Share

5 - Tikus Itu Bisa Bicara!

Melinda dan Gian sama-sama menoleh ke Carlen ketika lelaki itu berkata kemejanya banyak hilang dan memberikan tuduhan ke Gian. Hati Gian menjerit, ‘Kapan dia menghilangkan kemeja Carlen? Tidak pernah!’

Jelas bahwa Carlen sedang memfitnah dia!

“Kau! Kau ternyata sudah biasa begini ke baju kami, yah! Kau kesal karena mencuci baju kami?” Suara Melinda berpadu dengan bunyi tongkat dihantamkan ke tubuh Gian, seakan itu bukan anaknya melainkan orang jahat.

Setelah sekian belas menit menghajar Gian, Melinda kelelahan dan melihat tongkat di tangannya sudah rusak! “Lihat! Kau tak hanya merusak baju, kau juga merusakkan tongkat ini!” Lalu dilemparnya tongkat rusak itu ke Gian sebelum Beliau masuk ke kamarnya sendiri.

Carlen terkekeh culas dan masuk ke kamarnya juga, tontonan sudah berakhir. “Sayang sekali Hanz tidak melihat mama sedang memukuli anjing. Ha ha ha!” Lalu, dia menghilang di balik pintu.

Sementara itu, Gian termangu. Dia memandangi tongkat pramuka adiknya yang sudah terburai bambunya sehingga bilah-bilahnya menjadi kecil.

Dia dipukuli sehebat itu hingga merusakkan sebuah tongkat bambu yang tidak ringan dan dia tidak merasakan sakit?

Gian membawa tongkat itu ke kamar adiknya, berkata, “Cher, maaf, tongkatmu jadi begini karena Kakak, besok aku belikan yang baru.”

“Hm.” Cheryl bersikap cuek tanpa menoleh ke Gian.

Masuk ke kamar dan mengunci lagi, Gian masih merenungi kekuatan baru yang dia dapatkan.

Kesimpulan yang bisa dia ambil dari apa yang terjadi padanya adalah dia menjadi lebih kuat dan tidak mempan dipukul ataupun diserang dengan apapun.

Baiklah, sepertinya itu memang sebuah kekuatan yang sangat dia butuhkan, mengingat dia merupakan korban penindasan di manapun dia berada.

“Apakah ini jawaban dari doaku waktu itu?” Gian memiringkan kepala saat teringat akan keluh-kesah dia pada semesta mengenai nasibnya usai kematian kucing kecil.

***

Di sekolah, Gian tidak perlu lagi takut akan pukulan siapapun. Dia hanya perlu berpura-pura kesakitan agar para penindas dia gembira dan berhenti, lalu meninggalkan dia.

Sepertinya, setelah ini, hidupnya bisa menjadi lebih damai. Gian tersenyum senang.

Namun, ketika sedang mengumpulkan kertas tes mingguan, mendadak saja energi listrik itu keluar tanpa Gian inginkan dan membuat kertasnya mengerut seperti keriput.

Melihat itu, guru heran dan berkata, “Gian, jangan bercanda.”

Segera, Gian minta maaf dan harus kembali ke bangkunya untuk menyalin ulang jawaban tesnya.

Sayangnya, sekali lagi kertas itu mengerut saat akan diserahkan ke guru. Tatapan kesal guru membuat Gian ciut dan lekas menyalin ulang.

Kali ini, dia nekat memberikan kertasnya menggunakan tangan kiri. Sontak saja guru marah dan merenggut kertas dari tangan Gian. “Bocah sekarang kurang ajar semua! Tidak tahu sopan santun!”

“Maaf, Pak! Maaf!” Gian sampai harus membungkuk sebagai keseriusan dia menyesal atas apa yang terjadi.

Pada waktu istirahat kedua, Gian tidak berminat ke kantin untuk makan. Dia khawatir akan mengeluarkan listriknya tanpa dia kehendaki di tempat ramai seperti kantin.

Pulang sekolah, dia dihentikan oleh siswa lain yang biasa meminta uang ke murid-murid yang dianggap bisa diperas.

“Aku tidak bawa banyak uang saat ini, hanya lima ribu, maaf.” Gian berkata jujur sambil sodorkan uang yang dia maksud.

Para preman sekolah itu kesal dan memukul Gian. Namun, alih-alih memukul, mereka malah tersengat arus listrik yang mendadak keluar begitu saja dari jari kanan Gian.

Gian melongo kaget melihat beberapa preman sekolah itu kelojotan lalu pingsan di lantai. Takut disalahkan, Gian berlari meninggalkan tempat itu, berharap listriknya tidak membunuh mereka.

