Menikah karena cinta adalah alasan klise untuk pasangan muda mudi yang jatuh cinta, tapi apa jadinya kalau lelaki yang seharusnya menjadi imam dan bertanggung jawab, menafkahi istri malah sibuk dengan barang koleksi. Bahkan dengan alasan gaji istrinya lebih besar ia malah semakin mengabaikan kebutuhan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya, entah sampai kapan Nanda sang istri bertahan karena cobaan bukan hanya datang dari suaminya yang kekanak-kanakkan tapi dari sang ibu mertua yang ternyata mendukung dan selalu membela anak semata wayangnya. Akankah ada perubahan? Atau malah seperti kisah rumah tangga gagal lainnya yang berujung perpisahan?
View More“Yank, minta duit ya buat beli baju," ucap Mas Ivan santai mengalihkan sedikit perhatianku yang saat ini sedang sibuk dengan penggorengan yang menyala di atas kompor.
Mas Ivan memang sangat menjengkelkan, sudah ngasih uang jarang-jarang, malah sesuka hatinya belanja pake uangku terus.
"Baju apa lagi sih, Mas? Bukannya kamu baru belanja ya minggu lalu?" tanyaku kesal, seharusnya dia peka dengan suara wajan dan spatula yang mulai nyaring ini.
"Kan itu minggu lalu, Yank! Minggu ini kan belum!" jawabnya sembari mendekat, dengan wajah polos seperti tak berdosa.
"Boleh, ya!" bujuknya manja.
“Ayank .., Maaf, kamu masih marah, ya?” ucapnya manja sembari mulai merayuku dengan pelukan yang disangkanya romantis, padahal sangat membuatku jengah.
Merasa tak kutanggapi, ia semakin bertingkah manja.
“Kamu masak apa, Yank? Harumnya bikin lapar, pasti enak banget,” lanjutnya lagi dengan memuji dan terdengar tak tulus. Jelas saja, ia pasti melakukannya karena ada maunya.
“Punya mata kan ya? Liat aja sendiri!” ketusku, dan ia malah tertawa dengan lepas, bukannya merasa bersalah malah cekikikan tanpa dosa.
“Kamu kalau marah-marah gitu tambah jelek tau nggak, Yank?” ucapnya setengah berteriak, sumpah mulutnya pengen banget kucobek pake rawit sekilo.
“Iya, aku emang jelek! Tapi jelek-jelek gini aku banyak duit loh, masih mending kan dari pada kaya kamu, ganteng doang tapi kere!” ejekku pedas.
“Kok kamu ngomongnya gitu sih, Yank?” ucapnya terdengar sedih, dan aku yakin dia pasti merasa tersinggung.
“Terus kamu kenapa ngomong gitu juga?” tanyaku balik.
“Gitu gimana?” tanyanya polos merasa tak bersalah.
“Kamu tersinggung nggak kubilang kere?” tanyaku santai sembari melipat tangan.
“Iyalah! Itu penghinaan tau nggak!” jawabnya seolah merasa terhina.
“Nah! Sama!” jawabku santai sembari menjentikkan jari di depan wajahnya.
“Apaan sih? Nggak jelas banget! Sama apa coba?” tanyanya meninggi, semakin emosi rupanya.
“Kamu bilang kalau aku jelek dan itu berulang-ulang, berkali-kali, itu juga penghinaan!” jawabku santai kali ini aku duduk di kursi makan dan menyenderkan tubuh dengan nyaman.
“Ya elah! Gitu aja kok marah!” ucapnya enteng.
“Lah? Siapa yang marah? Aku loh nggak marah, kamunya aja yang sensi kalah-kalah boneka barbie!” sahutku meledek.
“Kok barbie sih, Yank?” Kembali ia menyahut tak terima.
“Lah emang kan? Kalau nggak mau disamakan dengan barbie, ya jangan sensi dong! Gitu aja kok marah!” ucapku meniru kalimatnya.
