Home / Romansa / HARGA PENGKHIANATAN / Bab 7 kotak coklat di meja

Share

Bab 7 kotak coklat di meja

Author: TnaBook's
last update Last Updated: 2025-11-24 06:00:41

Kanya memasuki ruang kerjanya setelah rapat mingguan yang panjang, berharap menemukan keheningan yang ia butuhkan untuk menyusun berkas tuntutan. Namun, langkahnya terhenti. Di tengah meja mahoninya yang tertata rapi—tepat di atas dokumen kasus Dharma Kencana—terletak sebuah kotak kayu kecil yang elegan.

Kotak itu terbuat dari kayu jati gelap berukir halus, tidak memiliki kartu ucapan, label pengiriman, atau tanda apa pun. Ia sangat mencolok dan terasa sangat asing di tengah lingkungan kantor yang serba steril. Kanya mendekat perlahan, nalurinya sebagai pengacara menyuruhnya untuk tidak menyentuh, tetapi rasa ingin tahunya sebagai wanita yang baru saja dicium Adrian memerintahkannya untuk membuka.

Kanya melihat sekeliling. Asistennya, Maya, sedang tidak ada. Pintu sudah tertutup rapat. Ia mengambil kotak itu. Kotak itu berat, dan saat ia membukanya, aroma cokelat mewah dan pekat langsung menyergap indranya.

Di dalamnya, terdapat beberapa butir truffle cokelat buatan tangan yang cantik. Di antara cokelat-cokelat itu, terselip sebuah sendok perak kecil yang persis sama dengan yang Adrian gunakan untuk menyuapinya Tiramisu dua malam lalu.

Kanya menarik napas tajam. Ini bukan sekadar hadiah; ini adalah manuver psikologis. Adrian telah berhasil menembus keamanan kantornya, tempat yang paling ia anggap sebagai benteng pertahanannya, dan meninggalkan pesan intim serta mengancam.

Tepat di bawah sendok itu, terselip selembar kertas catatan kecil, bukan dari kertas memo, melainkan dari kulit berwarna crimson. Hanya ada dua baris yang diketik rapi,

> Dessert Anda aman, Nona Lawyer.

> Tapi game kita kini bukan lagi off-the-record.

Tangan Kanya gemetar memegang catatan itu. Ia mengabaikan kebohongan pada Dara, ia mengabaikan etika Pak Bram, tetapi ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Adrian tahu di mana ia duduk, apa yang sedang ia kerjakan, dan, yang paling parah, ia tahu keinginan terbesarnya.

Adrian tidak hanya mengumumkan dirinya sebagai musuh; dia mengumumkan bahwa permainan ini akan dimainkan berdasarkan aturannya—campur aduk antara pekerjaan dan hasrat.

Kanya buru-buru meraih smartphone-nya dan mencoba menghubungi Dara, tetapi ia segera menarik kembali tangannya. Ia tidak bisa menceritakan ini pada Dara. Tidak ada jurnalis yang akan percaya bahwa seorang investor besar mempertaruhkan jutaan dolar hanya untuk mengirim cokelat setelah kencan yang berakhir dengan ciuman.

Tiba-tiba, interkom di mejanya berbunyi.

"Kanya, Anda dipanggil Pak Bram dan Pak Wibisono ke ruang rapat utama. Sekarang. Urgent."

Wajah Kanya langsung pucat. Ia melihat ke arah kotak cokelat itu. Apakah ini jebakan? Apakah Pak Bram tahu?

Ia cepat-cepat menyembunyikan kotak itu di laci paling bawah dan mengunci laci tersebut. Kanya membasahi bibirnya, merasakan sisa aftertaste pahit yang samar. Ia memaksakan ekspresi profesionalnya, berbalik, dan berjalan menuju ruang rapat, meninggalkan jejak aroma cokelat mewah di belakangnya.

Saat ia berjalan, pikiran terburuk menghantamnya: Adrian mungkin sengaja mengirim cokelat itu agar ia lengah. Atau, lebih buruk lagi, pesan itu adalah pengalih perhatian dari serangan korporat yang akan terjadi di ruang rapat.

