Share

Hamba Belum Mati, Paduka!
Hamba Belum Mati, Paduka!
Author: DAUN MUDA

Tolong Tangguhkan Kematianku

Akhirnya, Pedang Tapak Sepuluh yang pernah kubaca dalam kitab kerohanian istana, benar-benar membelah jiwaku menjadi dua bagian lalu terhempas ke tanah. Sedang Sri Dewa, sang malaikat pencabut nyawa, tetap berdiri gagah dan garang sambil membawa pedang tersebut.

Janji para dewa itu sungguh nyata!

Bahwa manusia diciptakan melalui rahim ibunya, kemudian lahir dan mengemban apa yang menjadi tugasnya seperti yang tertulis di buku langit, sembari menunggu ajal tiba. 

Dan kini aku benar-benar merasakannya. Tentang bagaimana sakitnya Pedang Tapak Sepuluh membelah jiwa ini. Pedang yang bertugas memisahkan roh dari ragaku. 

"Sri Dewa, kenapa ... kamu tega melakukan ini padaku?" tanyaku dengan tubuh terbelah tak berdaya di atas tanah. 

Pedang Tapak Sepuluh tidak lagi memancarkan cahaya karena tertutupi oleh goresan jiwaku. 

"Sudah menjadi catatan langit jika hari ini aku memiliki tugas untuk mencabut nyawamu, Putra Mahkota Majafi."

"Tapi, aku belum menyelesaikan tugasku sebagai Putra Mahkota. Bahkan, Pangeran Wikrama yang bodoh itu akan mengambil alih tahtaku bersama Paduka Raja yang serakah."

"Saat aku sakit dan mati suri, beliau tidak mencari tabib terbaik untukku. Dan kini, kamu pun melengkapinya dengan mencabut nyawaku. Aku benar-benar akan mati dalam keadaan tidak tenang, Sri Dewa."

"Lalu apakah kebaikan yang kulakukan selama ini tidak membuat para Dewa menangguhkan kematianku? Bagaimana nasib para rakyat jika dipimpin oleh ketamakan Paduka Raja dan Pangeran Wikrama?" tanyaku panjang lebar. 

Sosok Sri Dewa yang masih memakai jubah hitam dengan wajah gelap, dengan kedua mata berwarna merah menyala dengan tangan kanan memegang Pedang Tapak Sepuluh, tidak menjawab apapun.

"Aku mohon, jawab aku, Sri Dewa! Apakah para Dewa ingin Wangsa Mahayana dipimpin oleh Pangeran Wikrama yang tidak jauh lebih baik dariku? Bukankah buku langit menggariskan takdir hidupku sebagai Putra Mahkota adalah untuk memakmurkan para rakyat? Tapi mengapa, kini engkau justru mencabut nyawaku?"

"Pertanyaanmu banyak sekali, Putra Mahkota Majafi. Ternyata, apa yang diperbincangkan di langit itu benar. Bahwa engkau adalah Putra Mahkota yang cakap hingga Paduka Raja membencimu, darah dagingnya."

"Aku tidak butuh pujianmu, Sri Dewa!"

"Putra Mahkota, tanggal kematianmu sudah tertulis jelas. Dan aku hanya mengerjakan tugasku."

Tiba-tiba Pedang Tapak Sepuluh menghilang dari genggamannya lalu berganti dengan kain putih bernama Dwipa yang dibentangkan seluas-luasnya untuk membungkus jiwaku lalu dibawa ke alam Rahyanta, yaitu alam dikumpulkannya para jiwa orang mati. Disana, terdapat pohon raksasa bernama Drata yang digunakan untuk menggantung ribuan hingga jutaan Dwipa.

"Sri Dewa, tunggu! Tolong, tolong jangan bungkus jiwaku lebih dulu ke dalam Dwipa! Aku tidak ingin mati dalam keadaan penasaran! Apalagi meninggalkan rakyatku dalam pimpinan Pangeran Wikrama! Aku mohon, Sri Dewa!"

Sri Dewa tidak bergeming sama sekali, ia hanya menatapku jiwaku yang sudah terbelah menjadi dua dengan tatapan dingin. 

"Tolong kasihanilah aku, Sri Dewa. Apakah kamu tega membiarkan aku mati dalam keadaan yang begitu menyedihkan? Aku masih sangat ingat jika aku begitu sehat ketika berangkat ke Wangsa Wasukawi bersama Putri Mahkota Kayuwangi. Lalu ketika aku tiba di istana dan melahap makan malamku, tiba-tiba aku tidak enak badan hingga dinyatakan tabib mati suri."

"Aku mohon, Sri Dewa. Aku mohon, tolong jangan masukkan jiwaku ke dalam Dwipa. Aku khawatir, aku sengaja dibunuh agar Pangeran Wikrama bisa menggantikan tahtaku lalu mereka yang tidak bertanggung jawab, bisa menggunakan kekuasaan istana untuk berbuat seenaknya pada rakyat. Apa engkau tidak kasihan melihat para rakyat dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab?"

Aku terus merayu Sri Dewa untuk menangguhkan kematianku. Karena jika jiwaku terbungkus Dwipa, maka aku tidak akan bisa kembali ke dunia nyata untuk membalaskan sebab kematianku yang sebenarnya.

Tapi, jika aku bisa membujuk Sri Dewa untuk memperlambat kematianku demi mengungkap sebab musabab kematianku dan menyelamatkan tahtaku agar jatuh ke tangan yang benar, bukankah itu bisa membuat aku mati dengan tenang?

"Tidak ada orang yang ingin mati penasaran, Sri Dewa. Tidak ada. Termasuk aku. Jadi, aku mohon."

"Kamu ingin aku memalsukan catatan langit? Putra Mahkota Majafi, engkau bukanlah manusia khusus yang bisa memerintah aku!"

"Aku tahu, Sri Dewa. Aku tahu engkau sangat berkuasa atas nyawa semua manusia. Tapi tolong lihatlah, lihatlah rakyat Mahayana jika dipimpin oleh Wikrama. Mereka bisa hidup menderita. Lalu Paduka Raja Dewasingha, ayahku sendiri, dia sangat bahagia melihat kematianku."

"Jadi aku mohon, aku mohon, tangguhkan kematianku, Sri Dewa."

Aku terkenal sebagai Putra Mahkota yang pandai berdiskusi dan bernegosiasi. Dengan nada memohon yang teramat sangat, aku berharap Sri Dewa menggunakan kuasanya untuk menangguhkan kematianku. 

Rakyat dan keluarga kecilku, adalah prioritas mengapa aku ingin bertahan hidup sedikit lebih lama. Ketiga putraku, sebagai calon penerusku, setidaknya mereka harus selamat sebelum nasib mereka berakhir mengenaskan sepertiku. 

Tiba-tiba kain Dwipa yang dibentangkan Sri Dewa kembali ke genggamannya. Lalu sebelah tangannya kembali menyatukan rohku yang terbagi menjadi dua. Rasanya sangat sakit sekali, seperti dimasukkan ke sebuah tempat yang ukurannya jauh lebih kecil dari ukuran jiwaku. 

Dengan nafas terengah-engah, aku menatap Sri Dewa yang berdiri menjulang tinggi dengan jubah hitamnya. 

"Aku akan menangguhkan kematianmu, Putra Mahkota Majufi. Tapi dengan syarat tertentu agar langit tidak mengetahui kematian palsumu."

Aku mengangguk senang, "Apa itu syaratnya, Sri Dewa? Katakanlah."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status