Dunia persilatan selalu penuh dengan dendam. Bahkan meski tinggal jiwanya saja, beberapa pendekar tetap memiliki api dendam membara. Itulah yang dialami pendekar tua bernama Wangun Genta Pati. Dia harus menemukan tubuh untuk dijadikan tempat reinkarnasi.Seorang bayi tidak beruntung dilahirkan dari rahim perempuan tua sekarat. Namanya Wangsa, seorang pemuda dengan hati dan jiwa yang bersih.Namun sayang, tubuhnya terpilih jadi wadah balas dendam Wangun Genta Pati. Perseteruan dua jiwa satu tubuh semakin keruh dan dari sinilah petualangan Wangsa dimulai. Apa Arya berhasil meredam dendam Wangun Genta Pati, atau malah ikut terbakar api balas dendam yang membara?Cover : pinterest
View MoreDi tengah pedesaan di sebuah negeri yang jauh dari kata damai, terlihat sepasang suami istri berkehidupan serba kekurangan.
Setiap hari mereka hanya menggantungkan hidup dari hasil pertanian seadanya. Itu pun milik seorang hartawan penguasa negeri tersebut.
Sebut saja dia Kumbang Lana, hartawan sombong yang selalu bersikap semena-mena terhadap orang yang tidak punya. Siapa pun tidak berani melawannya.
Selain kaya raya, dia juga memiliki kemampuan bela diri yang cukup tinggi. Beberapa bandit pernah mencoba merampok harta miliknya. Tetapi mereka gagal setelah mendapatkan perlawanan darinya.
Dengan demikian orang-orang desa hanya bisa mematuhi perkataannya. Kalau tidak nyawa mereka bisa terancam karenanya.
Di tengah kesengsaraan yang melanda, Kumbang Lana seolah menjadi dewa. Berkuasa atas segala hak juga kebebasan orang desa. Setiap hari warga desa harus mengurus pertanian miliknya.
Tidak terkecuali Gendis dan suaminya Wira. Ketidak -berdayaan membuat mereka terpaksa pergi pagi pulang sore dengan gaji yang jauh dari kata memuaskan.
Tidak jarang Wira merasa kasihan pada istrinya yang tengah mengandung anak pertama mereka.
"Dis, Akang minta maaf sama kamu, karena Akang belum bisa membuat kamu bahagia," ucap Wira seraya memegang tangan istrinya.
Beruntung Wira memiliki istri yang baik dan tidak pernah meminta sesuatu di luar kemampuan suaminya.
Dia hanya tersenyum kecil dan membalas ucapan Wira, "Akang bicara apa? Sejak satu tahun kita menikah, Gendis tidak pernah merasa sedih karena Akang selalu bersama Gendis."
Mata Gendis terlihat penuh genangan air mata, dengan jelas Wira memahami apa yang sebenarnya Gendis katakan.
"Sebentar lagi anak pertama kita lahir, jadi kita harus rajin bekerja supaya bisa menabung untuk persalinan," lanjut Gendis.
Wira kembali berdiri dengan rasa syukur yang amat dalam, karena dia memiliki istri yang begitu sabar.
Namun di hati kecilnya tetap saja Wira merasa kalau dirinya belum mampu menjadi suami yang terbaik.
"Geledah semua rumah! Pastikan tidak ada yang lolos!" Nada perintah yang keras memecah pembicaraan keduanya.
Dengan cepat Wira membuka tirai penghalang jendela, di sanalah dia melihat beberapa bawahan Kumbang Lana beserta wanita-wanita hamil yang terikat satu sama lain.
"Gendis, sebaiknya kau segera pergi ke tengah hutan. Cepat! Tidak ada waktu lagi."
Tanpa bertanya panjang lebar Gendis segera menyiapkan beberapa pakaian. Lalu diikat pada satu kain yang sudah dia siapkan.
"Cepat, Gendis, mereka semakin dekat!"
Gendis yang tidak tahu apa yang sedang terjadi, hanya bisa berlari tanpa pikir panjang menuju tengah hutan.
Dalam hati dia terus mendoakan keselamatan suaminya, agar bisa kembali hidup bersama meski di tengah hutan belantara.
"Kakang, aku harap kau segera menyusul kami," desah Gendis, sebentar melihat ke belakang seraya mengusap perutnya yang membuncit.
Tidak ada waktu lagi bagi Gendis untuk berlama-lama di sana. Jabang bayi yang berada dalam perutnya harus tetap dia jaga.
Sungguh menyedihkan dua pasangan suami istri tersebut. Penderitaan mereka harus bertambah karena ulah ajudan Kumbang Lana.
Entah apa yang sebenarnya terjadi. Tidak ada yang tahu mengapa setiap rumah harus di geledah dengan sangat membabi buta.
Tidak kalah mencengangkan dari itu, wanita yang tengah mengandung harus rela mengikuti mereka secara paksa.
"Buka!" teriak salah satu ajudan Kumbang Lana.
Tanpa kesabaran ajudan tersebut mendobrak pintu rumah Wira yang sederhana.
"Apa kau tulis?" sergahnya, merasa Wira tidak menghiraukan seruan mereka.
"Maaf, Tuan, tadi saya sedang di belakang," jelas Wira beralasan.
Sama seperti yang terjadi pada rumah lainnya, kediaman Wira pun menjadi sasaran penggeledahan mereka.
Ketidak-puasan para ajudan semakin membuat rumah Wira hancur berantakan.
"Di mana isterimu?" tanya ajudan lain bertubuh kekar dengan dagu berjenggot tebal.
"Aku tanya, di mana isterimu?"
Sandiwara Wira membuat ajudan tersebut bertanya berulang kali.
"O ...h, perintah tuan Kumbang Lana ya?" jawab Wira seolah pendengarannya bermasalah.
"Dasar sampah!" umpat ajudan berjenggot merasa kesal dengan jawaban Wira yang tidak nyambung.
"Maaf, Tuan, nasinya sudah habis."
Brak!
Wira tersungkur akibat tendangan pria berjenggot yang sudah mulai kehilangan kesabaran.
"Siapa bilang aku mau makan? Makan tuh tendangan!" gerutunya seraya melihat Wira tersungkur kesakitan.
"Sialan," gumam Wira dalam hati.
Andai saja Wira memiliki kemampuan untuk melawan mereka, sudah pasti akan langsung dia lawan.
Namun yang terpenting kali ini, dia harus bisa mengulur waktu sebanyak mungkin.
Bagaimana pun keselamatan istri juga anak yang masih di dalam kandungan harus dia utamakan.
Kasihnya pada Gendis dapat mendorong Wira untuk bertahan dalam penderitaan lebih lama lagi.
Setelah beberapa kali terkena pukulan juga tendangan, tubuh Wira semakin lemas tidak berdaya.
Naas memang, nyawa Wira telah lepas meninggalkan jasadnya karena dianggap menyembunyikan apa yang sedang mereka cari.
"Mampus kau, sialan!" umpat laki-laki herjenggot, merasa puas atas perbuatannya.
Bersamaan dengan hal tersebut Gendis tidak sadarkan diri akibat terjatuh di kaki Bukit Sempoa.
Padahal tinggal menyisakan beberapa langkah lagi hingga dirinya mencapai mulut goa yang menjadi tujuan.
Namun sepertinya jagat dewa batara sudah membentangkan garis takdir untuk keluarga kecil tersebut.
Suara petir membelah suasana terang di tengah teriknya sinar matahari. Menandakan suatu keajaiban akan segera terjadi.
Angin bertiup dengan dinginnya seolah-olah berbagi kabar pada setiap pelosok negeri.
Ea ...ea ....
Terdengar suara bayi laki-laki menghempasakan semua fenomena alam yang sedang terjadi.
Matahari yang semula hilang tertutup mendungnya awan, kini mulai tampak lagi.
Seketika itu Gendis sadar dari pingsan yang telah dia alami.
Dengan air mata berlinang dia mencoba untuk menggapai putranya yang terlahir pada usia kandungan 7 bulan.
"Ma-maafkan aku, sayang. Maafkan aku," lirih Gendis dengan terbata, merasa sudah tidak memiliki tenaga lagi.
Napasnya semakin sesak bersamaan dengan penglihatannya yang semakin gelap.
Ingin rasanya Gendis meraih dan memangku putra pertamanya dengan Wira.
Namun apa daya tubuhnya tidak sejalan dengan apa yang dia pikirkan, sampai akhirnya Gendis menghembuskan napas terakhir tepat di hari kelahiran anaknya.
Anak laki-laki malang tersebut kembali menangis seperti mengetahui bahwa dirinya kini hidup seorang diri.
Entah apa yang akan terjadi dengan bayi yang baru lahir di tengah hutan belantara.
Tubuh yang masih berselimut dengan darah, akan tercium hewan-hewan pemangsa di hutan tersebut.
Lahirnya memang penuh misteri, bahkan fenomena alam sendiri yang menjadi saksi.
Mungkinkah dia mendapat perlindungan dewa batara, atau anak tersebut akan menjadi makanan bagi para hewan pemangsa.
Sungguh kejadian yang begitu memilukan, anak tidak berdosa harus menderita sejak kelahirannya.
Jangankan mendapat kasih sayang orang tua, dipangku saja dia tidak akan pernah merasakannya.
Andai Kumbang Lana tidak melakukan hal demikian, sudah pasti hidup mereka bisa lebih bahagia.
Apa yang telah Kumbang Lana lakukan kini menyisakan banyak penderitaan. Termasuk matinya kedua orang tua anak tersebut.
Lantas dengan segera Arya kembali ketempat dimana Ruyung berada, yang kebetulan di sana tengah terjadi pertarungan antara si kakek dengan pendekar pengguna jurus siluman harimau. "Ruyung! Apa kau baik-baik saja?" Tanya Arya sembari berjongkok melihat luka Ruyung. "Aku hanya terluka sayat saja," balas Ruyung. Setelah dengan benar memastikan luka Ruyung, Arya berniat langsung membantu si kakek untuk segera mengalahkan pendekar pengguna jurus siluman harimau. Akan tetapi si kakek tidak mengizinkannya, karena si kakek tahu kondisi Arya juga sudah kelelahan dan hampir mencapai batasnya. Untuk itu si kakek menyarankan Arya, supaya segera mengoleskan ramuan obat terhadap luka Ruyung. Hal itu si kakek lakukan semata untuk berjaga, kalau kalau musuh yang berhasil melukai Ruyung menggunakan racun. Tanpa bertanya apa alasan si kakek, Arya mengikuti apa yang di katakan demi keselamatan Ruyung kala itu. Terlebih Arya tidak ingin kehilangan rekan untuk kedua kalinya, karena bagi dia kehilan
Sejak lama Arya memang sudah terkenal gigih dalam berlatih, sehingga tampa energi Wngun Genta Pati saja dirinya tetap mampu bertarung dengan baik. Akan tetapi saat ini kemampuan Arya lebih hebat, karena memiliki energi petapa sakti itu dalam dirinya. Hanya saja, sering kali Arya harus kehilangan kesadaran, mengingat energi itu lebih kuat daripada kemampuan Arya itu sendiri. Beruntung belum lama Arya bertemu dengan si kakek, yang sedikit demi sedikit melatih Arya untuk dapat mengontrol energi kuat milik petapa tersebut. Tidak heran lawannya kali ini sampai memuji kemampuan bertarung Arya, karena bagaimanapun Arya sudah berhasil bertahan cukup lama. "Kalau begitu aku akan mulai serius menghadapi mu, anak muda!" Ujar lelaki yang kini berhadapan dengan Arya. Bersamaan dengan pertarungan tersebut, Ruyung rupanya mengalami kesulitan dalam menghadapi lawannya kali ini. Alhasil paha kanan terluka akibat sabetan parang musuh, hingga mengeluarkan banyak darah. Jangankan untuk bergerak c
Setelah Ruyung memastikan sendiri siapa sebenarnya orang yang berada di balik bilik, dia tidak menemukan siapapun."Bagaimana? Apa kau menemukan seseorang?""Tidak Guru," balasnya.Aneh memang, sejak Arya dan tiga lainnya memutuskan untuk beristirahat, mereka tidak melihat lagi tiga palang pintu perbatasan desa Sukarama.Hal ini jelas menimbulkan kecurigaan, terlebih mereka adalah musuh yang rencananya masih tidak dapat diperkirakan.Meskipun sebelumnya berkata kalau mereka menyerah, tetap saja akan lebih baik Arya tetap waspada.Untuk itu Arya sepakat dengan yang lain, untuk membagi tugas guna meminimalisir apapun yang membahayakan nanti.Kebetulan orang yang pertama kali berjaga adalah rekan Ruyung, dan berikutnya adalah Ruyung sendiri.Singkat cerita, hampir setengah dari waktu malam sudah terlewati. Sesuai kesepakatannya, kini giliran Ruyung untuk berjaga.Namun ada sat
Rupanya lelaki berambut kuncir itu tidak dapat melakukan apapun, malah justru dia harus terlempar beberapa meter akibat terkena serangan Panca.Bukan hanya itu, panas energi tenaga dalam yang Panca keluarkan telah berhasil merobek baju bahkan kulit tubuh lelaki tersebut."Si-siapa sebenarnya pemuda ini, sial."Lelaki berambut kuncir mencoba bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki, tentu saja dengan menahan rasa sakit akibat sedikit sayatan pada tubuhnya.Belum juga berdiri dengan benar, Panca alias Arya sudah berada tepat di hadapannya.Kedua kalinya lelaki berambut kuncir terkejut dengan kecepatan yang Panca miliki, bahkan sedikitpun dia tidak menyadari sejak kapan Panca berdiri.Terlebih gumpalan energi berada tepat di depan muka lelaki itu, yang jelas membuat nyalinya ciut sampai mengeluarkan air kencing di celana.Dengan cepat kedua rekannya tiba lalu bersujud, demi memohon ampunan supay
"Kami hanya pengelana, Tuan." Balas Ruyung beralasan.Namun tiga orang yang menangkap basah mereka, sepertinya tidak dapat menerima alasan tersebut.Bahkan jelas terlihat dari wajah ketiganya, memiliki niat untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan sebuah pertarungan.Awalnya baik Ruyung maupun yang lainnya, memilih untuk membicarakannya secara baik-baik.Akan tetapi respon ketiga orang itu, justru bertolak belakang dengan keinginan Ruyung dan lainnya."Tenang saja, kami tidak akan melakukan kekacauan. Karena tujuan kami, hanya untuk sekedar membeli beberapa bahan makanan."Ruyung kembali beralasan, dengan harapan ketiga orang itu menerima alasannya kali ini.Seperti sebelumnya, tiga orang tersebut malah terlihat semakin geram. Dan menganggap percakapan di antara mereka, hanya buang-buang waktu saja.Melihat tiga orang itu mengeluarkan pedang, tidak serta merta membuat Ruyung dan lain
"Bajingan! Siapapun kau, aku pastikan akan mati dengan sangat menyedihkan." Ujar Adipati sembari mengepalkan kedua telapak tangannya.Berulang kali Adipati tersebut nengirimkan pendekar bayaran, akan tetapi selalu tetjadi hal yang sama.Arya selalu menggagalkan setiap rencana Adipati secara sembunyi-sembunyi, guna keberadaannya tidak terlalu mencolok dan mudah ditemukan.Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat sudah hapal betul dengan siapa yang sudah membantu mereka selama ini.Bahkan secara terang-terangan mereka mengucapkan terima kasih. Karena sejak Arya berpijak di desa tersebut, keadaan para petani berangsur membaik.Hal ini berbanding terbalik dengan penghasilan Adipati, yang biasanya mendapatkan hampir 95 persen hasil pertanian masyarakat desa Marga."Kalau terus seperti ini, bisa-bisa kekayaanku terancam," gerutu Adipati semakin merasa tidak nyaman.Sementata itu, seorang k
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments