enjoy reading ...
"Aku menagih janjimu, Wira. Baru aku akan menjawab pertanyaanmu yang lain," Rawati berucap dengan sungguh-sungguh. Kedua mata bulatnya menatapku tanpa ragu dengan anak rambutnya yang terlepas dari ikatan lalu tertiup semilir angin. Kurasa tidak masalah jika mengatakan kenyataan yang sebenarnya tentang jati diri ini. Dan berharap Rawati percaya dan tetap membantuku. Setelah membetulkan posisi duduk bersilaku di atas saung yang dibangun dari potongan bambu dan beratap jerami, aku membalas tatapan Rawati dengan sama lekatnya. "Aku bukan Grawira." "Bukan Grawira? Apa maksudmu? Kamu pemberontak?" tanyanya dengan kedua alis berkerut dan mata menyipit. "Bukan," ucapku dengan gelengan kepala tegas. "Lalu, siapa dan apa tujuanmu?" tanyanya lebih menuntut dengan tatapan makin tajam. Setelah menghela nafas panjang dengan tatapan tak lekang dari wajah Rawati, aku kembali membuka suara. "Aku ingin menggagalkan penobatan Pangeran Wikrama yang akan dijadikan sebagai putra mahkota Wangsa
"Pergi kamu dari istanaku, Pangeran Wikrama! Jangan pernah meletakkan kakimu lagi di istana ini!" Pekikan Putri Mahkota Kayuwangi terdengar menggema di pelataran istana yang biasa kutinggali dengannya saat raga ini masih sehat. Ia tengah berhadap-hadapan dengan Pangeran Wikrama yang berdiri tinggi menjulang dengan tubuh gagah dan tangan mengepal. Pakaian indah khas anggota kerajaan yang melekat di tubuh dan mahkota kecil dengan bermatakan intan serta berlapiskan emas yang tersunggi di atas kepalanya, nampak memantulkan sinar rembulan di malam ini. Menjadikannya sosok yang terlihat agung untuk dipuja. Di belakang Pangeran Wikrama ada lima prajurit berpakaian kurang lebih sama denganku, tengah berdiri dengan membawa gulungan kain dan tikar. Untuk apa? "Kamu hanya menantu di Istana Mahayana, Putri Mahkota! Jadi, tidak perlu bersikap jagoan akan melawanku yang jelas-jelas adalah keturunan dari kerajaan ini!" ucapnya tegas. "Walau aku menantu, tapi ini adalah istanaku dengan Putra
Setelah mendapat informasi kapan Pangeran Wikrama akan dilantik menjadi putra mahkota, aku tidak kembali ke istana tempat ragaku terbaring lemah. Juga tidak tega jika harus kembali ke sana tapi melihat Putri Mahkota Kayuwangi bersedih hati, namun aku juga sangat ingin tahu bagaimana kabar ketiga putraku. Calon penerusku. Bertepatan dengan langkah yang terasa berat ini, aku melihat rombongan para menteri menuju istana yang ditempati Baginda Raja. Aku hafal wajah dan nama mereka satu demi satu karena setiap kali Baginda Raja melakukan perkumpulan di setiap pagi hari, aku duduk di sebelah Baginda Raja menatap para menteri yang bergelar patih itu. Dengan sigap, aku urung melangkah kembali ke istanaku, melainkan bersembunyi di dekat bangunan yang ada di dekat dapur istana. "Apa yang akan mereka lakukan malam-malam begini ke kediaman Baginda Raja? Apa yang akan mereka bicarakan? Apa ada pembicaraan penting yang sifatnya mendadak?" gumamku sendiri. Kemudian aku makin melangkah mundur
"Ampun, Baginda Raja! Saya hanya mengingatkan. Dari pada nanti akan terjadi kudeta seperti Wangsa Samara hingga membuat sang raja dihabisi oleh rakyatnya." Aku memberanikan diri sedikit mendongak untuk melihat raut wajah Baginda Raja, ayahku. Terlihat dia begitu kesal dengan bibir mengerucut dan alis menukik tajam. Lalu Pangeran Wikrama membisikkan sesuatu di telinga Baginda Raja kemudian beliau mengangguk kecil. Ekspresinya sedikit mengendur ketika mendapat bisikan kecil dari Pangeran Wikrama. Entah apa yang adikku itu katakan hingga Baginda Raja menurut. Beliau mengambil nafas sebanyak mungkin lalu menghembuskannya kasar dihadapan para patih yang duduk dihadapannya. "Baiklah, kita tunda seperti rencana awal." Aku ikut melega mendengar keputusan Baginda Raja karena setidaknya aku bisa menyusun rencana selanjutnya. Setidaknya aku harus tahu secara pasti kapan tanggal penobatan Pangeran Wikrama. Begitu acara usai, aku segera menuruni tangga lebih dulu lalu bergerak cepat mening
"Bagus!" gumamku lalu tersenyum puas ketika anak panah telah menancap sempurna di pohon pisang bidikanku. Lalu tangan kananku menarik tali kuda dan membuatnya berhenti perlahan. Begitu kepalaku menoleh ke arah dimana Rawati berdiri dan memperhatikan, dia hanya memandangku dengan tatapan banyak kebimbangan. Aku turun dari kuda lalu mengikatkan talinya ke salah satu pohon lalu mendekati Rawati. "Aku tidak memaksamu untuk percaya. Tapi tolong bantu aku. Tolong cari tahu kapan penobatan Pangeran Wikrama akan dilangsungkan." "Bagaimana kalau kamu ternyata seorang pengkhianat?" "Waktuku hanya empat puluh hari lagi. Jika dihitung dari sekarang, tersisa tiga puluh hari saja, Wati. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk berbohong. Lihat saat hari keempat puluh nanti. Raga yang kudiami ini akan kembali menjadi sosok Grawira yang sebenarnya. Aku meminta tolong padamu, Rawati." Kemudian aku berbalik menuju kuda untuk mencari strategi baru bagaimana cara menguak rahasia mati suri yang kualam
Akhirnya, Pedang Tapak Sepuluh yang pernah kubaca dalam kitab kerohanian istana, benar-benar membelah jiwaku menjadi dua bagian lalu terhempas ke tanah. Sedang Sri Dewa, sang malaikat pencabut nyawa, tetap berdiri gagah dan garang sambil membawa pedang tersebut.Janji para dewa itu sungguh nyata!Bahwa manusia diciptakan melalui rahim ibunya, kemudian lahir dan mengemban apa yang menjadi tugasnya seperti yang tertulis di buku langit, sembari menunggu ajal tiba. Dan kini aku benar-benar merasakannya. Tentang bagaimana sakitnya Pedang Tapak Sepuluh membelah jiwa ini. Pedang yang bertugas memisahkan roh dari ragaku. "Sri Dewa, kenapa ... kamu tega melakukan ini padaku?" tanyaku dengan tubuh terbelah tak berdaya di atas tanah. Pedang Tapak Sepuluh tidak lagi memancarkan cahaya karena tertutupi oleh goresan jiwaku. "Sudah menjadi catatan langit jika hari ini aku memiliki tugas untuk mencabut nyawamu, Putra Mahkota Majafi.""Tapi, aku belum menyelesaikan tugasku sebagai Putra Mahkota. B
Setelah jiwaku menyatu jadi satu dan dapat berdiri di hadapan Sri Dewa yang lebih tinggi, besar, dan gagah, aku kembali bersuara. "Apa syaratnya agar kematianku ditangguhkan, Sri Dewa?""Kamu hanya bisa memasuki satu tubuh lelaki yang bernasib sama denganmu, Putra Mahkota.""Sama-sama mengalami mati suri begitukah maksudnya?""Ya. Carilah di seluruh pelosok negeri ini dan itu tidak sulit. Karena setiap jiwa yang mengalami mati suri pasti memancarkan sinar putih yang menembus langit. Hanya saja tergantung dirimu bersedia masuk ke dalam raga itu atau tidak.""Maksudnya?""Sebelum engkau lahir, Ratu Ghiya begitu patuh pada protokol kerajaan tentang tata cara menjaga kehamilannya. Terlebih ketika kehamilannya memasuki bulan kelima dan mendapati janin yang dikandung berjenis kelamin laki-laki. Kamu diperlakukan dengan begitu mulia bahkan plasentamu sengaja diabadikan di puncak Gunung Kaung yang dingin dan agung.""Lalu sekarang, ketika aku menangguhkan kematianmu, dan memberimu kesempatan
"Paduka Raja, Putra Mahkota Majafi itu putra pertama anda. Mengapa anda berkata seolah-olah dia bukan putra anda? Dia adalah penerus anda! Calon Raja di Wangsa Mahayana!""Penerus? Lalu apa yang bisa kulakukan jika penerusku sakit? Bahkan hampir menemui ajalnya?""Apa anda bilang?" tanya Ibunda Ratu dengan nada tidak percaya. "Ratu, sebenarnya aku tidak mau membahas masalah kesehatan Putra Mahkota Majafi disini. Apalagi banyak patih yang mendengarnya.""Katakan saja, Paduka," tantang Ibunda Ratu tanpa rasa gentar. "Tugas Putra Mahkota Majafi banyak yang terbengkalai karena kondisinya saat ini. Jika aku tidak segera mencari penggantinya, maka bukan tidak mungkin urusan kerajaan makin tidak terurus. Oleh karena itu, aku mengutus Pangeran Wikrama secara sepihak untuk menggantikan posisi Putra Mahkota.""Tapi Putra Mahkota Majafi masih bisa sembuh, Paduka! Dia masih ada harapan! Pangeran Wikrama cukup membantu anda meringankan tugas Putra Mahkota! Bukan menggantikanyya!" Ibunda Ratu ter