Gian masih belum percaya dengan apa yang terjadi pada dirinya, mendadak saja muncul aliran listrik dari ujung jari kanannya. Awalnya dia mengira dia masih di alam mimpi, tapi ternyata tidak.
Karena masih diliputi kebingungan, dia mencoba mengingat-ingat apa yang tadi terjadi.
Sepertinya tadi dia bermimpi aneh mengenai seorang kakek berambut dan berjenggot putih dengan jubah serba putih pula.
Hei! Bukankah tadi si kakek di mimpinya mengaku sebagai kucing kecil yang dia tolong? Ya! Kakek itu berkata demikian! Bahkan Beliau menempelkan tapak tangan ke dahi Gian.
Baru saja dia memikirkan mengenai si kakek aneh yang mengaku sebagai jelmaan kucing malang itu, mendadak saja Gian merasakan seluruh otot dan sendinya terasa sakit, bahkan semua tulangnya juga terasa berdenyut hebat, ngilu sampai ke sumsumnya.
Kenapa sekedar tidur saja bisa berakibat segila ini? Rasanya seperti ditabrak kereta atau bus, meski dia belum pernah mengalami keduanya. Amit-amit!
“Erghh … urrfhh ….” Gian berguling ke kanan dan kiri di atas kasur sambil merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Namun, ternyata itu hanya berlangsung selama sepuluh menit saja.
Setelah rasa sakitnya menghilang, Gian mulai duduk lagi di kasur, napasnya tersengal-sengal seakan dia baru lari maraton.
Mengabaikan peluh yang bercucuran dari kepalanya, Gian menatap sekali lagi tangan kanannya, memeriksa apakah ada sesuatu yang janggal di sana.
Tak ada.
Ketika hendak mengambil ponselnya untuk bermain game saja, mendadak keluar aliran listrik dari ujung telunjuknya, lalu energi itu merasuk ke dalam ponselnya di bagian yang biasa untuk diisi daya.
Hal itu menjadikan dia terkesiap takjub.
Setelah daya di ponselnya penuh dengan cepat akibat listriknya, Gian menarik jarinya yang menempel di sana, memandangi lagi telunjuk itu.
Dari sana, muncul bunyi “zztt zztt” seperti sengatan listrik diiringi pijaran biru mengular kecil-kecil menyerupai akar.
‘Sepertinya, setiap aku memikirkan listrik itu, dia keluar dari jariku,’ batin Gian. Ya, dia sudah memiliki keyakinan mengenai itu.
Kemudian, dia mengganti bajunya yang basah karena keringat agar bisa nyaman ketika rebah untuk tidur.
Sayang sekali, dia gagal memejamkan mata dan justru terus terjaga.
Dikarenakan itu, Gian jadi merenungkan hidupnya. Dia selalu mendapatkan kemalangan di manapun, tidak diterima di manapun. Hanya Alicia saja yang bersedia menjadi temannya.
Alicia. Memikirkan gadis itu menyebabkan perasaannya menghangat dan mengakibatkan senyum muncul di wajahnya tanpa dia sadari. Apakah dia menyukai Alicia?
Ahh, misalpun demikian, mana mungkin Alicia mau membalas rasa sukanya. Dia sadar diri seperti apa wujudnya, jelek dan berjerawat parah.
Gian terus memikirkan kemalangan dia dan sekaligus membayangkan Alicia yang cantik dan baik hingga tak terasa pagi sudah menjelang.
Anehnya, Gian tidak merasa lelah sama sekali. Mengantukpun tidak!
Kemudian, dia bergegas mandi dan pergi ke sekolah tanpa sarapan, seperti biasanya. Melinda malas membuatkan sarapan untuk anak-anaknya dan menyuruh mereka membeli nasi uduk di mulut gang saja.
Namun, Gian lebih suka menyimpan uang nasi uduk dan menabungnya. Makan bisa nanti siang saja di kantin.
