Hari berlalu.
Begitu pun dengan badai hitam yang menyelimuti keluarga Malik sejak tragedi kematian Yasa lalu disusul kematian Kenari.Perlahan, masalah demi masalah yang menimpa keluarga sang Chef pun teratasi dengan baik.Bermula dari kesembuhan sang istri, Isna dan kondisi psikis sang putri tercintanya, Vanessa yang terlihat mulai bisa kembali tersenyum.Masih di kediaman Malik, dari arah kamar di lantai dua, terdengar suara percakapan sepasang suami istri."Nih yank, aku punya lima destinasi bulan madu terbaik rekomendasi dari Pak Beni di kantor. Dia punya teman yang buka jasa travel bulan madu di seluruh dunia. Dan lima negara ini menjadi tempat terlaris selama dua tahun belakangan yang banyak dikunjungi oleh para pengantin baru, kayak kita," jelas Wildan panjang lebar sambil menscroll layar ponselnya yang menampilkan gambar-gambar pemandangan indah di seluruh dunia, dia memperlihatkannya pada sang istri yang saat itu sedang membenahi pakaian karena malam ini mereka akan kembali pindah ke rumah Wildan setelah mereka cukup lama menginap di kediaman Malik karena harus menjaga Vanessa.Sekarang, kondisi Vanessa sudah jauh lebih baik. Terlebih dengan adanya tante Isna dan Jhio, Vanilla pikir, saudara kembarnya itu tidak akan lagi merasa kesepian.Vanilla melirik sekilas, tatapannya penuh keengganan hingga kemudian dia kembali fokus melipat pakaiannya dan memasukkannya ke dalam tas ranselnya.Tak banyak memang pakaian yang dia bawa, lagipula jarak antara kediaman Wildan dengan kediaman Malik sang Ayah tidak terlalu jauh, itulah sebabnya Vanilla sengaja meninggalkan beberapa helai pakaiannya untuk sewaktu-waktu dia bisa pakai jika dia harus kembali menginap tanpa rencana di sini."Yank, aku lagi ngomong loh," ucap Wildan lagi saat merasa Vanilla tampak cuek bebek."Iya aku denger," jawab Vanilla yang langsung mengalihkan pandangannya ke arah Wildan. Dia tersenyum lebar memperlihatkan barisan gigi-giginya yang putih bersih.Wildan tahu Vanilla sedang berbohong dengan senyumannya itu. Diraihnya jemari sang istri dan digenggamnya lembut. "Hal apa lagi sih yang masih kamu pikirin? Semua sudah berlalu. Lupain apa yang udah terjadi di belakang. Aku nggak mau liat kamu sedih begini terus. Lagian Vanessa sekarangkan udah sehat. Kondisinya udah lebih baik, udah nggak ada yang perlu kita khawatirkan lagikan?"Vanilla tampak mengesah. "Iya sih, tapi apa kamu nggak merasa aneh sama lelaki yang namanya Mahessa itu? Masalahnya, Vanessa pernah bilang kalau dia itu nggak kenal sama Mahessa. Mereka aja ketemu baru satu kali, tapi kok bisa-bisanya sekarang Mahessa tiba-tiba melamar Nessa? Apalagi liat gayanya yang kemana-mana selalu dikelilingi bodyguard gitu, ngeri banget nggak sih?" Jelas Vanilla mengungkapkan kegundahan hatinya.Wildan melepas genggaman tangannya dan menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang. Menjadikan lengannya sebagai tumpuan kepalanya. "Wajarkan kalau seorang konglomerat seperti Mahessa itu kemana-mana di kawal sama bodyguard. Aku dengar-dengar sih, Anggara grup itu perusahaan besar di Amerika. Bukan hanya sekedar memiliki perusahaan besar tapi mereka mendominasi hampir seperempat perekonomian di New York. Mereka memiliki pusat