Share

Putra Mahkota Dalam Raga Grawira

"Paduka Raja, Putra Mahkota Majafi itu putra pertama anda. Mengapa anda berkata seolah-olah dia bukan putra anda? Dia adalah penerus anda! Calon Raja di Wangsa Mahayana!"

"Penerus? Lalu apa yang bisa kulakukan jika penerusku sakit? Bahkan hampir menemui ajalnya?"

"Apa anda bilang?" tanya Ibunda Ratu dengan nada tidak percaya. 

"Ratu, sebenarnya aku tidak mau membahas masalah kesehatan Putra Mahkota Majafi disini. Apalagi banyak patih yang mendengarnya."

"Katakan saja, Paduka," tantang Ibunda Ratu tanpa rasa gentar. 

"Tugas Putra Mahkota Majafi banyak yang terbengkalai karena kondisinya saat ini. Jika aku tidak segera mencari penggantinya, maka bukan tidak mungkin urusan kerajaan makin tidak terurus. Oleh karena itu, aku mengutus Pangeran Wikrama secara sepihak untuk menggantikan posisi Putra Mahkota."

"Tapi Putra Mahkota Majafi masih bisa sembuh, Paduka! Dia masih ada harapan! Pangeran Wikrama cukup membantu anda meringankan tugas Putra Mahkota! Bukan menggantikanyya!" Ibunda Ratu terbawa emosi hingga bersuara sangat lantang.

"Jaga etikamu, Ratu!"

"Lagipula, Pangeran Wikrama belum menguasai banyak hal seperti Putra Mahkota Majafi. Dia tidak secakap Putra Mahkota memimpin rakyat!"

"Lalu apa yang mau kamu banggakan dari Putra Mahkota jika untuk membuka mata saja dia tidak bisa?"

"Itu tugas kita untuk mencarikan tabib terbaik, Paduka! Bukan terus mengurusi masalah kerajaan tapi melupakan calon penerus anda!"

"Cukup, Ratu! Kamu tidak sopan! Dan lagi Pangeran Wikrama itu juga putra kita! Dia bisa belajar dengan baik seiring bertambah usianya!"

"Tidak! Wangsa Mahayana bukanlah panggung sandiwara, Paduka! Pangeran Wikrama belum pantas memegang tahta itu!"

"Senang tidak senang, maka aku akan melantik Pangeran Wikrama tiga hari lagi."

"Anda akan melukai Putra Mahkota Majafi jika bertindak seperti ini, Paduka!"

"Aku dan Putra Mahkota tidak memiliki keselarasan dalam memimpin Wangsa Mahayana, Ratu. Berbeda dengan Pangeran Wikrama yang bisa membaca arah keinginanku."

Kepala Ibunda Ratu menggeleng tegas dengan ekspresi terluka.

"Seharusnya anda memprioritaskan Putra Mahkota yang sedang terbaring sakit agar segera sembuh. Bukan hanya menjenguknya sebanyak dua kali di Istana Paguhan. Ayah macam apa itu!?"

"Ratu, ucapanmu sudah keterlaluan! Pergi dari Istana Vasubandhu! Aku sedang mengurus masalah pemerintahan kerajaan! Bukan memikirkan orang sakit!"

"Tidak, Paduka! Saya akan disini sampai anda memerintahkan seseorang untuk mencari tabib dari perantauan sekalipun!"

"Jangan membuatku memanggil prajurit untuk membawamu keluar!"

Mendengar hal itu, dua dayang senior kepercayaan Ibunda Ratu membujuknya agar segera pergi sebelum amarah Paduka Raja makin menggila. Akhirnya dengan berlinang air mata dan penuh kehancuran, Ibunda Ratu keluar dari Istana Vasubandhu. 

Sedang jiwaku, masih berada di istana ini dengan hati berkecamuk. Paduka Raja tidak bersedih apalagi peduli dengan kondisiku. Dia seakan-akan ingin membiarkan aku mati perlahan agar Wikrama bisa naik tahta.

Apa tujuannya melakukan ini? 

Apa?

Tidak ada percakapan di luar konteks pemerintahan antara Paduka Raja dan para patih setelah Ibunda Ratu bertamu. Kemudian aku teringat akan ucapan Sri Dewa. 

"Empat puluh hari. Ya, empat puluh hari saja aku akan menguak segalanya."

Aku keluar dari istana dengan begitu cepatnya meski baru beberapa langkah saja. Kemudian menatap langit yang sedikit mendung lalu mencari kesana kemari sorot cahaya putih yang menjulang dari bumi hingga langit. 

"Dimana kamu cahaya?! Cepatlah ketemu!"

Aku harus segera menemukan cahaya lelaki yang mati suri itu sebelum waktuku makin habis. Kini, aku tidak lebih dari jiwa yang terombang ambing kesana kemari seperti perahu di tengah gulungan ombak laut. 

Beragam jiwa-jiwa yang tertolak untuk memasuki alam Rahyanta, atau alam dimana orang mati berkumpul, ternyata masih banyak yang berdiam di dunia. Mereka bersembunyi di tempat-tempat tertentu hingga membuatnya angker dengan penampakan yang mengerikan. 

Hingga matahari hampir terbenam dan sudah tidak terhitung lagi jauhnya aku dengan Wangsa Mahayana, akhirnya aku menemukan cahaya itu. Aku melangkah cepat dan menerabas tangan-tangan jiwa bergentayangan yang memintaku untuk tetap bersama mereka. 

Begitu sampai di sebuah rumah tempat sinar itu menjulang ke langit, aku menembus dinding rumah yang terbuat dari bambu. Mencari raga yang terbaring lemah itu. 

Jika saat aku mati suri, istana memperlakukanku dengan agung, bahkan tidak ada satu sampah pun disekitar kamarku. Berbeda dengan lelaki muda yang belum kuketahui namanya ini. Ia terbaring lemah dengan rambut berantakan, pakain lusuh, aroma kamar yang lembab, dan pengap. 

Ketika jiwaku menyentuh keningnya tiba-tiba seperti dialiri sesuatu lalu tertarik begitu saja ke dalam tubuhnya.

Aku terbatuk-batuk dan perlahan bisa membuka mata walau terasa berat. Seperti ada batu yang menahan seluruh raga pemuda ini.

"Aku ... berada di dalam tubuh orang lain?" gumamku.

Perlahan aku menggerakkan raga lelaki ini walau butuh waktu untuk membiasakannya. Seberat inikah menggerakkan raga yang telah lama mati suri?

Aku memandangi kedua tangan lalu menyentuh wajah. Seketika aku bisa merasakan gatal di rambut panjangnya yang berantakan dan bau mulut yang menyengat. 

"Sepertinya aku harus mandi."

Baru saja aku membuka tirai pintu kamar lelaki ini, dua orang paruh baya yang tidak kukenal itu menatap tubuh lelaki ini yang terisi oleh jiwaku dengan tatapan tidak percaya. 

"Ha ... hantu!!!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status