Dia pikir aku istri bodoh yang bisa dimanfaatkan. Tapi dia lupa, akulah sang pemiliknya. Dia tidak tahu, jika aku bukanlah wanita biasa yang selama ini dia pikirkan. Aku pewaris bukan perintis, itu sebabnya aku bisa menghidupi dirinya, keluarganya juga selingkuhannya. Tapi dia menganggapku lemah dan jatuh karena dia lebih memilih perempuan lain, maka aku menunjukkan siapa diriku. Sayangnya, dia tak ingin melepaskanku saat dia tahu siapa diriku. Berbagai cara dia lakukan hingga aku tahu sebuah rahasia yang membuatku harus membalasnya!
view moreAku saja selesai membereskan cucian, berharap bisa merebahkan tubuh sejenak. Tapi begitu kubuka pintu kamar, kulihat Mas Danar—suamiku—sedang sibuk menata pakaian ke dalam koper kecil.“Mau ke mana, Mas? Tumben packing nggak bilang-bilang,” tanyaku sambil duduk di sisi ranjang.Wajahnya tak menoleh.
“Mendadak, Dek. Ibu ngajak ke kampung.”Aku mengernyit. Kampung? Bukannya semua kerabatnya sudah pindah ke kota? Entah kenapa aku ingin tahu. Setahuku, Mas Danar tak lagi punya kerabat di kampung. Sejak menikah denganku, Mas Danar memang memboyong ibunya. Mas danar beralasan, dia anak tunggal apalagi laki-laki. Sudah seharusnya berbakti pada ibunya dan aku memang tak pernah mempermasalahkan hal itu. Selama hal itu adalah perintah agama, aku akan selalu mendukungnya. "Aku tidur dulu ya, jangan lupa besok bangunkan pagi. Biar gak telat!" Mas Danar segera mengambil tempat di sebelahku lalu memeluk gulingnya dengan hangat. Aku tersenyum kecut. Sudah satu tahun ini Mas Danar mengabaikanku. Lebih sering pulang malam dengan alasan banyak barang yang perlu di cek dan dirapikan ulang. Memang, toko material peninggalan ayah tampak lebih ramai saat dikelola Mas Danar hingga bisa membuka satu cabang dengan profit yang lumayan. Aku hendak berbaring, namun terhenti karena melihat ponsel Mas Danar yang berkedip di atas nakas. Sesaat aku menoleh menatap Mas Danar yang telah tertidur lelap. Tanpa bermaksud untuk mencari tahu, kuabaikan saja ponselnya lalu mulai membaringkan tubuh yang lelah. Beberapa hari belakangan ini, mertuaku cukup sibuk menyiapkan acara. Sepertinya memang akan ada acara besar. Aku berusaha memejamkan mata tapi telingaku terusik dengan ponsel Mas Danar yang terus menerus bergetar. Terpaksa aku bangkit untuk melihatnya. Mungkin saja memang ada hal mendesak yang Mas danar harus segera tahu. Ibu sakit, misalnya. Jangan sampai ibu marah lagi seperti yang sudah-sudah. Benar saja. Beberapa panggilan juga pesan dari ibu, juga panggilan dan pesan dari Sasi. Sasi? Siapa Sasi? Baru kali ini aku melihat nama itu. Selama ini, aku memang tak pernah memeriksa ponsel suamiku. Aku percaya sepenuhnya pada Mas Danar. Lagi pula ia bekerja di toko yang sudah kupercayakan padanya. Melihatnya bekerja bersama para pegawaiku, menjadikanku istri yang sepenuhnya tak pernah menaruh curiga padanya. Tapi entah kenapa, lagi-lagi hatiku tergelitik ingin melihatnya. Aku segera mengusap ponsel Mas Danar dan membka aplikasi pesannya. Ponsel terbuka dengan mudah karena ponsel Mas Danar memang tak pernah dikunci. "Danar, jangan lupa. Bawa uang yang cukup. Kita blanja dulu sebelum acraa!" "Ibu mau beli perhiasan. Ibu pengen pake perhiasan yang mewah. Biar semua orang tahu kalau anak Ibu sekarang sukses dan kaya! Kamu memang anak kebanggan ibu!" "Jangan kasih tahu Nada soal ibu minta perhiasan!" Aku tersenyum miring. Memangnya siapa yang tak tahu jika selama ini, Mas Danar bisa membahagiakan ibunya juga atas andil dan peranku. Dengkuran halus Mas Danar mulai terdengar di telingaku. Aku menatap suamiku agak lama. Aku kembali menatap ponselnya. "Mas, besok jadi kan kasih aku uang dua ratus juta? Mas yang bilang loh kalau Mas mau nambahin lagi. Mas gak lupa kan?" Deg. Jantungku mulai berdegup. Pesan dari Sasi memanggil suamiku dengan Mas? Terdengar cukup akrab dan manja. Lalu, uang apa yang ditanyakannya? Tanganku mulai tremor demi membaca pesan-pesan lainnya. "Orang tuaku minta acaranya besar, Mas. Berarti butuh biaya lagi. Masak sih, Mas gak mau nambahin lagi?" Acara? Apakah acara yang dimaksud