perbelanjaan, beberapa rumah sakit dan hotel bintang lima," jelas Wildan saat itu.Kedua bola mata Vanilla terbelalak kaget. Dia membenahi posisi duduknya bersila menghadap sang suami. "Kamu serius? Segitu kayanya?"Wildan mengangguk. "Ya benar, kalau sampai dia jadi sama Vanessa, aku orang pertama yang bakal ajak perusahaan dia kerjasama dengan perusahaanku,"Vanilla langsung mencebik dan memukul paha Wildan. "Huuu, Dasar matre!""Eh, ini tak tik bisnis, bukan masalah matre atau nggaknya sayang,""Ya ya ya, Whatever deh, terserah kamu. Cuma aku tetep merasa aneh aja sama si Mahessa-Mahessa itu,"Vanilla hendak kembali melanjutkan aktifitasnya yang sempat tertunda ketika tiba-tiba tangannya ditarik Wildan dengan cukup keras yang mengakibatkan tubuh Vanilla kini terjatuh di atas dada Wildan dengan wajah keduanya yang hampir menyatu.Wildan dengan cepat melingkarkan tangannya di pinggang sang istri."Mau kemana sih?""Mau ambil bajuku di jemuran,""Terus gimana sama rencana bulan madu kita Vanilla? Aku nggak mau sampai nunda-nunda lagi ya?"Vanilla tersenyum masam. Melingkarkan kedua tangannya di leher Wildan dan menaiki tubuh Wildan. Mendudukinya tepat di kedua paha lelaki berlesung pipi itu."Aku ikut aja kemana kamu mau ajak aku Bulan madu. Selagi pergi sama kamu, aku sih fine-fine aja," ucap Vanilla saat itu."Oke kalau begitu, nanti kamu yang tentuin waktunya, aku yang tentuin tempatnya gimana?" Kedua alis tebal Wildan mengerling."Oke sip!" Vanilla membentuk huruf O dengan kedua ujung jari telunjuk dan ibu jarinya yang bertemu.Vanilla hendak bangkit dari pangkuan suaminya, namun lagi-lagi Wildan kembali menahan."Wildan, apalagi?" Keluh Vanilla cemberut."Kiss dulu dong, bibirku kering nih," ucap lelaki itu manja."Ish, nggak mau! Bau!"Kedua bola mata Wildan terbelalak. "Apa kamu bilang? Bau? Enak aja!"Vanilla tertawa geli. "Kamu nggak inget ya tadi habis makan apa pas makan malem?"Dahi Wildan mengernyit mencoba mengingat-ingat. "Apa? Aku makan nasi, sama...""Sama apa hayo?"Wildan tercengir kuda. "Sama jengkol, hehehe,""Tuhkan sikat gigi dulu sana,"Wildan mengerucutkan bibir, berpura-pura hendak bangkit saat tubuh Vanilla sudah menyingkir dari atas tubuhnya, hingga setelahnya, ketika Vanilla sudah berdiri di sisi ranjang, Wildan justru malah menarik tubuh sang istri dan menutupi tubuh mereka dengan selimut.Tawa Vanilla terdengar pecah saat Wildan menggelitiki pinggangnya di balik selimut. Sesekali Wildan yang jahil meremas dada Vanilla dengan gemas dari arah luar dan Vanilla pun membalas dengan meremas sesuatu di area selangkangan sang suami."Aw-aw-aw, pelan-pelan dong, kamu kasar banget sih!" Omel Wildan saat Vanilla terlalu kuat mencengkram pusakanya.Bukannya merasa bersalah, Vanilla malah tertawa geli."Mulut kamu bau jengkol tau!" Ucap Vanilla ketika keduanya baru saja melepas ciuman."Bau juga kamu mau," balas Wildan sambil memeletkan lidah."Ya habis nggak ada lagi yang kayak kamu sih,""Wah, itu artinya ciuman aku maha dahsyat ya?" Wildan membuka selimut dan Vanilla langsung menyandarkan kepalanya dengan nyaman di bahu Wildan."Ish, geer! Siapa bilang?""Aku yang bilang tadi, nggak denger?"Untuk sejenak keduanya terdiam menatap langit-langit kamar. Sekedar menetralkan