Home / Romansa / Good Sister / 3. Left Alone with Him

Share

3. Left Alone with Him

Author: Ayasa
last update Last Updated: 2021-04-04 14:49:48

“Aku tahu. Jangan khawatir.”

Luna terusik. Tidur pulas tanpa mimpinya itu berakhir akibat suara sang kakak yang ia dengar. Perlahan ia membuka mata, lagi-lagi terserang vertigo ketika retinanya dipaksa menangkap cahaya terlalu banyak dalam waktu singkat. Meski lamban, ia segera tahu di mana dirinya sekarang. Tanpa pakaian, dalam pelukan pria itu.

“Dia ada di sini, Ayah. Tidak hilang. Apa dia tidak memberitahu kalian?”

Luna diam saja, menatapi sang kakak yang tengah berbicara dengan seseorang di telepon. Pelan-pelan ia mengintip ke dalam selimut, mencari kebenaran tentang siapa yang sebenarnya tidak berpakaian, dan dia segera tahu.

Apa ini sudah pagi? Luna tidak ingat apa yang terjadi semalam. Walaupun begitu, sudah jelas jika dia telah diperkosa lagi. Terakhir kali ia mengingat bagaimana pria itu mengancamnya dengan rasa sakit. Lebih baik ia menurut saja kali ini. Ia tidak ingin lagi melawan karena ia tak punya kekuatan lagi. Seluruh tubuhnya tak bertenaga.

Saat masih berbicara di telepon Colin sadar bahwa Luna telah bangun. Dirinya menginginkan kemudian, langsung saja memberikan ponsel itu padanya. Luna menatapnya dengan bingung si ponsel bergantian. Wajah bodoh itu membuatnya geram.

“Ayahku ingin bicara denganmu. Mereka khawatir karena kau tidak pulang ke rumah,” jelas Colin ketus untuk menjawab tatapan itu.

Pelan, Luna mencoba mengambil ponsel yang disodorkan ke arahnya. Namun, tidak akan benda itu berpindah tangan begitu saja. Ketika ia mengambilnya, Colin malah menggenggam ponsel itu lebih erat. Saat ia kebingungan dan menatap kembali pemiliknya, ia dihadiahi sebuah ciuman. Ciuman yang mungkin menjadi sentuhan terlembut sejak kemarin.

Mudah saja, Luna segera tahu bahwa dia harus merahasiakan apa yang terjadi. Ia mencoba bersikap tenang, namun tatapan pria yang sedang mengawasinya itu membuatnya gugup.

"H-halo?” ucapnya begitu gugup. "Maaf, Ma. Aku lupa." Luna merasa tidak tenang, Ia tidak fokus mendengarkan pertanyaan yang ia dengar. Ia lebih sering memperhatikan Colin yang tidak sedetikpun melepaskan pandangan dari dirinya. Bahkan saat pria itu meringsuk ke dalam selimut dan memeluk tubuhnya, ia makin tidak tenang. "Iya, Ma. Aku mengerti." Luna tergesa-gesa lalu memutus telepon lebih dulu.

"Apa yang mereka katakan?" tanya Colin segera.

"Mereka akan menjemputku ke sini dalam satu jam,” jelas Luna pelan.

“Oh, begitu,” sahut Colin tak ikhlas. Ia kemudian menarik tangan Luna, memaksanya untuk menipiskan jarak yang sudah terlalu dekat. Dagu Luna disentuh dengan lembut. Pelan, Colin membisikkan sesuatu. “Aku tidak perlu khawatir mulut itu akan bicara macam-macam, bukan?”

Luna terpaksa menjadi jinak, ia pelan-pelan mengangguk dan menerima perintah tanpa bantahan. Dirinya sudah seperti seekor binatang peliharan, atau lebih parah seperti budak yang tak punya kuasa terhadap dirinya sendiri. Hatinya sangat menolak semua perlakuan itu tetapi, apa daya dirinya tak punya kekuatan.

Ekspresi wajah Colin menjadi cerah. “Bagus. Sekarang buatkan aku sarapan. Aku lapar.”

