Share

Roh Yang Berkelana

Penulis: DAUN MUDA
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-28 21:45:35

Setelah jiwaku menyatu jadi satu dan dapat berdiri di hadapan Sri Dewa yang lebih tinggi, besar, dan gagah, aku kembali bersuara. 

"Apa syaratnya agar kematianku ditangguhkan, Sri Dewa?"

"Kamu hanya bisa memasuki satu tubuh lelaki yang bernasib sama denganmu, Putra Mahkota."

"Sama-sama mengalami mati suri begitukah maksudnya?"

"Ya. Carilah di seluruh pelosok negeri ini dan itu tidak sulit. Karena setiap jiwa yang mengalami mati suri pasti memancarkan sinar putih yang menembus langit. Hanya saja tergantung dirimu bersedia masuk ke dalam raga itu atau tidak."

"Maksudnya?"

"Sebelum engkau lahir, Ratu Ghiya begitu patuh pada protokol kerajaan tentang tata cara menjaga kehamilannya. Terlebih ketika kehamilannya memasuki bulan kelima dan mendapati janin yang dikandung berjenis kelamin laki-laki. Kamu diperlakukan dengan begitu mulia bahkan plasentamu sengaja diabadikan di puncak Gunung Kaung yang dingin dan agung."

"Lalu sekarang, ketika aku menangguhkan kematianmu, dan memberimu kesempatan untuk masuk ke dalam raga laki-laki biasa, bahkan dari keluarga yang tidak menyayanginya, sering diperlakukan tidak manusiawi, apa kamu mau menjalaninya?"

Aku berpikir sejenak untuk memutuskan yang terbaik. Karena pada dasarnya aku tidak terbiasa hidup dengan kondisi seperti itu. Tapi, melihat sikap Paduka Raja Dewasingha yang begitu santai menanggapi keadaanku yang tidak sehat, memangnya apa lagi yang bisa kulakukan selain menerima satu-satunya jalan ini?

"Kenapa kamu masih berpikir, Putra Mahkota? Apa kamu tidak sanggup hidup sengsara? Bukankah kamu berniat ingin hidup lebih lama untuk menyelamatkan masyarakatmu dari kepemimpinan Wikrama dan mengungkap alasan kematianmu?"

"Bukan begitu, Sri Dewa. Hanya saja, mengapa aku tidak engkau kembalikan ke ragaku sendiri?"

"Lebih dari setengah tubuh bagian dalammu telah rusak, Putra Mahkota. Walau aku mengembalikan jiwamu ke dalam ragamu sendiri, kamu tetap tidak akan bisa membuka mata apalagi berdiri untuk melawan. Jadi, usahamu untuk membongkar kematianmu tidak akan pernah terjadi."

Aku tercengang mendengar penuturan Sri Dewa. Itu artinya, aku benar-benar harus mati dan hanya ini satu-satunya jalan keluar. 

"Aku membebaskan jiwamu, Putra Mahkota. Pergilah sebelum langit mengetahui segalanya."

Jurang yang tadinya berada di belakangku berubah menjadi sebuah pintu besar dengan cahaya yang menyilaukan. 

"Empat puluh hari saja aku memberimu penangguhan kematian, Putra Mahkota Majafi," ucap Sri Dewa tegas dengan jubah hitam yang menakutkan.

"Terima kasih, Sri Dewa. Aku akan menggunakan waktu singkat itu untuk menguak misteri siapa yang telah membuat aku mati suri, menyelamatkan masyarakatku dari kekuasaan yang semena-mena, dan ketiga penerusku."

Aku membungkuk hormat padanya lalu secepat mungkin berlari menuju pintu itu. Jiwaku yang awalnya terasa dingin tiba-tiba berubah hangat. Kakiku terus berlari di sepanjang lorong pintu itu hingga aku mencapai titik pemisah antara dunia kematian dengan alam kehidupan. 