napas mereka yang tersengal akibat gurauan mereka di balik selimut tadi."Vanilla," panggil Wildan memecah keheningan."Hm?" Sahut Vanilla yang asik mengukir sesuatu di atas dada sang suami menggunakan jari telunjuknya."Terima kasih atas semuanya..." Ucap Wildan menggantung kalimatnya, membuat Vanilla mengerutkan kening bingung."Ish, nggak usah mellow gitu deh,""Aku nggak mellow, aku cuma nggak tau cara gimana ngungkapin kebahagiaan aku setelah memperistri kamu dan memiliki keluarga seperti sekarang. Kamu taukan, dulu aku terbiasa hidup sendiri, bahkan satu-satunya keluarga yang aku miliki dan aku percaya justru malah menikam aku dari belakang. Tapi sekarang, melihat keharmonisan keluarga kamu, Papa Malik, Isna, Jhio, Vanessa, dan Aryan, aku merasa hidup aku lengkap, makanya aku berterima kasih sama kamu,"Vanilla menoleh, menatap Wildan yang juga sedang menatapnya. Senyuman Wildan dalam balutan kelopak matanya yang berkaca-kaca membuat hati Vanilla terharu hingga kembali menghadiahkan satu kecupan manis di bibir sang suami."Aku sayang kamu, Wil. I can't stop loving you forever," ucap Vanilla seraya memeluk tubuh Wildan erat-erat.Keduanya kembali terlibat dalam keromantisan manis di atas ranjang mereka hingga dering ponsel milik Vanilla terdengar berbunyi.Vanilla melepas ciumannya dengan Wildan dan meraih ponselnya di nakas.Ternyata, itu panggilan dari Isna, Ibu tirinya."Hallo Tante? Ada apa?""Vanilla, kamu bisa ke rumah sakit sekarang?" Suara Isna di seberang terdengar cemas."Rumah sakit? Memangnya Tante kenapa?" Vanilla jadi ikutan cemas."Vanessa... Dia keguguran!""Apa? Keguguran?"*****Yuk di vote dan komen...Salam Herofah... 🙏😍Flashback On..."Coba tebak, kira-kira jenis kelamin anak kita apa ya, Yas?" Tanya Vanessa pada kekasihnya, Yasa.Malam itu mereka baru saja selesai bercinta.Sejak kepulangannya dari Paris, Yasa memang tinggal menetap di apartemen Vanessa karena lelaki itu tidak memiliki tempat tinggal.Hidup sebagai yatim piatu sejak kecil dan tak memiliki sanak saudara membuat Yasa tumbuh menjadi sosok lelaki yang mandiri dan pekerja keras. Meski semua yang dia kerjakan pada akhirnya tetap tak mampu membawanya pada taraf kehidupan yang lebih baik.Itulah alasan mengapa Yasa sempat berpikir untuk pergi dari kehidupan Vanessa karena dia merasa tidak cukup layak mendampingi Vanessa yang saat itu berprofesi sebagai model papan atas.Namun, Yasa menyesal telah menyakiti Vanessa karena nyatanya, cinta Vanessa terhadapnya begitu dalam. Bahkan Vanessa rela mengesampingkan karirnya demi mencari Yasa ke Paris.Lika-liku panjang cinta mereka sudah berhasil mereka lalui dan kini Yasa hanya perlu bersabar sedik
Masa setelah Prolog..."Tanda tangani ini sekarang!" Perintah Mahessa pada Vanessa dengan begitu to the point, saat lelaki itu baru saja sampai di dalam ruang rawat Vanessa."Apa ini?" tanya Vanessa bingung. Wajah pucatnya tampak semakin pucat terhitung saat dia melihat sosok Mahessa memasuki ruang rawatnya beberapa detik tadi.Kebetulan, Isna dan Malik baru saja pulang, sementara Vanilla dan Wildan yang akan menggantikan menjaga Vanessa di rumah sakit belum datang. Jadilah, Mahessa bisa dengan leluasa melakukan aksinya terhadap Vanessa di dalam sini.Aksinya untuk memaksa Vanessa menandatangani surat perjanjian pernikahan mereka."Kamu baru saja keguguran, jadi tak ada alasan bagi kita untuk menunda pernikahan, benar kan?" ucap Mahessa disertai sebuah senyuman miring khasnya.Vanessa melirik sebuah kertas di pangkuannya. Kedua rahang wanita itu mengeras seiring dengan buliran air mata yang perlahan jatuh menetes di pipinya."Ini pulpennya, Nona cantik," ucap Mahessa lagi seraya menyo
