Melinda dan Gian sama-sama menoleh ke Carlen ketika lelaki itu berkata kemejanya banyak hilang dan memberikan tuduhan ke Gian. Hati Gian menjerit, ‘Kapan dia menghilangkan kemeja Carlen? Tidak pernah!’
Jelas bahwa Carlen sedang memfitnah dia!
“Kau! Kau ternyata sudah biasa begini ke baju kami, yah! Kau kesal karena mencuci baju kami?” Suara Melinda berpadu dengan bunyi tongkat dihantamkan ke tubuh Gian, seakan itu bukan anaknya melainkan orang jahat.
Setelah sekian belas menit menghajar Gian, Melinda kelelahan dan melihat tongkat di tangannya sudah rusak! “Lihat! Kau tak hanya merusak baju, kau juga merusakkan tongkat ini!” Lalu dilemparnya tongkat rusak itu ke Gian sebelum Beliau masuk ke kamarnya sendiri.
Carlen terkekeh culas dan masuk ke kamarnya juga, tontonan sudah berakhir. “Sayang sekali Hanz tidak melihat mama sedang memukuli anjing. Ha ha ha!” Lalu, dia menghilang di balik pintu.
Sementara itu, Gian termangu. Dia memandangi tongkat pramuka adiknya yang sudah terburai bambunya sehingga bilah-bilahnya menjadi kecil.
Dia dipukuli sehebat itu hingga merusakkan sebuah tongkat bambu yang tidak ringan dan dia tidak merasakan sakit?
Gian membawa tongkat itu ke kamar adiknya, berkata, “Cher, maaf, tongkatmu jadi begini karena Kakak, besok aku belikan yang baru.”
“Hm.” Cheryl bersikap cuek tanpa menoleh ke Gian.
Masuk ke kamar dan mengunci lagi, Gian masih merenungi kekuatan baru yang dia dapatkan.
Kesimpulan yang bisa dia ambil dari apa yang terjadi padanya adalah dia menjadi lebih kuat dan tidak mempan dipukul ataupun diserang dengan apapun.
Baiklah, sepertinya itu memang sebuah kekuatan yang sangat dia butuhkan, mengingat dia merupakan korban penindasan di manapun dia berada.
“Apakah ini jawaban dari doaku waktu itu?” Gian memiringkan kepala saat teringat akan keluh-kesah dia pada semesta mengenai nasibnya usai kematian kucing kecil.
***
Di sekolah, Gian tidak perlu lagi takut akan pukulan siapapun. Dia hanya perlu berpura-pura kesakitan agar para penindas dia gembira dan berhenti, lalu meninggalkan dia.
Sepertinya, setelah ini, hidupnya bisa menjadi lebih damai. Gian tersenyum senang.
Namun, ketika sedang mengumpulkan kertas tes mingguan, mendadak saja energi listrik itu keluar tanpa Gian inginkan dan membuat kertasnya mengerut seperti keriput.
Melihat itu, guru heran dan berkata, “Gian, jangan bercanda.”
Segera, Gian minta maaf dan harus kembali ke bangkunya untuk menyalin ulang jawaban tesnya.
Sayangnya, sekali lagi kertas itu mengerut saat akan diserahkan ke guru. Tatapan kesal guru membuat Gian ciut dan lekas menyalin ulang.
Kali ini, dia nekat memberikan kertasnya menggunakan tangan kiri. Sontak saja guru marah dan merenggut kertas dari tangan Gian. “Bocah sekarang kurang ajar semua! Tidak tahu sopan santun!”
“Maaf, Pak! Maaf!” Gian sampai harus membungkuk sebagai keseriusan dia menyesal atas apa yang terjadi.
Pada waktu istirahat kedua, Gian tidak berminat ke kantin untuk makan. Dia khawatir akan mengeluarkan listriknya tanpa dia kehendaki di tempat ramai seperti kantin.
Pulang sekolah, dia dihentikan oleh siswa lain yang biasa meminta uang ke murid-murid yang dianggap bisa diperas.
“Aku tidak bawa banyak uang saat ini, hanya lima ribu, maaf.” Gian berkata jujur sambil sodorkan uang yang dia maksud.
Para preman sekolah itu kesal dan memukul Gian. Namun, alih-alih memukul, mereka malah tersengat arus listrik yang mendadak keluar begitu saja dari jari kanan Gian.
Gian melongo kaget melihat beberapa preman sekolah itu kelojotan lalu pingsan di lantai. Takut disalahkan, Gian berlari meninggalkan tempat itu, berharap listriknya tidak membunuh mereka.
***
Esok harinya, Gian datang ke sekolah sembari membungkus tangan kanan dia dengan sarung tangan kain.