Pria itu tanpa dosa beranjak pergi dari kasur menuju kamar mandi. Luna lagi-lagi memunguti sisa-sisa pakaian dan harga dirinya. Sakit. Tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Perutnya terasa pedih. Kepalanya berputar. Ia ingin sekali mengadukan perlakuan kakaknya. Tetapi, ia tak punya keberanian. Rasa sakit yang dia terima sejauh ini sudah cukup membuatnya gemetar hanya untuk menatap mata pria itu. Melaporkannya hanya akan mengakibatkan rasa sakit lebih banyak.

Lagi, seperti seekor hewan, Luna hanya bisa menurut untuk melakukan segala perintah kakaknya. Ia pergi ke dapur untuk membuat sarapan. Lalu, ia pergi mandi. Selama di dalam kamar mandi, ia menangis untuk kesekian kali. Hanya dengan menatap cerminan dirinya di kaca, ia tidak tahan. Bagaimana tubuh itu tidak suci lagi, tidak indah lagi, ia meratapinya.

Ia tidak makan apapun sejak kemarin. Bahkan segelas air pun tidak ada yang melewati kerongkongannya. Sarapan super sederhana yang dibuatnya itu terasa tidak cukup jika harus memenuhi kebutuhan tubuhnya yang lemas. Tetapi nafsu makannya juga tidak begitu baik. Ia memang menghabiskan sarapannya dengan penuh susah payah karena ia mesti menahan diri untuk tidak memuntahkan mereka.

Colin tidak banyak bicara pagi ini. Dia hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Luna sendiri pun tidak ingin tahu dengan apa yang ia lakukan. Tidak ada interaksi yang berarti dengan kedua kakak-beradik itu hingga sebuah bunyi memecah keheningan mereka.

Luna sedang mencuci piring kotor dan Colin sedang berada di ruang depan bersama laptopnya saat suara bel apartemen terdengar ke seluruh ruangan. Sang kakak sebagai orang yang terdekat segera saja membukakan pintu untuk tamu mereka.

"Colin, di mana Luna?"

Benar saja dugaannya, wanita yang kini menjadi ibunya itu segera menghantuinya dengan pertanyaan. Colin mengelus tengkuknya, memasang wajah tak bersalah yang meminimalisir kecurigaan. "Ada. Dia ada di dalam."

Wanita yang terlihat jauh lebih muda dari pria di belakangnya itu langsung menghambur masuk kedalam apartemen Colin. Pria di belakangnya tampak lebih tenang, tetapi langsung menyusul istrinya masuk.

Luna mendengar keributan di luar, tetapi dirinya malas untuk beranjak ke sana. Lagipula ia masih kesulitan berjalan. Ia hanya fokus menyelesaikan cucian piring saat ibunya menghampirinya ke dapur.

Colin sedikit terkekeh ketika ia melihat sang ibu tiri bukannya menghadiahi sang anak kesayangan sebuah pelukan melainkan sebuah pukulan kecil di kepala. “Dasar! Kenapa kau tidak memberitahu kalau mau menginap di sini? Kenapa kau tidak menelepon?”

Colin menemukan celah, ia tersenyum dalam hati. Seperti pahlawan kesiangan, ia datang menghampiri mereka. "Bukan salahnya. Aku yang mengajaknya menginap."

"Tetap saja dia tidak memberitahuku." Sahut wanita itu ketus.

"Sudahlah." Suara berat lainnya menyela, "yang terpenting Luna tidak apa-apa," ujarnya sambil merangkul Luna. Rangkulan itu bersahabat namun sedikit terlalu kuat, Luna otomatis meringis ketika bagian tubuhnya yang membiru di balik pakaian itu tersentuh.

Sang ayah sedikit terkejut, “ada apa?”

Kecurigaan seketika naik ke permukaan, gelagat mencurigakan Luna memancing sang ibu untuk mengulur lengan panjang dari baju yang dikenakannya. Gadis itu tidak bisa menghindar, potret dirinya yang dipenuhi luka memar tak lagi tersembunyi.

"Kenapa tanganmu banyak memar?"

"Ini…" Luna menunduk dan gugup. Dirinya tidak bisa langsung memberikan jawaban jujur. Tidak mungkin jika ia mengatakan kalau itu karena ia diperkosa kemarin. Beberapa saat ia menatap Colin, ia berakhir ketakutan. Ia bisa mengadu saat ini. Namun tatapan pria itu membuatnya bisu.

