Share

Roh Yang Berkelana

Setelah jiwaku menyatu jadi satu dan dapat berdiri di hadapan Sri Dewa yang lebih tinggi, besar, dan gagah, aku kembali bersuara. 

"Apa syaratnya agar kematianku ditangguhkan, Sri Dewa?"

"Kamu hanya bisa memasuki satu tubuh lelaki yang bernasib sama denganmu, Putra Mahkota."

"Sama-sama mengalami mati suri begitukah maksudnya?"

"Ya. Carilah di seluruh pelosok negeri ini dan itu tidak sulit. Karena setiap jiwa yang mengalami mati suri pasti memancarkan sinar putih yang menembus langit. Hanya saja tergantung dirimu bersedia masuk ke dalam raga itu atau tidak."

"Maksudnya?"

"Sebelum engkau lahir, Ratu Ghiya begitu patuh pada protokol kerajaan tentang tata cara menjaga kehamilannya. Terlebih ketika kehamilannya memasuki bulan kelima dan mendapati janin yang dikandung berjenis kelamin laki-laki. Kamu diperlakukan dengan begitu mulia bahkan plasentamu sengaja diabadikan di puncak Gunung Kaung yang dingin dan agung."

"Lalu sekarang, ketika aku menangguhkan kematianmu, dan memberimu kesempatan untuk masuk ke dalam raga laki-laki biasa, bahkan dari keluarga yang tidak menyayanginya, sering diperlakukan tidak manusiawi, apa kamu mau menjalaninya?"

Aku berpikir sejenak untuk memutuskan yang terbaik. Karena pada dasarnya aku tidak terbiasa hidup dengan kondisi seperti itu. Tapi, melihat sikap Paduka Raja Dewasingha yang begitu santai menanggapi keadaanku yang tidak sehat, memangnya apa lagi yang bisa kulakukan selain menerima satu-satunya jalan ini?

"Kenapa kamu masih berpikir, Putra Mahkota? Apa kamu tidak sanggup hidup sengsara? Bukankah kamu berniat ingin hidup lebih lama untuk menyelamatkan masyarakatmu dari kepemimpinan Wikrama dan mengungkap alasan kematianmu?"

"Bukan begitu, Sri Dewa. Hanya saja, mengapa aku tidak engkau kembalikan ke ragaku sendiri?"

"Lebih dari setengah tubuh bagian dalammu telah rusak, Putra Mahkota. Walau aku mengembalikan jiwamu ke dalam ragamu sendiri, kamu tetap tidak akan bisa membuka mata apalagi berdiri untuk melawan. Jadi, usahamu untuk membongkar kematianmu tidak akan pernah terjadi."

Aku tercengang mendengar penuturan Sri Dewa. Itu artinya, aku benar-benar harus mati dan hanya ini satu-satunya jalan keluar. 

"Aku membebaskan jiwamu, Putra Mahkota. Pergilah sebelum langit mengetahui segalanya."

Jurang yang tadinya berada di belakangku berubah menjadi sebuah pintu besar dengan cahaya yang menyilaukan. 

"Empat puluh hari saja aku memberimu penangguhan kematian, Putra Mahkota Majafi," ucap Sri Dewa tegas dengan jubah hitam yang menakutkan.

"Terima kasih, Sri Dewa. Aku akan menggunakan waktu singkat itu untuk menguak misteri siapa yang telah membuat aku mati suri, menyelamatkan masyarakatku dari kekuasaan yang semena-mena, dan ketiga penerusku."

Aku membungkuk hormat padanya lalu secepat mungkin berlari menuju pintu itu. Jiwaku yang awalnya terasa dingin tiba-tiba berubah hangat. Kakiku terus berlari di sepanjang lorong pintu itu hingga aku mencapai titik pemisah antara dunia kematian dengan alam kehidupan. 

Tiba-tiba saja aku berada di dekat ragaku yang tertidur pulas dengan selimut tebal yang melapisi tubuhku. Tabib Pajangka dan timnya berada di samping tubuhku untuk meminumkan sedikit demi sedikit ramuan hitam yang kupercaya digunakan untuk mengembalikan kesehatanku. 