pesan ini adalah acara yang sama yang disampaikan Mas Danar? Acara yang ibu mertuaku persiapkan juga? "Aku pasti dandan cantik buat Mas seorang!" Aku menekan dadaku yang mulai berdenyut sakit. "Aku jamin, Mas. Kamu akan lebih bahagia punya istri aku! Ibu kamu bener, Mas. Kamu perlu pendamping yang pinter dan lulusan sarjana kayak aku! Gak kayak istri tuamu itu. Cuma lulusan SMA. Mandul pula!" Mataku mulai mengembun. Mereka pikir aku cuma lulusan SMA? Hanya gara-gara aku lebih senang bantu-bantu ayahku di toko demi bisa dekat dengan Mas Danar saat itu? Mereka juga bilang aku mandul? Padahal baru dua tahun masa pernikahanku. Dari mana mereka tahu jika aku yang mandul? Tanganu mulai mengepal, hingga tak sadar melukai tanganku yang mulai terasa perih karena trtancap kukuku sendiri Aku menutup mulutku, menahan diri untuk tak emosi malam ini. Betapa menyedihkannya aku di mata suamiku sendiri. Hingga dia tega mengatakan sesuatu yan dia sendiri tau jawabannya. Tiba-tiba aku menyesal saat-saat mengingat aku sering melawan erintah ayah yang memintaku untuk berpikir berulang kali menjadi istri Mas Danar. Kupikir dia laki-laki yang tepat untukku, yang tak pernah mempermasalahkan pendidikanku karena bnar-benar tulus mencintaiku. Perlahan aku merebahkan tubuhku memunggungi suamiku, Dana Aditama Prasetya. Laki-laki yang selama ini sangat kupercaya, ternyata perlahan mmbuat luka. Aku terdiam Memeluk bantal. Tak tergambarkan bagaimana sakitnya hatiku. Pengorbananku selma ini ternyata tak dlpernah dianggap. Bagi mereka, aku hanyalah mesin uang yang sewaktu-waktu bisa mereka singkirkan saat mereka telah mendapatkan apa yang mereka iginkan. Aku akan diam dan menunggu apa lagi yang akan mereka lakukan sebelum aku mengambil langkah lebih lanjut dan menghancurkan apa yang telah mereka susun.Ar mtaku jatuh. Tapi bukan karena lemah. Ini luka, tapi juga cambuk bagiku. Ini bukan akhirku. Kalau mereka ingin membuangku, aku akan pastikan mereka tak punya apa-apa untuk disombongkan. Malam ini aku tidur sebagai istri yang dikhianati. Tapi besok... aku akan bangun sebagai perempuan yang siap merebut kembali hidupnya. Dan semuanya dimulai dari sini.Aroma tumis buncis dan telur dadar menguar dari dapur. Ibu dan Mbok Nah sudah menyiapkan sarapan sejak subuh, sementara aku duduk di meja makan, menunggu Saka yang masih terlelap sambil menatap layar ponselku. Melihat beberapa detail kebutuhan andai aku memang berencana untuk membuka toko baru. sesuai dengan apa yang kusampaikan pada Fitri. "Suamimu belum bangun, Nada?" Ibu muncul sambil membawakanku secangkir teh hangat. Tangan ibu mengelus ranbutku yang terurai. "Belum bu!" Aku hanya menjawab pendek lalu menikmati teh melati yang kini ada di tanganku. "Beberapa hari ini, ibu mau ke Jogja. Ada tawaran untuk mengirim barang ke luar negeri dalam jumlah besar. Ibu mau pastikan sendiri kualitas batiknya. Kamu gak papa kan, ditemani Mbok Nah dulu?" Ibu duduk di depanku sambil menata hidangan di meja makan. "Hem, gak papa Bu. Aku juga santai beberapa hari ini. Ke klinik kalau insidentil aja. Dokter baru lumayan cekatan juga jadi bisa tenang!" Ibu mengangguk, "Syukurlah. Ata
Setelah puas ngobrol dengan Fitri. aku kembali pulang dengan mobil online. Tak kulihat mobil Saka di garasi, artinya Saka belum pulang. "Baru pulang. Nada?" Aku mengangguk saat ibu yang keluar menyambut. "Saka gak jemput?" Ibu menatap halaman lalu melihatku dengan tanda tanya. "Pagi tadi pamitnya mau lembur, Bu. Rumah sakit mau akreditasi!" jawabku sambil mencium tangan ibu dan kedua pipinya. "Kamu sendiri, kenapa sampai jam segini?" Ibu menjajari langkahku. "Tadi cuma sebentar di klinik, Bu. Sudah ada dua dokter yang bisa bantu jadi aku bisa lebih santai di masa kehamilan. Yang lama ngobrol sama Fitri!" Terangku panjang kali lebar. "Oh. begitu! Ya sudah, bersih-bersih dulu, ibu sama Mbok Nah mau siapin makan dulu!" aku mengangguk lalu masuk kamar. Setelah mandi dan mengganti pakaian, aku menyusul ibu dan Mbok Nah di ruang makan. Mataku mengedar sekitar. "Bu Asa mana, Bu?" Aku menuang teh hangat ke cangkir yang disodorkan Mbok Nah. "Mertuamu pamit pulang tad
