"Maaass … ini mantan istrimu telpon!" terdengar teriakan Melly di seberang.Hening beberapa saat."Ada apa Rada? Apa yang akan kamu katakan padaku?" terdengar suara mas Arka dan langsung bertanya.Memang ya, dasar laki-laki baji**an! Tidak ada basa basi menanyakan keadaan anaknya sama sekali. Padahal dia sudah hampir dua bulan tidak bertemu."Kamu bisa ke rumah nggak?" aku sedikit menjeda perkataanku."Kenapa? Kamu menyesal, ya, setelah resmi bercerai dariku? Makanya, jadi perempuan itu jangan sok deh! Sok sok an pake acara menggugat segala, sekarang habiskan uangmu!" Aku menatap ponselku heran, nih orang percaya diri sekali bisa mengatakan seperti itu. Sayang, aku tidak berhadapan langsung dengannya, kalau iya sudah ku getok kepalanya itu pake heels sepatuku. "Sudah ngocehnya?! Kalau sudah sekarang dengerin aku ngomong, ya! Dengerin baik-baik, kalau perlu hidupkan itu loudspeakernya biar jelas!" sahutku gemas."Ya sudah cepat, mau ngomong apa kamu?" suara mas Arka terdengar tidak s
"Permisi …," serentak kami bertiga menoleh ke arah pintu. Dimana suara itu berasal.Astaga! Kenapa dia yang datang kesini? Mungkinkah dia anak dari paman Agus? Kalau seperti ini namanya, berarti aku yang speechles. Hatiku meracau begitu melihat kedatangan Aldo.Sekilas aku melirik Melly, terlihat tatapan takjub dari matanya. Jelas saja, wajah Aldo memang terlihat dingin, tapi, itu tidak mengurangi sisi ketampanannya. Belum lagi dengan penampilannya yang borjuis. Dasar pelakor sih, lihat yang penampilannya seperti bos langsung ngiler."Si--silahkan masuk, Mas, eh, Pak," ujarku menutup mulut karena kikuk.Aldo pun masuk ke dalam rumah setelah ku persilahkan, ternyata dia datang tidak sendiri, melainkan dengan seorang temannya."Apa saya terlihat sudah tua? Panggil saya Aldo,!" ujarnya sambil mengulurkan tangan padaku.Cih! Bisa-bisanya dia pura-pura tidak kenal padaku. Jelas-jelas belum lama ini kami sudah pernah bertemu di rumah Papa. Eh, tunggu! Apa mungkin ini hanya actingnya saja, k
"Ada apa ini?" tanya Mas Arka begitu melihat wajah pucat Melly. Pandangannya tertuju pada Bu Retno karena melihat Melly dengan tatapan tajam."Mas …," Melly langsung bergelayut manja pada lengan Mas Arka. "Ibu itu tadi bentak aku …," adunya dengan suara yang sedih."Eh … eh … eh … emang dasar ya, sudahlah jadi pelakor, nggak punya o*ak, tangannya celamitan pula!" Bu Retno berucap dengan geram. Entahlah apa yang sebenarnya terjadi. Aku yang baru saja masuk jadi bingung."Cukup, Bu!" bentak Mas Arka pada Bu Retno."Jangan lagi menghina Melly, biar bagaimanapun dia ini istri sah saya, saya harap Ibu bisa menghargainya!" ujarnya yang terlihat emosi."Halah … orang seperti istrimu itu nggak perlu dihargai. Dia aja nggak bisa menghargai orang lain kok!" cibir Bu Retno tak mau kalah."Maksud Ibu ini apa, ya? Saya kenal sama Ibu juga nggak, tapi kenapa kalian tidak menyukai saya?! Salah saya apa sama kalian?!" timpal Melly dengan mimik wajah yang sedih. "Jangan-jangan kalian sudah dihasut
Mataku terbelalak begitu membaca pesan yang ternyata berasal dari mas Arka.Apalah maunya orang ini. Setelah berpisah baru bersikap baik. Tumben-tumbenan juga dia bilang kangen anaknya. Baru juga beberapa hari, sedangkan berbulan-bulan saja dia tidak kangen."[Tumben kamu kangen sama Musda?]" balasku."[Musda itu anakku, wajar donk aku kangen padanya? Aku pengen bertemu, dimana sekarang kamu tinggal?]""[Aku sekarang tinggal di rumah papa dan mamaku,]"Lama tidak kunjung dibalasnya pesanku, padahal sudah centang biru. Mungkin dia syok ketika mengetahui aku sudah kembali pada keluargaku. Sebenarnya aku sedikit takut kalau sampai mas Arka beneran berani datang kesini. Bukan apa-apa, hanya saja papa dan mama pasti akan sangat marah. Tapi, biar bagaimanapun mas Arka adalah Ayahnya anakku. Aku tidak mau anakku tumbuh tanpa mengenal sosok ayahnya. Dilema untukku, tapi ini semua demi gadis kecilku itu. "Maaf, Non, ditunggu nyonya untuk sarapan," salah satu asisten rumah tangga mama datang
"Musdaaaa … ya Allah!"Aku langsung menubruk tubuh yang sedang tergolek lemah di atas aspal. Ku peluk erat tubuhnya yang sudah berlumuran darah itu. Aku menangis penuh sesal. Ini semua salahku."Mbak, cepat anaknya dibawa ke rumah sakit. Ntar keburu kehabisan darah itu!" celetuk salah seorang yang mengerubungi kami, membuat kesadaranku seketika kembali."Tolong … tolongin saya!" ucapku sambil mulai mengangkat tubuh kecil itu."Ada apa ini?" Tiba-tiba terdengar suara bariton bertanya di antara kerumunan itu, lalu setelahnya munculah seseorang yang aku kenal."A--aldo …," ucapku terbata ketika melihat."Rada! Apa yang terjadi?" tanyanya."Aldo, tolong!""Ayo cepat masuk ke mobilku," ajaknya sambil mengambil Musda dalam gendongannya.Orang-orang yang mengerubungi kami tadi segera menyingkir, memberikan jalan pada kami menuju mobil yang ternyata berada tidak jauh dari trotoar tempat Musda tergeletak tadi.Aku masuk terlebih dahulu di kursi belakang, lalu Aldo memberikan Musda untuk ku pa
"Tidaaak!" aku berteriak histeris."Ini tidak mungkin! Musdaku! Anakku sayang, maafin Bunda, Nak?" kembali aku meracau tidak jelas."Dokter tolong lakukan semua yang terbaik! Akan saya bayar berapapun biayanya!" Papa mengguncangkan tubuh Dokter itu.Aku menatap wajahnya dengan tatapan memohon, tapi ekspresi wajah Dokter yang masih terlihat tampan meski usianya sudah tidak muda lagi itu justru membuatku sedikit bingung. Bagaimana tidak, jelas terlihat dari raut wajahnya kalau dia seperti orang yang kebingungan."Kenapa? Kenapa Dokter terlihat bingung?!" tanyaku sambil mengusap air mata di pipiku."Saya kan belum selesai bicara, kenapa kalian sudah sangat panik?!""Maaf," ucapku.Aku menyadari kesalahpahaman ini dan menunduk malu karena sudah bereaksi berlebihan tadi."Jadi begini Pak, Bu, saya minta maaf karena saat ini keadaan anak ibu masih dalam keadaan kritis! Dan anak ibu membutuhkan donor darah secepatnya. Dia kehilangan banyak darah karena luka di kepalanya cukup parah," Dokter
Pov. AldoPagi ini aku bangun kesiangan, gara-gara semalam keasyikan main game, membuatku lupa waktu hingga dini hari baru tidur.Dengan terburu-buru aku mandi, ah bukan mandi karena hanya kepalaku saja yang basah. Aku hanya menggosok gigi dan mencuci muka saja. Setelahnya kubuka lemari pakaianku dan ternyata isinya hanya tertinggal satu kemeja menggantung dan warna pink pula. Ah, siapa pula yang sudah membeli kemeja ini, pasti mama. Ku buka pintu lemari sebelahnya dan akupun sempat frustasi karena tidak ada celana maupun baju tersisa. Huh, kemana semua baju didalam lemari ini pindahnya.Aku menepuk keningku pelan. Bodohnya aku, bukankah semua bajuku masih di keranjang cucian karena belum sempat aku setrika sehabis dicuci kemarin.Ini semua gara-gara ART ku yang mendadak minta keluar seminggu yang lalu. Katanya dia akan menikah. Sudah seminggu ini juga aku mengurus segala keperluanku sendiri, bahkan membersihkan rumah juga ku lakukan. Mau bagaimana lagi aku belum punya istri.Aku ber
"Kau …!" Suaraku tercekat di tenggorokan. Geram sekali aku melihat laki-laki pongah yang tidak berperasaan ini. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu, sedangkan yang membutuhkan darahnya adalah anaknya sendiri, darang dagingnya.Rada bangkit dari duduknya, dia berdiri dan menatap benci ke arah Arka."Kami tidak akan pernah bersujud padamu! Aku yakin Musda akan baik-baik saja walaupun tanpa pertolongan Ayahnya! Ayah macam apa kamu yang tega pada anaknya! Kupikir kamu sudah benar-benar menyesal karena selama ini sudah abai sama Musda ketika kamu bilang kangen dan ingin bertemu, tapi ternyata itu semua hanya tipu muslihatmu.""Pergilah! Musda tidak butuh Ayah sepertimu! Dia sudah punya keluarga yang peduli padanya!"Arka terpaku di tempat mendengar yang diucapkan Rada. Mungkin dia tidak menyangka tanggapan yang diberikan Rada. Mungkin juga dia berfikir Rada akan bersujut dan memohon padanya.Aku kagum pada Rada, dia wanita hebat. Wanita yang kuat."Ayo, Mah, Pah, kita masuk!" ajak Rada