget, Jiandra teman sekelasnya dan Arusha. Mereka cukup dekat, mengagetkan ketika ternyata Jiandra adalah anak sulung seorang Atmadeva Naratama, suatu hal yang tak pernah gadis itu ungkapkan.

            Yang Jivan tahu adalah Jiandra hidup dengan Ibunya yang bekerja sebagai seorang perawat di rumah sakit.

“Maaf ya, kalau bikin kaget. Soalnya memang gue sendiri yang nggak mau terlalu diekspos,” ujar Jiandra.

“Mama seneng deh, ternyata kamu sama Jiandra udah kenal baik duluan,”           

            Obrolan itu terputus, ketika sang bintang utama masuk ke halaman. Adara Utari Naratama—gadis itu tampil imut dengan gaun berwarna peach plus bando pita di rambutnya.

“Mas Jivaaaan !!!” Adara berlari dengan riang kearah Jivan, seketika tangan Jivan terbuka dan memeluk adiknya tersebut.

“Selamat ulang tahun ya, cantik. Nih, mas udah bawain sesuatu buat kamu,” Jivan mengangsurkan box berukuran sedang berwarna pink tersebut.

“Makasih, Mas,” gadis itu memberikan kadonya pada nanny untuk ditaruh di area khusus.

            Acara tiup lilin pun dimulai, para undangan berkumpul. Di depan kue bernuansa pink itu, keluarga Naratama mengelilinginya. Lilin akhirnya tertiup, beriringan dengan tepuk tangan khalayak ramai.

“Nah, sekarang potongan kue ketiganya buat siapa nih? Tadi kan, Mama sama Papa sudah,” ujar MC.

            Tanpa ragu, tangan kecil Adara bergerak. Menancapkan garpu berisi kue, lalu menyuapkannya ke mulut Jivan.

“Makasih,ya,” Jivan tersenyum lebar,

            Tanpa disadari, ada Jiandra yang diam-diam menatap pemandangan itu dengan perasaan campur aduk. Ini bukan salah Jivan, dirinya sendirilah yang merasa terasing di tengah keramaian. Ia adalah anak perempuan pertama di keluarga Naratama, dulu kondisi Papanya belum semaju sekarang.

            Sehingga mereka bertiga harus hidup dalam kesederhanaan, namun itu tak masalah karena yang Jiandra perlukan adalah keharmonisan. Semuanya berubah, kala konflik mulai tiba, hingga akhirnya Ibunya dan sang Papa bercerai. Jiandra memilih tinggal dengan Ibu, lalu sesekali menemui Papanya.

            Hubungan Jiandra dengan Adara tidak terlalu dekat, begitupun dengan Jana. Mereka berhubungan seperlunya, Jiandra agak sedikit heran mengapa Adara terlihat begitu nyaman dengan Jivan, begitu juga sebaliknya.

            Kembali ke pesta, mereka berenam makan hidangan utama di meja khusus. Segala makanan tersedia, mulai dari makanan pembuka

hingga dessert. Jivan tadinya diberi kursi tepat di sebelah Jana, namun ia menolak dan memilih duduk di samping Jiandra.

“Ngobrol sama gue aja, Ji. Gue tahu kok acara kayak gini tuh bikin canggung,” Jivan setengah berbisik sambil menyodorkan sepiring quiche.

“Makasih, hehe. Ngomong-ngomong, besok di sekolah lo jangan bilang siapa-siapa dulu kalau gue bagian dari keluarga ini,”

“Oke, gue paham,”

“Tapi malam ini, kalian mau diungkap ke publik,” sahut Anindia.

            Jivan dan Jiandra saling tatap, malam ini memang sudah banyak wartawan yang meliput, di pintu masuk pun disiapkan sejenis red carpet.

“Oke, kalian nggak perlu panik. Entah kalian berdua, atau salah satu dari kalian,”

            Saat itu juga, Jiandra berharap bukan dirinya yang diungkap ke media. Ia ingin dikenal sebagai Jiandra yang biasa, bukan sebagai bagian dari keluarga Naratama.

***

“Lo serius bagian keluarga itu?” mata Revian terbelalak ketika menyodorkan ponselnya .

            Di media online itu, terpampang foto Jivan beserta berita yang menyatakan kalau dia adalah putra dari keluarga Naratama.

“Gue baru tahu, kalau Mama lo nikah laginya sama seorang Atmadeva. Soalnya selama ini memang ada berita kalau dia udah nikah lagi, tapi nggak pernah ungkap

siapa istrinya,” jelas Revian.

“Anjir, beneran lo cepet

banget sama berita ginian, Rev,” Naren membulatkan mulutnya.

“Namanya juga titisan Ibu-ibu komplek, jadi tahu soal gosip,” tanggap Dafandra.

“Memang keluarga Naratama se-hits itu, ya?” Narthana mengerenyitkan alis.

“Atmadeva Naratama tuh yang punya Naratama’s Corp. Usahanya di berbagai bidang, mulai dari travel, desain interior sampai minyak bumi. Konglomerat pokoknya, meski Om Sena juga nggak kalah tajirnya,”

            Narthana hanya bisa mengangguk-angguk, meja Jivan dan Arusha kini penuh dengan cowok-cowok yang penasaran. Kumpulan cowok yang termasuk dalam kategori populer di sekolah, berada di satu meja.

“Tapi kalem, kalian nggak usah terlalu heboh, perlakuin gue sebagaimana mestinya aja,” Jivan menenangkan keramaian tersebut.

Dua Hari Kemudian...

“Tumben Kak Nio yang bawa mobilnya,” ujar Revian kala masuk mobil.

            Hari ini hari Rabu, hari dimana Revian les di lembaga hingga jam menunjukkan pukul 20.00. Melelahkan memang namun ini konsekuensinya, kini ia sudah duduk di kelas 12, itu sama dengan dia harus lebih fokus dengan studinya dan mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi.

            Apalagi Johnny dan Jilaine, termasuk tipe orangtua yang cukup fokus pada pendidikan bagi anak mereka.

“Papa lagi malas bawa mobil, jadi tadi kakakmu yang bawa mobil,” sahut Johnny dari kursi depan.

“Mau langsung pulang?” tanya Elenio.

“Boleh ketemu Mama dulu?” pinta Revian.

“Mamamu masih di New York, Rev. Baru terbang malam ini waktu sana, besok sampai sini siang-siang,” jelas Johnny.

“Yah, berarti aku nggak bisa jemput di bandara,” Revian merajuk.

“Besok kamu nggak ada kelas tambahan, kan? nanti Papa antar ke rumah Mamamu, Nio kamu mau juga, kan?”

“Nio lihat jadwal besok, Pa. Soalnya tadi ada kabar dari Alastair, bisa jadi besok ada kelas pengganti,”

“Oke, kalau nggak bisa, kabari Mamamu ya? Biar dia nggak nunggu-nunggu,”

“Iya, Pa,” Elenio mulai menjalankan mobilnya, membelah jalanan kota.

“Pa..,” Revian memajukan posisi duduknya, memeluk kepala kursi yang ditempati Johnny.

“Kenapa, Nak?” Johnny menoleh, netranya kini bersirobok dengan netra Revian.

“Papa nggak ada niatan buat balik ke Mama?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status