"Kasihan sekali, ya, kakaknya Melly. Dia kelihatan sangat terpukul kehilangan adiknya," ucap Mama. Saat ini kami sedang dalam perjalanan pulang dari menghadiri pemakaman Melly.Setelah tiga hari kritis, Melly akhirnya sudah tidak bisa bertahan melawan penyakitnya lagi. Penyakit yang sebenarnya masih bisa disembuhkan, namun terlambat mengetahuinya."Iya, Mam. Apalagi Melly itu adik kesayangan satu-satunya. Pasti dia sangat kehilangan," balasku."Syukurlah, kamu tidak tertular penyakit menjijikan itu. Kalau sampai itu terjadi hi …. Mama jadi ngeri!" ucap Mama sambil bergidik."Sebenarnya penyakit itu masih bisa disembuhkan, Mam. Tapi untuk kasusnya Melly, karena ketahuan sudah parah begitu jadi, yaaa … susah!" Balasku."Terus apa kabarnya Arka? Mama dengar dia tertular penyakit itu? Oh, ya, kok tadi dia nggak menghadiri pemakaman istrinya?""Nggak semudah itu, Mam, buat keluar dari sel. Selain harus ada alasan yang benar-benar darurat, tetap harus ada yang menjamin juga. Nah, mungkin ng
[Al, aku makan siang dengan temanku. Kebetulan dia anak dari pak Hartono. Aku harap jika nanti ada temanmu atau kamu sendiri yang melihat tidak menjadi salah paham, kami hanya teman, kok! Love u,]"Terkirim dan langsung centang dua warna biru. Itu artinya Aldo sedang memegang ponselnya. "[Ya,]" balasnya singkat.Keningku langsung mengkerut membaca balasan yang dikirim Aldo. Tidak biasanya dia membalas singkat begitu. Biasanya dia selalu panjang membalas pesanku. Apa jangan-jangan Aldo marah?"[Dia beneran hanya temanku, Al. Atau kalau nggak gimana kalau kita makan siang bersama-sama? Kamu sibuk nggak?]"Ku tunggu balasan darinya, namun tidak juga dibalasnya, bahkan pesanku dibaca saja belum."[Ini aku share lok, ya!]" Ujarku akhirnya mengirimkan lokasi tempat kami makan siang."Ehm … sibuk banget, sih! Berbalas pesan sama pacarnya, ya?" ujar Rendra tiba-tiba, membuatku sangat kaget. Rupanya sedari tadi dia memperhatikanku."Emm … bukan pacar, kok.""Ah, yang bener? Pasti pacarnya, k
Mas Arka dan para tersangka lainnya segera dibawa polisi untuk kembali ke dalam tahanan. Namun, terlihat mas Arka berbicara dengan polisi yang membawanya. Tak lama setelahnya dia berjalan menuju ke tempatku duduk yang berdampingan dengan ibu dan bapaknya.Aku memang sengaja duduk didekat mereka untuk menenangkan hati bapak dan ibu yang pasti sedih.Mas Arka datang dan langsung bersimpuh memeluk kaki ibu. Dia menangis, menyesal dan meminta maaf pada kedua orang tuanya. Bapak dan ibu pun tak kuasa menahan tangis mereka. Kini mereka bertiga saling berpelukan dengan duduk bersimpuh. Melihat keharuan di depan mata, mau tak mau hati ini terenyuh juga melihatnya. Namun, sebisa mungkin aku menahan agar air mataku tidak jatuh. Biar bagaimanapun Mas Arka dulu pernah menjadi orang penting dalam hidupku.Aku tidak menyangka jika akhirnya dia akan seperti ini. Setidaknya di dalam penjara nanti dia bisa merenung dan memperbaiki sikapnya. Aku pun bangkit berdiri dari dudukku. Berniat pergi menyusu
Pov. AuthorHari ini Rada berencana untuk memberitahukan pengunduran dirinya pada pak Hartono. Setelah kedatangan Rendra, perusahaan semakin maju. Walau Rendra masih baru dalam dunia bisnis, tapi rupanya dia dengan cepat dapat menyesuaikan dirinya. Rada bersyukur karena Rendra sudah cakap, itu artinya dia bisa tenang pergi dari perusahaan itu karena banyak hal yang harus diurus sebelum pernikahannya dengan Aldo.Dengan sengaja Rada berangkat kantor sedikit lebih siang dari biasanya. Jam sembilan dia baru tiba. Langsung saja Rada menuju lift yang membawa menuju lantai tiga. Dengan membawa surat pengunduran diri yang sudah disiapkannya, Rada langsung menuju ruangan pak Hartono. Sebelum masuk terlebih dahulu mengetuk pintunya.Tok! Tok! Tok!"Masuk!!" terdengar suara perintah dari dalam. Pintu terbuka perlahan, Pak Hartono sedang duduk di kursi kebesarannya dan Aldo yang ternyata berada di ruangan ini dengan duduk di depan Papanya. Serentak mereka menoleh ke arah pintu."Permisi, Pak,
"Bukankah sudah kukatakan tadi kalau Melli ini adalah istriku," ucap Mas Arka dengan suara lantang.Deg! Mendengar Mas Arka mengatakan itu membuat hatiku terasa sesak. Ku telan ludah yang terasa pahit ini dengan susah payah, sama pahitnya dengan hidupku.Selama menjadi istrinya, sudah menjadi hal biasa dibentak olehnya. Tapi apa-apaan dia, tiba-tiba pulang membawa wanita yang diakuinya sebagai istri, lalu aku?"Mas, jelaskan padaku! Apa maksud semua ini?" tanyaku menatapnya tajam."Apalagi yang harus aku jelaskan? Bukankah sudah ku katakan tadi. Lebih baik kamu langsung kenalan sendiri sama Melli, biar kalian cepat akrab," ujar Mas Arka tanpa dosa.Apa katanya tadi? Aku akrab sama pelakor? Huh, tidak akan."Hai … Mbak, kenalin aku Melli, madumu," ujar pelakor itu tersenyum mengejek sambil mengulurkan tangannya dan menekan nada bicaranya saat mengucap kata madumu.Tak ku tanggapi uluran tangannya, tak sudi aku menyentuh tangan kotor itu. Tangan wanita perebut suami orang.Melihatku
"Musda ikut ayah,ya! Kita jalan-jalan sama Bunda Melli," ujar Mas Arka."Emangnya Ayah sama Tante Pirang mau kemana?" tanya Musda dengan polosnya."Terserah Manis saja, maunya kemana. Nanti kita beli es krim, beli boneka terus berenang. Musda suka berenang nggak?" rayu si Ulat Bulu yang sok kecantikan itu, rupanya dia benar-benar ingin menguasai anakku."Suka tante! Tapi Tante Pirang bisa berenang, kan?" jawab Musda dengan semangatnya karena memang dia sangat suka bermain air."Bisa donk! Nanti kita berenang bareng-bareng, ya, sama Ayah juga. Oiya tapi jangan panggil tante Pirang terus donk, mulai sekarang manggilnya Bunda Melli, ya?" jawab si pelakor itu dengan wajah yang di buat semanis mungkin, tapi justru membuatku mual."Habisnya rambut Tante, eh, Bunda Melli lucu, warnanya pirang banget sih," jawab Musda dengan polosnya.Seketika wajah Melli langsung merah seperti kepiting rebus, aku hanya menahan tawa melihat reaksinya itu."Yuk, sayang!" ajak Mas Arka sambil berdiri.Musda men
Menjelang waktu sholat magrib, tibalah aku di rumah. Dengan menenteng beberapa paper bag pada kedua tanganku, ku langkahkan kakiku menuju pintu depan rumah yang tertutup. Sebelumnya ku ambil nafas terlebih dahulu lalu mulai mengetuk pintu. Tidak lama kemudian muncullah si ulat bulu membukakan pintu.Matanya langsung melotot, mulutnya menganga ke arahku, seperti ingin menelanku hidup-hidup."Dari mana saja sih, Mbak? Aku capek ngurus anakmu, nangis terus dari tadi nyariin kamu," cecar Melli begitu melihatku.Aku melangkah masuk tanpa meladeninya sama sekali."Mbak, dengar nggak sih aku lagi ngomong!" protesnya ketika aku melewatinya begitu saja dan berlalu menuju dapur."Aku dengar kok," jawabku santai sambil meletakkan barang bawaanku di atas meja makan."Itu belanja, uang dari mana? Pasti pakai uang suamiku, ya!" ujar Melli dengan percaya dirinya menyebut kata suamiku. Apa dia tidak sadar bahwa aku ini juga istri dari pemilik rumah ini.Ku buka kulkas dan mengambil botol air minum l
Siang ini aku berencana untuk menemui kedua orang tuaku. Setelah berkali-kali memantapkan hati dan dengan memberanikan diri, akhirnya kemarin aku menghubungi pak Agus, sahabat papa sekaligus orang kepercayaannya.Disinilah aku sekarang, duduk sendirian di ruang vip sebuah kafe yang sudah di pesan oleh pak Agus, menunggu dengan cemas kedatangan orang tuaku. Entahlah, tapi aku sedikit ragu apakah mereka mau menemuiku. Sebenarnya bisa saja aku langsung datangi rumah, tapi ya itu tadi, aku belum memiliki keberanian untuk menemui mereka tanpa ada orang ketiga.Setengah jam sudah berlalu dari waktu yang dijanjikan pak Agus, tapi mereka masih juga belum terlihat datang. Dudukku mulai terasa gelisah, aku tidak yakin mereka mau menemuiku setelah kejadiaan enam tahun yang lalu."Pergilah! Kalau menurutmu Arka itu pasangan yang cocok untukmu. Tapi, sampai kapanpun papa tidak akan pernah merestui kalian!" ucap papa kala itu dengan marah.Aku hanya bisa menangis dan berlalu dari hadapan papa tanp