"Dia terjatuh dari tangga sekolahnya kemarin,” jawab Colin. Luna sontak berbalik ke arahnya. "Alih-alih menelepon kalian, dia malah menghubungiku,” jelas Colin lagi. Ia merasa idenya cukup cemerlang, hanya jika mulut Luna tetap terkunci di depan kedua orang tua mereka.  “Dia takut membuat ayah dan ibu khawatir.”

"I-iya. Aku takut akan membuat kalian khawatir, jadi aku menghubungi Kak Colin. Dia sudah mengobatiku dan memintaku menginap saja. Tetapi, aku malah lupa memberitahu Mama.”

Alasan logis ditambah tidak adanya pikiran negatif membuat kedua orang tua itu tidak curiga sama sekali. Lengan baju Luna diturunkan kembali oleh sang ibu, lalu kepalanya diusap pelan. “Baiklah, kemasi barang-barangmu. Kita obati lagi nanti saat di rumah,” suruh sang ibu lembut. “Ini pakaian milik kakakmu bukan? Apa kau tidak merasa aneh saat menggunakan pakaian kebesaran seperti ini?”

"Iya."

Luna menurut saja, ia mengangguk kemudian pergi ke kamar. Colin luar biasa senang saat ini. Pemandangan barusan sangat mengocok perutnya. Ia merasakan kemenangan dengan kebodohan adik kesayangannya itu. Kedua orang tuanya sangat percaya pada omong kosongnya.

Colin mengikuti Luna ke dalam diam-diam. Meski ia mungkin ketahuan, ia tahu bahwa kedua orang tua itu tidak akan curiga. Bahkan saat ia menutup pintu sekalipun.

Ia tersenyum dan disambut oleh wajah murung Luna. Baginya wajah itu sangat menghibur. Ia kemudian mencium keningnya sebagai hadiah. "Pintar. Kakak sayang padamu."

"Sayang padaku?" Luna mengulang klausa itu tanpa sadar. Hati kecilnya seperti ingin menertawakan itu.

"Hm. Kenapa?"

Pertanyaan Colin mengembalikan kesadarannya dengan cepat, ia tak berani melakukan apa-apa. "Tidak."

Colin tersenyum kemudian mendekap Luna. "Semakin kau menurut, Kakak akan semakin sayang padamu," ujarnya dilanjutkan dengan sebuah kecupan di pucuk kepala Luna.

Luna menundukkan kepalanya. Betapa tragis, kalimat itu terdengar di telinganya sebagai sebuah bencana.

"Kenapa? Ahh… Aku mengerti.” Colin cekikikan. “Akan sangat menarik jika kau hamil anakku. Haha."

Lelucon garing Colin hampir membuat jantung Luna jatuh. Ia tidak akan senang jika hal itu terjadi. Meski hanya lelucon, ia tetap akan menolak kemungkinan gila itu. Tidak bisa sama sekali ia bayangkan apa yang akan terjadi jika kalimat Colin barusan menjadi kenyataan.

"Cepat kemasi barang-barangmu."

.

.

.

.

.

Colin berjalan keluar kamar dengan biasa, bertindak seperti ia tidak masalah dengan perubahan drastis yang terjadi pada dirinya belakangan ini.

"Colin, apa Luna merepotkanmu?" tanya wanita itu, sang ibu. Secara teknis memang wanita itu adalah ibunya. Namun saat ini ia hanya mencoba bersikap baik. Jika bukan karena sang ayah dan Luna yang ingin ia permainkan, tidak sedikitpun, bahkan sedetik saja, ia senang dengan kehadiran wanita itu sebagai ibu barunya.

Colin memang benar-benar tak suka dengan sang ibu baru. Tetapi dalam dirinya melekat sebuah label ‘anak lelaki yang baik’ sehingga tak mau ia mencorengnya. Ia bersikap sebaliknya di hadapan orang lain. "Tidak. Justru dia sangat membantuku. Terutama masakannya,” jawab Colin dengan ekspresi menyegarkan. Berbanding terbalik dengan dirinya yang mual dengan pernyataan itu sendiri.

Sang ayah dengan santai memberikan sebuah kabar. "Ayah dan Ibu berencana untuk pergi berbulan madu di Hawaii selama satu bulan. Jadi, kami mau kau menjaga Luna."

Seperti sebuah kebetulan, ketika kalimat itu selesai diucapkan, Luna baru saja menutup pintu kamar Colin.