Tiba-tiba saja aku berada di dekat ragaku yang tertidur pulas dengan selimut tebal yang melapisi tubuhku. Tabib Pajangka dan timnya berada di samping tubuhku untuk meminumkan sedikit demi sedikit ramuan hitam yang kupercaya digunakan untuk mengembalikan kesehatanku. 

"Bagaimana, Tabib?" tanya Putri Mahkota Kayuwangi, istriku.

"Putra Mahkota tidak bisa menelan cairan ramuan ini, Putri Mahkota," ucapnya sendu.

Lalu tangis Putri Mahkota terdengar begitu menyayat hati, "Putra Mahkota, aku mohon buka matamu. Lihatlah ketiga anak kita, mereka membutuhkanmu. Aku mohon jangan tinggalkan kami!"

Dia memeluk tubuhku yang terbaring tak berdaya. Aku bisa melihat ketulusan cintanya padaku sejak kami bertemu di usia yang masih sangat belia. 

Aku dan Putri Mahkota Kayuwangi menikah ketika usia kami sama-sama tiga belas tahun. Lalu tiga tahun kemudian, ketika ia mendapatkan datang bulan pertamanya, istana memberiku pelajaran tentang sistem reproduksi.

Dua bulan setelah datang bulan pertamanya, dia dinyatakan mengandung keturunanku. Di tahun berikutnya, ia mengandung keturunanku yang kedua. Dan di tahun berikutnya, ia mengandung lagi keturunanku yang ketiga. 

Dan ketika ketiga putra kami masih sangat kecil, saat aku masih berusia dua puluh tahun, kejadian naas ini merenggut nyawaku. 

Tanganku mencoba untuk mengusap rambutnya namun gagal sedang hatiku terasa begitu hancur. Sadar jika kini jiwaku telah terlepas dari raga yang belum sepenuhnya mati. 

"Jangan bersedih, Putri Mahkota. Baginda Ratu berpesan agar kita harus kuat."

Mendengar nama Ibunda Ratu disebut, aku pun ingat jika tadi beliau pergi bersama kedua dayangnya ke istana utama tempat Paduka Raja memerintah Wangsa Mahayana. Aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan.

Rasanya baru dua kali melangkah, tapi jiwaku sudah berada di dalam Istana Vasubandhu. Cepat sekali!

Disana, Paduka Raja memakai mahkota utuh yang terbuat dari emas dengan intan berkilau, jubah kebesaran yang dirajut dari kain sutra berserta ornamen-ornamen antik. Beliau sedang menerima laporan dari para patih yang bekerja sesuai tugasnya.

Tidak lama berselang datanglah Ibunda Ratu dengan pakaian kerajaan yang indah dan mewah, mengenakan mahkota, dan diikuti kedua dayang kepercayaannya. 

Ibunda Ratu terus melangkah. Tidak peduli jika harus datang saat Paduka Raja sedang menjalankan tugas pemerintahan. Padahal dalam tata krama kerajaan, jika ingin menemui Paduka Raja hanya boleh setelah beliau mengatakan kesediaannya. 

Dengan langkah berani dan tatapan seriusnya Ibunda Ratu menapaki undakan demi undakan Istana Vasubandhu, istana yang dikhususkan untuk membahas pemerintahan Wangsa Mahayana. Lalu semua patih menoleh karena kedatangan Ibunda Ratu. 

"Selamat pagi, Paduka Raja Dewasingha." Ibunda Ratu memberi salam hormat. "Hamba ingin berbicara hal penting dan tidak bisa ditangguhkan."

"Ratu, kita bisa berbicara setelah urusan kerajaan selesai."

"Maaf, Paduka. Saya tidak mau menunggu, dan biarlah para patih mendengarnya."

"Ratu, engkau melanggar tata krama kerajaan."

"Kali ini saya datang sebagai Ibu dari Putra Mahkota Majafi, Paduka. Bukan sebagai Ratu Ghiya. Dan saya tidak peduli dengan tata krama jika itu menyangkut hidup putra saya."

