Gian menimbang apakah dia perlu membeberkan penyebab ayahnya kembali ke Jerman? Tapi, ini adalah Alicia yang bertanya.
“Oh! Kalau kau tak nyaman mengatakannya, tak perlu dijawab, Gian.” Alicia menyadari keterdiaman Gian.
“Ayahku kembali ke negaranya karena tugas pekerjaan,” ucap Gian pada akhirnya, berbohong. Sebenarnya, sang ayah kembali ke Jerman karena menikah lagi dengan perempuan di negara asalnya dan meninggalkan anak dan istri di Indonesia.
Untungnya, meski sang ayah brengsek, Beliau masih bersedia memberikan uang secara rutin ke Melinda walau tidak fantastis jumlahnya. Setidaknya, bisa untuk makan sehari-hari.
“Kau punya saudara? Kakak atau adik?” Alicia bertanya lagi. “Maaf, yah! Aku jadi ingin tahu banyak mengenaimu. Selama ini kita hanya mengobrol ringan dan singkat saja, tak pernah seserius ini, he he ….”
“Tak apa.” Lalu, Gian menyebutkan nama ketiga saudaranya. Di akhir ceritanya, dia menuturkan, “Mereka semua sangat berbeda denganku.”
“Berbeda bagaimana?” Alicia makin tertarik ingin tahu.
“Carlen kakak pertamaku, dia berambut pirang gelap dengan warna mata cokelat madu, tingginya saja mencapai 190 sentimeter lebih. Lalu kakak keduaku, Zohan, dia berambut cokelat gelap dengan mata berwarna chesnut. Sedangkan adikku, Cheryl, warna rambutnya mahogani dengan mata berwarna hazel dan tingginya sama denganku.” Lalu, usai menguraikan semua tadi, senyum kecut Gian muncul kembali.
“Jadi, hanya kau yang berambut dan bermata hitam, Gian?” Alicia menyimpulkan.
“Ya, aku yang paling berbeda.” Gian mengangguk tanpa berani memandang Alicia. Dia tak punya rasa percaya diri, apalagi ketika jerawatnya sedang fase meradang parah begini.
Di benaknya, Gian berharap Alicia tidak muntah melihat jerawatnya.
“Aku ini keturunan Indonesia dan Pakistan, kadang risih bila orang memandangi aku.” Alicia mengalihkan pandangan ke langit.
“Wajar saja kalau banyak orang memandangimu, Cia, kau sangat cantik. Apalagi rambutmu berwarna caramel dan matamu … warna madu, kan?”
“Ha ha, iya, tepat sekali. Tapi, kadang aku tergelitik ingin mewarnai rambutku menjadi hitam, sepertinya itu lebih terlihat eksotis, seperti perempuan Indonesia.” Alicia mengulum senyumnya usai mengatakan yang ada di pikirannya.
“Cia, justru banyak perempuan Indonesia ingin memiliki rambut dan mata sepertimu.”
“Iyakah? Ha ha ha! Sepertinya manusia tidak pernah ada puasnya, yah!”
“Ha ha, iya!”
Lalu, bunyi bel terdengar.
“Nah, itu bel masuk! Yuk!” Alicia mengajak Gian untuk kembali ke kelas mereka.
Gian mengangguk dan berjalan beriringan dengan Alicia. Kepalanya terus menunduk menatap lantai dan sepatu mereka. Sepatunya sudah begitu butut, sangat kontras dengan sepatu bersih berkilau milik Alicia.
Ketika keduanya masuk ke kelas, itu tertangkap mata Danar, salah satu pemuja Alicia. Tangan pemuda itu terkepal erat.
Siang, saat pulang sekolah, Gian melangkah gontai hendak pulang. Dia baru saja menyelesaikan piket kelas.
Namun, ketika masih mencapai koridor kelas 2, Gian mau tak mau menghentikan langkahnya karena Danar dan gerombolannya mencegat di depan.
Gian langsung digiring ke area halaman belakang sekolah.
Gerombolan Danar merenggut tas Gian dan mencampakkan di rumput sebelum mereka mendorong Gian ke sana dan sini.
“Kau sepertinya tidak mendengar apa yang aku katakan, heh?” Danar melirik tegas Gian. Matanya setajam elang, siap merenggut mangsa. “Nyalimu banyak, yah?”
“Danar, aku salah apalagi?” Gian memberanikan diri bertanya.
Meludah terlebih dahulu dan Danar menjawab, “Brengsek! Kau masih bertanya apa salahmu? Salahmu adalah berjalan dan mengobrol dengan Cia!” Setelah berkata demikian, tinju Danar melayang ke pipi Gian.
Gian tak berani mengelak, pasrah menerima pukulan itu. Biasanya, semakin dia mengelak, akan semakin membabi-buta mereka memukulinya.
