Home / Pendekar / Hamba Belum Mati, Paduka! / Putra Mahkota Dalam Raga Grawira

Share

Putra Mahkota Dalam Raga Grawira

Author: DAUN MUDA
last update Last Updated: 2023-04-28 21:46:09

"Paduka Raja, Putra Mahkota Majafi itu putra pertama anda. Mengapa anda berkata seolah-olah dia bukan putra anda? Dia adalah penerus anda! Calon Raja di Wangsa Mahayana!"

"Penerus? Lalu apa yang bisa kulakukan jika penerusku sakit? Bahkan hampir menemui ajalnya?"

"Apa anda bilang?" tanya Ibunda Ratu dengan nada tidak percaya. 

"Ratu, sebenarnya aku tidak mau membahas masalah kesehatan Putra Mahkota Majafi disini. Apalagi banyak patih yang mendengarnya."

"Katakan saja, Paduka," tantang Ibunda Ratu tanpa rasa gentar. 

"Tugas Putra Mahkota Majafi banyak yang terbengkalai karena kondisinya saat ini. Jika aku tidak segera mencari penggantinya, maka bukan tidak mungkin urusan kerajaan makin tidak terurus. Oleh karena itu, aku mengutus Pangeran Wikrama secara sepihak untuk menggantikan posisi Putra Mahkota."

"Tapi Putra Mahkota Majafi masih bisa sembuh, Paduka! Dia masih ada harapan! Pangeran Wikrama cukup membantu anda meringankan tugas Putra Mahkota! Bukan menggantikanyya!" Ibunda Ratu terbawa emosi hingga bersuara sangat lantang.

"Jaga etikamu, Ratu!"

"Lagipula, Pangeran Wikrama belum menguasai banyak hal seperti Putra Mahkota Majafi. Dia tidak secakap Putra Mahkota memimpin rakyat!"

"Lalu apa yang mau kamu banggakan dari Putra Mahkota jika untuk membuka mata saja dia tidak bisa?"

"Itu tugas kita untuk mencarikan tabib terbaik, Paduka! Bukan terus mengurusi masalah kerajaan tapi melupakan calon penerus anda!"

"Cukup, Ratu! Kamu tidak sopan! Dan lagi Pangeran Wikrama itu juga putra kita! Dia bisa belajar dengan baik seiring bertambah usianya!"

"Tidak! Wangsa Mahayana bukanlah panggung sandiwara, Paduka! Pangeran Wikrama belum pantas memegang tahta itu!"

"Senang tidak senang, maka aku akan melantik Pangeran Wikrama tiga hari lagi."

"Anda akan melukai Putra Mahkota Majafi jika bertindak seperti ini, Paduka!"

"Aku dan Putra Mahkota tidak memiliki keselarasan dalam memimpin Wangsa Mahayana, Ratu. Berbeda dengan Pangeran Wikrama yang bisa membaca arah keinginanku."

Kepala Ibunda Ratu menggeleng tegas dengan ekspresi terluka.

"Seharusnya anda memprioritaskan Putra Mahkota yang sedang terbaring sakit agar segera sembuh. Bukan hanya menjenguknya sebanyak dua kali di Istana Paguhan. Ayah macam apa itu!?"

"Ratu, ucapanmu sudah keterlaluan! Pergi dari Istana Vasubandhu! Aku sedang mengurus masalah pemerintahan kerajaan! Bukan memikirkan orang sakit!"

"Tidak, Paduka! Saya akan disini sampai anda memerintahkan seseorang untuk mencari tabib dari perantauan sekalipun!"

"Jangan membuatku memanggil prajurit untuk membawamu keluar!"

Mendengar hal itu, dua dayang senior kepercayaan Ibunda Ratu membujuknya agar segera pergi sebelum amarah Paduka Raja makin menggila. Akhirnya dengan berlinang air mata dan penuh kehancuran, Ibunda Ratu keluar dari Istana Vasubandhu. 

Sedang jiwaku, masih berada di istana ini dengan hati berkecamuk. Paduka Raja tidak bersedih apalagi peduli dengan kondisiku. Dia seakan-akan ingin membiarkan aku mati perlahan agar Wikrama bisa naik tahta.

Apa tujuannya melakukan ini? 

Apa?

Tidak ada percakapan di luar konteks pemerintahan antara Paduka Raja dan para patih setelah Ibunda Ratu bertamu. Kemudian aku teringat akan ucapan Sri Dewa. 

"Empat puluh hari. Ya, empat puluh hari saja aku akan menguak segalanya."

Aku keluar dari istana dengan begitu cepatnya meski baru beberapa langkah saja. Kemudian menatap langit yang sedikit mendung lalu mencari kesana kemari sorot cahaya putih yang menjulang dari bumi hingga langit. 

"Dimana kamu cahaya?! Cepatlah ketemu!"

Aku harus segera menemukan cahaya lelaki yang mati suri itu sebelum waktuku makin habis. Kini, aku tidak lebih dari jiwa yang terombang ambing kesana kemari seperti perahu di tengah gulungan ombak laut. 

Beragam jiwa-jiwa yang tertolak untuk memasuki alam Rahyanta, atau alam dimana orang mati berkumpul, ternyata masih banyak yang berdiam di dunia. Mereka bersembunyi di tempat-tempat tertentu hingga membuatnya angker dengan penampakan yang mengerikan. 

Hingga matahari hampir terbenam dan sudah tidak terhitung lagi jauhnya aku dengan Wangsa Mahayana, akhirnya aku menemukan cahaya itu. Aku melangkah cepat dan menerabas tangan-tangan jiwa bergentayangan yang memintaku untuk tetap bersama mereka. 

Begitu sampai di sebuah rumah tempat sinar itu menjulang ke langit, aku menembus dinding rumah yang terbuat dari bambu. Mencari raga yang terbaring lemah itu. 

Jika saat aku mati suri, istana memperlakukanku dengan agung, bahkan tidak ada satu sampah pun disekitar kamarku. Berbeda dengan lelaki muda yang belum kuketahui namanya ini. Ia terbaring lemah dengan rambut berantakan, pakain lusuh, aroma kamar yang lembab, dan pengap. 

Ketika jiwaku menyentuh keningnya tiba-tiba seperti dialiri sesuatu lalu tertarik begitu saja ke dalam tubuhnya.

Aku terbatuk-batuk dan perlahan bisa membuka mata walau terasa berat. Seperti ada batu yang menahan seluruh raga pemuda ini.

"Aku ... berada di dalam tubuh orang lain?" gumamku.

Perlahan aku menggerakkan raga lelaki ini walau butuh waktu untuk membiasakannya. Seberat inikah menggerakkan raga yang telah lama mati suri?

Aku memandangi kedua tangan lalu menyentuh wajah. Seketika aku bisa merasakan gatal di rambut panjangnya yang berantakan dan bau mulut yang menyengat. 

"Sepertinya aku harus mandi."

Baru saja aku membuka tirai pintu kamar lelaki ini, dua orang paruh baya yang tidak kukenal itu menatap tubuh lelaki ini yang terisi oleh jiwaku dengan tatapan tidak percaya. 

"Ha ... hantu!!!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Kepercayaan Tidak Penuh

    "Bagus!" gumamku lalu tersenyum puas ketika anak panah telah menancap sempurna di pohon pisang bidikanku. Lalu tangan kananku menarik tali kuda dan membuatnya berhenti perlahan. Begitu kepalaku menoleh ke arah dimana Rawati berdiri dan memperhatikan, dia hanya memandangku dengan tatapan banyak kebimbangan. Aku turun dari kuda lalu mengikatkan talinya ke salah satu pohon lalu mendekati Rawati. "Aku tidak memaksamu untuk percaya. Tapi tolong bantu aku. Tolong cari tahu kapan penobatan Pangeran Wikrama akan dilangsungkan." "Bagaimana kalau kamu ternyata seorang pengkhianat?" "Waktuku hanya empat puluh hari lagi. Jika dihitung dari sekarang, tersisa tiga puluh hari saja, Wati. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk berbohong. Lihat saat hari keempat puluh nanti. Raga yang kudiami ini akan kembali menjadi sosok Grawira yang sebenarnya. Aku meminta tolong padamu, Rawati." Kemudian aku berbalik menuju kuda untuk mencari strategi baru bagaimana cara menguak rahasia mati suri yang kualam

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Berkuda Sekaligus Memanah

    "Ampun, Baginda Raja! Saya hanya mengingatkan. Dari pada nanti akan terjadi kudeta seperti Wangsa Samara hingga membuat sang raja dihabisi oleh rakyatnya." Aku memberanikan diri sedikit mendongak untuk melihat raut wajah Baginda Raja, ayahku. Terlihat dia begitu kesal dengan bibir mengerucut dan alis menukik tajam. Lalu Pangeran Wikrama membisikkan sesuatu di telinga Baginda Raja kemudian beliau mengangguk kecil. Ekspresinya sedikit mengendur ketika mendapat bisikan kecil dari Pangeran Wikrama. Entah apa yang adikku itu katakan hingga Baginda Raja menurut. Beliau mengambil nafas sebanyak mungkin lalu menghembuskannya kasar dihadapan para patih yang duduk dihadapannya. "Baiklah, kita tunda seperti rencana awal." Aku ikut melega mendengar keputusan Baginda Raja karena setidaknya aku bisa menyusun rencana selanjutnya. Setidaknya aku harus tahu secara pasti kapan tanggal penobatan Pangeran Wikrama. Begitu acara usai, aku segera menuruni tangga lebih dulu lalu bergerak cepat mening

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Titisan Dewa Yang Tidak Bisa Menjadi Panutan

    Setelah mendapat informasi kapan Pangeran Wikrama akan dilantik menjadi putra mahkota, aku tidak kembali ke istana tempat ragaku terbaring lemah. Juga tidak tega jika harus kembali ke sana tapi melihat Putri Mahkota Kayuwangi bersedih hati, namun aku juga sangat ingin tahu bagaimana kabar ketiga putraku. Calon penerusku. Bertepatan dengan langkah yang terasa berat ini, aku melihat rombongan para menteri menuju istana yang ditempati Baginda Raja. Aku hafal wajah dan nama mereka satu demi satu karena setiap kali Baginda Raja melakukan perkumpulan di setiap pagi hari, aku duduk di sebelah Baginda Raja menatap para menteri yang bergelar patih itu. Dengan sigap, aku urung melangkah kembali ke istanaku, melainkan bersembunyi di dekat bangunan yang ada di dekat dapur istana. "Apa yang akan mereka lakukan malam-malam begini ke kediaman Baginda Raja? Apa yang akan mereka bicarakan? Apa ada pembicaraan penting yang sifatnya mendadak?" gumamku sendiri. Kemudian aku makin melangkah mundur

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Saatnya Bergerak!

    "Pergi kamu dari istanaku, Pangeran Wikrama! Jangan pernah meletakkan kakimu lagi di istana ini!" Pekikan Putri Mahkota Kayuwangi terdengar menggema di pelataran istana yang biasa kutinggali dengannya saat raga ini masih sehat. Ia tengah berhadap-hadapan dengan Pangeran Wikrama yang berdiri tinggi menjulang dengan tubuh gagah dan tangan mengepal. Pakaian indah khas anggota kerajaan yang melekat di tubuh dan mahkota kecil dengan bermatakan intan serta berlapiskan emas yang tersunggi di atas kepalanya, nampak memantulkan sinar rembulan di malam ini. Menjadikannya sosok yang terlihat agung untuk dipuja. Di belakang Pangeran Wikrama ada lima prajurit berpakaian kurang lebih sama denganku, tengah berdiri dengan membawa gulungan kain dan tikar. Untuk apa? "Kamu hanya menantu di Istana Mahayana, Putri Mahkota! Jadi, tidak perlu bersikap jagoan akan melawanku yang jelas-jelas adalah keturunan dari kerajaan ini!" ucapnya tegas. "Walau aku menantu, tapi ini adalah istanaku dengan Putra

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Aku Ini Putra Mahkota Majafi

    "Aku menagih janjimu, Wira. Baru aku akan menjawab pertanyaanmu yang lain," Rawati berucap dengan sungguh-sungguh.Kedua mata bulatnya menatapku tanpa ragu dengan anak rambutnya yang terlepas dari ikatan lalu tertiup semilir angin.Kurasa tidak masalah jika mengatakan kenyataan yang sebenarnya tentang jati diri ini. Dan berharap Rawati percaya dan tetap membantuku. Setelah membetulkan posisi duduk bersilaku di atas saung yang dibangun dari potongan bambu dan beratap jerami, aku membalas tatapan Rawati dengan sama lekatnya. "Aku bukan Grawira.""Bukan Grawira? Apa maksudmu? Kamu pemberontak?" tanyanya dengan kedua alis berkerut dan mata menyipit. "Bukan," ucapku dengan gelengan kepala tegas."Lalu, siapa dan apa tujuanmu?" tanyanya lebih menuntut dengan tatapan makin tajam. Setelah menghela nafas panjang dengan tatapan tak lekang dari wajah Rawati, aku kembali membuka suara."Aku ingin menggagalkan penobatan Pangeran Wikrama yang akan dijadikan sebagai putra mahkota Wangsa Mahayana.

  • Hamba Belum Mati, Paduka!    Setelah Kamu Memenuhi Janji

    Betapa terkejut neneknya Rawati yang bernama Narti karena mendapatiku pulang ke gubuk dengan pakaian prajurit Istana Mahayana. Meski beliau tidak lagi muda namun ingatannya tidak mungkin salah karena tadi siang saat aku pergi dari gubuk masih mengenakan baju rumahan berlengan panjang. "Ya Dewa! Kenapa kamu bisa memakai seragam prajurit, Wira?" "Aku ... bekerja untuk istana, Nek. Tapi, tolong nenek jangan bilang pada siapapun ya? Aku ... malu." Malu hanyalah senjata bagiku agar Nenek Narti tidak mengatakan hal ini pada tetangga. Aku hanya tidak mau ada yang mengendus perbuatan burukku dengan melucuti pakaian prajurit itu dan meninggalkannya di semak-semak. Setidaknya, tidak boleh ada yang mengendus gerak-gerik ini sebelum tiba saatnya aku menggagalkan penobatan Pangeran Wikrama. "Nek, berjanjilah padaku untuk menyembunyikan hal ini dari tetangga," pintaku. "Kenapa harus disembunyikan? Bukannya pekerjaan sebagai prajurit istana itu adalah derajat yang terhormat karena bisa melay

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status