AUTHOR POV
Setelah melewati perkelahian sengit yang membuat dirinya harus kalah, kini Panca pun terkapar tak berdaya di bawah kaki si penyerang.
"Kenapa? Sakit, eh?" Tanya cowok berambut spike itu semakin menekan rusuknya dengan ujung sepatu sport yang ia pakai, sehingga membuat Panca kembali menjerit tertahan tak bisa melawan.
"Uhuk uhuk," dia terbatuk, sakitnya bukan main ia rasakan.
Sungguh! Dia memerlukan bantuan seseorang saat ini. Setidaknya Dev, ya Panca membutuhkan Dev di saat seperti ini.
"Cih! Ini bahkan gak ada apa-apanya dibanding sama penghianatan lo terhadap gue," ujarnya seraya membungkuk dan kembali mencengkeram kerah seragam Panca yang sudah dinodai bercak darah.
Bel jam istirahat berdering nyaring. Selepas BuAnke mengakhiri pembahasan fisikanya selama dua jam penuh, beliau pun kini mengemasi peralatan mengajarnya dan melenggang meninggalkan kelas 11 IPA 1. Seketika, semua murid pun ikut berhamburan keluar kelas. Ada juga beberapa orang yang hanya duduk diam di bangku masing-masing. Entah karena malas kemana-mana atau bisa jadi mereka sedang bokek.“Hanna, kamu mau ke kantin?” tanya Bintang seusai mengemasi alat tulisnya ke dalam laci meja.Hanna lantas mengangguk, ia pun baru saja selesai merapikan buku dan bolpoinnya ke dalam laci meja juga, “Mau dong. Lo gimana? Kalo mau ke kantin juga, kita bareng aja sekalian....” ajak Hanna semangat.
Jreng~Aku di siniDi atas awanAku tertawan paras cantik rupawanTak jemu-jemu, aku memandangIngin ku merayu dengarkan aku berlagu....Dev melantunkan sebuah lagu dengan petikan gitar di tangan. Saat ini dia sedang duduk di atas kursi tepat di tengah lapangan yang sepertinya memang sudah dipersiapkan secara matang sebelum memanggil semua penonton yang masih sesama penghuni SMA BIMANTARA juga.Pekikan tertahan dari para siswi penggemar pentolan Bimantara itu tak dapat disembunyikan lagi. Mereka semua bahkan merasa kalau saat ini Dev sedang menyan
"Hanna pulang!" seru Hanna riang kala memasuki rumahnya yang sepi seperti biasa.Meskipun Hanna tahu tidak akan ada yang menyahut seruannya, tapi Hanna melakukannya seolah sudah terbiasa dengan hal itu. Hanna mengempaskan bokong ke atas sofa ruangan tengah, lalu ia merebahkan kepalanya ke kepala sofa.Wajahnya terlihat sedikit semringah, itu disebabkan oleh percakapannya dengan si pentolan Bimantara yang berlangsung di hadapan semua rekan sekolah dari berbagai angkatan.Ya, Hanna tidak sabar menantikan hari esok. Cowok resek bin tengil itu pasti akan menyerah sebelum berperang. Hanna yakin itu, karena menurutnya, menjadi sosok seorang pentolan yang tangguh dan bandelnya tiada tobat akan jauh lebih menyenangkan daripada apapun bagi seorang Devano Abraham. Te
Koridor sekolah tampak lenggang, padahal saat ini sedang jam istirahat. Mungkin, penghuni BIMANTARA sedang bergerombol di kantin sekolah. Maka, tidak heran jika di koridor terlihat kosong hingga tampak leluasa.Hanna dan Bintang tengah berjalan bersisian. Rencananya, mereka juga mau pergi ke kantin. Setelah menyelesaikan dua mata pelajaran yang lumayan menguras otak, kini kedua gadis itu membutuhkan asupan yang bergizi. Setidaknya, dengan begitu, otak mereka akan kembali segar ketika menempuh tiga pelajaran lainnya yang akan berlangsung sehabis istirahat nanti."Eh, Han, sebentar deh!" tahan Bintang menghentikan langkah Hanna tiba-tiba.Sontak, yang ditahan pun menoleh ke sisi kirinya, "Apaan sih, Bin?""Itu...." Telunjuk Bintang mengarah lurus ke satu titik, "Itu Kak Dev, kan?" lirik Bintang tanpa menurunkan telunjuknya.Lantas, pandangan Hanna pun ikut tertarik pada fokus yang Bint