Sang ayah tersenyum menatap Luna yang ia yakini juga mendengar apa yang ia katakan. “Ayah akan senang jika kalian bisa menghabiskan waktu bersama. Luna sangat mengagumimu, jadi Ayah yakin kalian akan baik-baik saja bersama.”

Dalam kepala Colin saat ini ada sebuah parade. Ia sangat senang sampai tak bisa menahan senyum. "Aku tidak keberatan," jawab Colin santai. Hanya dalam beberapa detik saja, ia sudah punya berbagai macam rencana. Semuanya akan berjalan sesuai dengan keinginannya jika sang adik setuju.  "Tetapi Luna setuju atau tidak?" Ia bermaksud menyindir, memanfaatkan keadaan untuk kepastian tidak ada penolakan. Ia juga percaya diri. Hanya dengan menatap sang adik dengan penuh arti, ia yakin mulutnya akan selalu tertutup rapat.

"Luna tidak akan menolak,"

Lain ditanya lain yang menjawab, Colin sama sekali tidak menentang pernyataan itu karena ia jelas diuntungkan. Sang ibu tiri kemudian berbicara lagi,”sejak dulu dia ingin punya kakak laki-laki. Menghabiskan waktu bersamamu pasti akan menyenangkan untuknya. Benar sayang?”

"I-iya, Mama."

Parade kesenangan telah dimulai, Colin menggebu-gebu untuk sebuah deklarasi kemenangan. "Luna memang adik yang baik,” ujarnya dengan senyum kepuasan.

To be continued

by Ayasa

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Good Sister   Epilog

    "Ya, mereka memanggilku Ares karena aku dianggap saingan paling berat dalam perang." Tatapan pria itu sangat yakin, mencoba menaikkan harga dirinya di depan seorang wanita cantik yang sedang ia incar. "Aku suka olahraga, hobiku sepakbola tapi aku lebih sering bermain basket bersama teman-temanku. Yah, hanya bermain saja." "Bagaimana dengan keluargamu?" "Keluargaku? Hmm ... Ayahku seorang pengusaha dan aku punya kakak laki-laki yang sudah menikah." "Kau juga ingin menikah?" "Denganmu? Tentu saja." Entah sejak kapan ia memiliki keahlian menggoda wanita seperti itu, tetapi ia berkata jujur jika ia ingin segera menikah. "Daddy!" Keduanya serentak menoleh ke arah sumber suara, si kecil manis yang tiba-tiba mendekat dan memanggilnya dengan sebutan 'Daddy'. "Daddy!" Seorang gadis kecil, dengan rambut di kuncir dua, memeluk kaki si pria dengan erat. "Daddy~" "Wait? Daddy? Kau

  • Good Sister   48. Happily Ever After

    Ballroom penuh dengan para undangan, gadis-gadis kecil dengan gaun merah muda mereka, dan juga kedua pengantin yang saling menatap di depan altar. Semua perhatian tertuju pada mereka yang saling mengucap janji. Janji suci pernikahan. "You may kiss the bride." Senyum tidak pernah hilang dari keduanya. Luna pelan-pelan mendekat, menunggu Colin untuk bertindak, apapun itu. Wajah mereka sangat dekat, semua orang menunggu ciuman pengantin mereka. Namun sudah lima detik dan keduanya belum berciuman. "Kakak akan menciumku atau tidak?" Colin tersenyum licik. "Kenapa kau bertanya? Tentu saja." Semua orang berseru seakan-akan apa yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Ciuman sederhana dari Colin, membuat semua orang senang. Colin sendiri tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Balutan jas formal berwarna putih senada dengan gaun Luna, melengkapi kisah cinta mereka yang akhirnya berakhir indah. Mereka sudah resmi m