Setelah berjalan sebentar menyusuri gang, Gian masih berjalan sampai ke perhentian angkot. Dia naik jurusan ke sekolahnya dan duduk tenang.
Saat di angkot, dia melihat dua lelaki mencurigakan. Dari sekilas pandangan saja, Gian tahu kedua lelaki itu pencopet yang biasa beroperasi di angkot.
Benar saja, salah satu lelaki yang duduk di sebelahnya sedang beraksi pada seorang ibu yang lengah.
Kesal dengan hal semacam itu, Gian secara iseng memikirkan mengenai listriknya dan menempelkan telunjuk dia ke pinggang pencopet.
Sengatan listrik langsung menusuk, mengagetkan si pencopet.
“Aduh! Sialan!” Lelaki itu kaget dan segera menoleh ke Gian diiringi tatapan bengis seolah ingin mencabik-cabik.
Gian membalas dengan sebuah senyum meringis ke lelaki itu.
Ketika Gian turun dari angkot, kedua pencopet juga ikut turun, bahkan mengikuti Gian.
Tiba-tiba, salah satu dari mereka menusukkan pisau belati ke pinggang belakang Gian. Tentu pemuda itu terkejut dan menoleh, tapi yang dia lihat justru pandangan kaget lelaki itu menatap belatinya yang sudah bengkok.
Pencopet satunya bergegas mengayunkan pisau lipat di tangan untuk disarangkan ke tubuh Gian, tapi pemuda itu lekas menangkis dengan tangan terangkat.
Segera, pisau lipat lelaki itu bengkok.
Menatap kaget kedua senjata yang justru bengkok, kedua lelaki itupun memandang ngeri ke Gian dan berlari menjauh.
Tinggallah Gian kebingungan. Ada apa dengan mereka? Atau … ada apa dengannya? Gian menatap kedua tangan, memeriksa pinggang, semuanya baik-baik saja, tidak tergores dan tidak terasa sakit.
Masih bertanya-tanya mengenai itu, dia melanjutkan langkahnya ke sekolah.
Tiba di kelas, seperti biasa, banyak temannya mengerubungi dia hanya untuk dipinjami PR, dan bila beruntung, mereka bisa menyuruh Gian menyalinkankannya untuk mereka.
“Hei! Burik! Pinjam PR bahasa Inggrismu!”
“Bule palsu sudah datang! Sini! Sini! Mana PR kamu?”
“Oi, bule burik, salinkan PR untukku, yah! Nih!” Seorang gadis melemparkan buku tugasnya ke Gian ketika pemuda itu baru saja menaruh pantat di bangkunya.
“Aku sekalian!” Siswa lain juga melemparkan bukunya ke Gian.
“Kalian ini! Kenapa malah menyuruh Gian menuliskan PR kalian? Sudah bagus kalau dia membiarkan kalian mencontek pekerjaannya, ini malah diberi hati minta jantung dan paru-paru!” Alicia sudah muncul di ambang pintu kelas, berkacak pinggang, dan melihat Gian sudah dikerumuni untuk dimanfaatkan, sungguh pemandangan sehari-hari.
Mengabaikan teman-teman kelasnya bergumam dan kesal dengan tindakan Alicia, gadis itu menarik tangan Gian dan mereka keluar kelas.
“Cia, mau ke mana?” Gian bingung, tapi tidak berani menolak. Diapun pasrah mengikuti ke mana Alicia membawanya, padahal ada banyak pasang mata memandang ke mereka.
Mereka tiba di kebun belakang sekolah dan Alicia berkata, “Bantu aku memetik kersen, yah!”
Maka, keduanya mulai sibuk mengambil buah kersen di sana. Gian melihat wajah Alicia yang gembira, terutama ketika gadis itu menyesap buah kersen matang berwarna merah tua.
“Gian, kenapa kamu selalu saja memanjakan mereka?” tanya Alicia sembari tangannya lincah memetik kersen dan ditaruh ke saputangannya.
“Aku ….” Gian bingung harus memberi jawaban apa, dia tentunya tak menyukai dirinya ditindas dan dimanfaatkan, tapi bila melawan, hasilnya adalah memar dan pukulan.
“Kau harus melawan, Gian! Jangan terus menuruti keinginan mereka!”
“Itu … akan aku usahakan.”
Lalu, keduanya duduk di bangku beton dekat pohon kersen.
“Gian, apa kau tak sakit hati dengan perlakuan orang padamu selama ini? Kalau aku dibegitukan, tentu akan marah dan tak terima.”
“Aku tidak ingin memperpanjang masalah, Cia.”
“Oh ya, namamu berbau Eropa, apa kau punya darah keturunan Belanda atau Italia?” Alicia sembari membuang kersen yang sudah selesai dia isap habis airnya.
“Jerman. Aku memiliki darah Jerman, dan juga Indonesia.”
“Siapa yang orang Jerman?”
“Papaku.”
“Dia bekerja di Indonesia?”
Gian menggeleng. “Namanya Jansen Aldrian Bergmans. Kata mama, dia keturunan Jerman dan Belanda. Dia sudah kembali ke negaranya.”
“Oh! Kenapa?” Alicia berhenti mengisap kersen dan fokus menatap Gian.
Gian diam sejenak, patutkah dia membeberkan aib ayahnya?
Gian menimbang apakah dia perlu membeberkan penyebab ayahnya kembali ke Jerman? Tapi, ini adalah Alicia yang bertanya.“Oh! Kalau kau tak nyaman mengatakannya, tak perlu dijawab, Gian.” Alicia menyadari keterdiaman Gian.“Ayahku kembali ke negaranya karena tugas pekerjaan,” ucap Gian pada akhirnya, berbohong. Sebenarnya, sang ayah kembali ke Jerman karena menikah lagi dengan perempuan di negara asalnya dan meninggalkan anak dan istri di Indonesia.Untungnya, meski sang ayah brengsek, Beliau masih bersedia memberikan uang secara rutin ke Melinda walau tidak fantastis jumlahnya. Setidaknya, bisa untuk makan sehari-hari.“Kau punya saudara? Kakak atau adik?” Alicia bertanya lagi. “Maaf, yah! Aku jadi ingin tahu banyak mengenaimu. Selama ini kita hanya mengobrol ringan dan singkat saja, tak pernah seserius ini, he he ….”“Tak apa.” Lalu, Gian menyebutkan nama ketiga saudaranya. Di akhir ceritanya, dia menuturkan, “Mereka semua sangat berbeda denganku.”“Berbeda bagaimana?” Alicia makin te
Melihat baju Melinda ternyata robek akibat kucekannya, Gian ketakutan. Dia sudah pasti tidak akan lolos dari amukan ibunya.Panik, dia bangun dari jongkok dan mencari tempat yang sekiranya bisa digunakan untuk menyembunyikan baju itu. Ah! Sepertinya ember kecil itu tidak pernah dipakai, taruh sana saja dulu.Lega mendapatkan tempat menyembunyikan baju robek Melinda, Gian meneruskan mencuci.Namun, telinganya mendengar suara kakak keduanya, Zohan atau biasa dipanggil Hanz. Pemuda itu pasti baru pulang dari kampus.Tak berapa lama, muncul Zohan di ruang cuci, bicara ke Gian, “Heh, anak haram! Nih, aku tambah cucianmu!” Lalu dia melemparkan beberapa baju dan celana dalam ke ember cucian sehingga mengenai tangan Gian. “Yang bersih, yah! Oh! Celana dalamku sedikit kotor, cuci yang bersih, OK!” Setelah itu, dia melenggang santai, berlalu dari ruang cuci.Gian memperluas lautan kesabarannya.Usai mencuci dan menjemur di halaman sempit belakang rumah, Gian lekas masuk ke kamar untuk mandi sor
Melinda dan Gian sama-sama menoleh ke Carlen ketika lelaki itu berkata kemejanya banyak hilang dan memberikan tuduhan ke Gian. Hati Gian menjerit, ‘Kapan dia menghilangkan kemeja Carlen? Tidak pernah!’Jelas bahwa Carlen sedang memfitnah dia!“Kau! Kau ternyata sudah biasa begini ke baju kami, yah! Kau kesal karena mencuci baju kami?” Suara Melinda berpadu dengan bunyi tongkat dihantamkan ke tubuh Gian, seakan itu bukan anaknya melainkan orang jahat.Setelah sekian belas menit menghajar Gian, Melinda kelelahan dan melihat tongkat di tangannya sudah rusak! “Lihat! Kau tak hanya merusak baju, kau juga merusakkan tongkat ini!” Lalu dilemparnya tongkat rusak itu ke Gian sebelum Beliau masuk ke kamarnya sendiri.Carlen terkekeh culas dan masuk ke kamarnya juga, tontonan sudah berakhir. “Sayang sekali Hanz tidak melihat mama sedang memukuli anjing. Ha ha ha!” Lalu, dia menghilang di balik pintu.Sementara itu, Gian termangu. Dia memandangi tongkat pramuka adiknya yang sudah terburai bambuny
Tikus! Itu benar-benar seekor tikus, dengan tinggi dan bentuk begitu mirip dengan makhluk yang dinamakan tikus putih yang biasa digunakan manusia untuk melakukan percobaan ilmiah di laboratorium. “Tolong katakan padaku, kau benar-benar tikus? Kau benar-benar bicara?” Gian hanya ingin memastikan saja. Siapapun di dunia ini tidak akan percaya bahkan meski jika dipukuli, jika mendengar ada tikus yang bisa berbicara kecuali di cerita fantasi saja. Tikus putih itu berlagak jengah dengan memutar bola mata merah mungilnya ke Gian, lalu berkata, “Apakah kau kekurangan otak sehingga tak bisa mengetahui apakah ini bentuk tikus atau bukan? Ya, aku bukan tikus! Aku dinosaurus, rawrgh!” Gian bukannya tertawa malah mundur ke belakang karena kaget. Mengetahui bercandanya malah tidak memiliki efek seperti yang diharapkan, tikus putih itu mendesah pelan sambil kepalanya lunglai seakan sedang kecewa, “Hgh! Sepertinya kawanku terlalu bodoh sampai dia mewariskan kekuatannya padamu.” Mendengar kata ke
Gian baru saja selesai memasukkan semua buku sekolah yang dia perlukan ke tas dan bersiap keluar dari kamarnya ketika Elang berkata, “Kau hendak pergi sekolah?” Menoleh ke Elang yang masih ada di atas bantalnya, Gian mengangguk dan menjawab, “Iya. Aku harus rajin sekolah atau aku akan jadi sampah masyarakat. Begitu kata papaku dulu.” “Hgh … Bocah, kau terlalu disetir oleh orang lain. Tidak punyakah kau keinginan sendiri?” Elang mulai bangkit berdiri di atas bantal sambil menyilangkan dua lengan mungilnya di depan dada berbulu dia. Gian merasa bingung. Memang apa salahnya mematuhi ucapan orang tua sendiri? Tapi, daripada berdebat dan membuat Elang marah, dia memberikan sahutan, “Aku … aku tidak suka keributan.” Elang memutar kepalanya seakan merasa tak sabar dan jengah. “Ya ampun, bocah ini! Hgh! Kau, bawa aku ke sekolahmu!” “Ka-kamu ingin ikut pergi ke sekolah?” tanya Gian dengan wajah terkejut. Apa jadinya jika nanti dia membawa Elang bersamanya? Mungkin jika Elang seekor binatan
“Hii! Apa itu?” seru Emilia ketika melihat apa yang menyembul keluar dari saku seragam Gian saat remaja itu mulai melangkah memasuki kelasnya.“Ini … tikus putih.” Gian menjawab sambil menundukkan kepalanya.“Tikus! Ya ampun, tikus!” Aliana menjerit sambil dia menjauh dari Gian.Robert mendelik sambil menghardik Gian, “Kau sungguh menjijikkan!”“Dasar bule palsu menjijikkan!” Sonia ikut menghardik Gian dengan telunjuk menuding tegas.Datanglah Jehan sambil membawa sapu dan bertanya, “Mana tikus? Mana? Biar aku pukul dia!” Kemudian, dia memukuli tubuh Gian menggunakan sapu yang ada di tangannya.Lekas saja Gian menyahut dengan wajah panik sembari berkelit ke sana dan ke sini dari pukulan sapu Jehan, “Jangan! Jangan pukul dia! Dia tidak berbahaya!”“Apanya yang tidak berbahaya? Kau sembarangan saja membawa masuk tikus ke kelas, dasar bule tolol!” Evita yang geram, memarahi Gian tanpa ditahan-tahan.“Pukul saja tikusnya sampai mati! Itu membawa penyakit!” Rendi ikut mengompori Jehan.Ela
Mengendap-endap dengan cepat, Elang menyelinap masuk ke dalam kelas Gian. Itu bukan hal sulit bagi tikus, apalagi tubuhnya tergolong kecil dan ramping, sehingga itu mudah saja dilakukan.‘Huh! Kalian ingin menyingkirkan aku? Berani sekali kalian pada Yang Mulia ini!’ geram Elang dalam hatinya.Suasana kelas kembali kondusif dan tenang karena bu guru Ningsih termasuk guru yang tegas dan tak suka keramaian saat Beliau mengajar.Bahkan, sampai bel istirahat pertama berdering, semua terlihat baik-baik saja, hingga ….“Ya ampun! Kok tasku berlubang?” pekik Emilia panik karena tas mahal berharganya sudah memiliki lubang menganga di bagian bawahnya sampai buku dan barang lainnya nyaris jatuh. Dikarenakan itu, dia meratapi tasnya.“Eh! Tasku juga berlubang!” seruan muncul dari Rendi.“Aku juga!” Demikian pula Evita.“Punyaku juga, astaga! Aku bisa dipukul kakakku kalau tas ini rusak begini!” Imelda ketakutan karena itu adalah tas yang dia pinjam dari kakaknya.“Duh, tasku sudah berlubang di s
Rupanya, Elang termasuk sosok pendendam. Dia tidak suka diremehkan hanya karena bentuk dia sebagai tikus kecil. Namun, karena sifat pendendam itulah makanya Gian yang harus menanggung akibatnya. Dia dipaksa oleh banyak temannya untuk mengganti tas mereka. “Tapi, bukankah belum terbukti kalau itu ulah tikusku?” tanya Gian dengan wajah takut-takut saat membantah kemauan teman-teman kelasnya. Rendi menampar kepala Gian dan berkata, “Sudah jelas itu adalah gigitan tikus, kau masih ingin berkelit?” Evita menambahkan, “Kami ini tidak sebodoh kamu, Bule Palsu! Kami tahu perbedaan rusak alami dan rusak digigit tikus!” “Siapa tahu itu gigitan hewan lain.” Alicia mencoba memberikan pembelaan untuk Gian yang sudah mengkerut karena takut. Imelda melirik tajam ke Alicia sembari berbicara, “Kau ini, Cia, apakah kau sudah tertular kebodohan si Bule Palsu ini, heh? Apa pernah kelas kita mendapat musibah seperti perusakan tas secara masif? Berpikir, dong, Cia!” Yang lainnya mengiyakan setuju pad