Beranda / Semua / Grow Up Love / Bulan Sabit

Share

Bulan Sabit

Penulis: Trins
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-31 03:29:20

Kejadian semalam saat Tian membuat pengakuan, masih sulitku percaya. Aku dan Tian?

Saat terbangun, aku yakinkan diri sendiri. Aku bisa memulai kembali. Seperti tidak ada alasan untuk menolak. Tian yang tetap ada untukku. Kelak aku memang tidak tau, tapi aku merasa lebih tenang untuk kembali percaya pada suatu hubungan, karena Tian.

Notif chat dari Tian hampir tidak pernah absen sejak dulu, muncul di layar hp-ku di pagi hari. Sekedar share menu sarapannya dekat kantor ditambah review mengerupai food vlogger, memberitahu cuaca hari itu seperti g****e weather, tiba-tiba melontarkan tebak-tebakan, atau sekedar merekomendasikan lagu baru yang didengar. Tanpa aku sadari, membuka isi chat dari Tian di pagi hari jadi rutinitas yang tidak pernah aku lewati.

Kali ini dia mengirimkan voice note yang membuatku tertawa geli. Dia berkali-kali bilang masih tidak percaya kejadian semalam. Dengan excited dia bilang terimakasih dan memintaku untuk tidak berubah pikiran. Katanya, dia tidak mau membuatku menyesal sudah memberinya kesempatan.

Setengah jam setelah aku mendengar isi voice note yang dikirim, 3 pax doclang sampai ke rumah. Diantar oleh ojek online. Tian yang pesan. Sepertinya dia masih ingat percakapanku dengannya. Aku bilang ingin makan doclang dekat SMA kami dulu. Hanya saja waktu itu, abangnya tidak jualan. Aku foto kiriman doclang yang dia belikan, ditambah ucapan terimakasih dan sticker avatar.

Jum'at malam, Tian datang lagi ke rumah.

"Lahh! Kan besok janjiannya," aku bilang ke Tian.

Tian nyengir memperlihatkan giginya.

"Udah makan belum?" tanya Tian.

"Udahlah," jawabku tegas. Maksudku, saat dia datang sudah lewat jam makan malam.

"Bagus!! Cocok!! Aku juga udah makan pas nyampe Stasiun Bogor. Tapi kalau makan martabak manis belum kan?"

Aku sudah lihat Tian datang dengan 2 kotak bungkusan yang wanginya khas martabak manis. Bahkan aku bisa menebak isinya setengah keju dan setengahnya lagi kacang dan coklat. Betul saja tebakanku.

"Bu.., Tian bawa martabak nih..," aku membawa satu kotak lainnya ke dalam, tapi Ibu sudah lebih dulu menghampiriku ke luar.

"Terimakasih Tian. Ini sogokan apa?? Tadi pagi doclang, sekarang martabak??" Ibu melirik Tian sengaja. Pura-pura berdeham.

"Namanya lagi usaha bu, biar lancar..," sahut Tian malu-malu.

"Lancar apanya, Tian? Kayaknya ada yang belum Ibu tau nih," sindir Ibu. Entah insting darimana Ibu berkata begitu, padahal aku belum bercerita apapun.

"Eghh..., lancar itu bu, biar dilancarkan ikhtiar saya ke anak Ibu," jawab Tian.

"Anak Ibu yang mana?"

"Ibuuu....," aku sudah maksud ibu hanya ingin bercandain Tian.

Tian makin salah tingkah. Niat mau ambil gelas yang ada di meja, malah jadi vas bunga. Tambah malu dia di depan Ibu.

"Ibu bercanda Tian. Kalau Ibu, doakan saja yang terbaik buat anak-anak Ibu."

"InsyaAllah! Tian berusaha yang terbaik untuk Ayri," Tian merespon cepat perkataan Ibu dengan lantang.

Dari dalam rumah suara Ayah menirukan ibu yang sebelumnya berdeham juga, namun suara hem yang lebih keras.

"Udah Ibu masuk gihh...," pintaku. "Udah malem. Ibu temenin Kaisan tidur aja. Pasti dia udah nungguin Ibu di kamar."

"Apanya yang nungguin Ibu. Kai masih asik main Lego sama Ayah."

"Yaudah kalau gitu, Ibu ikutan main Lego di dalem aja," aku mendorong Ibu agar masuk kembali ke dalam rumah.

