Share

Bulan Sabit

Kejadian semalam saat Tian membuat pengakuan, masih sulitku percaya. Aku dan Tian?

Saat terbangun, aku yakinkan diri sendiri. Aku bisa memulai kembali. Seperti tidak ada alasan untuk menolak. Tian yang tetap ada untukku. Kelak aku memang tidak tau, tapi aku merasa lebih tenang untuk kembali percaya pada suatu hubungan, karena Tian.

Notif chat dari Tian hampir tidak pernah absen sejak dulu, muncul di layar hp-ku di pagi hari. Sekedar share menu sarapannya dekat kantor ditambah review mengerupai food vlogger, memberitahu cuaca hari itu seperti g****e weather, tiba-tiba melontarkan tebak-tebakan, atau sekedar merekomendasikan lagu baru yang didengar. Tanpa aku sadari, membuka isi chat dari Tian di pagi hari jadi rutinitas yang tidak pernah aku lewati.

Kali ini dia mengirimkan voice note yang membuatku tertawa geli. Dia berkali-kali bilang masih tidak percaya kejadian semalam. Dengan excited dia bilang terimakasih dan memintaku untuk tidak berubah pikiran. Katanya, dia tidak mau membuatku menyesal sudah memberinya kesempatan.

Setengah jam setelah aku mendengar isi voice note yang dikirim, 3 pax doclang sampai ke rumah. Diantar oleh ojek online. Tian yang pesan. Sepertinya dia masih ingat percakapanku dengannya. Aku bilang ingin makan doclang dekat SMA kami dulu. Hanya saja waktu itu, abangnya tidak jualan. Aku foto kiriman doclang yang dia belikan, ditambah ucapan terimakasih dan sticker avatar.

Jum'at malam, Tian datang lagi ke rumah.

"Lahh! Kan besok janjiannya," aku bilang ke Tian.

Tian nyengir memperlihatkan giginya.

"Udah makan belum?" tanya Tian.

"Udahlah," jawabku tegas. Maksudku, saat dia datang sudah lewat jam makan malam.

"Bagus!! Cocok!! Aku juga udah makan pas nyampe Stasiun Bogor. Tapi kalau makan martabak manis belum kan?"

Aku sudah lihat Tian datang dengan 2 kotak bungkusan yang wanginya khas martabak manis. Bahkan aku bisa menebak isinya setengah keju dan setengahnya lagi kacang dan coklat. Betul saja tebakanku.

"Bu.., Tian bawa martabak nih..," aku membawa satu kotak lainnya ke dalam, tapi Ibu sudah lebih dulu menghampiriku ke luar.

"Terimakasih Tian. Ini sogokan apa?? Tadi pagi doclang, sekarang martabak??" Ibu melirik Tian sengaja. Pura-pura berdeham.

"Namanya lagi usaha bu, biar lancar..," sahut Tian malu-malu.

"Lancar apanya, Tian? Kayaknya ada yang belum Ibu tau nih," sindir Ibu. Entah insting darimana Ibu berkata begitu, padahal aku belum bercerita apapun.

"Eghh..., lancar itu bu, biar dilancarkan ikhtiar saya ke anak Ibu," jawab Tian.

"Anak Ibu yang mana?"

"Ibuuu....," aku sudah maksud ibu hanya ingin bercandain Tian.

Tian makin salah tingkah. Niat mau ambil gelas yang ada di meja, malah jadi vas bunga. Tambah malu dia di depan Ibu.

"Ibu bercanda Tian. Kalau Ibu, doakan saja yang terbaik buat anak-anak Ibu."

"InsyaAllah! Tian berusaha yang terbaik untuk Ayri," Tian merespon cepat perkataan Ibu dengan lantang.

Dari dalam rumah suara Ayah menirukan ibu yang sebelumnya berdeham juga, namun suara hem yang lebih keras.

"Udah Ibu masuk gihh...," pintaku. "Udah malem. Ibu temenin Kaisan tidur aja. Pasti dia udah nungguin Ibu di kamar."

"Apanya yang nungguin Ibu. Kai masih asik main Lego sama Ayah."

"Yaudah kalau gitu, Ibu ikutan main Lego di dalem aja," aku mendorong Ibu agar masuk kembali ke dalam rumah.

Tian mengelus dadanya setelah Ibu masuk.

"Kenapa takut sama Ibu?"

"Bukan takut, gugup," kilahnya.

"Mau aku panggilin Ayah biar ke luar juga?"

"Jangan Ay..," Tian nampak agak panik. "Emang kamu udah nggak sabar banget? biar aku lebih cepet dapet restu."

"Katanya mau perjuangin. Berjuang ke orang tua aku jugalah," seruku.

Tiba-tiba Tian berdiri. "Ok siap! Sekarang aja nih minta restunya?"

Aku menariknya tangannya untuk duduk lagi. "Sabar pak. Minta restunya lain kali aja. Bawa yang lain, jangan martabak doang."

Tian mengeluarkan dompet dari waist bag miliknya.

"Yahh Ay, tinggal gocap." Membuka isi dompetnya.

Kami sama-sama tertawa malam itu. Ditambah jemari kami sudah saling bertaut. Tian pulang dengan ojek online sekitar jam setengah 11 malam.

Aku lambaikan tangan di depan pagar rumah. Wajah Tian dalam kegelapan, nampak berbinar dengan senyum lebar dengan mata yang menyipit seperti bulan sabit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status