Flashback On...
"Coba tebak, kira-kira jenis kelamin anak kita apa ya, Yas?" Tanya Vanessa pada kekasihnya, Yasa.Malam itu mereka baru saja selesai bercinta.Sejak kepulangannya dari Paris, Yasa memang tinggal menetap di apartemen Vanessa karena lelaki itu tidak memiliki tempat tinggal.Hidup sebagai yatim piatu sejak kecil dan tak memiliki sanak saudara membuat Yasa tumbuh menjadi sosok lelaki yang mandiri dan pekerja keras. Meski semua yang dia kerjakan pada akhirnya tetap tak mampu membawanya pada taraf kehidupan yang lebih baik.Itulah alasan mengapa Yasa sempat berpikir untuk pergi dari kehidupan Vanessa karena dia merasa tidak cukup layak mendampingi Vanessa yang saat itu berprofesi sebagai model papan atas.Namun, Yasa menyesal telah menyakiti Vanessa karena nyatanya, cinta Vanessa terhadapnya begitu dalam. Bahkan Vanessa rela mengesampingkan karirnya demi mencari Yasa ke Paris.Lika-liku panjang cinta mereka sudah berhasil mereka lalui dan kini Yasa hanya perlu bersabar sedikit untuk mendapat restu dari Ayah Vanessa untuk bisa meresmikan hubungan mereka."Kamu kan seorang Ibu, feeling seorang Ibu pasti lebih kuat, coba kamu tebak, kira-kira jenis kelamin bayi kita apa?" Balas Yasa masih dalam posisinya memeluk tubuh Vanessa."Hmmm, mungkin nggak sih mereka kembar? Kayak aku sama Vanilla?" Terka Vanessa dengan kedua bola mata yang mendelik."Wah, bisa jadi sih, kalau memang benar kembar, kita harus benar-benar mempersiapkan semuanya dengan baik, dan aku janji akan mencari pekerjaan yang lebih baik supaya bisa memenuhi kebutuhan hidup kamu dan anak-anak kita kelak. Aku nggak bisa terus bertahan dalam profesiku sebagai fotografer saja. Aku harus mencari tambahan pekerjaan,"Vanessa mengesah, mendongakkan kepala menatap wajah sang kekasih. "Nggak usah mulai lagi deh, Yas! Aku kan udah bilang, aku terima kamu apa adanya. Aku punya apartemen ini, aku juga punya pekerjaan, kita bisa berjuang sama-sama, aku nggak mau kamu merendahkan diri terus,""Aku nggak sedang merendah, aku cuma ingin meyakinkan kamu bahwa aku benar-benar bersungguh-sungguh kali ini,""Iya, aku percaya Yas. Aku percaya sama kamu. Aku percaya kamu akan bertanggung jawab dan..." Vanesaa menggantung kalimatnya sesaat, jemari lentiknya menarik dagu Yasa mendekat. "Aku percaya, kamu nggak akan ninggalin aku lagi setelah ini..."Flashback off...Yang Vanessa ingat, itu adalah malam indah terakhir yang dia lalui bersama Yasa di apartemennya karena keesokan harinya, Vanessa justru mendapati Yasa bukan lagi meninggalkannya ke luar negeri, tapi justru meninggalkannya untuk selama-lamanya.Yasa meninggal setelah mendapat serangan brutal yang dilakukan oleh Ibunda Vanessa sendiri di kediaman Malik, Papanya.Kenari, Ibunda Vanessa dan Vanilla yang memang mengidap gangguan jiwa memiliki dendam pada Isna yang merupakan istri sah Malik saat ini, Yasa dan Vanessa yang kebetulan sedang bertamu saat itu menemukan kondisi Isna yang hampir saja tewas di tangan Kenari.Yasa berusaha meringkus Kenari sementara Vanessa sibuk menelepon Ambulance karena kondisi Isna yang sudah sangat memprihatinkan. Tanpa pernah dia tahu di luar sana, Yasa justru mendapat serangan dari sang Ibu menggunakan sebuah linggis, hingga lelaki itu pun meninggal di tempat kejadian.Tragedi itu memang mengerikan dan bagaimana mungkin Vanessa bisa melupakan hal itu sementara dia melihat dengan jelas bagaimana kacaunya jasad Yasa saat itu.Itulah sebabnya, Vanessa sangat membenci Kenari. Bahkan dia tak sama sekali menangis saat pihak Rumah sakit jiwa memberitahukan berita kematian Ibunya yang bunuh diri.Sejak siuman pasca proses kuretase yang dijalaninya, Vanessa tak henti menangis.Mendapati bayi dalam kandungannya kini telah tiada, Vanessa benar-benar terpukul.Bahkan kedatangan pihak keluarga yang berusaha menghiburnya tak sama sekali membuahkan hasil."Biarkan saja dulu, mungkin Vanessa butuh waktu untuk menerima keadaan," ucap Isna pada Vanilla saat Vanilla dan Wildan baru saja menjenguk Vanessa di rumah sakit.Saat itu Vanilla terus menghibur Vanessa, mengajaknya bicara dari hati ke hati, namun semua yang dikatakan Vanilla sia-sia karena Vanessa tak sama sekali tergerak untuk menanggapi. Seperti berbicara dengan sebuah patung, akhirnya Vanilla memutuskan untuk keluar dari ruangan itu."Memang bagaimana kronologinya Tante, kok bisa Vanessa tiba-tiba pendarahan? Padahal di rumah kemarin dia nggak kenapa-kenapa loh," tanya Vanilla yang masih merasa aneh dengan kejadian ini. Sebab, satu hari sebelum Vanessa mengalami keguguran, Vanilla sendiri yang mengantar saudara kembarnya itu ke klinik untuk check up kandungan dan dokter klinik mengatakan bahwa kandungan Vanessa dalam keadaan sehat-sehat saja. "Apa mungkin dia salah makan?" Terka Vanilla lagi.Isna menggeleng. Mencoba mengingat kembali kejadian sebelum dirinya menemukan Vanessa terkulai di toilet umum sebuah restoran elit di dalam mall yang mereka kunjungi.Ya, semalam, Isna memang sedang bersama Vanessa mengisi waktu luang dengan berbelanja, merasa lapar Isna pun mengajak Vanessa untuk makan di sebuah restaurant cepat saji di dalam mall tersebut."Seingatku, Vanessa semalam makan sangat banyak dan lahap, lalu dia pamit izin ke toilet umum dan lama tidak kembali, sampai akhirnya aku menyusul karena khawatir, dan saat itulah aku menemukan Vanessa sudah bersimbah darah di dalam toilet, tubuhnya tergeletak di lantai. Kalau memang Vanessa keracunan makanan, pastinya dokter rumah sakit akan memberikan informasi pada kitakan? Tapi buktinya tidak. Dokter hanya bilang, bisa jadi keguguran yang dialami Vanessa karena dia terlalu stress," jelas Isna panjang lebar.Vanilla dan Wildan hanya menganggukkan kepala tanda mengerti sekaligus prihatin dengan nasib Vanessa."Yaudah kalau gitu Tante pulang aja dulu, biar hari ini Vanessa aku yang jaga," ucap Vanilla lagi. Merasa kasihan pada Isna yang sejak kemarin malam terus stand by menjaga Vanessa di rumah sakit.Isna mengangguk. "Iya, nanti Tante pulang tunggu Papamu jemput dulu,"Saat itu Isna memutuskan kembali ke dalam ruang rawat Vanessa untuk berpamitan pulang.Wanita itu mengelus rambut pirang Vanessa dengan sayang. "Tante pulang dulu ya Nessa, nanti kalau kamu butuh apa-apa ada Vanilla dan Wildan di sini yang temenin kamu," ucapnya.Vanessa hanya bergeming.Bahkan menoleh ke arah Isna pun tidak.Tatapannya kosong ke arah jendela kamar di ruangan itu.Sepeninggal Isna, saat Vanessa kembali sendirian di dalam ruang rawatnya, satu titik air