Share

Pengakuan

Sepuluh tahun setelah Ad berkata ingin pergi, sebetulnya aku pernah dua kali bertemu dengannya. Bukan di reuni sekolah, melainkan di Yogjakarta saat liburan semester perkuliahan. Aku, Nabilah, Ralina, janjian bertemu Tian dan beberapa teman lainnya di sana untuk liburan.

Di masa perkuliahan kami, aku dan Nabilah masuk ke perguruan tinggi negeri sesuai yang kami harapkan di Institut Pertanian Bogor. Sedangkan Ralina, tidak jadi kuliah di Bandung, tapi karena itu aku, Nabilah, dan Ralina bisa bertemu di kampus yang sama. Sedangkan Tian, akhirnya kuliah di Yogjakarta.

Karena itu juga Yogjakarta tempat yang kami pilih untuk menghabiskan liburan di semester dua. Tepatnya setahun setelah menyandang status Mahasiswa.

Awalnya aku sempat curiga apa ada salah satu yang mengabari Ad untuk bertemu. Kecurigaanku paling besar tertuju pada Tian. Tiba-tiba saja Ad muncul saat acara makan malam di sekitar Malioboro. Apa mungkin Tian yang mengabarinya? Karena Ad dan Tian sama-sama kuliah di Yogjakarta, walaupun beda kampus.

Senyumku yang ada kala itu adalah senyum palsu yang terlalu dipaksakan. Pada akhirnya, walaupun candaan tetap saling terlontar dan obrolan terus berlanjut hingga malam, kecanggungan antara aku dan Ad tidak terhindar.

Kedua kali aku bertemu dengannya singkat saja saat di pernikahan salah satu teman di SMA. Lima tahun lalu. Ketika itu aku bersama pasanganku atau mantanku saat ini. Ad datang ditemani Alia yang sudah beranjak dewasa. Alih-alih bertegur sapa dengan Ad, aku justru banyak mengobrol dengan Alia yang ternyata akan meneruskan kuliah di Bogor.

Kenapa bisa begini?? Berkali-kali muncul dalam benakku. Dahulu, tentu aku tidak pernah terbersit akan ada kecanggungan yang terlalu besar antara aku dan Ad di kemudian hari. Padahal ada tahun-tahun saat aku dan Ad sangat dekat. Ad masih menjadi bagian yang begitu erat dalam hidupku.

Pertanyaan itu terlintas kembali. Kenapa bisa??

Tian bilang dia bertemu dengan Ad, belum lama ini. Lebih tepatnya berpapasan. Mereka bertemu di Bandara Soekarno Hatta saat sama-sama mencari mesin check in. Tian bercerita tentang Ad yang saat ini bekerja dimana dan profesinya. Sebetulnya, aku juga sudah tau. Saat terpaksa menghadiri acara reuni. Cerita tentang Ad seperti sengaja atau tidak, ada saja yang melaporkannya padaku. Termasuk Ad yang sudah memiliki pacar katanya.

Apa aku akan terusik??

Hanya helaan nafas jawabannya.

Terkadang, masih ada murung aku rasakan setiap mengetahui kabar tentang Ad. Seorang sahabat yang menemaniku sejak kecil. Lalu, bagai kilat yang terjadi singkat, hubungan aku dan Ad berubah drastis. Tidak bermusuhan, melainkan semakin asing. Hanya kenangan dimasa lalu yang terasa dekat.

Tian mengangarku kembali hingga ke rumah. Ku buatkan kopi hitam untuknya.

"Ini kopi hitamnya buat Pak Tian," sindirku untuk selera kopinya.

"Terimakasih mbok," candanya.

"Kok dirumah jadi sepi gini?" tanya Tian.

Sekitar jam tujuh saat Tian mengangtarku ke rumah. Ayah dan Ibu sudah mengabariku via WA, mereka membawa Kaisan yang merengek ingin pergi ke pasar malam seberang supermarket yang tidak jauh dari rumah.K

Kanaya juga telat pulang karena masih ada yang harus diurus perihal persiapan pernikahannya.

Di tengah udara yang masih terasa dingin selepas hujan reda, secangkir kopi hitam menemani untuk Tian dan aku melanjutkan obrolan tak tentu arah, sesaat sebelum Tian mengatakan sesuatu padaku.