Memasuki ruang rapat, Kanya merasakan ketegangan yang sangat nyata. Pak Bram terlihat marah, sementara Pak Wibisono tampak tertekan. Di atas meja, tergeletak salinan berkas gugatan dari The Vanguard Group yang baru diterima.

"Duduk, Kanya," kata Pak Bram dingin. "The Vanguard Group baru saja mengajukan mosi. Bukan mosi yang membatalkan klaim lahan kita. Mereka justru menargetkan aset likuid PT. Dharma Kencana di Bank Central. Mereka mencoba melumpuhkan klien kita secara finansial sebelum kita bahkan sempat menyerang klaim sengketa mereka."

Mata Kanya terbelalak. Dia tahu betul metode itu. Ini adalah strategi blitzkrieg finansial yang Adrian jelaskan di mobil. Adrian sengaja menghindari pertarungan hukum yang lama dan melelahkan, langsung menyerang jantung finansial kliennya.

"Adrian—" Kanya hampir menyebut nama itu, tetapi berhasil menghentikannya. "Konsultan litigasi mereka bergerak cepat. Ini strategi blitzkrieg finansial."

"Benar," sela Pak Wibisono, nadanya penuh putus asa. "Kita harus memblokir mosi itu dalam 24 jam ke depan, Kanya. Jika dana klien kita dibekukan, mereka tidak bisa membayar kewajiban jangka pendek. Perusahaan ini akan runtuh dalam hitungan hari. Mereka menggunakan kerentanan finansial, bukan hukum. Apa strategi Anda?"

"Mosi mereka valid secara hukum, Kanya," tambah Pak Bram, nadanya kini penuh ancaman. "The Vanguard Group tahu hukum, dan mereka menekan tombol yang paling menyakitkan. Kita tidak bisa mengajukan gugatan balik biasa. Waktunya tidak cukup. Kita harus menggunakan arbitrase darurat, dan itu sangat berisiko. Hanya kasus yang paling mendesak yang bisa disetujui, dan kita harus membuktikan bahwa pembekuan aset ini akan menyebabkan kerugian permanen."

Kanya menarik napas dalam. Adrian telah memberikan Kanya peringatan dalam bentuk cokelat, dan sekarang, dia telah memberikan serangan telak ke jantung kasusnya. Kanya menyadari, ia tidak hanya berjuang untuk karirnya. Ia sedang berjuang untuk membuktikan kepada Adrian bahwa ia bukan pion yang bisa ia cium dan ia benci di saat yang bersamaan.

"Saya akan mencari celah arbitrase darurat, Pak," jawab Kanya, matanya menyala. "Mereka menyerang secara finansial, kita akan membalas dengan legalitas yang paling tidak mereka duga. Saya butuh tim terbaik. Malam ini juga."

Tepat setelah rapat dibubarkan, kantor Wibisono & Partners berubah menjadi sarang lebah yang panik. Kanya mengumpulkan lima junior lawyer terbaik di ruangannya. Ia membagi berkas, memerintahkan mereka untuk mencari preseden arbitrase darurat yang paling kuat, sementara ia sendiri mulai menyusun draf mosi yang agresif. Pintu kantor Kanya tidak pernah ditutup, tetapi kini ia memasang tanda Dilarang Masuk—sebuah tindakan ekstrem di firma yang menjunjung tinggi keterbukaan.

Kanya duduk di mejanya. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Cahaya lampu neon di luar jendelanya adalah satu-satunya saksi. Kelelahan mulai terasa, tetapi setiap kali matanya mulai layu, ia mengingat sendok perak dan rasa Tiramisu yang dibisikkan Adrian.

Kanya membuka laci terkunci dan mengeluarkan kotak kayu itu. Ia mengambil sendok perak kecil itu, memegangnya dengan ibu jari dan telunjuknya. Benda itu dingin, halus, dan merupakan pengingat fisik dari musuh yang ia coba hancurkan.

"Anda ingin bermain di luar aturan, Adrian?" Kanya berbisik ke sendok itu, keheningan kantor yang luas menelan suaranya. "Saya akan menunjukkan kepada Anda bahwa corporate lawyer ini tahu cara bermain lebih kotor. Anda menyerang dana klien saya. Saya akan menyerang validitas seluruh yayasan investasi Anda. Permainan baru saja dimulai, dan kali ini, saya yang memegang kendali atas hasil akhirnya." Kanya meletakkan sendok itu kembali ke laci, menutupnya dengan bunyi klik tegas, dan kembali ke berkasnya. Ia akan bekerja sepanjang malam.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • HARGA PENGKHIANATAN   Bab 13 Retainer F*e

    Perjalanan singkat dari hotel menuju penthouse Adrian terasa seperti perpindahan dimensi. Keheningan di dalam mobil mewah itu bukanlah keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang mendidih. Kanya menyandarkan kepala ke jendela, menatap lampu-lampu jalan Jakarta yang melintas dengan cepat, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berlebihan. Namun, setiap sentuhan Adrian—jari-jarinya yang sesekali melingkari pergelangan tangannya, atau ibu jarinya yang mengusap punggung tangannya—mengkhianati usahanya.Adrian mengemudi dengan santai, seolah ia sedang mengantar pulang seorang teman lama, bukan seorang pengacara yang baru saja ia cium, dan yang baru saja ia paksakan untuk masuk ke dalam permainan terlarangnya.“Kau terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja melanggar semua etika profesionalnya,” ujar Kanya, suaranya sedikit serak.Adrian tertawa kecil, suara baritonnya bergetar di ruang sempit mobil. “Aku tidak melanggar etika. Aku hanya mendefinis

  • HARGA PENGKHIANATAN   Bab 12 Hutang Yang Terbayar

    Kanya menatap ponselnya, yang tergeletak di meja marmer ruang rapat yang kini kosong. Pemberitahuan pop-up di layar, hanya berupa satu kalimat tanpa emotikon, terasa lebih mengancam daripada seluruh berkas gugatan yang baru saja ia menangkan.A: Malam ini. Delphine Bar, 9 malam. Kau tahu aturannya. Tanpa blazer.Adrian menuntut pembayarannya. Tepat waktu, dan tanpa ruang negosiasi.Jantung Kanya berdetak dua kali lebih cepat. Kemenangan arbitrase beberapa jam lalu, dan janji promosi yang baru saja ia paksakan dari Pak Bram, terasa hambar. Bukti yang ia gunakan memang memberinya kekuasaan, tetapi hutang personal ini memberikannya rasa terikat yang mengerikan pada pria itu.Dia bangkit, merapikan setelannya yang kusut. Kanya tahu dia tidak bisa menolak. Bukan karena ancaman, tapi karena rasa ingin tahu yang membakar. Dia ingin tahu apakah Adrian akan menjadi musuh atau lover saat dinding kantor mereka runtuh. Dan yang lebih mengganggunya, dia ingin

  • HARGA PENGKHIANATAN   Bab 11 Memanfaatkan Bukti

    Jari-jari Kanya bergetar saat dia mencolokkan flash drive ke port laptopnya. Bukan karena takut ketahuan—ruang kerjanya di lantai 38 ini sudah sepi, hanya ditemani dengungan AC sentral dan lampu darurat Jakarta yang tersisa—tapi karena realisasi dari apa yang dia pegang. Ini bukan sekadar bukti. Ini adalah garis batas. Adrian, dalam negosiasi berbahaya di Bab 10, telah memberikan ini sebagai tanda trust yang paling mematikan. Adrian menukar kelemahannya dengan kelemahan Kanya: ia tahu Kanya akan menggunakan bukti ini untuk menghancurkannya, tetapi dengan menggunakannya, Kanya secara resmi memasuki permainan kotor Adrian. Jantung Kanya berdegup di telinganya. Dia menghela napas, menatap pantulan dirinya di layar laptop. Matanya lelah, tetapi ada kilatan yang asing, haus akan kemenangan. Ini bukan hanya tentang kasus Dharma Kencana lagi. Ini tentang membuktikan bahwa dia tidak akan pernah bisa dimanipulasi, bahkan oleh pria yang berhasil membuatnya kehilangan kenda

  • HARGA PENGKHIANATAN   Bab 10 Negosiasi Yang Berbahaya

    Kanya tiba di speakeasy bar yang sama persis tempat mereka bertemu pertama kali. Malam ini, ia tidak mengenakan gaun. Sesuai instruksi Adrian, ia mengenakan setelan celana abu-abu terbaiknya—tajam, profesional, dan kejam. Ia tidak ingin terlihat sebagai wanita yang tergoda; ia ingin terlihat seperti lawan yang setara. Adrian sudah menunggunya di sudut yang sama, di bawah cahaya temaram lampu gantung kuno. Ia mengenakan setelan jas abu-abu arang, tampak santai namun mematikan. Di depannya, tidak ada whisky, hanya segelas air mineral dan, anehnya, sebuah papan catur yang sudah tersusun rapi. "Saya senang Anda menerima undangan saya, Kanya," sapa Adrian, matanya menelusuri Kanya dari atas ke bawah, menilai baju perang yang ia kenakan. "Saya suka pakaian Anda. Ini menunjukkan Anda menganggap pertemuan ini serius." Kanya tidak duduk. Ia berdiri tegak di samping meja. "Jangan buang waktu saya, Adrian. Saya hanya punya 30 jam. Anda mengatakan Anda punya bukti

  • HARGA PENGKHIANATAN   bab 9 Kacaunya Kepercayaan

    Kanya kembali ke kantor Wibisono & Partners dengan tubuh terasa seperti dihantam truk dan kemenangan parsial yang menipis. Pagi itu, kantor sudah tampak lebih rapi, tetapi ketegangan masih menggantung tebal seperti kabut. Dia hanya memiliki 48 jam untuk mengubah penangguhan pembekuan aset menjadi kemenangan penuh. Ia segera mengumpulkan timnya, yang sama lelahnya. "Tunda perayaan," perintah Kanya, suaranya serak. "Adrian (ia berhasil menahan diri untuk tidak menyebut nama itu) telah memberi kita 48 jam untuk berburu. Kita harus menemukan titik lemah legal yang digunakan The Vanguard Group untuk mengajukan mosi. Serangan mereka sangat efektif karena mereka tidak menyerang lahan, mereka menyerang dana. Artinya, basis hukum mereka tidak kuat, tapi strateginya yang licik." Kanya menghabiskan delapan jam berikutnya dalam mode autopilot, menganalisis struktur Aether Holdings dan The Vanguard Group secara terbalik, mencari inkonsistensi dalam dokumen arbitrase mereka. D

  • HARGA PENGKHIANATAN   Bab 8 Di ujung malam

    Malam itu, kantor Wibisono & Partners terasa seperti bunker perang. Kanya tidak tidur. Rambutnya diikat asal, blazernya dilepas, dan kemeja putihnya ternoda kopi dingin. Lima junior lawyer yang ia pimpin tampak sama putus asanya, dikelilingi tumpukan berkas undang-undang arbitrase dan preseden yang menggunung. Pukul 03.00 pagi, Kanya bersandar ke kursi, memejamkan mata sejenak. Keheningan yang singkat itu segera dipenuhi suara Adrian di kepalanya, "Bahaya adalah bagian dari kesenangan, Kanya." Ia menggelengkan kepala, meraih map merahnya. Rasa lelahnya adalah konsekuensi dari ciuman itu, dan ia akan mengubah kelelahan itu menjadi kemenangan. Pukul 06.00 pagi, setelah berjam-jam menyusun argumen dan menemukan celah yang rapuh, mosi arbitrase darurat Kanya selesai. Ia telah menyusun argumennya tidak hanya berdasarkan hukum, tetapi berdasarkan psikologi Adrian: Adrian akan berfokus pada efisiensi dan kerugian finansial, maka Kanya akan berfokus pada dampak reputasi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status