Share

3 - Budak di Rumah

Gian menimbang apakah dia perlu membeberkan penyebab ayahnya kembali ke Jerman? Tapi, ini adalah Alicia yang bertanya.

“Oh! Kalau kau tak nyaman mengatakannya, tak perlu dijawab, Gian.” Alicia menyadari keterdiaman Gian.

“Ayahku kembali ke negaranya karena tugas pekerjaan,” ucap Gian pada akhirnya, berbohong. Sebenarnya, sang ayah kembali ke Jerman karena menikah lagi dengan perempuan di negara asalnya dan meninggalkan anak dan istri di Indonesia.

Untungnya, meski sang ayah brengsek, Beliau masih bersedia memberikan uang secara rutin ke Melinda walau tidak fantastis jumlahnya. Setidaknya, bisa untuk makan sehari-hari.

“Kau punya saudara? Kakak atau adik?” Alicia bertanya lagi. “Maaf, yah! Aku jadi ingin tahu banyak mengenaimu. Selama ini kita hanya mengobrol ringan dan singkat saja, tak pernah seserius ini, he he ….”

“Tak apa.” Lalu, Gian menyebutkan nama ketiga saudaranya. Di akhir ceritanya, dia menuturkan, “Mereka semua sangat berbeda denganku.”

“Berbeda bagaimana?” Alicia makin tertarik ingin tahu.

“Carlen kakak pertamaku, dia berambut pirang gelap dengan warna mata cokelat madu, tingginya saja mencapai 190 sentimeter lebih. Lalu kakak keduaku, Zohan, dia berambut cokelat gelap dengan mata berwarna chesnut. Sedangkan adikku, Cheryl, warna rambutnya mahogani dengan mata berwarna hazel dan tingginya sama denganku.” Lalu, usai menguraikan semua tadi, senyum kecut Gian muncul kembali.

“Jadi, hanya kau yang berambut dan bermata hitam, Gian?” Alicia menyimpulkan.

“Ya, aku yang paling berbeda.” Gian mengangguk tanpa berani memandang Alicia. Dia tak punya rasa percaya diri, apalagi ketika jerawatnya sedang fase meradang parah begini.

Di benaknya, Gian berharap Alicia tidak muntah melihat jerawatnya.

“Aku ini keturunan Indonesia dan Pakistan, kadang risih bila orang memandangi aku.” Alicia mengalihkan pandangan ke langit.

“Wajar saja kalau banyak orang memandangimu, Cia, kau sangat cantik. Apalagi rambutmu berwarna caramel dan matamu … warna madu, kan?”

“Ha ha, iya, tepat sekali. Tapi, kadang aku tergelitik ingin mewarnai rambutku menjadi hitam, sepertinya itu lebih terlihat eksotis, seperti perempuan Indonesia.” Alicia mengulum senyumnya usai mengatakan yang ada di pikirannya.

“Cia, justru banyak perempuan Indonesia ingin memiliki rambut dan mata sepertimu.”

“Iyakah? Ha ha ha! Sepertinya manusia tidak pernah ada puasnya, yah!”

“Ha ha, iya!”

Lalu, bunyi bel terdengar.

“Nah, itu bel masuk! Yuk!” Alicia mengajak Gian untuk kembali ke kelas mereka.

Gian mengangguk dan berjalan beriringan dengan Alicia. Kepalanya terus menunduk menatap lantai dan sepatu mereka. Sepatunya sudah begitu butut, sangat kontras dengan sepatu bersih berkilau milik Alicia.

Ketika keduanya masuk ke kelas, itu tertangkap mata Danar, salah satu pemuja Alicia. Tangan pemuda itu terkepal erat.

Siang, saat pulang sekolah, Gian melangkah gontai hendak pulang. Dia baru saja menyelesaikan piket kelas.

Namun, ketika masih mencapai koridor kelas 2, Gian mau tak mau menghentikan langkahnya karena Danar dan gerombolannya mencegat di depan.

Gian langsung digiring ke area halaman belakang sekolah.

Gerombolan Danar merenggut tas Gian dan mencampakkan di rumput sebelum mereka mendorong Gian ke sana dan sini.

“Kau sepertinya tidak mendengar apa yang aku katakan, heh?” Danar melirik tegas Gian. Matanya setajam elang, siap merenggut mangsa. “Nyalimu banyak, yah?”

“Danar, aku salah apalagi?” Gian memberanikan diri bertanya.

Meludah terlebih dahulu dan Danar menjawab, “Brengsek! Kau masih bertanya apa salahmu? Salahmu adalah berjalan dan mengobrol dengan Cia!” Setelah berkata demikian, tinju Danar melayang ke pipi Gian.

Gian tak berani mengelak, pasrah menerima pukulan itu. Biasanya, semakin dia mengelak, akan semakin membabi-buta mereka memukulinya.

“Argh!” Terdengar seruan kesakitan dari mulut Danar. Pemuda itu mengusap-usap kepalan tangannya sembari meringis.

“Bos! Kenapa?” tanya salah satu anak buah Danar.

“Pukul dia!” perintah Danar kepada pengikutnya.

Bergegas, tanpa diperintah dua kali, 5 siswa mulai mengeroyok Gian, menyarangkan tinju dan tendangan ke Gian yang meringkuk melindungi dirinya dengan dua lengan.

Setelah 5 menit lebih, mereka mulai kelelahan dan menjauh dari Gian yang masih meringkuk.

“Kok dia baik-baik saja?”

“Iya, sepertinya dia baik-baik saja!”

Mata Danar nyalang memandang Gian sambil berseru ke anak buahnya, “Tunggu apalagi? Pukul dia lebih keras!”

Sekali lagi, hujan pukulan diarahkan ke Gian, kali ini lebih lama durasinya. Namun, setelah mereka semua berhenti, Gian masih terlihat baik-baik saja.

Kesal karena Gian tidak babak belur seperti biasa, salah satu anak buah Danar mengeluarkan pisau lipat yang dia hujamkan ke arah Gian.

Tap!

Gian secara refleks menangkap pisau lipat itu dan meremasnya.

Ketika ditarik oleh empunya, pisau lipat sudah menjadi bengkok. Mata mereka melotot kaget.

“Hei! Kalian sedang apa?” Terdengar seruan dari arah belakang mereka. Ternyata itu adalah salah satu guru. “Ini sudah jam pulang sekolah, untuk apa di sana?”

Danar memberi kode pada gerombolannya untuk pergi meninggalkan tempat itu. Mereka melewati guru tersebut seakan tidak terjadi apa-apa.

Setelah mengambil tas di rumput, Gian juga berjalan mengikuti gerombolan itu untuk ke gerbang sekolah.

Namun, ketika Gian melewati guru tadi, pak guru bertanya, “Kau baik-baik saja? Apakah mereka berbuat sesuatu padamu?” Pandangan Beliau penuh selidik melihat tingkah canggung Gian, mirip tingkah bocah yang kena rundung.

Gerombolan Danar berhenti sejenak dan menoleh ke belakang, menunggu Gian hendak menjawab apa.

“Aku baik-baik saja, Pak. Mereka tidak melakukan apa-apa, hanya mengobrol singkat.” Gian menjawab tanpa melirik Danar dan gerombolannya. “Permisi dulu, Pak, selamat siang.” Dia berpamitan secara sopan pada guru tersebut.

“Hm, ya, pulanglah dan jangan membuat masalah, kalian semua.” Guru memberi nasehat sembari menoleh ke Danar dan gerombolannya.

Siang itu, Gian pulang dalam kondisi mulus tanpa ada bekas pukulan. Ini juga merupakan hal mengejutkan baginya sendiri.

Sesampainya di rumah, tugas wajib sudah menunggunya, pakaian kotor dari ember-ember ibu dan ketiga saudaranya dia kumpulkan dan hendak dicuci.

Dia sudah menjalani ini sejak umur 10 tahun.

Sembari mencuci, Gian mengingat masa dulu jika dia ingin rebah sejenak usai pulang sekolah, Melinda pasti menjerit-jerit memanggil dia.

Apalagi, jika Melinda masuk ke kamar Gian dan mendapati Gian beristirahat barang beberapa menit, wanita itu akan menghardik sambil melotot dan berkacak pinggang, “Kau ini! Malah enak-enakan tidur! Sudah berlagak ala bos, heh?! Berlagak jadi orang kaya?!”

Lalu, tangan Melinda akan meraih benda apapun di dekatnya untuk dipukulkan ke Gian. Oleh karena itu, Gian biasanya menyembunyikan gantungan baju di kamarnya agar tidak digunakan Melinda untuk memukulinya.

Kemudian, pada sore harinya, dia harus membantu memasak untuk makan malam. Nantinya, ketika mereka selesai makanpun, Gian sendirian membereskan dapur dan meja makan, seakan tidak ada orang lain saja di rumah selain dia.

“Hgh!” Gian menghela napas sambil terus mengucek pakaian ibunya, hingga terdengar bunyi ‘bret’ yang cukup keras.

Mata Gian segera menatap baju di tangannya dan menggumam, “Aduh! Celaka!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status