"Ay" panggilnya dengan nada ragu.

"Apaan??"

"Ada yang mau gue sampaikan ke lo."

"Serius nih?" Sebetulnya aku bingung dengan raut wajah Tian yang berubah. Raut wajah yang hampir sama setiap Tian berdiri ditempatnya mengantarku pulang.

"Ada hal yang seharusnya gue sampaikan jujur ke lo dari lama."

"Ini, lo mau ngomongin sesuatu yang serius? Atau mau ngeprank gue?" usahaku untuk mencairkan suasana.

"Bukan Ay. Kok jadi ngeprank," keluh Tian sesaat. "Bisa gue lanjut?"

"Ya, silahkan," sahutku.

Tian mengangkat tangannya, mengelus rambutku perlahan. Aku terpaku tidak berkutik dengan apa yang baru saja Tian lalukan. Tatapannya tertuju padaku. Tatapan yang terkadang membuatku khawatir, menduga-duga, dan gelisah.

Seperti ada berbagai kenangan yang terlintas dari tatapan Tian sesaat sebelum dia melanjutkan apa yang ingin dikatakannya.

"Gue udah lama banget sayang sama lo sebagai sahabat," kata Tian kembali mengelus rambutku.

"Ya.., gue juga," sahutku. Aku makin gugup dan kikuk dengan sikap Tian. Dengan lembut Tian memegang pipiku.

"Tapi Ay, gue juga udah lama suka sama lo, suka lebih dari sahabat."

Aku terdiam. Walaupun pernah aku menduga-duga, tapi tetap saja aku kaget dan bingung.

"Bukan hanya sayang, ternyata gue cinta sama lo, Ay."

Kedua mata Tian tidak bisa menutupi lagi perasaannya. Tian memelukku seketika. Aku sadar ada air matanya yang menetes saat Tian memelukku. Sosok Tian yang baru pertama kali ku lihat.

Setelah Ad memutuskan pergi, Tian jadi salah satu yang selalu setia menemaniku dan mendukungku. Tidak peduli jarak, tidak peduli waktu, sesibuk apapun, selama ini Tian terus membuatmu merasa, dia ada untukku.

Aku usap pipinya yang basah. Tian tersenyum karena malu. Tidak ada kata yang bisa kupilih untuk menjawab pengakuannya. Aku hanya mencium sebelah pipi Tian, lalu tersenyum padanya.

"Ay, boleh kasih gue kesempatan buat perjuangin lo?" tanya Tian.

Aku mengiyakan dengan mengangguk.

Tian mendekatkan diri padaku. Wajahnya semakin dekat, hidung kami sempat saling menyentuh, perlahan naik dan mencium keningku. Lalu Tian kembali memelukku dengan erat.

Seminggu setelah Ad pindah ke Malang, ke tempat kakeknya. Aku juga menyiapkan diri untuk pindah bersama keluargaku. Aku tidak pernah keluar rumah selain untuk mengurusi persiapan kuliah.

Di Hari Minggu pagi, sebuah Mobil sedan keluaran tahun 90an terparkir depan rumah. Ibu memanggilku ke luar. Katanya teman-temanku datang.

Nabilah, Ralina, dan Tian datang. Mereka bersemangat menjemputku ikut liburan bersama. Tian memang sudah mendapatkan SIM A bersamaan dengan SIM C yang dimiliki. Hari itu dia cerita, usahanya untuk meminjam mobil milik kakak laki-lakinya berhasil. Karena sudah susah payah mendapat izin, aku harus ikut. Katanya, dia ingin mengajakku ke tempat yang serum dan menyenangkan. Tentu kami tidak berlibur berempat saja. Keluarga Tian sudah lebih dulu berangkat ke Bandung dan rencananya kami akan menyusul.

Sepertinya di saat ini, kekosongan dalam diriku setelah Ad pergi, mulai terisi sedikit demi sedikit. Karena mereka tetap ada.

Setelah pengakuan Tian, aku berharap keputusanku sudah tepat. Aku siap membuka hatiku kembali. Aku lelah diam-diam menunggu seseorang untuk kembali, di saat ada yang tetap bersamaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status