Suasana di mobil mendadak dingin, berbagai perasaan berkecamuk di dalam diri Johnny. Pertanyaan Revian barusan begitu menohoknya, sebuah tanya yang sudah lama berputar di pikirannya. Ia ingin kembali pada Jilaine, namun alasan apa yang akan membuat istrinya mau kembali? batin Johnny.
“Rev, harusnya kamu nggak tanya itu,” Elenio berusaha menetralkan suasana.
“Nggak apa-apa, Nio. Adikmu pasti udah lama pengen nanya ini,”
“Maaf kalau pertanyaanku mengejutkan, Pa,” Revian menunduk.
“Nggak apa-apa. Rev, kamu tahu kan? Alasan Papa berpisah sama Mama itu, bukan alasan yang sederhana. Cukup prinsipil, Papa rasa terus bersama dengan Mama malah bikin hubungan kami tambah buruk dan pada akhirnya akan berdampak sama kalian. Lagipula, kamu masih sering ketemu Mama, kan? Kita rutin makan malam sebulan sekali,”
Revian terdiam.
“Papa paham, kalau ada kalanya kamu butuh sosok Mama disaat-saat tak terduga. Dan itu nggak akan keganti dengan waktumu sama Mama yang terbatas, maaf juga kalau Papa belum memenuhi ekspetasimu sebagai Papa sekaligus Mamamu, atau bahkan temanmu. Papa akan lebih usahakan lagi,”
“Papa udah jadi yang terbaik, aku nggak bermaksud buat Papa merasa begitu,”
“Besok puas-puasin waktumu sama Mama, nginep juga boleh,” Johnny mengelus surai hitam Revian.
“Makasih, Pa,”
Mereka pun melanjutkan perjalanan dalam keheningan, ketiga lelaki Kivandra larut dalam pikiran masing-masing ditemani samar suara radio.
Aplikasi video call di laptop Johnny langsung ramai ketika ia baru memulai panggilan videonya, kadang jika tak ada waktu untuk berkumpul, empat kawan karib ini akan bercerita via aplikasi virtual. Entah untuk cerita serius atau sekadar berkelakar, semua mereka lakukan demi melepas penat setelah seharian bekerja.
“Jadi, ada cerita apa hari ini?” ternyata Keenan yang pertama kali membuka suaranya.
“Narthana ngeluh soal lesnya, capek katanya,” ujar Satya, matanya tertuju pada kamera namun tangannya sibuk mencari sesuatu.
“Ya, gila aja Sat. Itu anak lo sekarang kelas 12, tapi lo masih ikutin les Bahasa Inggris terpisah, belum lagi kelas Taekwondonya. Gimana dia nggak tepar coba?” tanggap Sena.
“Tadinya gue pikir dia masih sanggup, Sen,” Satya menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal.
“Udah, stop aja dulu dua-duanya. Biar Narthana fokus sama ujian akhirnya, nanti kalau sakit, kasihan juga,” saran Keenan.
“Iya deh,”
“Kenapa lo, Bang John? Dari tadi nggak komen sama sekali, capek lo?” Sena aneh dengan tingkah Johnny yang diluar biasanya.
“Revian tadi nanya, ada kemungkinan gue balik sama Jilaine apa nggak,”
“Hah???” ketiga lelaki itu serempak mengeluarkan suaranya, sanggup membuat Johnny yang tengah memakai earphone
melepasnya dalam hitungan detik.“Buset, lo pada niat bikin telinga gue pengeng apa gimana?” Johnny mengorek-ngorek telinganya.
“Maaf deh, abis cerita lo mengagetkan. Terus, lo jawab apa ke Revian?” ujar Keenan.
“Ya, gue bilang kalau alasan gue pisah sama Mamanya kan nggak sesederhana itu. Gue bilang kalau kemarin-kemarin dipaksakan bersama, dia sama kakaknya yang jadi korban.Gue juga minta maaf ke Revian, dia pasti ngerasa waktu sama Jilaine kurang, terus gue punya keterbatasan buat menuhin dua peran sekaligus,” tepat setelah kalimatnya usai, nafas Johnny terdengar begitu berat.
“Wajar sih kalau Revian punya keinginan begitu, meski dia sekarang udah cukup umur, dia tetap anak-anak. Gue juga yakin, Elenio pernah berpikiran sama tapi dia pilih buat diam, gue rasa tanggapan lo udah tepat, Bang,” tanggap Satya.
“Lo masih sayang sama Jilaine?” tembak Sena langsung.