Tian mengelus dadanya setelah Ibu masuk.

"Kenapa takut sama Ibu?"

"Bukan takut, gugup," kilahnya.

"Mau aku panggilin Ayah biar ke luar juga?"

"Jangan Ay..," Tian nampak agak panik. "Emang kamu udah nggak sabar banget? biar aku lebih cepet dapet restu."

"Katanya mau perjuangin. Berjuang ke orang tua aku jugalah," seruku.

Tiba-tiba Tian berdiri. "Ok siap! Sekarang aja nih minta restunya?"

Aku menariknya tangannya untuk duduk lagi. "Sabar pak. Minta restunya lain kali aja. Bawa yang lain, jangan martabak doang."

Tian mengeluarkan dompet dari waist bag miliknya.

"Yahh Ay, tinggal gocap." Membuka isi dompetnya.

Kami sama-sama tertawa malam itu. Ditambah jemari kami sudah saling bertaut. Tian pulang dengan ojek online sekitar jam setengah 11 malam.

Aku lambaikan tangan di depan pagar rumah. Wajah Tian dalam kegelapan, nampak berbinar dengan senyum lebar dengan mata yang menyipit seperti bulan sabit.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Grow Up Love   Pesan

    Menemui Sabtu, setelah melewati hari-hari kerja, rasanya..., nikmat sekali. Aku keluar dari kamar hampir mendekati jam 10 pagi.Di rumah hanya terlihat Ibu dan Kay. Ibu masih mengaduk adonan bakwan sayur di baskom berukuran sedang. Kay focus dengan tablet dan games run away yang sedang dimainkannya.Setelah meneguk seperempat air putih, aku mengambil selemar roti di atas meja makan, cukup mengolesinya dengan mentega hingga rata. Selembar roti sudah habis ku makan hanya beberapa detik saja.Aku duduk di samping Kay, melihatnya yang belum berhenti bermain game."Sudah main dari kapan?""Baru!""5 menit lagi selesai ya!""Aagghhh....," gerutu Kay."5 menit lagi, abis itu kita main futsal di lapangan depan. Mau ga?""Iyaa..," jawab Kay mengiyakan dengan nada malas.Walau begitu, Kay menepatinya. Kami akhirnya pergi ke lapangan futsal yang dituju. Sampai di sana, sebetulnya yang aku lakukan hanya mengawasi Kay bermain dengan anak-anak lain. Ada enam anak lainnya di sekitar lapangan. Kisaran

  • Grow Up Love   Probation, Semakin Terbiasa?

    Tahun 2021Tiga bulan hampir selesai. Masa probation di kantor baru hampir terlewati. Alhamdulillah. Lancar. Butuh ektra tenaga menyelesaikan pekerjaan, karena masih beradaptasi dengan alur pekerjaan di tempat baru.Setelah melewati probation, aku akan melanjutkan kontrak kerjaku di lokasi kantor berikutnya. Alasan terbesar kenapa aku kembali bekerja waktu penuh. Aku akan ditempatkan di kantor cabang Kota Bogor. Akhirnya mobilitas yang sebelumnya menjadi momok hampir di setiap minggu malam akan ku tinggalkan. Aku memang belum tau, kapan situasi akan normal kembali. Dalam seminggu, aku hanya dua hari ke kantor di Jakarta. PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang digunakan untuk mengatasi Pandemik Covid19 masih diberlakukan.Aku kebagian masuk kantor Selasa dan Jum'at. Hari jum'at, Tian sering menjemputku ke kantor, walau tidak jarang dia harus berangkat dari Bogor ke Jakarta untuk menjemput. Sungguh tidak sekalipun aku pernah memintanya sejak kami di fase hubungan yang b

  • Grow Up Love   Impiannya

    Selesai mengerjakan beberapa tulisan jam dua dini hari, aku terbaring mengingat Tian. Ada saja hal yang membuatku ingin menertawakan kekonyolannya yang tidak disengaja. Seperti salah tingkahnya ketika bertemu Ibu.Aku masih belum mengantuk walau sudah hampir setengah jam berbaring di kasur. Random saja, aku ambil satu album yang tersimpan di antara tumpukan buku di dalam rak. Album ketika aku SMA. Tidak banyak foto tercetak. Maklum lebih banyak foto yang tersimpan di HP yang aku gunakan saat itu. Sebagian softfile sudah ku pindahkan ke dalam hardisk.Aku sengaja memuka album dari belakang. Foto yang ingin ku lihat saat moment liburan ke Bandung dan perpisahan SMA. Kenangan yang membuatku merasa hangat di malam itu. Tanganku terhenti di lembaran ke tiga. Sengaja berhenti, karena foto-foto yang ada di halaman berikutnya. Aku memang tidak pernah membuang kenangannya. Hampir semua masih tersimpan, termasuk buku-buku miliknya yang ada di atas mejaku. Tapi aku masih merasa berat, jika melih

  • Grow Up Love   Bulan Sabit

    Kejadian semalam saat Tian membuat pengakuan, masih sulitku percaya. Aku dan Tian? Saat terbangun, aku yakinkan diri sendiri. Aku bisa memulai kembali. Seperti tidak ada alasan untuk menolak. Tian yang tetap ada untukku. Kelak aku memang tidak tau, tapi aku merasa lebih tenang untuk kembali percaya pada suatu hubungan, karena Tian. Notif chat dari Tian hampir tidak pernah absen sejak dulu, muncul di layar hp-ku di pagi hari. Sekedar share menu sarapannya dekat kantor ditambah review mengerupai food vlogger, memberitahu cuaca hari itu seperti g****e weather, tiba-tiba melontarkan tebak-tebakan, atau sekedar merekomendasikan lagu baru yang didengar. Tanpa aku sadari, membuka isi chat dari Tian di pagi hari jadi rutinitas yang tidak pernah aku lewati. Kali ini dia mengirimkan voice note yang membuatku tertawa geli. Dia berkali-kali bilang masih tidak percaya kejadian semalam. Dengan excited dia bilang terimakasih dan memintaku untuk tidak berubah pikiran. Katanya, dia tidak mau membuat

  • Grow Up Love   Pengakuan

    Sepuluh tahun setelah Ad berkata ingin pergi, sebetulnya aku pernah dua kali bertemu dengannya. Bukan di reuni sekolah, melainkan di Yogjakarta saat liburan semester perkuliahan. Aku, Nabilah, Ralina, janjian bertemu Tian dan beberapa teman lainnya di sana untuk liburan. Di masa perkuliahan kami, aku dan Nabilah masuk ke perguruan tinggi negeri sesuai yang kami harapkan di Institut Pertanian Bogor. Sedangkan Ralina, tidak jadi kuliah di Bandung, tapi karena itu aku, Nabilah, dan Ralina bisa bertemu di kampus yang sama. Sedangkan Tian, akhirnya kuliah di Yogjakarta. Karena itu juga Yogjakarta tempat yang kami pilih untuk menghabiskan liburan di semester dua. Tepatnya setahun setelah menyandang status Mahasiswa. Awalnya aku sempat curiga apa ada salah satu yang mengabari Ad untuk bertemu. Kecurigaanku paling besar tertuju pada Tian. Tiba-tiba saja Ad muncul saat acara makan malam di sekitar Malioboro. Apa mungkin Tian yang mengabarinya? Karena Ad dan Tian sama-sama kuliah di Yogjakart

  • Grow Up Love   Kisah remaja

    Matahari bersama dengan awan mendung pagi itu. Aku berjalan beriringan dengan Ad, menyusuri kebun teh yang biasa kami tempuh hanya dengan berjalan kaki. Tidak seperti kami yang baru memulai hari, para pemetik teh sudah memikul keranjangnya masing-masing. Suara aliran irigrasi jadi latar suara menamani aktivitas di pagi hari.Tidak ada senyum merekah yang mudah kutemui dari wajahnya setiap kali dia datang ke rumahku mengajak pergi sekolah bersama. Bukan aku tidak tahu apa penyebabnya, aku hanya masih menghindari ketidaksiapan akan kemungkinan yang tidak aku harapkan.Jika kisah kami akan segera usai, apa mungkin kami adalah pasangan yang menyerah pada jarak atau ada hal lainnya?"Kita udah setengah jam jalan kaki. Kalau nggak ada yang mau dibicarain, aku mau pulang," kataku menahan ragu."Duduk di sana dulu," Ad menunjuk kursi kayu panjang yang biasa digunakan pemetik daun teh istirahat sejenak.Di sisi lain, aku juga sangat ingin mendengar keputusan Ad."Minggu depan, aku pindah," kat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status