"Apa? Menikah? Dengan Mahessa?" Pekik Vanilla kaget saat Vanessa baru saja memberitahu keluarganya bahwa dia ingin mempercepat proses pernikahannya dengan Mahessa.Dua minggu sudah berlalu pasca dirinya keguguran dan kini kondisi kesehatan Vanessa sudah jauh lebih baik, itulah sebabnya dia pun lekas memberitahukan hal ini pada seluruh keluarganya."Kamu yakin, Nessa? Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau kamu tidak menyukai Mahessa?" ucap Vanilla yang kini berhasil menarik Vanessa dari keramaian keluarganya yang masih berkumpul di ruang tengah kediaman Malik."Sejak awal saat Mahessa datang ke rumah ini untuk melamarku, aku sudah menerima lamarannya, hanya saja, aku memberinya syarat bahwa aku bersedia menikah dengannya selepas aku melahirkan. Tapi, sekarang aku bahkan sudah kehilangan anakku, jadi, tidak ada lagi alasan untuk kami menunda pernikahan," tutur Vanessa menjelaskan.Masih menatap Vanessa dengan penuh ketidakpercayaan, entah kenapa, Vanilla merasa bahwa Vanessa tengah me
Malam pertama dalam sebuah pernikahan adalah hal terindah yang pastinya ditunggu-tunggu oleh setiap pasangan yang baru saja melangsungkan pernikahan.Menunjukkan rasa cinta melalui sentuhan jemari lembut, pagutan mesra di bibir, pelukan hangat hingga akhirnya mencapai titik klimaks bersama.Sungguh akan menjadi hal baru bagi semua pasangan yang tengah dimabuk asmara.Sayangnya, hal tersebut tidak dirasakan oleh Vanessa dan Mahessa yang memang menikah dengan tujuan lain yang sudah mereka sepakati bersama.Bunga mawar merah yang bertaburan di atas seprai putih di dalam kamar pengantin keduanya, menambah kesan romantis yang menggairahkan. Belum lagi lilin-lilin kecil aromatherapy yang terletak di beberapa titik ruangan. Menambah harum semerbak ruangan bernuansa putih gading itu.Balon-balon berbentuk hati bergelantungan bebas di langit-langit kamar membentuk sebuah tulisan "Selamat Menempuh Hidup Baru".Melihat semua itu, seketika hati Vanessa terenyuh. Bukankah, seharusnya dia merasa ba
"Cepat mandi! BERSIHKAN TUBUH KOTORMU ITU!" Perintah Mahessa saat itu.Lelaki itu melangkah cepat keluar menarik pintu kamar mandi dan menutupnya dengan sebuah bantingan keras.Tak sampai di situ, Mahessa terus saja melangkah hendak keluar dari dalam ruangan yang menjadi kamar pengantinnya dengan Vanessa, namun saat selangkah lagi kakinya itu benar-benar keluar dari kamar tersebut, Mahessa menahan gerakannya.Tak ingin memancing kecurigaan orang lain jika sampai melihat dirinya wara-wiri di luar, padahal ini adalah malam pertama pernikahannya dengan Vanessa.Alhasil, Mahessa hanya bisa mengesah pasrah dan kembali masuk ke dalam kamar setelah lagi-lagi dia membanting pintu dengan sangat keras.Melepas pakaiannya satu persatu hingga dia tak mengenakan atasan apa pun lagi. Meraih sebuah botol minuman beralkohol di dalam lemari pendingin lalu menenggaknya dengan cepat.Sebisa mungkin Mahessa berusaha menetralkan emosi yang kian menyiksa setiap kali otaknya harus dipaksa berputar membayang