“Pokoknya aku mau beli baju baru, Yank, please dong ngertiin aku!" Mas Ivan lagi-lagi merengek membuatku semakin kesal.
Kamu kan punya uang sendiri, Mas! Belanja aja pakai uangmu!" jawabku malas, hilang sudah semangatku menyajikan sarapan penuh cinta.
"Kok kamu pelit sih, Yank?" tanyanya terdengar kesal.
"Pelit dari segi mana coba? Kamu loh yang lebih sering belanja dari pada aku! Lihat tuh pakek matamu yang sebesar biji salak itu! Lemarimu aja ada dua, sedangkan aku satu aja nggak penuh!" jawabku sembari menunjuk ke arah kamar dengan emosi.
"Kok kamu ngungkit-ngungkit lemari sih, Yank?" tanyanya lagi, suaranya meninggi menandakan tak terima dengan ucapanku.
"Lah, emang iya, kan? Kamu kalau mau belanja pakai uangmu sendiri kan bisa! Kenapa mesti minta aku mulu sih?" Kujawab ia dengan sengit beserta tatapan tajam mematikan.
"Kamu kok hitung-hitungan gitu sih sekarang?" Mas Ivan mendekatiku, rupanya ia masih mencoba membujukku, dan dia pikir aku akan luluh seperti biasanya.
"Kamu tau nggak, Mas? Pengeluaran kita membengkak! Bulan ini aku sampai nggak bisa nabung karena kamu belanja mulu! Mending kalau yang dibeli itu memang penting dan bermanfaat! Lah ini cuma barang-barang nggak guna yang jadi koleksimu doang!" Kumatikan kompor dengan emosi, lalu kutinggalkan begitu saja nasi goreng yang baru saja kumasak, tanpa berniat untuk memindahkan ke piring dan menyajikannya untuk kami makan bersama.
“Aku kan sudah kasih kamu uang dapur, Yank! Jangan bilang seolah-olah aku nggak ada kontribusi apapun dong di rumah ini!” balasnya tak terima dan tentu saja ucapannya itu sukses membuatku membelalakkan mata saking emosinya.
“Mas, kamu tuh ya!” Kulemparkan tempat tisu berbahan kain yang ada di meja makan dan tepat mengenai kakinya.
“Aduh! Apaan sih, Yank? Kamu dosa tahu nggak begini!” ucapnya sembari mengusap kakinya yang jelas-jelas tak terasa sakit karena yang kulempar tak membahayakan sama sekali.
“Kamu lebih dosa lagi karena selalu dzolim sama aku,” balasku tak mau kalah.
“Dzolim apaan sih? Kamu kalau ngomong jangan asal ceplos dong, Yank! Kalau orang dengar entar dikira aku beneran ngelakuin hal nggak baik tau nggak ke kamu!” sungutnya kesal.
“Loh, emang bener kan? Yang kuomongin tuh semuanya fakta! Perlu ku rinciin satu-satu apa hal mendasar dari omonganku?” tantangku yang membuatnya terdiam.
“Kan kamu tahu Yank, penghasilanku cuma dari toko aja, itu pun nggak seberapa, dan semua untung toko juga kan kukasih kemu semua,” ucapnya disedih-sedihkan membuat drama yang tak penting.
“Betul …. Betul sekali! Uang untung itu harusnya untuk tambahan uang dapur kita, tapi ….” Kutatap tajam Mas Ivan yang kini mulai menunduk.
“Kenapa kamu nunduk?” tanyaku menahan tawa.
“Udah sadar?” tanyaku lagi sedikit mengejek.
“Uangnya kan kamu pake buat ….”
“Iya deh, iya! Aku ngaku, aku salah!” potongnya cepat.
“Nah, gitu dong! Kan pinter!” ejekku lagi, lalu kembali ke wajan yang tadi sempat kutinggalkan.