“Argh!” Terdengar seruan kesakitan dari mulut Danar. Pemuda itu mengusap-usap kepalan tangannya sembari meringis.
“Bos! Kenapa?” tanya salah satu anak buah Danar.
“Pukul dia!” perintah Danar kepada pengikutnya.
Bergegas, tanpa diperintah dua kali, 5 siswa mulai mengeroyok Gian, menyarangkan tinju dan tendangan ke Gian yang meringkuk melindungi dirinya dengan dua lengan.
Setelah 5 menit lebih, mereka mulai kelelahan dan menjauh dari Gian yang masih meringkuk.
“Kok dia baik-baik saja?”
“Iya, sepertinya dia baik-baik saja!”
Mata Danar nyalang memandang Gian sambil berseru ke anak buahnya, “Tunggu apalagi? Pukul dia lebih keras!”
Sekali lagi, hujan pukulan diarahkan ke Gian, kali ini lebih lama durasinya. Namun, setelah mereka semua berhenti, Gian masih terlihat baik-baik saja.
Kesal karena Gian tidak babak belur seperti biasa, salah satu anak buah Danar mengeluarkan pisau lipat yang dia hujamkan ke arah Gian.
Tap!
Gian secara refleks menangkap pisau lipat itu dan meremasnya.
Ketika ditarik oleh empunya, pisau lipat sudah menjadi bengkok. Mata mereka melotot kaget.
“Hei! Kalian sedang apa?” Terdengar seruan dari arah belakang mereka. Ternyata itu adalah salah satu guru. “Ini sudah jam pulang sekolah, untuk apa di sana?”
Danar memberi kode pada gerombolannya untuk pergi meninggalkan tempat itu. Mereka melewati guru tersebut seakan tidak terjadi apa-apa.
Setelah mengambil tas di rumput, Gian juga berjalan mengikuti gerombolan itu untuk ke gerbang sekolah.
Namun, ketika Gian melewati guru tadi, pak guru bertanya, “Kau baik-baik saja? Apakah mereka berbuat sesuatu padamu?” Pandangan Beliau penuh selidik melihat tingkah canggung Gian, mirip tingkah bocah yang kena rundung.
Gerombolan Danar berhenti sejenak dan menoleh ke belakang, menunggu Gian hendak menjawab apa.
“Aku baik-baik saja, Pak. Mereka tidak melakukan apa-apa, hanya mengobrol singkat.” Gian menjawab tanpa melirik Danar dan gerombolannya. “Permisi dulu, Pak, selamat siang.” Dia berpamitan secara sopan pada guru tersebut.
“Hm, ya, pulanglah dan jangan membuat masalah, kalian semua.” Guru memberi nasehat sembari menoleh ke Danar dan gerombolannya.
Siang itu, Gian pulang dalam kondisi mulus tanpa ada bekas pukulan. Ini juga merupakan hal mengejutkan baginya sendiri.
Sesampainya di rumah, tugas wajib sudah menunggunya, pakaian kotor dari ember-ember ibu dan ketiga saudaranya dia kumpulkan dan hendak dicuci.
Dia sudah menjalani ini sejak umur 10 tahun.
Sembari mencuci, Gian mengingat masa dulu jika dia ingin rebah sejenak usai pulang sekolah, Melinda pasti menjerit-jerit memanggil dia.
Apalagi, jika Melinda masuk ke kamar Gian dan mendapati Gian beristirahat barang beberapa menit, wanita itu akan menghardik sambil melotot dan berkacak pinggang, “Kau ini! Malah enak-enakan tidur! Sudah berlagak ala bos, heh?! Berlagak jadi orang kaya?!”
Lalu, tangan Melinda akan meraih benda apapun di dekatnya untuk dipukulkan ke Gian. Oleh karena itu, Gian biasanya menyembunyikan gantungan baju di kamarnya agar tidak digunakan Melinda untuk memukulinya.
Kemudian, pada sore harinya, dia harus membantu memasak untuk makan malam. Nantinya, ketika mereka selesai makanpun, Gian sendirian membereskan dapur dan meja makan, seakan tidak ada orang lain saja di rumah selain dia.
“Hgh!” Gian menghela napas sambil terus mengucek pakaian ibunya, hingga terdengar bunyi ‘bret’ yang cukup keras.
Mata Gian segera menatap baju di tangannya dan menggumam, “Aduh! Celaka!”