Dev bersembunyi di balik tembok putih, perhatiannya tidak dapat dialihkan sedikit pun dari dua orang yang kini tengah bercanda tawa tak kenal tempat. Sudah hampir setengah jam, ia merelakan kakinya kesemutan saking lamanya berdiri terus di tempat persembunyiannya hanya demi agar ia bisa mengintip apa-apa saja yang Hanna dan sosok cowok asing itu lakukan di kedai bakmie sana. "Bos!" panggil Panca sekaligus menepuk pundak Dev yang langsung terkejut.Si pemilik pundak pun lantas menoleh sambil menatap kesal, "Lo ini, bisa gak sih gak sambil kagetin gue kayak gitu?" omel Dev tanpa ragu.Panca pun hanya tercengir sembari menggumamkan kata 'maaf' di tengah kegiatan ia mengusap tengkuknya asal."Gimana? Lo dapet info apa dari tukang bakmie di sana?""Gak dapat info apapun, Bos. Dia malah bilang, kalo berani ya datengin aja langsung orangnya. Jangan malah nanya-nanya kayak wartawan, gak tau apa
"DEVANO ABRAHAM, KELUAR LO!"Si pemilik nama yang awalnya sedang duduk bersantai di atas ranjang sambil bermain game online di ponselnya spontan beranjak begitu saja ketika sebuah teriakan menggelegar memanggil namanya dari arah bawah sana.Mengernyit bingung, cowok berpakaian santai serba pendek itu lantas melangkahkan kedua kaki telanjangnya memasuki balkon.Hal pertama yang ia lihat saat pandangannya tertuju ke bawah adalah, Milo beserta genknya, kini sedang berada di depan gerbang rumahnya entah ada urusan apa."Kak Deva, Kak,"Perhatian Dev teralih ke arah pintu kamarnya yang sudah dibuka sang adik. Tak lama kemudian, Zola berlari kecil menghampiri cowok itu dengan raut panik bercampur bingung."Ada apa, Dek?" tanya Dev menatap adiknya.Zola memutar bola matanya sejenak, "Seharusnya aku yang nanya sama Kakak. Kak Deva bikin ulah apa lag
"Jangan rindu, berat. Kamu gak akan kuat. Biar aku saja,"Hanna menghela napasnya ketika melihat cuplikan movie berjudul Dilan 1990 yang tidak lama lagi akan tayang di bioskop. Dia bergeleng kepala, tidak habis pikir dengan teori yang diucapkan Dilan.Memangnya iya ya kalau rindu itu berat? Padahal, ada yang jauh lebih berat dibanding rindu. Yaitu, membuktikan janji yang sudah diikrarkan pada seseorang karena sudah menjalani segala tantangannya.Mengingat itu, Hanna jadi merasa dongkol setengah mati."Arght!" erang Hanna sambil mematikan televisi dan menyimpan remotenya ke atas meja.Wajahnya terlihat begitu masam sekarang. Lalu, Hanna pun membaringkan tubuh pendeknya di sofa panjang yang sejak tadi didudukinya."So, what? Ini hari terakhir gue ngejalanin tantangan yang lo kasih. Dan lo lihat sendiri, kan? I did it, Mrs Dev
"Jadi, yang tadi itu keluarga gebetan gak jadi lo?" Hanna melirik tajam saat pertanyaan itu tercetus dari mulut cowok menyebalkan yang sejak tadi berjalan di samping kirinya. Tapi yang dilirik, malah terkekeh geli sambil sesekali melayangkan tatapannya ke atas langit. "Kasihan, dia pasti langsung jauhin lo selepas lihat adegan romantis kita tempo hari," ujar Dev mengerling jahil, membuat Hanna langsung memalingkan wajahnya ke arah lain dengan muka yang memerah. Warna merah di kedua pipinya, bukan disebabkan oleh rasa tersipu malu atau tersanjung akan lontaran kalimat yang berasal dari mulut Dev. Tapi, Hanna menahan emosinya ketika harus diingatkan kembali dengan momen yang tak diharapkannya itu. "Sabar ya, Mrs Devil. Mungkin, Tuhan gak mau lo berjodoh sama dia. Jadi, Tuhan ngutus gue deh buat pisahin lo sama si cowok wayang itu," celetuk Dev kembali, kali ini menarik perhatian