  • Good Sister   47. The Night Before a New Start

    Luna tidak bisa duduk dengan tenang. Ia terus saja menoleh ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kiri Devin. Berkali-kali ia menarik tangan sang Kakak. Jangan salahkan, dia memang sedang menunggu seseorang. Aksinya bahkan terlalu mengejutkan bagi Devin yang juga menemaninya di sana. Tangannya terus ditarik bahkan sampai ia mengaduh. "Kakak sudah menghitung waktunya dengan benar, 'kan? Apa mungkin kita datang terlalu cepat?" Gadis itu menggerutu, wajahnya masam, dan ia tak betah duduk diam. Devin benar-benar kebingungan dengan hal ini. Ia merasa Luna menjadi sering mengomel dan menggerutu belakangan ini. "Iya. Aku sudah menghitungnya dengan benar." Devin menjawabnya sedikit kesal. "Lagipula kenapa kau tidak tanya Colin saja? Kau tahu jawabannya lebih menjanjikan daripada jawabanku." "Kakak sungguh-sungguh tidak salah, kan?" Luna menepuk lengan Devin dengan keras. "Dia bukan datang besok, 'kan?" Devin seketika meringis, ia otomatis menyapu lengann

  • Good Sister   46. Welcome to the World

    Ketiga pria itu berwajah gusar di depan ruang bersalin. Mereka berada pada mode panik, karena dilarang masuk melihat kondisi Luna. Dimas sibuk dengan ponselnya, menghubungi semua orang yang ia bisa hubungi. Devin duduk menggigit jarinya, berusaha tenang, padahal ia sangat takut. Colin? Dia berdiri di depan pintu ruang bersalin, mencuri lihat dari kaca buram yang sama sekali tidak membantu apapun. Segera setelah ketuban Luna pecah, ia menggendong Luna dan membawanya menuju ruang bersalin, mengejutkan semua orang yang sedang bersantai. Ketiga pria itu sama-sama menggila, ingin sekali masuk dan mendampingi Luna di tengah-tengah perjuangannya. "Ah! Kakak!" Mereka otomatis terkejut, sama-sama khawatir dan merasa terpanggil dengan sebutan Kakak’ yang diucapkan Luna. Tubuh Colin bergetar, ketakutannya kembali datang. Matanya mengerjap disandingi airmatanya yang tidak bisa dihentikan. "Devin," Ia bergetar memanggil nama Devin, seakan-akan ingin adiknya itu tahu apa y

  • Good Sister   45. Lily, Rose, and Daisy

    Matahari belum terlihat, dua pria itu menghambur koridor panjang rumah sakit yang masih tidak begitu ramai. Seorang darinya masih dengan mata yang bengkak, rambutnya tak beraturan dan juga baju kaosnya yang mungkin terbalik. Satu lagi memilih untuk menggunakan kacamata karena jujur, matanya sangat sakit karena dia paksa terbuka. Dua pria itu berlari secepat yang mereka bisa menuju IGD di mana mereka di beri kabar bahwa Luna akan melahirkan.Dimas berdiri di tengah koridor membuat mereka tak perlu seperti orang gila mencari-cari kepastian."Di mana Luna?" Pertanyaan langsung keluar dari mulut Colin bahkan sebelum ia benar-benar berhenti berlari. Napasnya sedikit sesak, mengingat dia bersama adiknya itu melakukan sprint dari tempat parkir. "Apa dia ... baik-baik saja? Apa dia sudah ... melahirkan?"Devin juga tidak sabar, tak mau duduk karena butuh kepastian. Dia juga akan bertanya hal yang sama jika berada di posisi Colin."Maaf.""Maaf?""Ka

  • Good Sister   44. Brotherhood

    "Kau di mana?"Pria itu berjalan dengan senyuman. Hatinya senang sekali, berbunga-bunga hingga ia tak bisa menghilangkan senyuman itu walau sekejap. Sambil berjalan dengan santai, ia berbicara di telepon."Aku sudah di hotel. Kau di mana? Belikan aku pizza.""Aku sudah di depan pintu.""Ah, sial. Aku ingin makan."Ia tertawa kecil, kemudian meraih gagang pintu. "Kita pesan saja." Ia kemudian memutuskan panggilan dan masuk ke dalam hotel."Kak!" Devin segera menghambur diri menghampirinya. "Bagaimana tadi? Apa semuanya lancar? Apa yang mereka katakan? Ayah juga ada di sini bukan? Apa dia melakukan sesuatu padamu?”Bagai angin lalu, semua pertanyaan Devin tak ia dengarkan sama sekali. Colin tak punya niat untuk memikirkan apapun saat ini. Ia membanting tubuhnya di kasur. Tubuh lelahnya butuh istirahat. Ia segera menutup mata, merasa siap untuk mimpi indah yang ia yakini akan menyambanginya lagi setelah sekian lam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status