Mobil yang dikendarai Jivan sampai di kediaman keluarga Naratama tepat pukul 19.00, suasana halaman utama sudah ramai dengan mobil yang hilir mudik menurunkan para tamu.
Sosok Jana langsung menyambut Jivan, kala anak itu turun dari mobilnya. Disebelahnya, terlihat Deva yang malam ini tampak gagah dengan setelan tuxedonya.
“Padahal Mama nggak usah tunggu disini, kasihan tamu yang lain ditinggal,”
“Nggak apa-apa kok, kan anak kesayangan Mama mau datang,” Jana merangkul Jivan.
“Gimana kabar Papamu, Van? Padahal Om berharap dia datang,” ujar Deva, membimbing anak sambungnya dan istrinya untuk masuk, menuju taman belakang.
“Maaf ya, Om. Papa nggak bisa datang, bentrok sama kerjaan soalnya,”
“Om paham, by the way welcome to Adara’s party. Enjoy ya,” Deva tersenyum dan meninggalkan Jivan juga Jana, lelaki tersebut langsung bergabung dengan kolega bisnisnya.
“Adara mana, Ma?” netra Jivan mencari keberadaan adik perempuannya itu.
“Lagi diganti bajunya sama suster, soalnya kan udah mau acara tiup lilin,”
Jivan diajak Mamanya untuk menikmati berbagai makanan yang tersaji, saat tengah asyik menyantap fettucini, seorang gadis datang dengan wanita seusia Mamanya itu.
“Kenalin Van, ini Jiandra—anak Om Deva sama Ibunya, Anindia Larasati,” ucap Jana.
“Bentar, jadi kamu anaknya Om Deva?” Jivan mengerenyitkan alisnya.
Terang saja ia kaget, Jiandra teman sekelasnya dan Arusha. Mereka cukup dekat, mengagetkan ketika ternyata Jiandra adalah anak sulung seorang Atmadeva Naratama, suatu hal yang tak pernah gadis itu ungkapkan.
Yang Jivan tahu adalah Jiandra hidup dengan Ibunya yang bekerja sebagai seorang perawat di rumah sakit.
“Maaf ya, kalau bikin kaget. Soalnya memang gue sendiri yang nggak mau terlalu diekspos,” ujar Jiandra.
“Mama seneng deh, ternyata kamu sama Jiandra udah kenal baik duluan,”
Obrolan itu terputus, ketika sang bintang utama masuk ke halaman. Adara Utari Naratama—gadis itu tampil imut dengan gaun berwarna peach plus bando pita di rambutnya.
“Mas Jivaaaan !!!” Adara berlari dengan riang kearah Jivan, seketika tangan Jivan terbuka dan memeluk adiknya tersebut.
“Selamat ulang tahun ya, cantik. Nih, mas udah bawain sesuatu buat kamu,” Jivan mengangsurkan box berukuran sedang berwarna pink tersebut.
“Makasih, Mas,” gadis itu memberikan kadonya pada nanny untuk ditaruh di area khusus.
Acara tiup lilin pun dimulai, para undangan berkumpul. Di depan kue bernuansa pink itu, keluarga Naratama mengelilinginya. Lilin akhirnya tertiup, beriringan dengan tepuk tangan khalayak ramai.
“Nah, sekarang potongan kue ketiganya buat siapa nih? Tadi kan, Mama sama Papa sudah,” ujar MC.
Tanpa ragu, tangan kecil Adara bergerak. Menancapkan garpu berisi kue, lalu menyuapkannya ke mulut Jivan.
“Makasih,ya,” Jivan tersenyum lebar,
Tanpa disadari, ada Jiandra yang diam-diam menatap pemandangan itu dengan perasaan campur aduk. Ini bukan salah Jivan, dirinya sendirilah yang merasa terasing di tengah keramaian. Ia adalah anak perempuan pertama di keluarga Naratama, dulu kondisi Papanya belum semaju sekarang.
Sehingga mereka bertiga harus hidup dalam kesederhanaan, namun itu tak masalah karena yang Jiandra perlukan adalah keharmonisan. Semuanya berubah, kala konflik mulai tiba, hingga akhirnya Ibunya dan sang Papa bercerai. Jiandra memilih tinggal dengan Ibu, lalu sesekali menemui Papanya.
Hubungan Jiandra dengan Adara tidak terlalu dekat, begitupun dengan Jana. Mereka berhubungan seperlunya, Jiandra agak sedikit heran mengapa Adara terlihat begitu nyaman dengan Jivan, begitu juga sebaliknya.
Kembali ke pesta, mereka berenam makan hidangan utama di meja khusus. Segala makanan tersedia, mulai dari makanan pembuka
hingga dessert. Jivan tadinya diberi kursi tepat di sebelah Jana, namun ia menolak dan memilih duduk di samping Jiandra.“Ngobrol sama gue aja, Ji. Gue tahu kok acara kayak gini tuh bikin canggung,” Jivan setengah berbisik sambil menyodorkan sepiring quiche.
“Makasih, hehe. Ngomong-ngomong, besok di sekolah lo jangan bilang siapa-siapa dulu kalau gue bagian dari keluarga ini,”
“Oke, gue paham,”
“Tapi malam ini, kalian mau diungkap ke publik,” sahut Anindia.
Jivan dan Jiandra saling tatap, malam ini memang sudah banyak wartawan yang meliput, di pintu masuk pun disiapkan sejenis red carpet.
“Oke, kalian nggak perlu panik. Entah kalian berdua, atau salah satu dari kalian,”
Saat itu juga, Jiandra berharap bukan dirinya yang diungkap ke media. Ia ingin dikenal sebagai Jiandra yang biasa, bukan sebagai bagian dari keluarga Naratama.
***
“Lo serius bagian keluarga itu?” mata Revian terbelalak ketika menyodorkan ponselnya .
Di media online itu, terpampang foto Jivan beserta berita yang menyatakan kalau dia adalah putra dari keluarga Naratama.
“Gue baru tahu, kalau Mama lo nikah laginya sama seorang Atmadeva. Soalnya selama ini memang ada berita kalau dia udah nikah lagi, tapi nggak pernah ungkap
siapa istrinya,” jelas Revian.“Anjir, beneran lo cepet
banget sama berita ginian, Rev,” Naren membulatkan mulutnya.“Namanya juga titisan Ibu-ibu komplek, jadi tahu soal gosip,” tanggap Dafandra.
“Memang keluarga Naratama se-hits itu, ya?” Narthana mengerenyitkan alis.
“Atmadeva Naratama tuh yang punya Naratama’s Corp. Usahanya di berbagai bidang, mulai dari travel, desain interior sampai minyak bumi. Konglomerat pokoknya, meski Om Sena juga nggak kalah tajirnya,”
Narthana hanya bisa mengangguk-angguk, meja Jivan dan Arusha kini penuh dengan cowok-cowok yang penasaran. Kumpulan cowok yang termasuk dalam kategori populer di sekolah, berada di satu meja.
“Tapi kalem, kalian nggak usah terlalu heboh, perlakuin gue sebagaimana mestinya aja,” Jivan menenangkan keramaian tersebut.
Dua Hari Kemudian...
“Tumben Kak Nio yang bawa mobilnya,” ujar Revian kala masuk mobil.
Hari ini hari Rabu, hari dimana Revian les di lembaga hingga jam menunjukkan pukul 20.00. Melelahkan memang namun ini konsekuensinya, kini ia sudah duduk di kelas 12, itu sama dengan dia harus lebih fokus dengan studinya dan mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi.
Apalagi Johnny dan Jilaine, termasuk tipe orangtua yang cukup fokus pada pendidikan bagi anak mereka.
“Papa lagi malas bawa mobil, jadi tadi kakakmu yang bawa mobil,” sahut Johnny dari kursi depan.
“Mau langsung pulang?” tanya Elenio.
“Boleh ketemu Mama dulu?” pinta Revian.
“Mamamu masih di New York, Rev. Baru terbang malam ini waktu sana, besok sampai sini siang-siang,” jelas Johnny.
“Yah, berarti aku nggak bisa jemput di bandara,” Revian merajuk.
“Besok kamu nggak ada kelas tambahan, kan? nanti Papa antar ke rumah Mamamu, Nio kamu mau juga, kan?”
“Nio lihat jadwal besok, Pa. Soalnya tadi ada kabar dari Alastair, bisa jadi besok ada kelas pengganti,”
“Oke, kalau nggak bisa, kabari Mamamu ya? Biar dia nggak nunggu-nunggu,”
“Iya, Pa,” Elenio mulai menjalankan mobilnya, membelah jalanan kota.
“Pa..,” Revian memajukan posisi duduknya, memeluk kepala kursi yang ditempati Johnny.
“Kenapa, Nak?” Johnny menoleh, netranya kini bersirobok dengan netra Revian.
“Papa nggak ada niatan buat balik ke Mama?”
***
Sherianne baru menyelesaikan pemotretannya 15 menit yang lalu, ia masih terduduk di ruang ganti sambil menanti sang manajer menyelesaikan urusannya. Ia meraih ponselnya, tak ada kabar dari Satya ataupun Narthana. Sepertinya dua lelakinya itu cukup sibuk minggu ini. Hingga tiba-tiba ia merasakan seseorang hadir tepat di belakangnya dan mencium pipinya."Satya?" Sherianne mendongak kearah kaca yang memantulkan bayangannya dan Satya, lalu perempuan itu tersenyum manis."Kamu belum pulang?" Satya duduk disamping Sherianne."Belum, urusan manajerku belum selesai," tanggap perempuan tersebut. Satya meraih pouch yang biasanya berisi makeup yang dipakai oleh Sherianne."Micelar water kamu mana, deh? Kapas juga?""Buat apa? Kamu kan nggak pakai makeup, Sat," Sherianne mengerenyitkan alis."Bersihin makeupmu lah, Sher. Nggak bagus kalau wajahmu lama-lama pakaiheavy mak
"Nio !!!" suara khas Dhira terdengar di sepanjang lorong kampus, membuat siapapun yang ada disitu menoleh, termasuk sosok yang dipanggil oleh gadis tersebut--Elenio."Kamu kalau manggil pelan-pelan kenapa. Nggak malu diliatin anak-anak yang lain?" Elenio misuh-misuh. Dhira tertawa renyah."Nggak malu ah, lagian kamunya juga tetep noleh. Abis bimbingan?" tanya Dhira."Keliatannya gimana?" tanya Elenio balik."Galak amat deh, ya keliatannya tadi dari ruang dosen. Pasti abis bimbingan," tanggap Dhira."Udah tahu, kenapa masih nanya," Elenio melangkahkan kakinya, Dhira dengan susah payah menyamai langkah kaki Elenio yang panjang."Abis ini mau kemana?" Dhira sama sekali tak menyerah meski mendapatkan tanggapan tak enak dari Elenio."Mau makan sama Air & Rasen," sahut Elenio."Ikut dong," ujar Dhira."Di kantin belakang Teknik, Dhir. Kamu nggak apa-apa?" Dh
Kediaman Naratama suasananya selalu sama, rumah sebesar itu hanya ditinggali Jana, Deva dan putri mereka satu-satunya--Adara, ditambah beberapa maid dan satpam yang menjaga rumah. Jam baru menunjukkan pukul 21.30, namun suasana rumah sudah begitu sepi. Adara sudah terlelap di kamarnya, sementara Jana biasanya tengah menonton serial drama di ruangan yang memang khusus disediakan untuknya melepas penat. Sementara Deva berkutat dengan pekerjaannya.Ia memijat kepalanya yang terasa pening, sudah sejak dua jam lalu ia standbydi depan laptopnya."Istri saya dimana?" tanya Deva sekeluarnya ia dari ruang kerja."Nyonya masih di ruangannya, Tuan. Dari tadi belum keluar," ujarmaid. Deva mengangguk sekilas dan lalu menuju ruangan Jana yang terletak di lantai dua, ia membuka pintu berwarna putih tulang tersebut. Televisi yang menampilkan serial favorit istrinya tersebut ma
Jivan membuka buku Matematikanya, ia melirik ke sekelilingnya dan begitu kosong. Maklum ini jam istirahat dan semua memilih melepas penat entah untuk mengisi perut mereka yang kosong atau berolahraga ringan di lapangan. Biasanya ia akan menghabiskan waktu dengan Arusha, atau dengan Narthana dan Revian yang berada di kelas lain. Tapi kini semuanya berbeda, Narthana dan Revian kini sudah berstatus mahasiswa dan sibuk dengan perkuliahan, Arusha? Sejak masalahnya dengan sang Ayah, ia lebih memilih menjauh dari Jivan dan lingkungan lamanya. Terlebih saat Arusha mendapati bahwa Devina--lebih memilih dengan Papanya dibanding bertahan dengan situasi yang ada. Jivan melirik ponselnya, 15 menit lagi istirahat akan berakhir. Ia menutup bukunya dan melangkahkan kaki menuju kantin. Sesampainya disana, keadaan cukup ramai. Jivan memutuskan untuk membeli sekaleng soda dansnack."Gue duduk disini, boleh?
3 hari berlalu sejak Revian terakhir kali menghubungi Jiandra, ia sempat lupa karena kesibukannya di kampus. Tapi biasanya jika Revian tengah lupa menghubungi--maka Jiandralah yang akan menghubunginya terlebih dulu, entah viachatatauvideo call.Namun hingga kini, gadis itu sama sekali tak menghubunginya. Apakah jadwal sekolahnya sepadat itu?"Anak bujang Papa bengong aja, kenapa nih?" Johnny yang keluar dari kamarnya mendapati sang anak masih berjibaku dengan tugas, di meja ruang TV--Revian duduk bersila di lantai dengan laptop yang menyala--tak lupa ada segelas kopi disampingnya."Jangan ngopi mulu, nanti kamu makin susah tidurnya," peringat Johnny."Justru kalau aku nggak ngopi, yang ada aku ngantuk Pa," kilah Revian. Johnny menggelengkan kepalanya dan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Ia mengenggam mug putihnya yang selalu ia pakai untuk meminum air putih dan duduk
Berita tentang runtuhnya bangunan Sagara menghiasi media beberapa hari belakangan ini, Keenan tak bisa sepenuhnya fokus pada pekerjaan karena ia masih harus mengurusi hal yang berkaitan dengan insiden tersebut. Mulai tuntutan hukum dari keluarga korban, kompensasi yang ia harus berikan hingga tekanan dari dewan perusahaan untuk segera menyelesaikan masalah ini. Mereka berkata bahwa masalah ini harus segera diselesaikan, karena semakin lama masalah ini berlarut maka akan berpengaruh terhadap kredibilitas Sagara sebagai salah satu perusahaantour & travel ternama di Indonesia."Ayah mau kemana?" diluar dugaan--Arusha sudah berdiri dihadapan ruang kerja Keenan."Kok kamu disini, Nak?" Keenan menunduk menatap tinggi Arusha yang kini sudah hampir mencapai pundaknya."Abis Ayah di ruang kerja terus. Ini hari Minggu, Yah. Nggak mauquality timesama aku gitu?" rajuk Arusha sambil