Share

Bab 2

        Narthana sampai di rumah ketika jam menunjukkan pukul 18.00, seperti biasa suasana rumahnya sepi. Rumah ini hanya berisi ia, papanya dan beberapa ART.

“Mau makan malam, Mas? Bibi sudah masak tumis kangkung sama ayam goreng kesukaannya Mas,” ujar Darsinah, ART

yang paling senior disini.

            Bahkan dia sudah bekerja dengan keluarga Sadajiwa sejak Satya masih kecil hingga sekarang ia memiliki Narthana. Bisa dibilang Bi Darsinah adalah saksi hidup Satya.

“Nanti aja deh, Bi. Saya mau ke kamar dulu,” Narthana tersenyum kecil.

“Kalau ada apa-apa, panggil Bibi aja ya, Mas,”

“Makasih,” Narthana berlalu menuju kamarnya yang terletak di lantai 2.

            Kamar bernuansa moka

ini sengaja didesain oleh Satya, khusus sebagai hadiah kala mereka pindah ke rumah ini 3 tahun lalu. Tepat saat Narthana duduk di kelas 3 SMP.

            Narthana adalah seseorang yang melihat usaha ayahnya dari nol, saat Satya harus sendirian berbelanja kebutuhan kafe, memasarkannya di media sosial bahkan terkadang mengantar pesanan kopi ke kantor-kantor. Rumah ini dibangun setelah Sadajiwa mulai menghasilkan dan bisa diandalkan.

            Namun semua ada konsekuensinya, kesuksesan Sadajiwa berbanding lurus dengan kesibukan Satya yang meningkat. Setiap hari Papanya sibuk mengontrol setiap cabang dan bahkan beberapa kali dalam setahun mengunjungi langsung cabang diluar Jakarta, terkadang Narthana ikut serta jika bertepatan dengan liburan sekolah.

“Dimana, Pa?” ujar Narthana saat telepon tersambung.

“Masih di Sadajiwa, Nat. Kamu udah di rumah?” Satya bertanya balik.

“Baru sampai 10 menit lalu, kirain Papa udah di rumah,”

“Tadi kamu pulang sama Om Johnny, kan?”

“Iya,”

“1 jam lagi Papa pulang, Nat. Mau dibawakan sesuatu?”

“Martabak manis aja, Pa,”

“Setengah keju, setengah kacang?”

“Hari ini aku mau yang setengah cokelat, setengah stroberi aja,”

“Oke, tunggu ya,” setelah itu telepon pun usai.

           17 tahun Narthana hidup, yang ia kenal sejak mengingat dunia hanyalah sosok Satya. Ia tak pernah tahu siapa wanita yang mengandung dan melahirkannya, Narthana pernah mencoba untuk bertanya pada Satya, Namun jawaban Papanya itu selalu abu-abu sehingga ada di satu titik, Narthana menyerah untuk mempertanyakannya lagi.

            Narthana merasa, setidaknya beruntung masih memiliki Papa dan teman-teman yang selalu memahaminya. Lingkungan yang sehat dan menghindarkannya dari pergaulan bebas.

“Papa pulang,” Suara Satya memecah keheningan, tepat pukul 19.30.

“Hai, Pa,” Narthana menghampiri Satya.

“Tumben nggak di kamar,”

“Nanti aja belajarnya agak maleman, lagipula aku nunggu Papa pulang,”

“Papa mandi dulu ya, kita makan martabaknya bareng-bareng,”

            15 menit kemudian, Satya sudah segar dengan setelan kaus putih dan celana pendek berwarna abu, rambutnya yang masih basah dikeringkannya dengan handuk kecil.

“Enak?” tanya Satya melihat anaknya mengunyah sepotong martabak.

“Enak,” Pipi Narthana membulat karena penuh.

“Nanti udahan belajarnya jangan terlalu larut, yang ada kamu ngantuk di sekolah terus sakit,”

“Iya, Pa,”

            Obrolan ringan mengalir dari bibir Narthana dan Satya, mengisi rumah yang tadinya sepi kini menghangat.

***

Akhir Minggu, Kediaman Keluarga Sagara...

“Sha, astaga Ayah udah bangunin dari tadi,” Keenan menggelengkan kepalanya saat melihat Arusha masih bergelung selimut.

“Ayah, ini masih pagi,” kelopak mata Arusha seolah enggan terbuka.

“Udah jam 8, Nak. Katanya mau jenguk Bunda, nanti kalau tambah siang jalanan jadi macet. Ayo bangun, Ayah udah siapin nasi omelet

kesukaanmu,”

Mendengar kata nasi omelet, kantuk Arusha seolah pergi begitu saja. Ia langsung terduduk di tempat tidurnya.

“Gendong,” rajuknya.

“Hah? Kamu udah lebih tinggi dari Ayah. Ya Tuhan,” Keenan menepuk keningnya.

“Gendong,” Arusha memajukan bibirnya beberapa senti.

“Anak siapa sih, nih?” keluh Keenan.

“Anaknya Keenan Sagara,” celetuk Arusha ringan sekali.

            Keenan menuruti keinginan anak semata wayangnya itu, ia gendong Arusha di punggungnya dan membawanya keluar kamar. Benar saja, mata Arusha membulat senang kala melihat makanan yang sudah tersaji.

            Ayahnya memang pandai memasak, semua bisa ia olah. Mulai dari makanan Indonesia hingga makanan Eropa sekalipun, dan semuanya terasa enak. Tak heran, ketika sesekali Arusha membawa bekal ke sekolah, maka pujian yang selalu ia dengar kalau masakan Ayahnya sudah seperti buatan chef professional.

“Ayah hari ini mau pakai Tesla, kan?” Arusha memasukkan sesendok makanan ke mulutnya.

“Perasaan kamu dari kemarin tanya itu terus,”

“Abisnya Ayah jarang pakai, sayang Yah,” protesnya.

“Pakai si putih aja,” cetus Keenan—yang dimaksudnya adalah BMW yang digunakan untuk mengantar jemput Arusha ke sekolah.

“Si putih udah kerja keras dari Senin sampai Jumat, Yah. Tesla aja, ya?”

“Iya deh. Cepet makannya, terus mandi. Jadi jam 9 kita udah berangkat,”

“Siap, Bos !!!”

          Suasana jalanan Jakarta belum terlalu padat, sehingga dua lelaki Sagara itu bisa sampai di tempat dalam waktu singkat. Di tangan Keenan, kini ada bunga lilybunga kesukaan istrinya.

“Hai, Div. Kamu apa kabar? Maaf saya sama Arusha baru sempat kesini,” Keenan berjongkok, diikuti oleh Arusha.

“Bunda disana baik-baik aja, kan?” Arusha mengelus nisan milik Bundanya tersebut.

“Sekarang Arusha udah gede, Div. Cerewet, usil tapi juga kritis kayak kamu,”

“Kita udah jadi konco ribut, Bun,”

“Haha, kamu nih. Tahu darimana kosakata itu?” Keenan tertawa kecil.

“Aku sering denger Om Satya bilang kalau Om Sena sama Ayah tuh konco ribut,”

Keenan hanya bisa tertawa melihat tingkah anaknya itu, sesaat kemudian mereka sudah larut dalam doa. Divyanisa, perempuan satu-satunya di keluarga Sagara sudah meninggal sejak 16 tahun lalu. Tepat saat ia melahirkan Arusha ke dunia, waktu Keenan dengan Divya cukup singkat.

            Mereka hanya 1 tahun berpacaran, lalu 6 bulan setelah pernikahan, Divya sudah mengandung Arusha. Belum lama kebersamaan itu, ternyata takdir Divya usai ketika Arusha lahir. Keenan merasakan anugerah sekaligus kehilangan dalam waktu bersamaan, ia bersedih karena kehilangan istri yang paling disayanginya namun juga bahagia karena hadirnya putra kecil yang sudah lama ia inginkan.

            Semenjak Arusha mengingat dunia, yang ia temui dan menemaninya adalah Keenan. Arusha kecil dulu mengira semua orang sama seperti dirinya, hanya memiliki seorang Ayah. Hingga ketika ia duduk di kelas 2 SD, ia paham dirinyalah yang sedikit berbeda. Kala Jivan, Revian dan Narthana masih diantar Mamanya ke sekolah, hanya Arusha yang tak mengalaminya.

            Penjelasan Keenan di satu malam, membuatnya tersadar kalau Bundanya sudah meninggalkan semesta ini terlebih dulu. Arusha berusaha kuat demi Keenan dan dirinya sendiri, namun ada kalanya ia pun merasa iri dengan teman-temannya.

“Ayah, aku kangen Bunda,” lirih Arusha memecah keheningan.

           Detik berikutnya, Keenan membawa daksa Arusha kedalam dekapannya. Pertahanan anak itu runtuh, ia menangis dalam diam.

***

“Pa, boleh aku masuk?” kepala Jivan tersembul dari balik pintu ruang kerja Sena.

“Masuk aja, Van,” netra Sena beralih sejenak dari file yang bertumpuk dan lalu kembali fokus.

            Jivan duduk di sofa yang letaknya tak jauh dari meja Sena, ruang kerja papanya ini memang selalu nyaman dan rapi. Tak terlalu besar, namun membuat siapapun betah untuk menyelesaikan pekerjaannya disini. Di dinding berwarna abu muda itu, terpajang foto-foto Sena saat menghadiri berbagai acara di kantornya, penghargaan hingga fotonya dengan Jivan.

            Jivan tahu betul, perjuangan Papanya membangun Sera tidaklah mudah. Banyak saingan sesama dunia televisi yang harus dihadapinya, soal modal yang harus selalu memadai dan hingga orang-orang kepercayaan Papanya yang bisa membantu Sera hingga menjadi sebesar sekarang.

            Senandika Raga Erdanta—kini dikenal sebagai pemilik Sera’s Media Grup, salah satu perusahaan terkemuka yang bergerak di bidang Televisi dan Radio. Sera tumbuh menjadi salah satu stasiun televisi swasta yang memiliki reputasi bagus di Indonesia.

“Ada apa, Van?” tanya Sena memecah lamunan Jivan.

“Tadi Mama telepon, katanya nanti malam pesta ulangtahunnya Adara. Aku boleh kesana, Pa?” ujar Jivan.

“Boleh aja, nanti Papa suruh Pak Amat antar kamu,”

“Nggak akan sama Papa aja?”

            Pertanyaan itu sukses membuat Sena mendongakkan kepalanya, dan menatap Jivan cukup tajam. Anak itu paham, tatapan itu berarti tidak. Papa dan Mamanya—Jana Melodia, sudah sejak 9 tahun lalu bercerai. Ketika Jivan duduk di kelas 2 SD, ia melihat kedua orangtuanya itu sudah berpisah.

           Jivan kala itu terlalu muda untuk mengetahui alasannya, namun hingga kini ketika ia menginjak usia remaja pun, Jivan belum tahu alasan yang sebenarnya. Ia ingin tahu, namun takut memancing amarah Sena. Papanya itu tak mau bertemu Mamanya meski Jivan memintanya agar mereka berjalan-jalan bersama.

          Jivan berusaha paham akan apa yang dialami Sena, dan sejak 6 tahun lalu Mamanya sudah  kembali menikah dengan seorang pengusaha bernama Atmadeva Naratama dan langsung memiliki Adara—adik tirinya yang malam ini akan berulang tahun.

          Jivan dengar juga, sebenarnya Om Deva—biasa papa tirinya ia sapa, memiliki putri dari pernikahan pertamanya dan seusia dengan dirinya. Namun dirinya tak pernah bertemu secara langsung, Jivan dan anak perempuan itu kata Mamanya, akan dikenalkan satu sama lain ketika mereka sudah diungkap ke muka publik.

“Ya udah, aku sendiri aja kesananya,” Jivan menundukkan kepalanya.

            Dan lalu, yang dirasakan tubuhnya berikutnya adalah pelukan hangat dari Sena dan elusan tangan di rambut hitamnya.

“Maaf ya, kalau tadi Papa bikin kamu jadi takut,”

“Nggak apa-apa, aku paham kok. Oh, aku mau bilang kalau ada apa-apa, Papa cerita sama aku ya, aku memang nggak bisa mecahin semua masalah Papa terutama soal kerjaan. Tapi sekarang aku udah gede, udah bisa denger semua keluh kesah Papa,” ujar Jivan.

            Sena mengangguk dan tersenyum kecil.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status