Share

4 - Dipukuli Seperti Anjing

Melihat baju Melinda ternyata robek akibat kucekannya, Gian ketakutan. Dia sudah pasti tidak akan lolos dari amukan ibunya.

Panik, dia bangun dari jongkok dan mencari tempat yang sekiranya bisa digunakan untuk menyembunyikan baju itu. Ah! Sepertinya ember kecil itu tidak pernah dipakai, taruh sana saja dulu.

Lega mendapatkan tempat menyembunyikan baju robek Melinda, Gian meneruskan mencuci.

Namun, telinganya mendengar suara kakak keduanya, Zohan atau biasa dipanggil Hanz. Pemuda itu pasti baru pulang dari kampus.

Tak berapa lama, muncul Zohan di ruang cuci, bicara ke Gian, “Heh, anak haram! Nih, aku tambah cucianmu!” Lalu dia melemparkan beberapa baju dan celana dalam ke ember cucian sehingga mengenai tangan Gian. “Yang bersih, yah! Oh! Celana dalamku sedikit kotor, cuci yang bersih, OK!” Setelah itu, dia melenggang santai, berlalu dari ruang cuci.

Gian memperluas lautan kesabarannya.

Usai mencuci dan menjemur di halaman sempit belakang rumah, Gian lekas masuk ke kamar untuk mandi sore.

Pada malam hari, semua makananan sudah terhidang di atas meja, Melinda memanggil Zohan dan Cheryl keluar kamar.

Namun, ketika semua orang berkumpul di ruang makan, Melinda berkata, “Tunggu kakak kalian dulu.” Beliau memang terbiasa menunggu Carlen Ganendra Bergmans atau biasa dipanggil Len, kakak pertama Gian. Usianya 23 tahun dan bekerja di kantor periklanan.

Carlen merupakan anak kebanggaan Melinda, tak heran jika wanita itu bersikap seolah-olah Carlen adalah kepala keluarga.

Karena sudah memahami kebiasaan menunggu Carlen saat makan malam begini, Zohan dan Cheryl sudah membawa ponsel masing-masing dan memainkannya sambil menanti kepulangan kakak sulung.

Gian diam dan tidak melakukan apa-apa. Dia masih memikirkan mengenai kekuatan listrik yang mendadak dia miliki.

Tepat 15 menit setelah keheningan di ruang makan, dari arah depan terdengar bunyi pintu gerbang dibuka dan suara Carlen mengucapkan terima kasih pada pengantarnya, menandakan lelaki itu sudah pulang.

Melinda tentu saja berlari ke depan, menyambut si sulung bagai menyambut suami tercinta. Dia bawakan tas kerja Carlen dan menanyakan kabar di kantor. “Duh! Anak Mama paling ganteng, paling hebat, sudah pulang! Bagaimana di kantor? Semua lancar? Aman?”

“Tentu saja aman dan lancar selama ada aku, Ma. Mana mungkin tidak?”

“Oh! Anak Mama ini memang kebanggaan keluarga! Sudah tampan, sukses di karir, pula! Pasti banyak perempuan sibuk mencari perhatian kamu di kantor, ya kan?”

“Ha ha, tentu saja! Mereka tidak buta, Ma!”

Kemudian, tanpa merasa bersalah karena membuat semua orang menunggu, Carlen masuk ke kamar untuk mandi dulu sebelum bergabung dengan semuanya di meja makan.

Setelah mandi dan datang ke ruang makan, Carlen berkata, “Kalian belum makan? Ayolah! Kita makan sekarang!”

Maka, makan malampun dimulai, semua orang melahap makanannya masing-masing.

“Hm! Ini enak!” Carlen berujar sembari mengunyah daging yang dia masukkan ke mulut.

“Benarkah? Tentu saja enak, karena Mama memasaknya dengan penuh cinta.” Melinda terkekeh, senang mendengar putra kebanggaannya menikmati hidangan yang tersedia.

Gian mengomel dalam hati. Padahal dia yang memasak daging itu. Melinda hanya memasak sayur bening saja, selebihnya, semua dikerjakan Gian! Tapi, mana berani dia bersuara? Sudah sangat biasa jika hasil karyanya diakui pihak lain di manapun!

Pandangan mata Carlen terarah ke Gian. “Hei, bocah jelek! Bawakan aku minum! Ambilkan jus di lemari es!” perintahnya.

Tak mau banyak berdebat, Gian bangun dari kursi dan berjalan ke lemari es. Tapi, baru saja dia mengulurkan tangan ke pegangannya, mendadak saja listrik di jarinya keluar dan membuat dia tersengat sendiri. “Ouh!” pekiknya tanpa bisa ditahan.

Carlen dan yang lainnya menoleh ke Gian.

“Ada apa?” tanya Carlen, bukan sedang mengkhawatirkan adiknya melainkan …. “Mana jusku? Cepat ambil!”

Gian menggigit bibirnya dan menahan sengatan yang dia rasakan di tangannya akibat menyentuh pegangan lemari es. Setelah mendapatkan apa yang dikehendaki kakaknya, dia menuangkannya ke gelas yang disodorkan Carlen. Gian sudah sangat paham akan gestur Carlen yang manja. Atau memperbudak?

Kembali ke kursinya, Zohan ternyata juga meminta diambilkan sesuatu di lemari es. Astaga, kenapa tadi tidak sekalian ketika dia masih di depan lemari es!

Menahan kesal, Gian bangkit lagi dan harus menahan sakitnya sengatan listrik pada tapak tangannya. “Ini.” Dia serahkan itu ke Zohan, dan beralih menatap adiknya, “Cher? Apa kau ingin sesuatu dari lemari es?”

“Tidak.” Cheryl menjawab singkat tanpa menoleh ke Gian. Dibandingkan dua kakak lelakinya, Cheryl masih lebih manusiawi dan tidak banyak memperbudak Gian. Tapi, sikap gadis itu sangat acuh cuek akan sekitarnya.

Gian kembali ke kursinya. Makan malam berlanjut sampai semua ludes dan orang-orang kembali ke kamar masing-masing, meninggalkan Gian dengan cucian piring dan gelas yang menumpuk.

Setelah semuanya beres, Gian bisa ke kamarnya.

Di kamar yang telah dia kunci, dia merenungkan mengenai kekuatannya. Kenapa tadi di sekolah dia tidak merasa sakit ketika dipukuli? Bahkan ditusuk pisau saja, justru pisaunya yang bengkok.

Tapi, kenapa ketika dia menyentuh lemari es, listriknya berbalik seperti menyerang dia? Apakah dia tidak boleh menyentuh benda-benda beraliran listrik agar tidak terjadi serangan balik?

Baru saja dia memikirkan itu, mendadak suara lengkingan Melinda terdengar, “Gian! Gian anak brengsek!” Setelah itu, terdengar gedoran keras di pintunya.

Gian bergegas membukakan pintu untuk ibunya, kali ini apa?

Ketika pintu dibuka, Gian mendapati wajah mengerikan Melinda yang memegang baju robeknya yang setengah basah. Hati Gian melompat, dia lupa akan itu! Padahal tadi dia punya waktu banyak untuk menyingkirkannya dari ruang cuci!

“Kelakuanmu, kan? Ini baju kesukaan Mama! Kamu rusakkan begini!” Suara Melinda dari nada rendah merambat naik menjadi lengkingan keras. “Kamu sengaja, kan? Kamu tak suka kusuruh mencuci baju lalu kamu rusak baju Mama!” Melinda menjerit kalap sambil mengambil apapun di dekatnya.

Tongkat pramuka punya Cheryl.

Maka, tanpa menunggu menit berganti, tongkat merah putih itu sudah dipukulkan ke tubuh Gian. Keributan itu mengakibatkan Carlen dan keluar dari kamarnya.

“Ampun, Ma! Ampun!” teriak Gian sembari dua tangan mencoba menghalangi tongkat yang dipukulkan tanpa ragu padanya seakan-akan Melinda sedang memukuli maling. “Ma, aku tadi tidak sengaja! Sungguh!”

Carlen terkekeh dan masuk ke kamar Cheryl, “Hei, bocah, tongkat pramukamu berubah jadi tongkat pemukul anjing, tuh!”

Cheryl menurunkan ponsel di depan wajahnya dan menatap Carlen beberapa detik, setelah itu dia memutar bola matanya dan kembali menatap ke layar ponselnya, tidak peduli.

Carlen tertawa kecil dan kembali ke depan ibunya yang sedang menghajar Gian yang terus meminta ampun. “Wah, wah, jangan-jangan, kemejaku banyak yang hilang, itu ulahmu juga, Gian? Ya ampun!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status