Share

2. Sidang

Hanna Pov

Seperti yang aku dan bang Milo takutkan, kalo berita tawuran kemarin sampai ke telinga Papa, bisa habis kita diberi ceramah. Bukan hanya itu saja, mungkin papa juga bakalan kasih hukuman yang--emm setimpal?

Dan apa yang dikhawatirkan pun benar-benar terjadi siang ini. Tepatnya sepulang kami--Aku dan Bang Milo--sekolah. Bahkan sebelumnya, di sekolahan pun kami sempat dipanggil Bu Jenny untuk masuk ke ruang BK.

Kalian tahu?

Kami disidang habis-habisan sampai telinga berwarna merah saking lamanya jadi terdakwa. Apa yang dituduhkan tidak bisa dibantah, karena bukti nyata ada di depan mata.

Luka lebam yang menghiasi mukaku dan bang Milo sukses membuat Bu Jenny puas menghakimi. Walaupun sesekali aku masih meringis perih, tapi Bu Jenny sama sekali tidak peduli.

Dan sekarang, bahkan di saat perutku keroncongan minta jatah makan siang. Papa mengadang siaga di ambang pintu, beliau bersedekap memasang muka seram. Kayaknya riwayat aku dan bang Milo tinggal di ujung tanduk....

"Ini bukan pertama kalinya kalian membuat onar," suara berat papa sudah menggema menciptakan suasana tegang.

Bang Milo duduk menunduk di sebelahku yang lebih rileks dibanding dirinya. Entahlah, seenggaknya aku masih bisa menerima sidang kedua ini setelah sidang pertama di sekolah tadi.

"Milo!" panggil papa tegas.

Bang Milo mengangkat wajah, dan aku berani bersumpah! Wajah bang Milo pucat banget kayak habis melihat jelmaan siluman kuda. Astagaaaa~

"I-iya, Pa?" jawab bang Milo gugup.

Aku mengerti apa yang dirasakan kakakku ini. Dia anak tertua, tapi malah mengajarkan hal yang tidak baik untukku sebagai adiknya. Wajar jika papa memarahi bang Milo duluan, karena--

"Papa kecewa sama kamu!" cetus papa to the point, dan aku bisa melihat raut tegang dari wajah ganteng bang Milo.

Beberapa detik suasana sunyi. Tidak ada suara apapun kecuali desauan angin yang masuk ke setiap celah jendela. 

"Papa pikir kamu sudah dewasa dan akan membimbing adikmu sebagaimana mestinya, tapi alih-alih mengajarkan sesuatu yang positif ... justru kamu malah mengajak Hanna untuk ikutserta ke dalam tawuran itu." tutur papa geleng-geleng.

Aku bisa menangkap nada kecewa dari suara papa. Bang Milo pun hanya terdiam membisu, dia bahkan setia menunduk sambil meremas kedua tangan.

Aku tahu kakakku ini pasti sedang kalut.

"Dan kamu, Hanna!" 

Aku mendongak langsung saat papa menyebut namaku. Papa menatapku tajam, membuatku sigap menelan ludah susah payah.

Satu-satunya yang aku takutkan di dunia ini setelah sang pencipta adalah tatapan tajam dari papa. Okey! Nyaliku seketika menciut sekarang. Jika saat pertama kami dihadang papa perasaanku biasa saja, namun kali ini beda lagi. Aku merasa seperti narapidana yang akan segera dijatuhkan vonis hukuman oleh hakim yang terhormat.

"Kamu itu perempuan. Kenapa mau-mau aja ikut tawuran? Kamu pikir itu hal yang lucu?" cerca Papa sedikit menyentak.

Aku menunduk sekarang. Menggigit bibir bawah dan merasa kalut seperti bang Milo. Papa mendesah kasar. Mungkin saat ini papa sedang mengusap muka setengah frustrasi.

"Pa, diminum dulu...." 

Aku mendongak lagi, melihat wanita cantik nan anggun menaruh mug khusus papa di atas meja. Beliau ikut duduk di sebelahku.

Aku menoleh, "Mama...." gumamku berbisik.

Mama tersenyum lembut menatapku. Aku pikir mama gak ikut pulang ke rumah, tapi ternyata mama juga ada di sini.

Ya, mama memang bekerja sebagai sekretaris papa selama ini. Jadi dapat dibayangkan kan kalo orangtua kami jarang banget ada di rumah jika siang hari. Mereka selalu pulang di atas jam 7 malam dan baik aku maupun bang Milo harus bisa memakluminya.

"Hanna! Milo!" panggil papa tegas.

Aku dan bang Milo spontan menoleh ke arah papa kompak. Sejenak papa menatap kami bergantian, sampai akhirnya....

"Salah satu dari kalian akan Papa pindahkan ke sekolah yang berbeda!" putus papa final. Sontak membuatku ternganga dan secepat kilat menoleh horor ke arah bang Milo.

---

"Han!" panggil bang Milo saat aku hendak masuk kamar.

Aku menoleh, "Kenapa, Bang?" 

Bang Milo melangkah mendekati. Tatapannya sendu, lalu tiba-tiba dia menarikku ke dalam pelukannya.

"Maafin gue ya, gara-gara gue lo jadi dipindahin sekolah sama Papa...." ucapnya menyesal, tangannya mengusap kepala belakangku begitu lembut.

And then, papa memutuskan akulah yang akan dipindahkan. Mengingat bang Milo udah kelas 3 dan gak lama lagi bakal menempuh ujian nasional, maka akulah yang harus diungsikan ke sekolah lain.

Huft....

Aku menarik wajah sedikit menengadah, menyunggingkan senyuman 'baik-baik saja' untuk kakakku yang sedang merasa bersalah ini.

"Gak apa-apa, Bang, gak usah ngerasa nyesel gitu...." ucapku berusaha menghibur.

"Tapi kalo gue gak ngajakin lo tawuran, lo pasti bakalan tetep sekolah di Saruna Bakti, Han...." katanya menangkup kedua pipiku.

Aku menggeleng, "Semuanya udah kejadian, Bang. Lagian, kalo pun gak diajak juga kayaknya gue bakal tetep ikut tawuran. Lo kan tau kalo gue paling gak bisa diem ngeliat orang yang berantem...." cengirku lebar yang kembali dipeluk bang Milo.

"Tapi tetep aja, kita jadi gak bisa berangkat-pulang bareng-bareng lagi kalo lo pindah sekolah." 

Aku mengangguk mengiyakan. Selama ini kita emang selalu sama-sama pulang pergi sekolah. Tapi mulai besok, kayaknya kita bakalan jalan masing-masing.

Ngomong-ngomong, papa bakal pindahin aku ke sekolah mana ya?

"Eh iya, Bang, Papa kok belum bilang ya gue bakal dipindahin ke sekolah mana...." cetusku di balik dada bidang bang Milo.

Pelukan pun terlepas. Kulihat Bang Milo ikut berpikir, sampai di detik berikutnya dia pun memasang senyum khasnya yang bikin aku nyaman melihatnya.

"Moga aja Papa pindahin lo ke sekolah yang gak ada aksi tawurannya, " harap bang Milo sungguh-sungguh.

Ya mudah-mudahan aja....

Tapi aku kok ngerasa kalo di sekolahan baruku nanti aku bakalan banyak dapet masalah ya? Ah, semoga aja itu cuman perasaan buruk yang bakalan lenyap dengan sendirinya.

"Ya udah, lo masuk kamar deh ... ganti baju biar kita bisa makan bareng sehabis itu!" suruh bang Milo.

Aku mengangguk, lalu berpisah dengan kakakku yang berjalan juga ke arah kamarnya. Kamar kita memang ada di lantai dua. Tapi kamar bang Milo terletak di ujung, sementara kamarku berada tepat di arah lurusan tangga.

Dan setelah bang Milo jalan ke kamarnya. Aku pun ikut masuk ke kamarku sendiri.

---

SELAMAT DATANG DI SMA BIMANTARA.

Mulutku terbuka lebar, bahkan aku rasa saking lebarnya daguku bisa sampai menyentuh tanah.

Apa aku bermimpi? TIDAK.

Aku baru saja turun dari mobil mengikuti papa dan sekarang aku lagi berdiri syok sambil membaca plang besar yang terpampang di atas pagar gerbang sekolah swasta elite yang setara dengan sekolah lamaku.

Astaga! Bang Milo pasti terkejut kalo dia tahu sekolah baruku ini adalah sekolah tetangga yang sama-sama suka tawuran.

Dan itu artinya--

"Hanna, ayo!" aku tersadar saat papa merangkul bahuku dari samping.

Oh, ayolah! Aku terlalu spechless hari ini.

Papa menggiringku masuk ke halaman Bimantara. Seorang pria paruh baya bersetelan rapi pun muncul dari arah koridor seraya tersenyum sopan saat melihat papa datang bersamaku.