Tadi malam dia sudah menguji coba bahwa sengatan listriknya bisa diredam dengan kain. Dia bisa memegang lemari es tanpa tersengat ketika membungkus tangan kanannya dengan lap kain.
Karena itu, dia memakai sarung tangan bekas dulu dia mengikuti latihan drumband ketika SMP.
Melihat sarung tangan pada Gian, banyak teman sekelasnya mengejek, mengolok-olok dia.
“Ya ampun! Apa-apaan sarung tangan begitu!”
“Si burik sedang cari perhatian!”
“Hei, bule palsu! Kau pikir kau Michael Jackson? Ha ha ha!”
“Apa kau pikir kau keren kalau pakai benda seperti itu? Kau terlihat aneh! Dasar orang aneh! Bule aneh! Bule palsu! Cuih!”
Gian menebalkan telinganya. Seperti biasa, Alicia yang akan membela dia.
“Kalian kenapa meributkan hal tak penting? Terserah Gian ingin pakai aksesori apa ke sekolah, kan? Yang penting tidak mengganggu pelajarannya.” Alicia memang baik, selalu menjadi peri pelindung Gian.
Maka sejak saat itu, Gian bisa tenang dan lega karena kekuatan listriknya tidak sembarangan melukai siapapun.
Sejauh ini, Gian merasa hanya kekuatan tubuh super saja yang berguna baginya. Kekuatan listrik justru menjadi gangguan.
***
Di suatu malam ketika Gian sedang berkonsentrasi mengerjakan tugas sekolah di kamarnya yang dia kunci, mendadak dia mendengar suara yang mengganggu.
Suara tikus.
Namun, sadar bahwa suara tikus itu ada di sekitarnya, ini menandakan tikus tersebut berada di dalam kamarnya! Gian melompat sambil bersiap mengambil pemukul apapun di dekatnya.
Saat menemukan tongkat bisbol di dalam lemari, dia menggenggam tongkat itu sambil mencari di mana tikus tadi.
“Cit!” Suara itu kembali terdengar, tapi sepertinya di belakang dia.
Ketika Gian berbalik, ternyata tikus itu ada di atas mejanya. Seekor tikus putih! Lekas saja dia pukulkan tongkatnya ke sana, tapi si tikus melompat gesit dan menghilang.
“Heh! Jangan berisik!” Melinda memukul sekali daun pintu kamar Gian.
“Ma-Maaf, Ma!” Gian menyadari kebodohannya.
Karena tidak ada lagi gangguan tikus, mungkin sudah keluar melalui lubang antah-berantah, Gian pergi ke kasur dan rebahkan tubuh di sana. Dia redupkan lampu kamarnya dan memejamkan mata.
Namun, baru saja dia terpejam beberapa menit, dia merasa dagunya digelitiki sesuatu.
Bulu? Atau Ekor?
Hah?!
Mata Gian segera membuka kembali dan betapa kagetnya ketika melihat tikus putih tadi sudah berada di atas dadanya, menatap lurus ke arahnya, seakan menunggu dia terbangun.
“Argh!” Gian memekik saking terkejutnya.
“Tidak bisakah kau diam dan tenang?” Tiba-tiba saja, tikus putih itu berbicara. Ya, berbicara! Dengan bahasa manusia yang dimengerti Gian!
“Argh!” Gian berteriak lebih kencang sambil bangun dari rebahnya sehingga tikus putih itu terpental jatuh dari atas dadanya.
“Heh! Diam atau tidur di luar!” Teriakan bengis Melinda kembali terdengar, sepertinya sang ibu sedang menonton televisi di ruang tengah yang dekat dengan kamar anak-anaknya.
“Ma-Maaf, Ma!” Gian menyahut ibunya sembari panik. Apakah dia bermimpi? “Aku … aku pasti berhalusinasi!” bisiknya sambil menatap sekeliling, berharap tidak ada tikus apapun di kamarnya.
“Kau tidak berhalusinasi!” Tikus putih kecil mendadak sudah bertengger di atas lampu belajar Gian. Bahkan dia berdiri dengan dua kaki belakang sambil dua kaki depannya bertindak ala kedua tangan yang menyilang di depan dada. “Tak usah berteriak, nanti ibu cerewetmu itu marah.”
Gian menatap horor ke tikus putih tersebut.
Tikus! Itu benar-benar seekor tikus, dengan tinggi dan bentuk begitu mirip dengan makhluk yang dinamakan tikus putih yang biasa digunakan manusia untuk melakukan percobaan ilmiah di laboratorium. “Tolong katakan padaku, kau benar-benar tikus? Kau benar-benar bicara?” Gian hanya ingin memastikan saja. Siapapun di dunia ini tidak akan percaya bahkan meski jika dipukuli, jika mendengar ada tikus yang bisa berbicara kecuali di cerita fantasi saja. Tikus putih itu berlagak jengah dengan memutar bola mata merah mungilnya ke Gian, lalu berkata, “Apakah kau kekurangan otak sehingga tak bisa mengetahui apakah ini bentuk tikus atau bukan? Ya, aku bukan tikus! Aku dinosaurus, rawrgh!” Gian bukannya tertawa malah mundur ke belakang karena kaget. Mengetahui bercandanya malah tidak memiliki efek seperti yang diharapkan, tikus putih itu mendesah pelan sambil kepalanya lunglai seakan sedang kecewa, “Hgh! Sepertinya kawanku terlalu bodoh sampai dia mewariskan kekuatannya padamu.” Mendengar kata ke
Gian baru saja selesai memasukkan semua buku sekolah yang dia perlukan ke tas dan bersiap keluar dari kamarnya ketika Elang berkata, “Kau hendak pergi sekolah?” Menoleh ke Elang yang masih ada di atas bantalnya, Gian mengangguk dan menjawab, “Iya. Aku harus rajin sekolah atau aku akan jadi sampah masyarakat. Begitu kata papaku dulu.” “Hgh … Bocah, kau terlalu disetir oleh orang lain. Tidak punyakah kau keinginan sendiri?” Elang mulai bangkit berdiri di atas bantal sambil menyilangkan dua lengan mungilnya di depan dada berbulu dia. Gian merasa bingung. Memang apa salahnya mematuhi ucapan orang tua sendiri? Tapi, daripada berdebat dan membuat Elang marah, dia memberikan sahutan, “Aku … aku tidak suka keributan.” Elang memutar kepalanya seakan merasa tak sabar dan jengah. “Ya ampun, bocah ini! Hgh! Kau, bawa aku ke sekolahmu!” “Ka-kamu ingin ikut pergi ke sekolah?” tanya Gian dengan wajah terkejut. Apa jadinya jika nanti dia membawa Elang bersamanya? Mungkin jika Elang seekor binatan
“Hii! Apa itu?” seru Emilia ketika melihat apa yang menyembul keluar dari saku seragam Gian saat remaja itu mulai melangkah memasuki kelasnya.“Ini … tikus putih.” Gian menjawab sambil menundukkan kepalanya.“Tikus! Ya ampun, tikus!” Aliana menjerit sambil dia menjauh dari Gian.Robert mendelik sambil menghardik Gian, “Kau sungguh menjijikkan!”“Dasar bule palsu menjijikkan!” Sonia ikut menghardik Gian dengan telunjuk menuding tegas.Datanglah Jehan sambil membawa sapu dan bertanya, “Mana tikus? Mana? Biar aku pukul dia!” Kemudian, dia memukuli tubuh Gian menggunakan sapu yang ada di tangannya.Lekas saja Gian menyahut dengan wajah panik sembari berkelit ke sana dan ke sini dari pukulan sapu Jehan, “Jangan! Jangan pukul dia! Dia tidak berbahaya!”“Apanya yang tidak berbahaya? Kau sembarangan saja membawa masuk tikus ke kelas, dasar bule tolol!” Evita yang geram, memarahi Gian tanpa ditahan-tahan.“Pukul saja tikusnya sampai mati! Itu membawa penyakit!” Rendi ikut mengompori Jehan.Ela
Mengendap-endap dengan cepat, Elang menyelinap masuk ke dalam kelas Gian. Itu bukan hal sulit bagi tikus, apalagi tubuhnya tergolong kecil dan ramping, sehingga itu mudah saja dilakukan.‘Huh! Kalian ingin menyingkirkan aku? Berani sekali kalian pada Yang Mulia ini!’ geram Elang dalam hatinya.Suasana kelas kembali kondusif dan tenang karena bu guru Ningsih termasuk guru yang tegas dan tak suka keramaian saat Beliau mengajar.Bahkan, sampai bel istirahat pertama berdering, semua terlihat baik-baik saja, hingga ….“Ya ampun! Kok tasku berlubang?” pekik Emilia panik karena tas mahal berharganya sudah memiliki lubang menganga di bagian bawahnya sampai buku dan barang lainnya nyaris jatuh. Dikarenakan itu, dia meratapi tasnya.“Eh! Tasku juga berlubang!” seruan muncul dari Rendi.“Aku juga!” Demikian pula Evita.“Punyaku juga, astaga! Aku bisa dipukul kakakku kalau tas ini rusak begini!” Imelda ketakutan karena itu adalah tas yang dia pinjam dari kakaknya.“Duh, tasku sudah berlubang di s
Rupanya, Elang termasuk sosok pendendam. Dia tidak suka diremehkan hanya karena bentuk dia sebagai tikus kecil. Namun, karena sifat pendendam itulah makanya Gian yang harus menanggung akibatnya. Dia dipaksa oleh banyak temannya untuk mengganti tas mereka. “Tapi, bukankah belum terbukti kalau itu ulah tikusku?” tanya Gian dengan wajah takut-takut saat membantah kemauan teman-teman kelasnya. Rendi menampar kepala Gian dan berkata, “Sudah jelas itu adalah gigitan tikus, kau masih ingin berkelit?” Evita menambahkan, “Kami ini tidak sebodoh kamu, Bule Palsu! Kami tahu perbedaan rusak alami dan rusak digigit tikus!” “Siapa tahu itu gigitan hewan lain.” Alicia mencoba memberikan pembelaan untuk Gian yang sudah mengkerut karena takut. Imelda melirik tajam ke Alicia sembari berbicara, “Kau ini, Cia, apakah kau sudah tertular kebodohan si Bule Palsu ini, heh? Apa pernah kelas kita mendapat musibah seperti perusakan tas secara masif? Berpikir, dong, Cia!” Yang lainnya mengiyakan setuju pad
Gian masih saja melongo ketika Elang berteriak padanya, hingga dia tersadar ketika Elang memekik keras padanya sekali lagi. “Oh! Eh? Sekarang?”“Sekarang, bodoh!” jerit Elang sambil melompat ke kepala preman berikutnya sambil mengacaukan rambut mereka menggunakan kakinya.Karena tak mau Elang kesal, Gian melepas sarung tangan karetnya dan bergegas memegang lengan salah satu preman sekolah. Segera saja, remaja itu kelojotan karena sengatan listrik dari tangan Gian.“Aarghh!” Kemudian, remaja itu tergeletak dan masih kelojotan beberapa kali sebelum akhirnya pingsan.Keempat kawannya melihat adegan itu dan mereka ketakutan. Tapi, Gian tidak membiarkan mereka pergi dan mengarahkan telunjuknya pada salah satu dari mereka.“Haarkhh!” Remaja yang ditunjuk tangan Gian itu kelojotan, sama seperti kawannya sebelum ini dan tersungkur di lantai.Gian tidak membuang waktu dan bergegas menyengat 3 lainnya secara cepat. Satu demi satu dari mereka mulai jatuh dan pingsan.Kini, kelima preman sekolah
Melihat kakaknya diliputi kemarahan, Gian segera mundur, tapi langkahnya terhenti karena kursi makan di belakangnya.Carlen tidak membuang waktu dan menyarangkan tinjunya ke wajah Gian.Dhak!“Arghh!” Pekikan itu bukan keluar dari mulut Gian melainkan dari mulut Carlen. Dia memegangi tangannya yang baru saja meninju sang adik.Melihat putra kesayangannya menjerit kesakitan, Melinda bergegas menghampirinya, “Ada apa, Len? Ada apa? Mana yang sakit?”“Aduh, tanganku ….” Carlen mengaduh dengan gaya manja. “Mama, dia menyakitiku!” tudingnya ke Gian yang masih berdiri tak bergerak.Melinda lekas mengusap-usap tangan putra kesayangannya lalu menoleh cepat ke Gian. “Minta maaf ke kakakmu!”“Tapi, Ma, dia yang memukulku dan aku tidak melakukan apapun.” Gian berkilah.“Tidak peduli! Pokoknya kau sudah membuat dia kesakitan! Cepat minta maaf!” seru Melinda pada Gian.Sementara itu, dua saudara Gian lainnya hanya diam dan menonton semua adegan di depan mata. Zohan menyeringaikan senyumnya sambil
Gian memikirkan kata-kata Elang. Dia harus bisa membuat siapapun menghargai dia dan tidak memperlakukan dia seenaknya saja.Selama ini dia terlalu mengalah dan patuh menerima perlakuan apapun yang diarahkan padanya meski itu sebenarnya menyakitkan sekali di hati maupun fisik.Teringat sejak kecil dia sering dijadikan pembantu oleh ibunya, harus mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu, mengepel, bahkan ke warung untuk membelikan berbagai macam hal.Lalu, kedua kakaknya juga sama saja, karena mereka melihat Melinda bisa seenaknya memperbudak Gian, maka Carlen dan Zohan pun bertingkah sama seperti sang ibu.Gian akui, hanya Cheryl saja yang tidak menunjukkan sikap memperbudak ke Gian meski gadis itu lebih pada sikap cuek dan tak ingin terlibat dalam penyiksaan Gian di rumah. Cheryl akan memasang wajah tak pedulu setiap Gian dirisak kedua kakak dan ibunya.Belum lagi perlakuan yang dia dapatkan di sekolah ….“Bagaimana? Kau sudah mengerti apa yang aku ucapkan?” tanya Elang setelah dia be