Hari inii, jadwal Saka di rumah sakit Harapan Kita. Rumah sakit yang Delia wariskan untuk Saka yang arahnya melewati klinik gigiku, itu sebabnya aku berinisiatif untuk ikut mobil Saka. "Jangan banyak aktifitas, Nada!" Saka kembali mengingatkan saat berhenti di lampu merah. "Tenang saja. aku hanya ingin menyapa dokter baru di klinik. Setelahnya aku akan ke toko sebentar. Gak capek, kok!" Jawabku. Saka hanya memgangguk sambil tersenyum. "Kapan kontrol kehamilan?" Tanya Saka sambil kembali fokus menatap jalanan. Aku mengecek ponselku lalu msnatapnya kembali. "Beberapa hari lagi!" Saka mengantar sampai halaman klinik, meskipun ia sibuk dengan aktifitasnya di rumah sakit. Ia tak pernah lupa mengingatkanku tentang kehamikanku yang harus di jaga dengan ekstra. Baik.soal vitamin, atau janji rutin kontrol kehamilan. “Jangan terlalu banyak berdiri. Dan jangan sungkan untuk meminta mereka bantu kamu, ya,” katanya sambil mencubit pipiku ringan. “Iya, Dokter Saka yang cerewet,”
Sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, pagi ini adalah hari di mana Saka kembali dikukuhkan sebagai direktur di rumah sakit yang Delia wariskan. Banyak wajah lama yang menyambutnya dengan senyum haru, tapi tidak sedikit pula yang menatapnya dengan curiga. Ada rasa kaku yang belum sepenuhnya mencair. Mungkin karena desas desus yang pernah berhembus dan tak pernah ada yang mengklarifikasinya.“Direktur Saka… kami tak menyangka Anda akan kembali,” ujar Pak Rudi, salah satu anggota dewan, dengan senyum datar.Saka membalas dengan sopan. “Saya kembali bukan untuk mengulang masa lalu. Tapi jika kehadiran saya bisa membantu rumah sakit ini tumbuh lebih baik, maka saya bersedia.”Nada suaranya tenang, tapi aku bisa melihat ketegangan dari gerak tangannya yang menggenggam dokumen cukup erat. Ia selalu begitu. Memendam segala masalah dalam ketenangan.Setelah semua selesai, seorang wanita muda berambut sebahu menghampiriku. Wajahnya ramah, tapi sorot matanya tajam. Wanita yang sejak tadi k
Malamnya, kami makan malam seperti biasa. Hanya saja, kali ini berbeda karena ada Tante Asa yang turut makan bersama. Setelahnya, Mbok Nah lebih dulu undur diri untuk istirahat. Sementara aku, Saka, Ibu dan Tante Asa berkumpul di ruang tengah. “Ibu, Bu Rahma,” Saka memulai pelan, menatap dua perempuan penting dalam hidup kami. “Aku... ingin bicara soal tawaran keluarga Delia.” Ibu mengangguk tenang, sedang Tante Asa hanya menatap Saka dengan senyum lembut. Aku ikut duduk di sebelahnya, meraih tangan Saka, mencoba untuk memberi semangat. “Mereka memintaku kembali ke rumah sakit,” lanjutnya. “Mengembalikan posisiku sebagai direktur utama. Tapi aku tahu keputusan ini bukan hanya soal aku pribadi, tapi juga tentang kalian… tentang kita.” “Apa yang membuatmu ragu, Nak?” tanya Ibu mencoba untuk memahami pilihan Saka. Saka menunduk sebentar sebelum menjawab, “Aku takut dianggap memanfaatkan keadaan. Aku takut dianggap menggunakan perasaan keluarga Delia dan hanya menjadinya jembat
Sorenya, saat Saka datang, aku menceritakan kehadiran Sasi sambil menemaninya di ruang makan. Saka terlihat antusias meski berkali-kali kembali mengingatkanku untuk tidak menjalin kedekatan dengan Sasi. Bagaimanapun, kita tidak bisa mempercayainya mentah-mentah meskipun kesempatan untuk mereka tetap harus kita berikan. Aku hanya mengangguk sesekali waktu karena apa yang dikatakan Saka memang ada benarnya. Setiap kali Sasi datang, setelahnya pasti muncul masalah baru. Sesuai janjiku pada Sasi, aku segera menghubungi teman yang ada di dinas sosial dan untungnya, dia bersedia untuk datang ke alamat yang Sasi berikan. "Nada, Mas Saka ada tamu!" Mbok Nah yang ijin menyiram di depan tergopoh-gopoh masuk. "Siapa Mbok?" Tanyaku sambil membenahi pashmina dan daster panjangku. "Mas Bimo sama istrinya!" Mbok Nah tersenyum lalu berjalan ke belakang. Aku dan Saka saling pandang. "Bimo dan istrinya?" Setahuku Bimo ke luar negeri untuk profesinya. Aku dan Saka segera bergegas ke ru
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments