Dinara merasa harus memberi pelajaran khusus pada adik laki- laki kesayangannya. Remaja itu biasanya tak banyak tingkah dan bicara. Namun belakangan ini, terutama sejak kenal Sandi, surprisingly dia menjadi sosok yang oversharing. Sisi bagusnya, Dikta mulai terbuka tentang perasaannya. Tapi bagian paling menyebalkan adalah laki-laki itu terlihat seperti lebih mendukung Sandi. Selama ini ada banyak sekali 'kebetulan' yang sepertinya tidak murni kebetulan. Salah satunya info-info kecil seperti apakah Dinara sudah tidur, pukul berapa pulang dan semacamnya. Dalam tahapan ini, bisakah Dikta disebut sebagai mata- mata utusan Sandi Arsena? Dikta benar- benar adiknya, kan? Tapi mengapa laki- laki itu sepertinya lebih memihak pada tetangga sebelah? Terjadi lagi kamis sore kali ini sepulang kerja. Dinara terpaksa berada dalam sebuah supermarket bersama dengan Sandi setelah tiba- tiba saja lelaki itu muncul di parkiran perusahaan. Ulah siapa lagi kalau bukan Dikta? Manusia yang membocorkan inf
Memasak mungkin bukanlah perkara sulit untuk Dinara. Apalagi kalau hanya sebatas makanan sehari- hari yang tak perlu tatanan ala-ala fine dining. Menu malam ini adalah mie goreng spesial lengkap dengan sayuran, telur, udang, dan sosis. Wanginya yang semerbak langsung memanggil Dikta yang sedari tadi duduk manis menunggu di ruang makan. Dinara menyiapkan satu porsi penuh untuk adiknya yang masih dalam masa pertumbuhan itu. Tak lupa menggeser segelas air juga. Celingak-celinguk mencari presensi manusia lain, si pemilik permintaan. Sepulang dari supermarket tadi Sandi bilang akan ke rumahnya pukul delapan malam. Tapi hingga kini sudah hampir setengah sembilan dan laki- laki itu belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Meraih ponselnya diatas meja dan tak menemukan pesan dari Sandi sama sekali. Maka dari itu pada akhirnya Dinara sendiri yang berinisiatif untuk menekan dial panggilan kepada Sandi. Tersambung namun tak diangkat, Dinara awalnya memilih bodo amat. Dia mengambil sepa
Pukul tujuh malam usai Sandi Arsena mengantar Dinara pulang ke rumahnya. Laki-laki itu baru saja turun dari mobil ketika satu panggilan masuk dari ayahanda praktis membuatnya mengernyit di tempat. Oke sebelum membahas lebih jauh, perlu digarisbawahi bahwa sangat jarang sekali ayahnya ini menelpon ataupun bicara langsung secara empat mata pada putra sulungnya itu. Pertama, ayah Sandi itu termasuk yang sangat sangat sangat jarang berada di rumah. Kedua, kalaupun di rumah, ia akan lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerja. Kalaupun ada sesuatu, biasanya sang ayah akan mengutus ibunya untuk bicara dengan Sandi. Bukannya tak akur, ayah anak ini hanya berada dalam stase canggung. Mungkin karena Sandi benar-benar baru bisa bertemu ayahnya saat SMP dulu. Ayahnya sempat bertugas di benua lain sehingga Sandi nyaris tak pernah bertemu ayahnya sama sekali. Berbeda dengan Sean yang saat lahir pun sudah ditemani dan banyak dirawat langsung oleh ayahnya ini. "Halo, pa?"Bahkan terkadang, me
Setelah menandai satu per satu daftar pekerjaan yang telah ia selesaikan selama dua hari belakangan, Dinara akhirnya bisa bernafas sedikit lebih lega. Dia benar-benar menulis, mereview kembali, dan menyelesaikan semua pekerjaannya untuk minggu ini bahkan hingga yang tenggatnya minggu depan. Mulai senin kemarin dia lembur dan bahkan membawa pulang pekerjaan ke rumah ngebut menyelesaikannya hingga pukul empat pagi. Pengumuman penerimaan dan juga beasiswa sudah keluar. Puji tuhan, semua hasilnya bagus dan yang jelas Dinara bisa berangkat ke negara orang dua bulan lagi. Ada banyak yang perlu dia selesaikan dalam rangka mempersiapkan keberangkatannya. Dinara juga sudah menyerahkan surat permohonan resign. Ada sisa waktu satu bulan bagi gadis itu untuk tetap bekerja sebelum ia secara resmi berhenti bekerja. Agendanya untuk minggu ini akan sangat padat.Gadis itu sudah terjebak janji dengan ciwi-ciwi sobat masa SMA-nya untuk membantu Viviane survey lokasi pembukaan cabang butik keluargany
Kemacetan efek jam makan siang tak terhindarkan. Ditambah lagi ada proyek perbaikan jalan yang membuat laju kendaraan semakin melambat. Dinara mencuri kesempatan untuk touch up sedikit riasannya. Sebatas bedak padat dan sapuan lip cream untuk membuat penampilannya terlihat lebih proper. Dia tak sempat ganti baju atau apapun karena tadi begitu pekerjaannya selesai, gadis itu langsung meluncur keluar kantor meminta izin pulang kerja lebih dulu. Bahkan hingga selesai memastikan penampilannya, deretan mobil di depan masih belum bergerak satu senti pun. Gila deh ini macetnya. Dinara merogoh ponselnya untuk menghubungi Sean. Adik si wisudawan yang katanya hari ini hadir. Pantang baginya untuk menghubungi Dikta langsung karena seingatnya para wisudawan tidak boleh mengaktifkan ponsel selama prosesi. "Halo, acaranya udah selesai belum, dik?" Sean diseberang terdengar seperti berada di tengah hiruk pikuk keramaian. Remaja itu sepertinya perlu sedikit berteriak untuk menjawab Dina
Atmosfer canggung begitu kentara terasa. Dinara duduk tegak dengan senyum kecil yang masih berusaha mati-matian dia jaga. Satu meja dengan wanita lain yang secara terang- terangan menunjukkan ketertarikan pada Sandi Arsena membuatnya jelas kikuk. Apalagi gadis itu juga tahu Dinara kesana untuk lelaki yang sama. Kalau bukan karena ajakan Tante Sandra, Dinara akan menolak mentah- mentah makan siang canggung ini. Semua makanan dihadapannya seolah tak bisa dia telan dengan sempurna karena rasa mengganjal yang mengganggu."Jadi kalian tetangga, ya? Wah, pasti seru banget," celetuk gadis yang beberapa saat lalu Dinara ketahui bernama Selena. Oh, jadi ini 'Selena' anak teman mamanya Sandi yang kapan hari ceritanya mau dijodohkan dengan Sandi? Gadis itu cantik, bertubuh sedikit lebih pendek daripada Dinara dan punya eyesmile yang menawan. Tipikal everyone first crush karena kepribadiannya yang terlihat ceria menyenangkan. Dia cukup banyak bicara, terutama tentang kepindahannya dari Seattl
"Sean!"Tante Sandra mengejar langkah lebar putra bungsunya, meninggalkan tiga muda mudi sebaya yang masih diliputi suasana tegang. Selena memandang pilu Sean dan Tante Sandra yang sudah menjauh. Tak menyangka bahwa kedatangannya ini justru ditanggapi begini. Sangat jauh dari ekspektasinya. Dengan raut sedih, dia beralih menatap Sandi yang menghela nafas lelah. "Maaf, aku bikin hari bahagia kamu justru jadi begini," sesalnya. Sandi melengos tak menanggapi. Dia langsung meletakkan beberapa lembar uang di kantong bill. Dinara yang sedari tadi hanya diam karena tak paham memilih untuk tidak ikut campur. Dia meraih tas tangannya lalu hendak membiarkan dua orang itu untuk menyelesaikan masalah mereka. "Aku balik duluan!" ujarnya sambil beranjak. Sandi mencekal lengannya lalu justru menarik Dinara tanpa basa-basi. Meninggalkan Selena yang menatap cekalan tangan itu dengan perasaan campur aduk. Belum beberapa langkah, Selena kembali bersuara. "Tapi kamu tetap bisa kan bantu a
Sandi menilik sekitarnya yang terasa sedikit asing. Rungunya dapat menangkap jelas lagu dengan lirik berbahasa korea dilengkapi video klipnya yang tayang di layar besar. Kali ini dia duduk bersila di lantai dilengkapi meja kayu panjang persegi. Berhadapan langsung dengan gadis cantik yang sesekali menggumamkan lirik lagu yang terputar. Atribut wisudanya telah dilepas dan dititip di mobil Dinara. Tersisa kemeja hitam dengan lengan tergulung, celana kain hitam dan sepatu pantovel hitam yang diletakkan di depan pintu masuk. Setelah dari hotel tempat penyelenggaraan wisuda, Dinara justru memboyongnya masuk ke dalam rumah makan dengan konsep korea. Gadis itu bilang dia tidak bisa mengunyah dan menikmati makanan di rooftop dengan tenang tadi. Alhasil perutnya jelas keroncongan."Kita gak terlalu tua untuk makan disini, kan?" Sandi mengernyit saat menyadari beberapa orang disekitarnya masih berseragam putih abu atau bahkan remaja-remaja libur UN. Kontras dengan mereka yang datang de