mata Vanessa kembali terjatuh dengan sendirinyaSebongkah amarah seakan meradang dalam benaknya setelah dia baru saja menerima sebuah pesan singkat di ponselnya.Sebuah pesan singkat yang dia terima dari seorang lelaki bernama Mahessa Anggara.Sebuah pesan singkat yang pada akhirnya membuat Vanessa mengerti mengapa dia bisa tiba-tiba mengalami keguguran.Ini semua pasti ulah Mahessa!Ya, Vanessa yakin betul bahwa ini ulah Mahessa karena lelaki itu yang memang ingin secepatnya menikahi dirinya.Brengsek!*****Seorang lelaki dengan wajahnya yang tampak babak belur diseret oleh dua orang bertubuh kekar menghadap bos besar mereka yang sudah menunggu di ruang tamu sebuah rumah mewah nan megah.Tubuh lelaki itu sudah tidak berdaya untuk berdiri ketika dilempar ke kaki sang tuan besar.Lelaki berjas hitam yang duduk nyaman di sofa kebesarannya tampak memajukan posisi duduknya, sedikit membungkuk agar dirinya bisa lebih dekat dengan manusia menjijikan bernama Gavin yang selama ini dia perintahkan untuk menyamar menjadi Yasa.Gavin, yang sudah berani menipunya habis-habissan itu."Apa yang sebenarnya kamu rencanakan di belakangku? Hah?" Tanya lelaki itu dengan urat-urat leher yang hampir menyembul keluar akibat menahan amarah. Dia menarik ketat kerah baju lelaki di bawah kakinya itu.Gavin tersenyum miring. "Aku sudah melakukan apa yang seharusnya aku lakukan! Bukankah selama ini kamu hanya ingin Vanessa aman? Dan aku sudah mewujudkan keinginanmu, Mahes! Lalu apalagi yang kamu inginkan dariku sekarang?" ucap lelaki itu.Meski sudah babak belur, dari tatapannya yang tajam, Gavin seolah tak takut sama sekali pada Mahessa. Bahkan dia seperti muak menatap wajah Mahessa yang sok berkuasa itu."Aku memberimu tugas untuk menjaga Vanessa! Bukan menidurinya terlebih sampai dia hamil! Brengsek!" Satu pukulan Mahessa mendarat di wajah Gavin, membuat tubuh lelaki itu kembali tersungkur ke lantai.Mahessa menjadikan kepala Gavin sebagai alas kakinya, menekannya kuat-kuat hingga Gavin merasa sesak napas."Van-nessa bu-kan ha-mil anakku..." Ucap Gavin saat itu dalam ketidakberdayaannya."Jelas-jelas itu anakmu! Kamu yang sudah melakukannya bersama Vanessa untuk pertama kali bukan?" Tekan Mahessa lagi."Van-nes-sa hamil a-nak Tuan Aro..." Ucap Gavin lagi dengan napasnya yang mulai putus-putus akibat tekanan sepatu Mahessa di kepalanya.Mahessa mengangkat kakinya, menatap Gavin sengit dan membalikkan tubuh lelaki itu dengan sekali tarikan tangan, lalu mendudukinya."Aro? Siapa dia?" Tanya Mahessa penasaran.Gavin meludah darah yang berkumpul di mulutnya ke arah samping. Dadanya masih sesak hingga menyebabkan napasnya tersengal tak beraturan. "Dia orang yang akan membunuhmu, brengsek!"Rahang Mahessa semakin ketat tatkala mendapat makian dari Gavin. Hingga beberapa pukulan kembali dilayangkannya di wajah lelaki itu.Melempar kepala Gavin dengan keras hingga membentur lantai, Mahessa bangkit dari atas tubuh lelaki yang baru saja pingsan itu.Dia membenahi sedikit pakaiannya yang berantakan dan membersihkan tangannya dari noda darah Gavin dengan tissue.Mahessa memanggil asistennya, Saga."Cari tau siapa Aro!""Baik Tuan. Oh ya Tuan, ada berita baru dari Edi," beritahu Saga saat itu.Mahessa menoleh, Edi adalah utusan yang dia tugaskan untuk memata-matai Vanessa dari jauh."Berita apa?""Nona Vanessa masuk rumah sakit, Edi bilang, Nona Vanessa keguguran."Kedua bola mata Mahessa terbelalak. Kelihatan sekali bahwa dia terkejut. "Vanessa keguguran? Lalu bagaimana keadaannya?""Sejauh ini baik-baik saja, Tuan.""Baiklah, atur jadwal pertemuanku dengannya malam ini dan siapkan surat perjanjian kontrak pernikahanku dengannya!""Baik, Tuan!"*****Yuk Di Vote dan koment kalau suka...Salam Herofah...Setelah bertahun-tahun berlari dari bayang-bayang masa lalu, Vanessa dan Mahessa akhirnya pulang. Bukan sekadar pulang ke Jakarta, tapi pulang ke pangkuan keluarga yang selama ini menjadi jangkar dan tempat berpulang hati mereka.Hubungan Mahessa dengan Aro semakin membaik usai Gavin mendapatkan hukuman setimpal atas perbuatannya. Matahari sore menyinari halaman rumah keluarga besar Malik. Rumah mewah itu berdiri megah di kawasan selatan Jakarta, kini penuh tawa dan aroma masakan dari dapur. Di sana, Isna, ibu tiri Vanessa, menyambut mereka dengan pelukan hangat dan mata yang berkaca-kaca.“Akhirnya kamu pulang juga, Nessa,” ucapnya, menepuk pipi Vanessa dengan lembut.“Maaf membuat semua orang khawatir, Bu,” jawab Vanessa sambil tersenyum haru.Malik, yang selama ini menjaga wibawa sebagai kepala keluarga, tidak bisa menahan senyum saat melihat putrinya menggandeng Mahessa masuk ke ruang tengah.“Kamu sudah jadi laki-laki seutuhnya sekarang, Mahessa,” ujarnya sambil menjabat tangan
Lamunan Mahessa terhenti seketika ketika suara ledakan kecil terdengar dari luar rumah. Getarannya terasa di lantai, seperti gempa singkat yang mengguncang fondasi bangunan tua itu.Ia berdiri reflek dari kursi rotan. Detak jantungnya melompat liar. Tak lama kemudian, suara pecahan kaca menyusul dari lantai bawah, disertai teriakan panik dari Lauren.“Vanessa!” pekik Mahessa, langsung berlari menuju tangga.Langkahnya baru mencapai anak tangga kedua ketika tiga pria bersenjata menerobos masuk melalui jendela belakang. Salah satunya berpakaian serba hitam dengan penutup wajah, dua lainnya membawa tongkat besi. Gerakan mereka cepat, brutal, dan terlatih.Mahessa segera menarik Vanessa dari tempat tidur. Gadis itu baru saja terbangun, wajahnya pucat, panik, matanya mencari-cari jawaban.“Ada apa, Mahes?”“Diam. Ikut aku. Sekarang.”Ia menggandeng tangan Vanessa, menyeretnya menyusuri lorong menuju loteng kecil—ruang penyimpanan barang-barang tua yang dulu sempat ditunjukkan Lauren. Loron
Suasana malam Paris menyambut mereka dengan udara lembab dan lampu kota yang temaram. Langit menggantung kelabu, menyimpan gerimis tipis yang belum jatuh. Mahessa memarkirkan mobil sewaan di halaman rumah bergaya klasik Prancis—rumah tua milik pasangan lanjut usia, kerabat almarhum Pak Dirham.Bangunan itu berdiri anggun meski telah termakan waktu. Jendelanya tinggi, dengan bingkai kayu yang terawat. Halaman kecilnya dipenuhi tanaman rambat yang menjalar hingga ke dinding batu. Ada aroma nostalgia yang tak bisa dijelaskan. Seolah rumah itu menyimpan cerita lama yang belum selesai.Setelah makan malam sederhana dan berbasa-basi singkat dengan pasangan pemilik rumah, Vanessa memilih beristirahat lebih awal. Tubuhnya letih setelah perjalanan panjang dari Lyon. Ia tertidur begitu kepalanya menyentuh bantal, sementara Mahessa justru tidak bisa memejamkan mata.Ada satu nama yang terus berputar dalam pikirannya, Yasa. Nama yang dikejar. Nama yang dicari. Nama yang sedang ia tinggali.Dan sa
Setelah melalui sekitar tujuh jam perjalanan darat, akhirnya Mahessa dan Vanessa pun sampai di Paris.Di sepanjang perjalanan tadi, Vanessa sempat menerima panggilan telepon dari Vanilla dan keluarganya yang kini sudah berada di Amerika.Vanilla dengan segala kekhawatirannya terus saja mengoceh seperti kaleng rombeng di telepon. Wanita itu memarahi Vanessa yang telah membuatnya cemas di sepanjang perjalanan menuju Amerika karena Vanessa yang tiba-tiba saja menghilang di Bandara dan sulit dihubungi.Hingga akhirnya, semua masalah terselesaikan begitu pihak keluarga di sana tahu bahwa kini Vanessa dan Mahessa baik-baik saja."Sepertinya, keluargaku memang belum tau soal Aro?" tanya Vanessa saat Mahessa baru saja mengajaknya memasuki sebuah mobil pribadi yang mereka sewa."Ya, kupikir mereka tidak perlu tau," ucap Mahessa saat itu yang mulai fokus menyetir."Lalu, kita mau kemana sekarang? Aku sangat lelah, kita harus istirahat, Mahess," ucap Vanessa diikuti dengan mulutnya yang menguap
Matahari bersinar cerah menyambut pagi di Jenewa.Gemericik air mengalir terdengar dari balik balkon kamar yang dihuni oleh Mahessa dan Vanessa tadi malam.Menghirup udara pagi yang segar dan sejuk, Vanessa terdiam di sisi balkon dengan tubuhnya yang hanya terbalut kemeja putih Mahessa. Bahkan, tanpa Vanessa mengenakan apa pun lagi di dalamnya.Pergumulan panjang nan panasnya dengan Mahessa tadi malam terasa begitu membekas di benaknya. Membuat senyum di wajah cantik nan seksi Vanessa seolah tak mau hilang."Kamu sudah bangun duluan? Kenapa tidak membangunkan aku?" bisik suara berat seorang lelaki dengan tubuh atasnya yang shirtless, memperlihatkan lekukan otot-otot tangannya yang kekar dan mulus.Mahessa memeluk tubuh sang istri dari belakang, membenamkan kepalanya di balik ceruk leher Vanessa yang harum."Aku tau kamu pasti kelelahan karena permainan kita semalam, makanya aku biarkan kamu istirahat lebih lama," ucap Vanessa menahan geli saat bibir Mahessa mulai mendaratkan kecupan k
"Kamu ingin menjadi istri yang baik kan? Kalau begitu, buktikan!" ucap Mahessa setelah lelaki itu berhasil melepas kemeja yang dia kenakan.Bukan hal aneh bagi Vanessa untuk menyenangkan lelaki di ranjang, hanya saja, kenapa saat ini dia merasa begitu gugup?Bahkan Vanessa merasa jantungnya seakan ingin melompat keluar dari dadanya, saking kencang dan kuatnya degupan itu.Keadaan hening seketika menyergap keduanya saat tubuh Mahessa sudah menguasai tubuh sang istri sepenuhnya.Tatapan keduanya kembali bertemu, lekat dan dalam.Seolah menyelami kembali masa-masa indah kebersamaan masa kecil mereka dahulu, saat Vi sering membantu Yasa membersihkan kantin lapas bersama Pak Dirham. Saat Yasa sering mengajak Vi melihat langit senja dari atas pohon, dan saat mereka bermain petak umpet bersama, lalu Vi menangis karena melihat ular di belakang lapas.Semua kenangan itu masih terekam jelas dalam benak Yasa a.k.a Mahessa. Tak terlupakan, sedikit pun."Kamu cantik sekali, Vi..." gumam Mahessa sa