“Kok kaya nggak ada harga diriku ya, Yank sama kamu?" tanyanya polos, jujur aku sedikit merasa bersalah. Namun mau bagaimana lagi? Mas Ivan memang terlalu dimanja oleh orang tuanya dulu sehingga sampai sekarang dia masih seperti itu. Apa yang diinginkannya selalu saja di dapatkan, awalnya aku menuruti segalanya namun kini sepertinya aku harus mulai merubahnya, tak bisa jika terus-terusan begini.
“Makanya kamu tuh jangan manja, Mas!” sahutku lagi, mencoba sedikit lebih tegas.
"Tapi aku kan belanja karena murah, Yank!" jawabnya lagi, masih mencoba membela diri dan ternyata drama keinginannya untuk membeli baju belum selesai.
"Murah dari mana? Coba kamu lihat struk belanjamu sana semua di atas tiga ratus ribu, dan sekali belanja kamu bisa sampai lima barang!" Kali ini jawabanku berhasil membuatnya bungkam, perlahan kulirik wajahnya yang mulai merah, aku tahu dia menahan marah, tapi siapa peduli? Toh selama ini juga terlalu banyak aku memaklumi.
"Pokoknya aku mau belanja, terserah kamu mau izinin atau nggak!" ucapnya tanpa jeda.
"Ya sudah belanja aja sana! Pakai uangmu sendiri tapi jangan uangku!" jawabku sembari memasukan nasi goreng yang sudah masak ke dalam piring.
Namaku Nanda, aku dan Mas Ivan menikah satu tahun yang lalu. Aku bekerja sebagai manager di sebuah Perusahaan ternama sedangkan Mas Ivan hanya punya toko baju kecil itu pun dimodali olehku.
Kami menikah tentu saja karena cinta, dan memang kuakui, awalnya aku sangat mencintai lelaki berparas tampan itu sampai dengan ikhlas dan rela aku memberikan setengah dari tabunganku untuk memberinya modal membuka toko.
Tapi beberapa hari ini sikap Mas Ivan benar-benar keterlaluan, aku sampai benar-benar emosi dan tak habis pikir dibuatnya. Semua berawal dari saat ia dengan sadar dan tanpa dosa memakai uang dapur untuk membeli Mod Vape seharga tiga juta dan Liquid satu lusin dengan harga yang lumayan mahal.
Ya, dengan dalih saat itu sedang diskon jadi menurutnya itu adalah hal yang wajar jika dia mau membelinya. Biasanya apapun yang ia akan beli tak akan membuatku semuak ini dan akan memaafkannya begitu saja, tapi untuk kali ini saat ia berani menggunakan uang tabungan tanpa izin dariku itu sungguh membuatku meledak, rasanya sabarku sudah diambang batas.
Saat sedang membersihkan kompor, kulihat Mas Ivan membuka tasku yang kuletakkan asal diatas meja, bahkan dompetku sepertinya terbuka. Tak berselang lama suara mobil mulai terdengar menjauh, dan benar saja ia pergi tanpa kata dan lagi! Mas Ivan membawa Atm yang mungkin dikiranya adalah milikku, padahal yang dibawanya adalah miliknya sendiri yang sengaja kuletakkan di dompetku, kini aku hanya tertawa mengingat saat mengambil ATM di dompetnya dan mengganti pinnya dengan pin yang sama dengan milikku. Lalu ATM di dompetnya? Jelas saja itu bukan miliknya, itu adalah ATM kosong milikku yang isinya sudah kutransfer ke rekeningku yang lain.
Aku terduduk diam memandangi Nasi goreng lengkap dengan telur dan timun yang sudah ku tata dengan rapi. Sarapan pagi dengan tenang dan hangat ternyata hanya ilusi, entah sampai kapan aku harus menghadapi sikap kekanak-kanakkan suamiku sendiri! Bisa berubah atau tidak hanya Allah saja yang tahu, tapi jauh dilubuk hati selalu terbait doa semoga Allah Sang Maha pemilih hati membalikkan hatinya menjadi imam yang lebih baik dan bertanggung jawab untukku dan anak-anak kami.