“Masih, gue kira setelah pernah jalin hubungan sama perempuan lain, gue bisa lupain dia. Ternyata nggak, meski waktu itu Revian sempat cocok sama salah satunya, hati gue belum seyakin itu,”
“Iya, inget gue juga. Siapa namanya tuh? Gista? Yang pernah kerja di kantor lo,” sahut Keenan.
“Susah memang kalau hati lo masih buat Jila, gue akuin dia perempuan terbaik yang lo pernah miliki,” Sena menggelengkan kepalanya.
“Gue beberapa kali berpikiran mau ngajak dia balikan, tapi gue juga takut ini malah nyakitin dia,” Johnny mengacak rambutnya bingung.
“Lebih baik bicarain kalau kata gue, Bang. Apapun hasilnya, supaya hati lo bisa plong dan lo kasih jawaban yang lebih pasti lagi kalau suatu hari
Revian sama Elenio nanyain lagi soal ini,” nasihat Satya.“Oke, deh. Makasih ya, buat semua sarannya. Gue lebih tenang sekarang,”
***
“Silakan dinikmati,” Satya menaruh dua gelas frappucino
dan sepiring tiramisudi meja salah satu pelangganya.Terkadang kalau jam ramai begini, Satya akan ikut serta melayani pelanggannya. Entah sebagai kasir atau pelayan. Satya kembali menuju area etalase, sepertinya tim barista juga membutuhkan bantuannya.
“Satya...,” sebuah suara menyapa pendengaran Satya.
Satya yang tengah memegang mesin pembuat kopi terdiam sejenak, dunianya kini seolah terhenti dalam hitungan detik.
“Pak, itu ada yang cari Bapak,” tanggap Elia—salah satu karyawannya.
Satya menoleh dan menghadap ke sumber suara, tatapan matanya kini begitu sulit diartikan.
“Ada apa?” nada suaranya terdengar begitu dingin.
“Saya mau bicara sama kamu,”
“Kita bicara di ruangan saya aja,” Satya memberi kode agar perempuan tersebut mengikuti langkahnya.
Sesampainya di ruangan, Satya mempersilakannya duduk dan memberi segelas minuman kaleng.
“Makasih,”
“Ada apa?” nada suara Satya sama sekali tidak berubah.
“Pertemukan saya dengan Narthana, Sat,”
“Haha, permintaanmu nggak salah Sher?” terdengar tawa sumbang dari bibir Satya.
“Satya, saya udah 17 tahun nggak ketemu Narthana. Saya mesti nunggu berapa lama lagi?” Sherianne menghela nafas panjang.
“Setelah semua yang kita alami, kamu masih berani mempertanyakan ini?”
“Kamu tahu sendiri, Sat. kalau kita berpisah karena keluarga ikut campur,”
“Lalu sekarang, keluargamu udah terima? Udah berubah?” cecar Satya.
“Sat, saya Mamanya. Narthana berhak tahu siapa saya,”
“Dia sudah cukup dengan keberadaan saya. Saya nggak mau dia jadi seperti saya di masa lalu,”
“Sat, saya mohon. Selama ini saya cuma bisa lihat dari media sosialmu,”
“Itu sudah lebih dari cukup, dia tumbuh baik dan dewasa. Sekarang kamu bisa pergi,” Satya memberi isyarat agar Sherianne keluar dari ruangannya.
“Satya..,”
“Saya nggak mau berlaku kasar, kamu sebaiknya pergi,” Satya mati-matian menahan emosinya.
Sherianne menatap Satya nanar, lalu perempuan tersebut keluar dari ruangan Satya dengan perasaan kecewa.
Ia tahu, pernikahannya dengan Satya 17 tahun lalu berakhir dengan sebuah luka, intervensi dari keluarga Sherianne membuat hubungannya dengan Satya selesai. Kala itu pernikahannya baru berjalan 1 tahun, Sherianne melahirkan Narthana dengan selamat.
Ia kira dengan lahirnya Narthana dapat mencairkan kebekuan hubungan orangtuanya dengan Satya, namun ternyata itu diluar harapannya. Sejak ia berpacaran dengan Satya, Mama & Papanya tidak terlalu setuju karena lelaki tersebut hanya berposisi sebagai karyawan biasa.
Sementara ia sejak dulu terbiasa hidup mewah dengan segala fasilitas, sebenarnya Sherianne sama sekali tak keberatan. Ia bisa membangun semuanya dari awal dengan Satya.