Melihat baju Melinda ternyata robek akibat kucekannya, Gian ketakutan. Dia sudah pasti tidak akan lolos dari amukan ibunya.Panik, dia bangun dari jongkok dan mencari tempat yang sekiranya bisa digunakan untuk menyembunyikan baju itu. Ah! Sepertinya ember kecil itu tidak pernah dipakai, taruh sana saja dulu.Lega mendapatkan tempat menyembunyikan baju robek Melinda, Gian meneruskan mencuci.Namun, telinganya mendengar suara kakak keduanya, Zohan atau biasa dipanggil Hanz. Pemuda itu pasti baru pulang dari kampus.Tak berapa lama, muncul Zohan di ruang cuci, bicara ke Gian, “Heh, anak haram! Nih, aku tambah cucianmu!” Lalu dia melemparkan beberapa baju dan celana dalam ke ember cucian sehingga mengenai tangan Gian. “Yang bersih, yah! Oh! Celana dalamku sedikit kotor, cuci yang bersih, OK!” Setelah itu, dia melenggang santai, berlalu dari ruang cuci.Gian memperluas lautan kesabarannya.Usai mencuci dan menjemur di halaman sempit belakang rumah, Gian lekas masuk ke kamar untuk mandi sor
Melinda dan Gian sama-sama menoleh ke Carlen ketika lelaki itu berkata kemejanya banyak hilang dan memberikan tuduhan ke Gian. Hati Gian menjerit, ‘Kapan dia menghilangkan kemeja Carlen? Tidak pernah!’Jelas bahwa Carlen sedang memfitnah dia!“Kau! Kau ternyata sudah biasa begini ke baju kami, yah! Kau kesal karena mencuci baju kami?” Suara Melinda berpadu dengan bunyi tongkat dihantamkan ke tubuh Gian, seakan itu bukan anaknya melainkan orang jahat.Setelah sekian belas menit menghajar Gian, Melinda kelelahan dan melihat tongkat di tangannya sudah rusak! “Lihat! Kau tak hanya merusak baju, kau juga merusakkan tongkat ini!” Lalu dilemparnya tongkat rusak itu ke Gian sebelum Beliau masuk ke kamarnya sendiri.Carlen terkekeh culas dan masuk ke kamarnya juga, tontonan sudah berakhir. “Sayang sekali Hanz tidak melihat mama sedang memukuli anjing. Ha ha ha!” Lalu, dia menghilang di balik pintu.Sementara itu, Gian termangu. Dia memandangi tongkat pramuka adiknya yang sudah terburai bambuny
Tikus! Itu benar-benar seekor tikus, dengan tinggi dan bentuk begitu mirip dengan makhluk yang dinamakan tikus putih yang biasa digunakan manusia untuk melakukan percobaan ilmiah di laboratorium. “Tolong katakan padaku, kau benar-benar tikus? Kau benar-benar bicara?” Gian hanya ingin memastikan saja. Siapapun di dunia ini tidak akan percaya bahkan meski jika dipukuli, jika mendengar ada tikus yang bisa berbicara kecuali di cerita fantasi saja. Tikus putih itu berlagak jengah dengan memutar bola mata merah mungilnya ke Gian, lalu berkata, “Apakah kau kekurangan otak sehingga tak bisa mengetahui apakah ini bentuk tikus atau bukan? Ya, aku bukan tikus! Aku dinosaurus, rawrgh!” Gian bukannya tertawa malah mundur ke belakang karena kaget. Mengetahui bercandanya malah tidak memiliki efek seperti yang diharapkan, tikus putih itu mendesah pelan sambil kepalanya lunglai seakan sedang kecewa, “Hgh! Sepertinya kawanku terlalu bodoh sampai dia mewariskan kekuatannya padamu.” Mendengar kata ke
Gian baru saja selesai memasukkan semua buku sekolah yang dia perlukan ke tas dan bersiap keluar dari kamarnya ketika Elang berkata, “Kau hendak pergi sekolah?” Menoleh ke Elang yang masih ada di atas bantalnya, Gian mengangguk dan menjawab, “Iya. Aku harus rajin sekolah atau aku akan jadi sampah masyarakat. Begitu kata papaku dulu.” “Hgh … Bocah, kau terlalu disetir oleh orang lain. Tidak punyakah kau keinginan sendiri?” Elang mulai bangkit berdiri di atas bantal sambil menyilangkan dua lengan mungilnya di depan dada berbulu dia. Gian merasa bingung. Memang apa salahnya mematuhi ucapan orang tua sendiri? Tapi, daripada berdebat dan membuat Elang marah, dia memberikan sahutan, “Aku … aku tidak suka keributan.” Elang memutar kepalanya seakan merasa tak sabar dan jengah. “Ya ampun, bocah ini! Hgh! Kau, bawa aku ke sekolahmu!” “Ka-kamu ingin ikut pergi ke sekolah?” tanya Gian dengan wajah terkejut. Apa jadinya jika nanti dia membawa Elang bersamanya? Mungkin jika Elang seekor binatan
