LOGINMalam itu, kantor Wibisono & Partners terasa seperti bunker perang. Kanya tidak tidur. Rambutnya diikat asal, blazernya dilepas, dan kemeja putihnya ternoda kopi dingin. Lima junior lawyer yang ia pimpin tampak sama putus asanya, dikelilingi tumpukan berkas undang-undang arbitrase dan preseden yang menggunung.
Pukul 03.00 pagi, Kanya bersandar ke kursi, memejamkan mata sejenak. Keheningan yang singkat itu segera dipenuhi suara Adrian di kepalanya, "Bahaya adalah bagian dari kesenangan, Kanya." Ia menggelengkan kepala, meraih map merahnya. Rasa lelahnya adalah konsekuensi dari ciuman itu, dan ia akan mengubah kelelahan itu menjadi kemenangan. Pukul 06.00 pagi, setelah berjam-jam menyusun argumen dan menemukan celah yang rapuh, mosi arbitrase darurat Kanya selesai. Ia telah menyusun argumennya tidak hanya berdasarkan hukum, tetapi berdasarkan psikologi Adrian: Adrian akan berfokus pada efisiensi dan kerugian finansial, maka Kanya akan berfokus pada dampak reputasi dan stabilitas pasar. Pukul 09.00 pagi, Kanya tiba di Pusat Arbitrase. Ia tidak tidur, tetapi penampilannya sempurna: setelan navy blue yang tajam, heels tinggi, dan wajah yang dingin. Di ruang tunggu yang steril, ia melihat meja lawan. Adrian tidak ada. Tentu saja. Dia adalah 'hantu' yang bekerja di balik layar. Di sana duduk seorang pengacara senior berkepala plontos bernama Harris, wajah publik Adrian. Harris terkenal cerdas, tetapi dingin dan kurang imajinatif—ia hanya mengikuti naskah yang diberikan. Di samping Harris, duduk seorang pria muda berwajah arogan yang Kanya duga adalah perwakilan The Vanguard Group. Saat Kanya masuk ke ruang sidang arbitrase, Harris tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke mata. "Tepat waktu, Nona. Saya harap Anda membawa argumen yang layak untuk membuang waktu kita semua." "Saya hanya membawa mosi yang akan membuat klien Anda membayar mahal untuk setiap jam aset klien saya dibekukan," balas Kanya, suaranya mantap. Sesi arbitrase darurat itu dimulai dengan cepat, dipimpin oleh seorang Arbiter wanita yang tampak lelah namun tegas. Harris memulai dengan argumen yang kuat, menekankan bahwa PT. Dharma Kencana memiliki riwayat likuiditas yang goyah dan pembekuan dana adalah langkah perlindungan yang sah bagi investasi asing. Kanya berdiri. Dia tidak hanya membantah hukum, dia membongkar strategi Adrian. "Yang Mulia Arbiter," Kanya memulai, suaranya kini lebih tinggi dan penuh keyakinan. "Pihak lawan tidak mengajukan mosi ini karena alasan perlindungan, tetapi karena strategi predatoris untuk memaksa klien saya bangkrut. Pembekuan dana ini tidak hanya melumpuhkan PT. Dharma Kencana, tetapi mengganggu ratusan pemasok dan ribuan pekerja. Kami menuntut perintah segera untuk menangguhkan mosi pembekuan aset karena ini merupakan serangan terhadap stabilitas ekonomi klien kami, dan kami meminta proses arbitrase untuk menentukan ganti rugi atas kerugian reputasi yang tak terpulihkan." Argumen itu cerdas. Kanya menyerang alasan di balik mosi, bukan hanya legalitasnya. Ia menggunakan bahasa yang sensitif terhadap regulasi pasar, persis seperti yang ia duga Adrian akan coba hindari. Harris terlihat terkejut. "Keberatan, Yang Mulia!" Harris melompat. "Pihak lawan mencoba mengalihkan isu. Ini adalah masalah likuiditas, bukan masalah moral!" "Tentu saja ini masalah moral, Tuan Harris," sela Kanya, tatapannya menyala. "Klien kami adalah perusahaan properti terkemuka di Indonesia, dan klien Anda, The Vanguard Group, adalah entitas asing yang muncul tanpa wajah. Siapa yang bertanggung jawab di balik entitas tanpa wajah ini? Siapa 'hantu' yang mengarahkan serangan finansial yang tidak etis ini?" Kanya menoleh, pandangannya menyapu ruang sidang, seolah mencari Adrian. Meskipun Adrian tidak ada, kehadiran dan dampaknya terasa kuat. Ia telah berhasil mengubah mosi likuiditas menjadi perdebatan tentang etika bisnis dan tanggung jawab korporat. Arbiter meminta waktu singkat. Kanya kembali duduk, tubuhnya terasa nyeri karena kurang tidur, tetapi semangatnya berkobar. Harris menatapnya dengan pandangan dingin yang penuh rasa benci—sebuah kemenangan kecil bagi Kanya. Lima belas menit kemudian, Arbiter kembali. Keputusannya adalah pukulan sekaligus penyelamat. "Mengingat urgensi dan potensi kerugian permanen, permintaan Mosi Arbitrase Darurat dikabulkan sebagian. Pembekuan aset PT. Dharma Kencana di Bank Central akan ditangguhkan untuk waktu 48 jam, bukan dicabut, agar kedua belah pihak dapat mengajukan bukti tambahan mengenai maksud sebenarnya dari mosi pembekuan." Kanya meraih kemenangan parsial. Ia membeli waktu 48 jam untuk PT. Dharma Kencana agar tidak runtuh, tetapi Adrian masih memegang senjata utama: ancaman pembekuan itu masih tergantung. Saat Kanya mengemasi berkasnya, Harris mendekat. "Konsultan kami terkesan, Kanya. Anda bermain cerdas. Tapi 48 jam hanya akan menunda yang tak terhindarkan. Pertarungan sebenarnya belum dimulai." Kanya tersenyum, senyum profesional yang ia paksakan. "Begitu juga dengan klien Anda, Harris. Saya yakin mereka akan segera menyadari bahwa konsultan mereka terlalu sombong." Keluar dari Pusat Arbitrase, Kanya segera menuju mobilnya. Ia tahu dia telah memenangkan satu ronde, tetapi ia juga tahu bahwa keputusan ini hanya akan membuat Adrian semakin marah, dan serangan baliknya akan datang jauh lebih cepat dan lebih kejam. Bersambung...Perjalanan singkat dari hotel menuju penthouse Adrian terasa seperti perpindahan dimensi. Keheningan di dalam mobil mewah itu bukanlah keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang mendidih. Kanya menyandarkan kepala ke jendela, menatap lampu-lampu jalan Jakarta yang melintas dengan cepat, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berlebihan. Namun, setiap sentuhan Adrian—jari-jarinya yang sesekali melingkari pergelangan tangannya, atau ibu jarinya yang mengusap punggung tangannya—mengkhianati usahanya.Adrian mengemudi dengan santai, seolah ia sedang mengantar pulang seorang teman lama, bukan seorang pengacara yang baru saja ia cium, dan yang baru saja ia paksakan untuk masuk ke dalam permainan terlarangnya.“Kau terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja melanggar semua etika profesionalnya,” ujar Kanya, suaranya sedikit serak.Adrian tertawa kecil, suara baritonnya bergetar di ruang sempit mobil. “Aku tidak melanggar etika. Aku hanya mendefinis
Kanya menatap ponselnya, yang tergeletak di meja marmer ruang rapat yang kini kosong. Pemberitahuan pop-up di layar, hanya berupa satu kalimat tanpa emotikon, terasa lebih mengancam daripada seluruh berkas gugatan yang baru saja ia menangkan.A: Malam ini. Delphine Bar, 9 malam. Kau tahu aturannya. Tanpa blazer.Adrian menuntut pembayarannya. Tepat waktu, dan tanpa ruang negosiasi.Jantung Kanya berdetak dua kali lebih cepat. Kemenangan arbitrase beberapa jam lalu, dan janji promosi yang baru saja ia paksakan dari Pak Bram, terasa hambar. Bukti yang ia gunakan memang memberinya kekuasaan, tetapi hutang personal ini memberikannya rasa terikat yang mengerikan pada pria itu.Dia bangkit, merapikan setelannya yang kusut. Kanya tahu dia tidak bisa menolak. Bukan karena ancaman, tapi karena rasa ingin tahu yang membakar. Dia ingin tahu apakah Adrian akan menjadi musuh atau lover saat dinding kantor mereka runtuh. Dan yang lebih mengganggunya, dia ingin
Jari-jari Kanya bergetar saat dia mencolokkan flash drive ke port laptopnya. Bukan karena takut ketahuan—ruang kerjanya di lantai 38 ini sudah sepi, hanya ditemani dengungan AC sentral dan lampu darurat Jakarta yang tersisa—tapi karena realisasi dari apa yang dia pegang. Ini bukan sekadar bukti. Ini adalah garis batas. Adrian, dalam negosiasi berbahaya di Bab 10, telah memberikan ini sebagai tanda trust yang paling mematikan. Adrian menukar kelemahannya dengan kelemahan Kanya: ia tahu Kanya akan menggunakan bukti ini untuk menghancurkannya, tetapi dengan menggunakannya, Kanya secara resmi memasuki permainan kotor Adrian. Jantung Kanya berdegup di telinganya. Dia menghela napas, menatap pantulan dirinya di layar laptop. Matanya lelah, tetapi ada kilatan yang asing, haus akan kemenangan. Ini bukan hanya tentang kasus Dharma Kencana lagi. Ini tentang membuktikan bahwa dia tidak akan pernah bisa dimanipulasi, bahkan oleh pria yang berhasil membuatnya kehilangan kenda
Kanya tiba di speakeasy bar yang sama persis tempat mereka bertemu pertama kali. Malam ini, ia tidak mengenakan gaun. Sesuai instruksi Adrian, ia mengenakan setelan celana abu-abu terbaiknya—tajam, profesional, dan kejam. Ia tidak ingin terlihat sebagai wanita yang tergoda; ia ingin terlihat seperti lawan yang setara. Adrian sudah menunggunya di sudut yang sama, di bawah cahaya temaram lampu gantung kuno. Ia mengenakan setelan jas abu-abu arang, tampak santai namun mematikan. Di depannya, tidak ada whisky, hanya segelas air mineral dan, anehnya, sebuah papan catur yang sudah tersusun rapi. "Saya senang Anda menerima undangan saya, Kanya," sapa Adrian, matanya menelusuri Kanya dari atas ke bawah, menilai baju perang yang ia kenakan. "Saya suka pakaian Anda. Ini menunjukkan Anda menganggap pertemuan ini serius." Kanya tidak duduk. Ia berdiri tegak di samping meja. "Jangan buang waktu saya, Adrian. Saya hanya punya 30 jam. Anda mengatakan Anda punya bukti
Kanya kembali ke kantor Wibisono & Partners dengan tubuh terasa seperti dihantam truk dan kemenangan parsial yang menipis. Pagi itu, kantor sudah tampak lebih rapi, tetapi ketegangan masih menggantung tebal seperti kabut. Dia hanya memiliki 48 jam untuk mengubah penangguhan pembekuan aset menjadi kemenangan penuh. Ia segera mengumpulkan timnya, yang sama lelahnya. "Tunda perayaan," perintah Kanya, suaranya serak. "Adrian (ia berhasil menahan diri untuk tidak menyebut nama itu) telah memberi kita 48 jam untuk berburu. Kita harus menemukan titik lemah legal yang digunakan The Vanguard Group untuk mengajukan mosi. Serangan mereka sangat efektif karena mereka tidak menyerang lahan, mereka menyerang dana. Artinya, basis hukum mereka tidak kuat, tapi strateginya yang licik." Kanya menghabiskan delapan jam berikutnya dalam mode autopilot, menganalisis struktur Aether Holdings dan The Vanguard Group secara terbalik, mencari inkonsistensi dalam dokumen arbitrase mereka. D
Malam itu, kantor Wibisono & Partners terasa seperti bunker perang. Kanya tidak tidur. Rambutnya diikat asal, blazernya dilepas, dan kemeja putihnya ternoda kopi dingin. Lima junior lawyer yang ia pimpin tampak sama putus asanya, dikelilingi tumpukan berkas undang-undang arbitrase dan preseden yang menggunung. Pukul 03.00 pagi, Kanya bersandar ke kursi, memejamkan mata sejenak. Keheningan yang singkat itu segera dipenuhi suara Adrian di kepalanya, "Bahaya adalah bagian dari kesenangan, Kanya." Ia menggelengkan kepala, meraih map merahnya. Rasa lelahnya adalah konsekuensi dari ciuman itu, dan ia akan mengubah kelelahan itu menjadi kemenangan. Pukul 06.00 pagi, setelah berjam-jam menyusun argumen dan menemukan celah yang rapuh, mosi arbitrase darurat Kanya selesai. Ia telah menyusun argumennya tidak hanya berdasarkan hukum, tetapi berdasarkan psikologi Adrian: Adrian akan berfokus pada efisiensi dan kerugian finansial, maka Kanya akan berfokus pada dampak reputasi