Kelahiran Narthana tidak berarti apa-apa, konflik semakin memanas dan Satya terpojok dengan cacian dari orangtuanya. Hingga suatu hari, Satya melayangkan gugatan cerai. Lelaki itu sama sekali tak menuntut pembagian harta, ia hanya meminta hak asuh Narthana jatuh ke tangannya.
Orangtua Sherianne yang dari awal tak menyukai, jelas melarang Sherianne memperjuangkan haknya sebagai seorang Ibu. Saat keduanya resmi bercerai, sejak itulah Sherianne tak pernah berjumpa dengan Narthana.
Titik terang mulai terasa kala usaha Satya mulai menaik dan lelaki itu sering memposting kebersamaannya dengan Narthana. Sesekali Sherianne juga mengintip sosial media milik anaknya tersebut, Narthana tumbuh dewasa dengan sempurna.
Wajah yang dimiliki anak lelakinya itu benar-benar perpaduan ia dan Satya, sekilas bahkan Sherianne teringat bahwa Satya di usia dua puluhannya terlihat seperti Narthana kini.
***
“Papa mana, El?” Narthana menghampiri Elia yang tengah berjaga di kasir, Biasanya kalau tak ada les sehabis sekolah, Narthana akan mengunjungi Sadajiwa, entah sekadar untuk bertemu dengan papanya lalu pulang bersama atau mengerjakan tugas dengan Revian, Dafandra & Naren.“Papanya Mas lagi ke supplier, baru setengah jam lalu berangkat,”“Oh, gitu ya,”“Mas mau saya buatin sesuatu?” tawar Elia. Meski Elia 4 tahun lebih tua dari Narthana, perempuan itu selalu memanggilnya dengan sebutan Mas, dengan niat menghargai lelaki itu sebagai anak dari bosnya. Elia pun membiarkan Narthana memanggilnya dengan nama semata, tanpa embel-embel apapun.“Bikinin aku teh raspberikalau gitu, sama tiramisu,”“Baik, Mas,” Narthana memilih tempat&
Satu minggu berlalu, akhirnya rombongan ayah dan anak akhirnya sampai di Bandara Komodo setelah 2 jam terbang, mereka sampai tepat pukul 1 siang. Cuaca cukup panas karena matahari tengah bersemangat memancarkan sinarnya, mereka sampai setengah berlari memasuki bandara dan tak lupa sunglasses yang bertengger di wajah mereka. Ketika menunggu koper keluar dari konveyor, netra Narthana menjelajahi isi bandara yang tidak terlalu ramai. Tiba-tiba ia melihat sesuatu, ada sosok perempuan yang amat dikenalinya—Elia. Gadis itu sepertinya juga baru mendarat, namun ia sudah mendapatkan kopernya. Disampingnya ada seorang laki-laki yang tengah mendorong troliyang berisi barang-barang dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya merangkul pundak Elia. Meski kini gadis itu memakai masker dan hoodie, namun Narthana masih bisa mengenalinya.“Kak? Lihat apa sih? Kok k
Suggestion Playlist :1. Kali Kedua (Raisa)2. Angel (NCT 127) Setelah liburan selama 4 hari, mereka kembali ke Jakarta. Di bandara, beberapa dari mereka ternyata sudah dijemput.“Dijemput ehem,” Satya berdeham kala melihat sosok Jilaine dari jauh. Perempuan itu datang dengan Elenio, sementara disampingnya terdapat sosok Jana & Adara yang ternyata datang untuk menjemput Jivan.“Berisik lo, Sat. Kalau lo ngomong aneh-aneh gue tampol,” Johnny memperingati.“Hai, semua,” Jilaine tersenyum manis sambil mengedarkan pandangannya.“Revian yang minta dijemput, ya? Padahal nggak usah, Jila,” ujar Johnny.“Nggak kok, John. Inisiatifku sendiri, lagian hari ini agendaku juga lagi kosong,”“Oh, gitu. Ya, udah kita pulang,” tangan Johnny memberi kode agar
“Jila..,” ujar Johnny kala teleponnya tersambung.“Ya? Kenapa, John?”“Kamu tahu dimana tempat bubur yang kata kamu waktu itu enak?”“Oh, iya. Kenapa, John? Kamu lagi sakit? Atau anak-anak?”“Mamaku lagi nggak begitu enak badan, terus tadi kirim pesan keaku. Katanya minta bubur yang pernah dibawain kamu,”“Gitu, ya. Lumayan jauh kalau dari kantormu, John. Aku kirim via ojek online aja ke Mamamu, ya? Kalau nunggu nanti kamu pulang, takutnya Mamamu keburu nggak mau,”“Bener? Nanti aku transfer uangnya, Jila,”“Nggak usah, kayak ke siapa aja. Nanti aku kirimin, kamu kabari aja Mamamu kalau makanannya sudah dikirim,”“Makasih ya, Jila,”“Sama-sama, John,” Meski 10 tahun berlalu, sosok Jilaine sepertinya tak tergantikan dalam keluarga Kivandra. Baik untuk Johnny, El
Project baru akan segera dimulai, itu tandanya kesibukan Keenan akan meningkat. Dia sibuk memantau konsep setiap divisi agar sesuai dengan kesepakatan awal, apalagi ini melibatkan kerjasama dengan salah satu perusahaan di Singapura. Semuanya harus tertata dan terstruktur, jika tidak nama Sagara yang akan dipertaruhkan. Kalau sudah begini, maka kertas-kertas file dan komputer yang selalu menyala akan jadi teman setia Keenan.“Pak..,” ketukan pintu membuyarkan konsentrasi Keenan.“Ya, masuk,” sahutnya. Ternyata sosok itu Devina—ditangannya terdapat paper bag yang berlabelkan resto ternama.“Kenapa?” netra Keenan sama sekali tidak berpaling dari file.“Ada kiriman makanan dari Arusha, Pak. Katanya dia mau Ayahnya makan tepat waktu,”“Kamu sudah makan?” tanya pria itu dengan nada tegas
“Ke rumah gue, pada mau nggak?” ajak Revian tiba-tiba saat bubar sekolah.“Dadakan nih?” tanya Naren.“Kayak tahu bulat. Gurih-gurih enyoy,” lanjut Dafandra.“Lo dibayar berapa anjir? Sampe nyanyi begitu,”“Gue nggak bisa, ada latihan nih,” ucap Naren.“Yah, lo mau nggak, Daf?” tanya Revian.“Nggak juga, gue disuruh nganter Mama,” jawab Dafandra.“Ajakin para bocah aja kalau gitu, Rev,” ucap Narthana.“Oke deh, ayo,” Revian melambaikan tangan kearah Dafandra & Revian lalu merangkul Narthana menuju kelas Jivan & Arusha. Suasana kelas 11 masih ramai, sepertinya belum ada tanda mereka untuk pulang dalam waktu dekat.“Hai, Kak,” datangnya Revian & Narthana bertepatan dengan Jiandra yang hendak keluar kelas.“Cieee,” Narthana menyodok pi
“Nih, makan dulu,” Arusha membawakan sepiring spaghetti kehadapan Jivan. Arusha cukup kaget saat mendapati Jivan tiba-tiba datang tanpa memberi tahu terlebih dahulu, apalagi teman baiknya itu membawa tas yang cukup gendut dan ternyata berisi baju dan laptopnya.“Gue nggak lapar,” ujar Jivan.“Makan dulu, heh. Nanti gue dimarahin ayah lo,” Arusha setengah memaksa.“Gue juga makan nih, lo juga harus,” Arusha memperlihatkan piringnya.“Iya, bawel,” Jivan menikmati makanannya.“Enak nggak?”“Om Keenan yang masak?”“Gue,”“Ah, jangan bohong lo,”“Dih, lo mah nggak percaya. Orang tinggal campurin minya sama bumbu,”“Iya sih,” Sepertinya Jivan benar-benar lapar, makanannya habis dalam sekejap.“Jadi ada masalah apa
Hubungan Revian & Jiandra semakin dekat, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Entah berjalan-jalan di akhir minggu, belajar bersama dan Revian yang sering berkunjung ke rumah Jiandra.“Nih,” Jiandra mengangsurkan kotak bekal saat dijemput Revian.“Itu kotak bekal Kakak lho, jelas dari Ibu lah. Bingung aku, sekarang anak Ibu tuh aku atau Kakak,” Jiandra memajukan bibirnya.“Hahaha, makasih lho. Kebetulan nanti gue ada kelas olahraga, jadi nggak usah jajan,” Revian mengambil kotak makan tersebut dan lalu memakaikan helm pada Jiandra. Tak sampai setengah jam, mereka sudah sampai di sekolah. Suasana cukup ramai karena 15 menit lagi bel masuk akan berbunyi.“Jian, gue mau ngomong sama lo,” saat baru saja turun dari motor Revian, Jiandra sudah dikagetkan dengan Naren yang mencegatnya. Gadis itu malah menatap Revian, seolah meminta persetujuan. Revian