"Jika memang dia bukan Yasa, lalu kenapa dia mengatakan bahwa dia adalah Yasa padaku? Apa kamu yang menyuruhnya Mahes?" Tanya Vanessa dengan segelintir amarah yang tersisa."Ya, aku yang menyuruhnya," jawab Mahessa tegas."Apa alasannya?""Karena aku hanya ingin tahu, apakah seorang Vi, benar-benar masih mengingat kejadian itu, atau tidak.""Brengsek!" Vanessa memaki dan melayangkan satu tamparan kuatnya di pipi Mahessa, sementara Mahessa hanya bergeming. Sama sekali tak berniat untuk melawan. Dan hal ini akan terjadi pada Mahessa jika memang Mahessa merasa dirinya bersalah.Ya, Mahessa sadar bahwa dirinya sudah bersalah dengan membiarkan orang lain menyamar sebagai Yasa hanya demi sebuah pembuktian.Sungguh konyol bukan?"Jadi selama ini kamu telah mempermainkan aku? Mempermainkan perasaanku? Hidupku?" Jerit Vanessa lagi penuh kemurkaan. "Memangnya kamu pikir dirimu itu siapa, hah? Tuhan? Kamu bahkan tidak pantas disebut sebagai lelaki karena kenyataannya kamu hanya seorang pecundang
"Dan aku sangat bersyukur, jika kenyataannya, Vi yang aku cari selama ini ternyata bukan dirimu, melainkan Vanilla," Mahessa tertawa renyah di akhir kalimatnya.Seketika niat Vanessa untuk memberitahukan pada Mahessa tentang siapa sebenarnya sosok Vi yang asli pun urung dia lakukan.Ucapan Mahessa saat itu, sungguh melukai hati dan jiwanya. Menusuknya dengan sangat dalam dan menyakitkan.Jadi, biarlah...Biarkan saja lelaki itu berpikir bahwa Vi adalah Vanilla.Vanessa bahkan sudah tak perduli!"Aku sudah menjawab semua pertanyaanmu dan sekarang giliranmu memberitahuku soal Vi," ucap Mahessa lagi setelah cukup lama mereka saling diam.Tatapan Mahessa terus tertuju pada sosok Vanessa yang saat ini kembali duduk di sisi ranjang tempat tidur. Wanita itu terus bergeming dengan kedua tangan yang meremas ujung jubah mandi yang dia kenakan.Terlihat sekali, bahwa Vanessa sedang gugup saat ini."Ada apa Nessa? Tadi kamu sendiri yang mengatakan bahwa kamu ingin mengatakan sesuatu tentang Vi ka
"Kalau begitu, nyawa Gavin akan menjadi taruhannya, apa kamu siap kehilangan lelaki itu, Nessa?" tanya Mahessa disertai sebuah seringai licik yang membuat Vanessa semakin muak saja pada lelaki itu.Dan jika sudah mengingat kelicikan Mahessa, maka tak ada alasan bagi Vanessa untuk tetap mempercayai lelaki yang kini sudah resmi menjadi suaminya itu.Setelah cukup lama berpikir, akhirnya Vanessa pun berkata dengan penuh keyakinan, bahkan dia tak ragu membalas tatapan Mahessa yang masih tertuju ke arahnya. "Pertemukan aku dengan Gavin lebih dulu, baru aku akan membantumu mendapatkan, Vi!"Kedua bola mata Mahessa menyipit, seolah sedang menelaah lebih jauh bahwa Vanessa benar-benar serius dengan kata-katanya."Lalu, jika aku sudah mempertemukanmu dengan Gavin, apa jaminan untukku bahwa kamu tidak akan mangkir dari kata-kata yang sudah kamu ucapkan sendiri?" tanya Mahessa balik yang hanya menginginkan kepastian lebih jauh dari seorang Vanessa.Lagi, Vanessa kembali terdiam.Berusaha memutar