“Hii! Apa itu?” seru Emilia ketika melihat apa yang menyembul keluar dari saku seragam Gian saat remaja itu mulai melangkah memasuki kelasnya.“Ini … tikus putih.” Gian menjawab sambil menundukkan kepalanya.“Tikus! Ya ampun, tikus!” Aliana menjerit sambil dia menjauh dari Gian.Robert mendelik sambil menghardik Gian, “Kau sungguh menjijikkan!”“Dasar bule palsu menjijikkan!” Sonia ikut menghardik Gian dengan telunjuk menuding tegas.Datanglah Jehan sambil membawa sapu dan bertanya, “Mana tikus? Mana? Biar aku pukul dia!” Kemudian, dia memukuli tubuh Gian menggunakan sapu yang ada di tangannya.Lekas saja Gian menyahut dengan wajah panik sembari berkelit ke sana dan ke sini dari pukulan sapu Jehan, “Jangan! Jangan pukul dia! Dia tidak berbahaya!”“Apanya yang tidak berbahaya? Kau sembarangan saja membawa masuk tikus ke kelas, dasar bule tolol!” Evita yang geram, memarahi Gian tanpa ditahan-tahan.“Pukul saja tikusnya sampai mati! Itu membawa penyakit!” Rendi ikut mengompori Jehan.Ela
Mengendap-endap dengan cepat, Elang menyelinap masuk ke dalam kelas Gian. Itu bukan hal sulit bagi tikus, apalagi tubuhnya tergolong kecil dan ramping, sehingga itu mudah saja dilakukan.‘Huh! Kalian ingin menyingkirkan aku? Berani sekali kalian pada Yang Mulia ini!’ geram Elang dalam hatinya.Suasana kelas kembali kondusif dan tenang karena bu guru Ningsih termasuk guru yang tegas dan tak suka keramaian saat Beliau mengajar.Bahkan, sampai bel istirahat pertama berdering, semua terlihat baik-baik saja, hingga ….“Ya ampun! Kok tasku berlubang?” pekik Emilia panik karena tas mahal berharganya sudah memiliki lubang menganga di bagian bawahnya sampai buku dan barang lainnya nyaris jatuh. Dikarenakan itu, dia meratapi tasnya.“Eh! Tasku juga berlubang!” seruan muncul dari Rendi.“Aku juga!” Demikian pula Evita.“Punyaku juga, astaga! Aku bisa dipukul kakakku kalau tas ini rusak begini!” Imelda ketakutan karena itu adalah tas yang dia pinjam dari kakaknya.“Duh, tasku sudah berlubang di s
Rupanya, Elang termasuk sosok pendendam. Dia tidak suka diremehkan hanya karena bentuk dia sebagai tikus kecil. Namun, karena sifat pendendam itulah makanya Gian yang harus menanggung akibatnya. Dia dipaksa oleh banyak temannya untuk mengganti tas mereka. “Tapi, bukankah belum terbukti kalau itu ulah tikusku?” tanya Gian dengan wajah takut-takut saat membantah kemauan teman-teman kelasnya. Rendi menampar kepala Gian dan berkata, “Sudah jelas itu adalah gigitan tikus, kau masih ingin berkelit?” Evita menambahkan, “Kami ini tidak sebodoh kamu, Bule Palsu! Kami tahu perbedaan rusak alami dan rusak digigit tikus!” “Siapa tahu itu gigitan hewan lain.” Alicia mencoba memberikan pembelaan untuk Gian yang sudah mengkerut karena takut. Imelda melirik tajam ke Alicia sembari berbicara, “Kau ini, Cia, apakah kau sudah tertular kebodohan si Bule Palsu ini, heh? Apa pernah kelas kita mendapat musibah seperti perusakan tas secara masif? Berpikir, dong, Cia!” Yang lainnya mengiyakan setuju pad
Gian masih saja melongo ketika Elang berteriak padanya, hingga dia tersadar ketika Elang memekik keras padanya sekali lagi. “Oh! Eh? Sekarang?”“Sekarang, bodoh!” jerit Elang sambil melompat ke kepala preman berikutnya sambil mengacaukan rambut mereka menggunakan kakinya.Karena tak mau Elang kesal, Gian melepas sarung tangan karetnya dan bergegas memegang lengan salah satu preman sekolah. Segera saja, remaja itu kelojotan karena sengatan listrik dari tangan Gian.“Aarghh!” Kemudian, remaja itu tergeletak dan masih kelojotan beberapa kali sebelum akhirnya pingsan.Keempat kawannya melihat adegan itu dan mereka ketakutan. Tapi, Gian tidak membiarkan mereka pergi dan mengarahkan telunjuknya pada salah satu dari mereka.“Haarkhh!” Remaja yang ditunjuk tangan Gian itu kelojotan, sama seperti kawannya sebelum ini dan tersungkur di lantai.Gian tidak membuang waktu dan bergegas menyengat 3 lainnya secara cepat. Satu demi satu dari mereka mulai jatuh dan pingsan.Kini, kelima preman sekolah