***

Esok harinya, Gian datang ke sekolah sembari membungkus tangan kanan dia dengan sarung tangan kain.

Tadi malam dia sudah menguji coba bahwa sengatan listriknya bisa diredam dengan kain. Dia bisa memegang lemari es tanpa tersengat ketika membungkus tangan kanannya dengan lap kain.

Karena itu, dia memakai sarung tangan bekas dulu dia mengikuti latihan drumband ketika SMP.

Melihat sarung tangan pada Gian, banyak teman sekelasnya mengejek, mengolok-olok dia.

“Ya ampun! Apa-apaan sarung tangan begitu!”

“Si burik sedang cari perhatian!”

“Hei, bule palsu! Kau pikir kau Michael Jackson? Ha ha ha!”

“Apa kau pikir kau keren kalau pakai benda seperti itu? Kau terlihat aneh! Dasar orang aneh! Bule aneh! Bule palsu! Cuih!”

Gian menebalkan telinganya. Seperti biasa, Alicia yang akan membela dia.

“Kalian kenapa meributkan hal tak penting? Terserah Gian ingin pakai aksesori apa ke sekolah, kan? Yang penting tidak mengganggu pelajarannya.” Alicia memang baik, selalu menjadi peri pelindung Gian.

Maka sejak saat itu, Gian bisa tenang dan lega karena kekuatan listriknya tidak sembarangan melukai siapapun.

Sejauh ini, Gian merasa hanya kekuatan tubuh super saja yang berguna baginya. Kekuatan listrik justru menjadi gangguan.

***

Di suatu malam ketika Gian sedang berkonsentrasi mengerjakan tugas sekolah di kamarnya yang dia kunci, mendadak dia mendengar suara yang mengganggu.

Suara tikus.

Namun, sadar bahwa suara tikus itu ada di sekitarnya, ini menandakan tikus tersebut berada di dalam kamarnya! Gian melompat sambil bersiap mengambil pemukul apapun di dekatnya.

Saat menemukan tongkat bisbol di dalam lemari, dia menggenggam tongkat itu sambil mencari di mana tikus tadi.

“Cit!” Suara itu kembali terdengar, tapi sepertinya di belakang dia.

Ketika Gian berbalik, ternyata tikus itu ada di atas mejanya. Seekor tikus putih! Lekas saja dia pukulkan tongkatnya ke sana, tapi si tikus melompat gesit dan menghilang.

“Heh! Jangan berisik!” Melinda memukul sekali daun pintu kamar Gian.

“Ma-Maaf, Ma!” Gian menyadari kebodohannya.

Karena tidak ada lagi gangguan tikus, mungkin sudah keluar melalui lubang antah-berantah, Gian pergi ke kasur dan rebahkan tubuh di sana. Dia redupkan lampu kamarnya dan memejamkan mata.

Namun, baru saja dia terpejam beberapa menit, dia merasa dagunya digelitiki sesuatu.

Bulu? Atau Ekor?

Hah?!

Mata Gian segera membuka kembali dan betapa kagetnya ketika melihat tikus putih tadi sudah berada di atas dadanya, menatap lurus ke arahnya, seakan menunggu dia terbangun.

“Argh!” Gian memekik saking terkejutnya.

“Tidak bisakah kau diam dan tenang?” Tiba-tiba saja, tikus putih itu berbicara. Ya, berbicara! Dengan bahasa manusia yang dimengerti Gian!

“Argh!” Gian berteriak lebih kencang sambil bangun dari rebahnya sehingga tikus putih itu terpental jatuh dari atas dadanya.

“Heh! Diam atau tidur di luar!” Teriakan bengis Melinda kembali terdengar, sepertinya sang ibu sedang menonton televisi di ruang tengah yang dekat dengan kamar anak-anaknya.

“Ma-Maaf, Ma!” Gian menyahut ibunya sembari panik. Apakah dia bermimpi? “Aku … aku pasti berhalusinasi!” bisiknya sambil menatap sekeliling, berharap tidak ada tikus apapun di kamarnya.

“Kau tidak berhalusinasi!” Tikus putih kecil mendadak sudah bertengger di atas lampu belajar Gian. Bahkan dia berdiri dengan dua kaki belakang sambil dua kaki depannya bertindak ala kedua tangan yang menyilang di depan dada. “Tak usah berteriak, nanti ibu cerewetmu itu marah.”

Gian menatap horor ke tikus putih tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status