Aku rasa pria itu kepala sekolah Bimantara. Not bad!

"Selamat datang, Tuan Aleandro?" sambutnya mengulurkan tangan.

Papa membalasnya dengan anggukan tersanjung. Mereka saling berjabat tangan sekarang.

"Bagaimana kabarmu?" tanya papa akrab.

"Baik. Aku selalu baik sejak--"

"Ah, sudahlah! Ini bukan waktu untuk nostalgia, Fer." sela papa terkekeh.

Pria di hadapan kami tersenyum mengerti. Lantas tatapannya pun mengarah kepadaku.

"Apa ini si kecil Hanna?" tanyanya menatapku dan papa bergantian.

Kulihat papa mengangguk, "Iya. Dia Hanna, gadis kecil yang berubah menjadi perempuan tukang pukul," sindir papa kelewat pedas.

Dan aku cuman menunduk gak mengelak. Kenyataannya emang kayak gitu, kok!

"Oh, ya? Tenang saja, aku akan memastikan bahwa di sini gadis kecilmu ini tidak akan berani macam-macam apalagi sampai berkelahi," ujar pria itu dan saat aku mengangkat wajah dia tersenyum dengan aura penuh misterius.

Kayaknya, feeling aku kemarin bener-bener bakal terjadi deh!

---

Setelah teman papa yang berperan sebagai kepala sekolah Bimantara bercuap-cuap mengenai sistem tata tertib dan berbagai macam peraturan yang ditegakkan di Bimantara itu seperti apa, akhirnya aku pun diantarkan oleh beliau ke salah satu kelas IPA yang akan kuhuni mulai hari ini.

Yeah, aku akan mulai beradaptasi dengan teman-teman baruku.

"Hanna, kamu tunggu sebentar di sini!" ujar Pak Fero sesampainya di depan kelas baruku.

Aku mengangguk patuh. Pak Fero sudah melenggang masuk setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. Selagi menunggu intruksi sang kepala sekolah berikutnya, aku menyandarkan punggung ke permukaan pintu yang tertutup sebelah.

Papa sudah pulang sekitar beberapa menit yang lalu seusai berbincang banyak hal dengan teman SMAnya itu--Pak Fero. 

Aku bersedekap, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Melihat ke arah plang yang menempel di atas pintu. 11 IPA 1.

Di Saruna Bakti pun aku menghuni kelas yang sama dan aku pasti akan merindukan teman-temanku yang tengil terutama Zola. Dia salah satu teman terbaik juga menghibur, ah kenapa papa harus pindahin aku, sih?

Karena lo badung, Hanna!

Oke. Mungkin aku harus menerima konsekuensi dari perbuatanku sendiri.

"Hanna, ayo masuk!" suara Pak Fero sukses membuatku terenyak.

Aku mengangguk, lantas ikut masuk setelah melebarkan pintu sebelahnya. Sebenarnya aku biasa saja saat pertama melangkah masuk kelas. Tapi menghadapi suasana yang sunyi sepi, aku malah jadi berubah gugup. Sial!

I'm normal human, okey!

"Baik, silahkan perkenalkan namamu!" ucap bu guru cantik yang tersenyum ramah mempersilakan.

Aku mengangguk, lalu mengarahkan pandangan ke depan kelas. Oh ya ampun, mereka antusias banget nunggu aku memperkenalkan diri.

Baiklah, it is time Hanna....

"Hai? Nama gue, Hanna Devila Aleandro. Kalian bisa panggil gue Hanna. Gue pindahan dari SMA Saruna Bakti. Semoga kalian semua bisa nerima gue dengan baik di sini." akhirnya, akupun berbicara selancar seranganku saat memukul lawan.

"Baik Hanna, sekarang kamu boleh duduk di bangku itu...." tunjuk bu guru cantik ke arah salah satu bangku yang diisi oleh gadis manis bermata belo.

Aku mengangguk lagi mematuhi perkataan bu guru yang sangat disayangkan aku belum tahu siapa namanya. Berjalan menuju bangku yang akan kutempati, mengabaikan siulan-siulan menggoda dari spesies cowok yang mungkin belum tahu keahlianku.

Dan sekarang, aku sudah duduk di kursi kosong sebelah si mata belo.

"Hai? Namaku Bintang, senang bisa satu bangku sama kamu," ucapnya menjulurkan tangan dan aku rasa dia akan menjadi teman dekatku untuk ke depannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status