"Bagaimana, Tabib?" tanya Putri Mahkota Kayuwangi, istriku.

"Putra Mahkota tidak bisa menelan cairan ramuan ini, Putri Mahkota," ucapnya sendu.

Lalu tangis Putri Mahkota terdengar begitu menyayat hati, "Putra Mahkota, aku mohon buka matamu. Lihatlah ketiga anak kita, mereka membutuhkanmu. Aku mohon jangan tinggalkan kami!"

Dia memeluk tubuhku yang terbaring tak berdaya. Aku bisa melihat ketulusan cintanya padaku sejak kami bertemu di usia yang masih sangat belia. 

Aku dan Putri Mahkota Kayuwangi menikah ketika usia kami sama-sama tiga belas tahun. Lalu tiga tahun kemudian, ketika ia mendapatkan datang bulan pertamanya, istana memberiku pelajaran tentang sistem reproduksi.

Dua bulan setelah datang bulan pertamanya, dia dinyatakan mengandung keturunanku. Di tahun berikutnya, ia mengandung keturunanku yang kedua. Dan di tahun berikutnya, ia mengandung lagi keturunanku yang ketiga. 

Dan ketika ketiga putra kami masih sangat kecil, saat aku masih berusia dua puluh tahun, kejadian naas ini merenggut nyawaku. 

Tanganku mencoba untuk mengusap rambutnya namun gagal sedang hatiku terasa begitu hancur. Sadar jika kini jiwaku telah terlepas dari raga yang belum sepenuhnya mati. 

"Jangan bersedih, Putri Mahkota. Baginda Ratu berpesan agar kita harus kuat."

Mendengar nama Ibunda Ratu disebut, aku pun ingat jika tadi beliau pergi bersama kedua dayangnya ke istana utama tempat Paduka Raja memerintah Wangsa Mahayana. Aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan.

Rasanya baru dua kali melangkah, tapi jiwaku sudah berada di dalam Istana Vasubandhu. Cepat sekali!

Disana, Paduka Raja memakai mahkota utuh yang terbuat dari emas dengan intan berkilau, jubah kebesaran yang dirajut dari kain sutra berserta ornamen-ornamen antik. Beliau sedang menerima laporan dari para patih yang bekerja sesuai tugasnya.

Tidak lama berselang datanglah Ibunda Ratu dengan pakaian kerajaan yang indah dan mewah, mengenakan mahkota, dan diikuti kedua dayang kepercayaannya. 

Ibunda Ratu terus melangkah. Tidak peduli jika harus datang saat Paduka Raja sedang menjalankan tugas pemerintahan. Padahal dalam tata krama kerajaan, jika ingin menemui Paduka Raja hanya boleh setelah beliau mengatakan kesediaannya. 

Dengan langkah berani dan tatapan seriusnya Ibunda Ratu menapaki undakan demi undakan Istana Vasubandhu, istana yang dikhususkan untuk membahas pemerintahan Wangsa Mahayana. Lalu semua patih menoleh karena kedatangan Ibunda Ratu. 

"Selamat pagi, Paduka Raja Dewasingha." Ibunda Ratu memberi salam hormat. "Hamba ingin berbicara hal penting dan tidak bisa ditangguhkan."

"Ratu, kita bisa berbicara setelah urusan kerajaan selesai."

"Maaf, Paduka. Saya tidak mau menunggu, dan biarlah para patih mendengarnya."

"Ratu, engkau melanggar tata krama kerajaan."

"Kali ini saya datang sebagai Ibu dari Putra Mahkota Majafi, Paduka. Bukan sebagai Ratu Ghiya. Dan saya tidak peduli dengan tata krama jika itu menyangkut hidup putra saya."

Bukannya simpati mendengar ucapan Ibunda Ratu, justru Paduka Raja tersenyum remeh lalu berucap, "Jangan membahas Putra Mahkota yang sudah sekarat, Ratu. Putramu yang lain masih banyak."

Apa maksudnya beliau berucap begitu? Senangkah dia melihatku mati? Kenapa?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status