Bukannya simpati mendengar ucapan Ibunda Ratu, justru Paduka Raja tersenyum remeh lalu berucap, "Jangan membahas Putra Mahkota yang sudah sekarat, Ratu. Putramu yang lain masih banyak."

Apa maksudnya beliau berucap begitu? Senangkah dia melihatku mati? Kenapa?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Kepercayaan Tidak Penuh

    "Bagus!" gumamku lalu tersenyum puas ketika anak panah telah menancap sempurna di pohon pisang bidikanku. Lalu tangan kananku menarik tali kuda dan membuatnya berhenti perlahan. Begitu kepalaku menoleh ke arah dimana Rawati berdiri dan memperhatikan, dia hanya memandangku dengan tatapan banyak kebimbangan. Aku turun dari kuda lalu mengikatkan talinya ke salah satu pohon lalu mendekati Rawati. "Aku tidak memaksamu untuk percaya. Tapi tolong bantu aku. Tolong cari tahu kapan penobatan Pangeran Wikrama akan dilangsungkan." "Bagaimana kalau kamu ternyata seorang pengkhianat?" "Waktuku hanya empat puluh hari lagi. Jika dihitung dari sekarang, tersisa tiga puluh hari saja, Wati. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk berbohong. Lihat saat hari keempat puluh nanti. Raga yang kudiami ini akan kembali menjadi sosok Grawira yang sebenarnya. Aku meminta tolong padamu, Rawati." Kemudian aku berbalik menuju kuda untuk mencari strategi baru bagaimana cara menguak rahasia mati suri yang kualam

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Berkuda Sekaligus Memanah

    "Ampun, Baginda Raja! Saya hanya mengingatkan. Dari pada nanti akan terjadi kudeta seperti Wangsa Samara hingga membuat sang raja dihabisi oleh rakyatnya." Aku memberanikan diri sedikit mendongak untuk melihat raut wajah Baginda Raja, ayahku. Terlihat dia begitu kesal dengan bibir mengerucut dan alis menukik tajam. Lalu Pangeran Wikrama membisikkan sesuatu di telinga Baginda Raja kemudian beliau mengangguk kecil. Ekspresinya sedikit mengendur ketika mendapat bisikan kecil dari Pangeran Wikrama. Entah apa yang adikku itu katakan hingga Baginda Raja menurut. Beliau mengambil nafas sebanyak mungkin lalu menghembuskannya kasar dihadapan para patih yang duduk dihadapannya. "Baiklah, kita tunda seperti rencana awal." Aku ikut melega mendengar keputusan Baginda Raja karena setidaknya aku bisa menyusun rencana selanjutnya. Setidaknya aku harus tahu secara pasti kapan tanggal penobatan Pangeran Wikrama. Begitu acara usai, aku segera menuruni tangga lebih dulu lalu bergerak cepat mening

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Titisan Dewa Yang Tidak Bisa Menjadi Panutan

    Setelah mendapat informasi kapan Pangeran Wikrama akan dilantik menjadi putra mahkota, aku tidak kembali ke istana tempat ragaku terbaring lemah. Juga tidak tega jika harus kembali ke sana tapi melihat Putri Mahkota Kayuwangi bersedih hati, namun aku juga sangat ingin tahu bagaimana kabar ketiga putraku. Calon penerusku. Bertepatan dengan langkah yang terasa berat ini, aku melihat rombongan para menteri menuju istana yang ditempati Baginda Raja. Aku hafal wajah dan nama mereka satu demi satu karena setiap kali Baginda Raja melakukan perkumpulan di setiap pagi hari, aku duduk di sebelah Baginda Raja menatap para menteri yang bergelar patih itu. Dengan sigap, aku urung melangkah kembali ke istanaku, melainkan bersembunyi di dekat bangunan yang ada di dekat dapur istana. "Apa yang akan mereka lakukan malam-malam begini ke kediaman Baginda Raja? Apa yang akan mereka bicarakan? Apa ada pembicaraan penting yang sifatnya mendadak?" gumamku sendiri. Kemudian aku makin melangkah mundur

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Saatnya Bergerak!

    "Pergi kamu dari istanaku, Pangeran Wikrama! Jangan pernah meletakkan kakimu lagi di istana ini!" Pekikan Putri Mahkota Kayuwangi terdengar menggema di pelataran istana yang biasa kutinggali dengannya saat raga ini masih sehat. Ia tengah berhadap-hadapan dengan Pangeran Wikrama yang berdiri tinggi menjulang dengan tubuh gagah dan tangan mengepal. Pakaian indah khas anggota kerajaan yang melekat di tubuh dan mahkota kecil dengan bermatakan intan serta berlapiskan emas yang tersunggi di atas kepalanya, nampak memantulkan sinar rembulan di malam ini. Menjadikannya sosok yang terlihat agung untuk dipuja. Di belakang Pangeran Wikrama ada lima prajurit berpakaian kurang lebih sama denganku, tengah berdiri dengan membawa gulungan kain dan tikar. Untuk apa? "Kamu hanya menantu di Istana Mahayana, Putri Mahkota! Jadi, tidak perlu bersikap jagoan akan melawanku yang jelas-jelas adalah keturunan dari kerajaan ini!" ucapnya tegas. "Walau aku menantu, tapi ini adalah istanaku dengan Putra

  • Hamba Belum Mati, Paduka!   Aku Ini Putra Mahkota Majafi

    "Aku menagih janjimu, Wira. Baru aku akan menjawab pertanyaanmu yang lain," Rawati berucap dengan sungguh-sungguh.Kedua mata bulatnya menatapku tanpa ragu dengan anak rambutnya yang terlepas dari ikatan lalu tertiup semilir angin.Kurasa tidak masalah jika mengatakan kenyataan yang sebenarnya tentang jati diri ini. Dan berharap Rawati percaya dan tetap membantuku. Setelah membetulkan posisi duduk bersilaku di atas saung yang dibangun dari potongan bambu dan beratap jerami, aku membalas tatapan Rawati dengan sama lekatnya. "Aku bukan Grawira.""Bukan Grawira? Apa maksudmu? Kamu pemberontak?" tanyanya dengan kedua alis berkerut dan mata menyipit. "Bukan," ucapku dengan gelengan kepala tegas."Lalu, siapa dan apa tujuanmu?" tanyanya lebih menuntut dengan tatapan makin tajam. Setelah menghela nafas panjang dengan tatapan tak lekang dari wajah Rawati, aku kembali membuka suara."Aku ingin menggagalkan penobatan Pangeran Wikrama yang akan dijadikan sebagai putra mahkota Wangsa Mahayana.

  • Hamba Belum Mati, Paduka!    Setelah Kamu Memenuhi Janji

    Betapa terkejut neneknya Rawati yang bernama Narti karena mendapatiku pulang ke gubuk dengan pakaian prajurit Istana Mahayana. Meski beliau tidak lagi muda namun ingatannya tidak mungkin salah karena tadi siang saat aku pergi dari gubuk masih mengenakan baju rumahan berlengan panjang. "Ya Dewa! Kenapa kamu bisa memakai seragam prajurit, Wira?" "Aku ... bekerja untuk istana, Nek. Tapi, tolong nenek jangan bilang pada siapapun ya? Aku ... malu." Malu hanyalah senjata bagiku agar Nenek Narti tidak mengatakan hal ini pada tetangga. Aku hanya tidak mau ada yang mengendus perbuatan burukku dengan melucuti pakaian prajurit itu dan meninggalkannya di semak-semak. Setidaknya, tidak boleh ada yang mengendus gerak-gerik ini sebelum tiba saatnya aku menggagalkan penobatan Pangeran Wikrama. "Nek, berjanjilah padaku untuk menyembunyikan hal ini dari tetangga," pintaku. "Kenapa harus disembunyikan? Bukannya pekerjaan sebagai prajurit istana itu adalah derajat yang terhormat karena bisa melay

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status