“Aamiin.” ucapku penuh harap.
[Mbak, Mas Ivan lagi ada di sini, kayanya kecurigaan kita emang bener deh, Mbak, kalau dari apa yang aku lihat, kayanya Mas Ivan memang ada main sama si Irma.] Dengan mantap Inara mengirim pesan kepada kakak ipar yang disayanginya, tentu saja tak hanya sekedar kalimat, ia juga mengirimkan sebuah video berdurasi lima belas detik di mana Ivan dan Irma sedang duduk berhadapan di meja makan sambil tertawa lepas bersama. Nanda yang baru saja selesai mandi tersenyum miring melihat Video yang dikirimkan adik iparnya itu, pantas saja Ivan tak membalas pesan yang dikirimkannya sejak beberapa jam tadi rupanya lelaki itu sedang asik dengan selingkuhannya. Memilih tak membalas pesan Inara, Nanda dengan sigap bersiap, ia memakai sedikit make up dan memakai baju santai lalu dengan cepat memesan taksi online, ya tujuannya adalah ke rumah mertuanya. ‘Sepertinya bakalan seru!’ ucapnya dalam hati. Sepanjang perjalanan pikiran Nanda sedikit berkecamuk, ia merasa lelah dengan semua keadaan yang pals
Tiga hari berlalu dengan rutinitas biasa, berusaha baik-baik saja walaupun sebenarnya retak di mana-mana. Nanda sudah pulang ke rumah dan Ivan berlaku sebagai suami pada umumnya, berangkat pagi ke toko dan pulang sore. “Assalamualaikum,” ucap Ivan masuk ke dalam rumah dan mendapati istrinya sedang asik-asikan nonton drakor sambil makan kue kering dengan lahapnya. “Waalaikumussalam, udah pulang ya, Mas?” sahut Nanda sembari mendekati suaminya itu, mengambil tangan dan mengecupnya singkat. “Enak banget ya kamu, di rumah seharian nggak ngapa-ngapain cuma ngedrakor aja sambil nyemil,” sindir Ivan, entah kenapa moodnya hari ini jelek, selain karena toko tak seramai biasanya juga karena Irma merengek dan lumayan menguras tenaga untuk membujuknya. “Loh? Terus aku harus ngapain? Kan aku mau bantu kamu ke toko tapi kamu nggak izinin, kamu bilang aku cukup di rumah aja doain kamu! Lagian ya Mas, yang kamu liat aku ngedrakor sama nyemil ini pas akunya aja lagi istirahat, sebelumnya aku nggak
“Ma, kayanya Irma mau pulang aja ke kampung,” ucap gadis sok polos itu dengan raut wajah disedih-sedihkan. “Lah, kenapa Sayang? Memangnya ada masalah di sana?” tanya Diana kaget. “Nggak ada sih, Ma, cuma Irma ngerasa nggak enak aja di sini apalagi Inara ….” Ia berhenti sejenak, menghapus air mata yang sebenarnya memang tak pernah turun, Irma mulai memainkan perannya sebagai ratu drama. “Kenapa sama Nara?” tanya Diana mulai terdengar tak enak. “Inara kayanya nggak suka aku di sini, Ma!” lanjutnya lagi, kini gerakan tangannya dipercepat seolah air mata turun dengan banyak. “Kamu ngomong apa sih? Nggak mungkin lah Nara kaya gitu, orang dia yang ajak dan bawa ke sini, lagian ada alasan apa Nara nggak suka kamu disini?” jawab Diana tertawa kecil. “Nara ngira Irma sama Mas Ivan ada apa-apa, Ma,” sahut Irma, ia mulai sesenggukan dan jelas itu dibuat-buatnya. “Maksudnya?” Kembali Diana teralihkan dan kini sesuatu yang dianggapnya hanya lelucon menjadi topik yang cukup serius. “Kamu ke
Tak sadar karena lelah dengan apa yang kurasakan, ternyata aku tertidur, dan satu jam hampir berlalu. Kudengar sudah tak ada suara berdebat dari luar. ‘Apa Mama sudah pulang?’ batinku. Baru saja hendak membuka pintu, samar aku mendengar seperti ada suara tapi sangat jauh, sepertinya dari depan, dan aku membuka pintu sangat pelan. Kulihat Mas Ivan membuka pintu hanya sedikit saja, ia terlihat sedang berbicara dengan seseorang dari luar, aku penasaran dan langsung keluar. “Siapa Mas?” tanyaku yang ternyata membuatnya sangat terkejut, dan tentu saja ekspresinya itu membuatku curiga. “Orang salah alamat!” jawabnya terlihat salah tingkah. “Oh ya? Nyari siapa dia?” tanyaku lagi, kali ini aku berniat keluar melihat secara langsung tapi alangkah terkejutnya lagi aku ketika tubuhku ditarik dan masuk dalam pelukan Mas Ivan. “Maaf,” lirihnya, membuatku terpaku sejenak. Tak ada perasaan nyaman seperti dulu saat pelukan dari lelaki ini adalah tempatku berpulang dan merasa aman, kali ini se
Irma seorang gadis desa yang terlihat lugu dan sederhana, namun pepatah jangan melihat buku dari sampulnya saja itu berlaku pada gadis ini, nyatanya keluguan diluar tak sesuai dengan kelicikan yang sudah mendarah daging di dalam dirinya. Otak cerdas yang dianugerahkan Tuhan untuknya malah ia jadikan sebagai pencipta ide-ide jahat yang mengalirkan pundi-pundi uang ke rekeningnya dan kehidupannya selama ini, dengan bermodalkan kisah sedih keluarga yang kurang mampu, kuliah dari beasiswa, dan orang tua yang sudah ringkih dan tak mampu mencari uang lagi menjadikannya sebagai pusat perhatian semua orang termasuk Inara dan keluarganya yang kini sudah masuk ke dalam perangkapnya. Tapi apa mungkin waktu seminggu mampu mendekatkan seorang lelaki dengan gadis yang baru saja dikenalnya, bahkan kini mereka terlihat seperti pasangan kekasih yang dimabuk cinta. Tentu saja tidak! Enam bulan yang lalu saat Ivan sedang mengunjungi Inara di kota dimana adik perempuannya itu sedang menimba ilmu di saat
“Assalamualaikum, Bun,” ucap Nanda dengan lembut setelah telepon tersambung. “Waalaikumussalam, kenapa Sayang?” tanya Bunda Nanda tak kalah lembut dan penuh kasih dari putri kesayangannya. “Bun, sekarang Nanda lagi ada di rumah Nanda, ini Nanda sama Mas Ivan lagi ada masalah yang kayanya butuh Bunda di sini,” ucap Nanda serius, membuat Ivan dan Diana saling berpandangan dan tanpa pikir panjang Ivan menarik paksa ponsel Nanda dan mengambil alih telepon, ia kira istrinya itu hanya membentak dan mengancam saja tapi ternyata Nanda tak main-main telepon benar-benar tersambung dan suara lembut di seberang sana membuat jantung Ivan berdebar kencang. “Masalah apa, Nan? Kok ….” “Assalamualaikum Bunda, ini Ivan, maaf ya Bun ngagetin Bunda, Nanda lagi PMS jadi agak sensitif sampai nelepon Bunda padahal kami cuma lagi debat kecil biasa, Bun, hehehe,” potong Ivan cepat, ia berusaha berbicara dengan sesantai mungkin agar tidak membuat ibu mertuanya itu curiga kalau mereka memang sedang sangat t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments