Akhirnya, Pedang Tapak Sepuluh yang pernah kubaca dalam kitab kerohanian istana, benar-benar membelah jiwaku menjadi dua bagian lalu terhempas ke tanah. Sedang Sri Dewa, sang malaikat pencabut nyawa, tetap berdiri gagah dan garang sambil membawa pedang tersebut.
Janji para dewa itu sungguh nyata!
Bahwa manusia diciptakan melalui rahim ibunya, kemudian lahir dan mengemban apa yang menjadi tugasnya seperti yang tertulis di buku langit, sembari menunggu ajal tiba.
Dan kini aku benar-benar merasakannya. Tentang bagaimana sakitnya Pedang Tapak Sepuluh membelah jiwa ini. Pedang yang bertugas memisahkan roh dari ragaku.
"Sri Dewa, kenapa ... kamu tega melakukan ini padaku?" tanyaku dengan tubuh terbelah tak berdaya di atas tanah.
Pedang Tapak Sepuluh tidak lagi memancarkan cahaya karena tertutupi oleh goresan jiwaku.
"Sudah menjadi catatan langit jika hari ini aku memiliki tugas untuk mencabut nyawamu, Putra Mahkota Majafi."
"Tapi, aku belum menyelesaikan tugasku sebagai Putra Mahkota. Bahkan, Pangeran Wikrama yang bodoh itu akan mengambil alih tahtaku bersama Paduka Raja yang serakah."
"Saat aku sakit dan mati suri, beliau tidak mencari tabib terbaik untukku. Dan kini, kamu pun melengkapinya dengan mencabut nyawaku. Aku benar-benar akan mati dalam keadaan tidak tenang, Sri Dewa."
"Lalu apakah kebaikan yang kulakukan selama ini tidak membuat para Dewa menangguhkan kematianku? Bagaimana nasib para rakyat jika dipimpin oleh ketamakan Paduka Raja dan Pangeran Wikrama?" tanyaku panjang lebar.
Sosok Sri Dewa yang masih memakai jubah hitam dengan wajah gelap, dengan kedua mata berwarna merah menyala dengan tangan kanan memegang Pedang Tapak Sepuluh, tidak menjawab apapun.
"Aku mohon, jawab aku, Sri Dewa! Apakah para Dewa ingin Wangsa Mahayana dipimpin oleh Pangeran Wikrama yang tidak jauh lebih baik dariku? Bukankah buku langit menggariskan takdir hidupku sebagai Putra Mahkota adalah untuk memakmurkan para rakyat? Tapi mengapa, kini engkau justru mencabut nyawaku?"
"Pertanyaanmu banyak sekali, Putra Mahkota Majafi. Ternyata, apa yang diperbincangkan di langit itu benar. Bahwa engkau adalah Putra Mahkota yang cakap hingga Paduka Raja membencimu, darah dagingnya."
"Aku tidak butuh pujianmu, Sri Dewa!"
"Putra Mahkota, tanggal kematianmu sudah tertulis jelas. Dan aku hanya mengerjakan tugasku."
Tiba-tiba Pedang Tapak Sepuluh menghilang dari genggamannya lalu berganti dengan kain putih bernama Dwipa yang dibentangkan seluas-luasnya untuk membungkus jiwaku lalu dibawa ke alam Rahyanta, yaitu alam dikumpulkannya para jiwa orang mati. Disana, terdapat pohon raksasa bernama Drata yang digunakan untuk menggantung ribuan hingga jutaan Dwipa.
"Sri Dewa, tunggu! Tolong, tolong jangan bungkus jiwaku lebih dulu ke dalam Dwipa! Aku tidak ingin mati dalam keadaan penasaran! Apalagi meninggalkan rakyatku dalam pimpinan Pangeran Wikrama! Aku mohon, Sri Dewa!"
Sri Dewa tidak bergeming sama sekali, ia hanya menatapku jiwaku yang sudah terbelah menjadi dua dengan tatapan dingin.
"Tolong kasihanilah aku, Sri Dewa. Apakah kamu tega membiarkan aku mati dalam keadaan yang begitu menyedihkan? Aku masih sangat ingat jika aku begitu sehat ketika berangkat ke Wangsa Wasukawi bersama Putri Mahkota Kayuwangi. Lalu ketika aku tiba di istana dan melahap makan malamku, tiba-tiba aku tidak enak badan hingga dinyatakan tabib mati suri."
"Aku mohon, Sri Dewa. Aku mohon, tolong jangan masukkan jiwaku ke dalam Dwipa. Aku khawatir, aku sengaja dibunuh agar Pangeran Wikrama bisa menggantikan tahtaku lalu mereka yang tidak bertanggung jawab, bisa menggunakan kekuasaan istana untuk berbuat seenaknya pada rakyat. Apa engkau tidak kasihan melihat para rakyat dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab?"
Aku terus merayu Sri Dewa untuk menangguhkan kematianku. Karena jika jiwaku terbungkus Dwipa, maka aku tidak akan bisa kembali ke dunia nyata untuk membalaskan sebab kematianku yang sebenarnya.
Tapi, jika aku bisa membujuk Sri Dewa untuk memperlambat kematianku demi mengungkap sebab musabab kematianku dan menyelamatkan tahtaku agar jatuh ke tangan yang benar, bukankah itu bisa membuat aku mati dengan tenang?
"Tidak ada orang yang ingin mati penasaran, Sri Dewa. Tidak ada. Termasuk aku. Jadi, aku mohon."
"Kamu ingin aku memalsukan catatan langit? Putra Mahkota Majafi, engkau bukanlah manusia khusus yang bisa memerintah aku!"
"Aku tahu, Sri Dewa. Aku tahu engkau sangat berkuasa atas nyawa semua manusia. Tapi tolong lihatlah, lihatlah rakyat Mahayana jika dipimpin oleh Wikrama. Mereka bisa hidup menderita. Lalu Paduka Raja Dewasingha, ayahku sendiri, dia sangat bahagia melihat kematianku."
"Jadi aku mohon, aku mohon, tangguhkan kematianku, Sri Dewa."
Aku terkenal sebagai Putra Mahkota yang pandai berdiskusi dan bernegosiasi. Dengan nada memohon yang teramat sangat, aku berharap Sri Dewa menggunakan kuasanya untuk menangguhkan kematianku.
Rakyat dan keluarga kecilku, adalah prioritas mengapa aku ingin bertahan hidup sedikit lebih lama. Ketiga putraku, sebagai calon penerusku, setidaknya mereka harus selamat sebelum nasib mereka berakhir mengenaskan sepertiku.
Tiba-tiba kain Dwipa yang dibentangkan Sri Dewa kembali ke genggamannya. Lalu sebelah tangannya kembali menyatukan rohku yang terbagi menjadi dua. Rasanya sangat sakit sekali, seperti dimasukkan ke sebuah tempat yang ukurannya jauh lebih kecil dari ukuran jiwaku.
Dengan nafas terengah-engah, aku menatap Sri Dewa yang berdiri menjulang tinggi dengan jubah hitamnya.
"Aku akan menangguhkan kematianmu, Putra Mahkota Majufi. Tapi dengan syarat tertentu agar langit tidak mengetahui kematian palsumu."
Aku mengangguk senang, "Apa itu syaratnya, Sri Dewa? Katakanlah."
Setelah jiwaku menyatu jadi satu dan dapat berdiri di hadapan Sri Dewa yang lebih tinggi, besar, dan gagah, aku kembali bersuara. "Apa syaratnya agar kematianku ditangguhkan, Sri Dewa?""Kamu hanya bisa memasuki satu tubuh lelaki yang bernasib sama denganmu, Putra Mahkota.""Sama-sama mengalami mati suri begitukah maksudnya?""Ya. Carilah di seluruh pelosok negeri ini dan itu tidak sulit. Karena setiap jiwa yang mengalami mati suri pasti memancarkan sinar putih yang menembus langit. Hanya saja tergantung dirimu bersedia masuk ke dalam raga itu atau tidak.""Maksudnya?""Sebelum engkau lahir, Ratu Ghiya begitu patuh pada protokol kerajaan tentang tata cara menjaga kehamilannya. Terlebih ketika kehamilannya memasuki bulan kelima dan mendapati janin yang dikandung berjenis kelamin laki-laki. Kamu diperlakukan dengan begitu mulia bahkan plasentamu sengaja diabadikan di puncak Gunung Kaung yang dingin dan agung.""Lalu sekarang, ketika aku menangguhkan kematianmu, dan memberimu kesempatan
"Paduka Raja, Putra Mahkota Majafi itu putra pertama anda. Mengapa anda berkata seolah-olah dia bukan putra anda? Dia adalah penerus anda! Calon Raja di Wangsa Mahayana!""Penerus? Lalu apa yang bisa kulakukan jika penerusku sakit? Bahkan hampir menemui ajalnya?""Apa anda bilang?" tanya Ibunda Ratu dengan nada tidak percaya. "Ratu, sebenarnya aku tidak mau membahas masalah kesehatan Putra Mahkota Majafi disini. Apalagi banyak patih yang mendengarnya.""Katakan saja, Paduka," tantang Ibunda Ratu tanpa rasa gentar. "Tugas Putra Mahkota Majafi banyak yang terbengkalai karena kondisinya saat ini. Jika aku tidak segera mencari penggantinya, maka bukan tidak mungkin urusan kerajaan makin tidak terurus. Oleh karena itu, aku mengutus Pangeran Wikrama secara sepihak untuk menggantikan posisi Putra Mahkota.""Tapi Putra Mahkota Majafi masih bisa sembuh, Paduka! Dia masih ada harapan! Pangeran Wikrama cukup membantu anda meringankan tugas Putra Mahkota! Bukan menggantikanyya!" Ibunda Ratu ter
“Ayo kabur!”“Jangan kejar kami, Grawira!”Kedua orang yang tidak kuketahui itu lari terbirit-birit melihat tubuh Grawira berdiri tegap tapi berisi jiwaku, Putra Mahkota Majafie dari Wangsa Mahayana. Jiwaku yang telah menyatu dengan raga Grawira, bisa merasakan lapar yang teramat. Mungkin selama mati suri Grawira tidak pernah diberi minum atau makanan apapun.Karena terbiasa mendapat didikan ketat dan berstandar tinggi istana, aku mengesampingkan rasa lapar lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri lebih dulu. “Aku lupa tidak membawa handuk dan pakaian ganti. Bagaimana ini?” gumamku dengan tubuh segar di dalam kamar mandi. Di istana, handuk dan pakaianku selalu disiapkan langsung oleh dayang istana di dalam kamar mandi. Sekarang, mau tidak mau aku harus memakai handuk bersama yang digantung di kamar mandi gubuk ini. Handuk setengah basah dan sedikit bau.Ini adalah kehidupan rakyat biasa dan aku harus bisa beradaptasi dengan baik.Siapalah aku jika tanpa raga Grawira.Hanya p
Akhirnya aku tiba di sebuah gubuk bambu yang disinari dua lampu minyak saja. Sedang bagian luar gubuk dibiarkan gelap gulita. Suami Bibi Tyasih hampir jantungan melihat Grawira yang sudah sehat sepenuhnya. Padahal, aku lah yang mengendalikan raga pemuda malang ini. Aku meluruskan kedua kaki dengan rapat sambil bersandar di tiang gubuk. Karena kelelahan membawa bungkusan pakaian sambil berjalan cepat mengimbangi langkah Bibi Tyasih. "Wira, dudukmu seperti orang priyayi saja," celetuknya.Karena terbiasa dengan didikan ketat kerajaan, aku terbiasa bersikap sopan dan santun dalam berbagai kondisi. Meski aku tahu bagaimana cara duduk para rakyat, namun aku tidak bisa melakukannya meski telah berada dalam raga Grawira. "Ini air hangat untukmu, Wira. Maaf, Bibi hanya punya itu."Sebuah gelas dari tanah liat berbentuk cembung berisi air putih hangat. Berbeda dengan yang ada di istana. Gelas-gelas itu terbuat dari perunggu. Aku meneguk air hangat itu dengan etika yang diajarkan istana da
Aku menggelar semua keris lelaki yang bernama Warma di 'peken' atau pasar yang berada di tengah-tengah Desa Sojo. Kebetulan hari masih belum terlalu siang, pengunjung pasar juga masih berlalu lalang membeli kebutuhan, dan ada sebuah meja kayu tak bertuan yang kuangkat ke tengah pasar. Menjual keris-keris ini tidak jauh berbeda dengan ilmu negosiasi yang kupelajari saat di istana. Dan targetnya, aku harus bisa menjual beberapa keris Warma untuk ongkos menuju Wangsa Mahayana. "Bantu aku, Dewa. Bantu aku," gumamku kemudian mengambil dua keris yang terlihat paling menarik perhatian. Aku menghampiri seorang lelaki bertubuh gagah yang hanya memakai celana pendek sebatas lutut berwarna coklat tanpa baju. Kedua lengannya berotot dan rambutnya ditata rapi dengan sedikit gelungan di atasnya. Dan memakai alas kaki dari kulit hewan.Dia pasti orang terpandang atau memiliki jabatan di Wangsa Canggal, tempatku berada saat ini. "Tuan, ada keris baru! Ini dari Wangsa Mahayana! Ini buatan Empu Dha
Tidak ada rotan, akar pun jadi. Jika tidak bisa pergi melalui pintu depan maka aku mencoba melalui pintu belakang. Namun sayangnya, pintu dapur ditahan sesuatu dari luar. Aku geram setengah mati karena aksi melarikan diri ini masih saja tertahan. Andai aku berkata jujur pada Bibi Tyasih dan suaminya, bisa kupastikan mereka akan menertawakanku bak anak kemarin yang baru bermimpi. Padahal, aku benar-benar seorang Putra Mahkota Majafi yang sengaja meminjam raga Grawira, keponakan mereka, untuk satu misi balas dendam dan penyelamatan tahta. Menjadi putra mahkota bukan berarti aku tidak dibekali ilmu taktik mencari strategi. Aku bisa membuat taktik meski tidak sehebat para kesatria atau pemimpin pasukan abdi kerajaan yang khusus ditempa untuk bertarung. Setelah memutar otak, akhirnya aku memiliki ide luar biasa. "Paman, Bibi! Kebakaran! Gubuk kita kebakaran!"Keduanya langsung bangun berjingkat dan kelabakan kesana kemari begitu melihat nyala api dari dapur. Aku sengaja menghidupkan
Kuda yang kunaiki berlari cepat tanpa tuntunan dariku. Membelah rerimbunan hutan dengan melewati sebuah jalan terabasan. Saking kencangnya ia berlari, aku hampir terhuyung ke belakang. Belum lagi dahan pepohonan yang terlalu pendek saat kami melintas. Membuatku siaga dengan segera menunduk tepat di atas punggung kudu atau tubuhku akan tersangkut di dahan raksasa itu. Lalu aku tiba di ujung Wangsa Mahaya, tepatnya di sebuah sawah yang dulu pernah kudatangi untuk dibuatkan saluran irigasi. Agar hasil bertanam rakyatku tidak mengalami kebanjiran ketika musim penghujan membawa air terlalu banyak. Dari sini, aku paham harus berjalan kemana. Memberi komando pada kuda hitam ini agar berlari tidak kencang, aku melihat orang-orang berjalan berlawanan arah denganku tanpa memberi salam atau menundukkan badan. Siapalah aku jika kini berada dalam tubuh Grawira? Tidak ada yang tahu jika yang berpapasan dengan mereka adalah Putra Mahkota Majafi. Mereka mengira aku ini sama dengan penduduk la
Kabar buruk! Rawati tidak bisa menampungku untuk tinggal bersama keluarganya di gubuknya. Apa yang orang pikirkan jika kami tinggal dalam satu atap yang sama namun tidak memiliki hubungan kekerabatan atau pernikahan? Selain itu, Rawati baru mengenalku dan bodohnya aku melanggar norma kesopanan yang ada di masyarakat demi ambisiku. Bukankah aku ini putra mahkota? Bagaimana bisa melupakan adat istiadat Wangsa Mahayana? "Maaf, Wati. Aku tidak bermaksud melukai harga dirimu. Aku hanya ... tidak tahu harus kemana. Aku tidak memiliki sanak saudara di sini dan baru tiba," ucapku dengan nada penyesalan. Wati kemudian berpikir sejenak sambil menekuk kedua bibir indahnya ke dalam mulut. Lalu matanya berbinar menatapku. "Tinggal lah di gubuk nenekku yang tidak jauh dari gubukku, Grawira. Kebetulan nenek tinggal seorang diri disana. Jika ada yang bertanya, bilang saja kamu adalah putra dari saudara jauh nenek." "Baiklah, tapi ... aku membutuhkan pekerjaan, Wati. Aku bisa bertarung. Kemampu