“Sepertinya aku ini pelanggan pertama ya untukmu?” tanya pria itu.
Anna tersenyum kecut dan hanya menganggukan kepalanya, pria itu terus memandangi Anna dengan senyuman yang lebar dan aneh.
“Bukan kah harga mu terlalu murah, bagaimana kalau aku ajarkan caranya. Naikan hargamu setelah denganku ya, kali ini aku juga akan membayarmu dua kali lipat," ucapnya.
Pria itu mulai menc*mbu tubuh Anna yang putih mulus, gunung kembarnya masih kencang ukuran yang pas di tangan para pria hidung belang. Anna berusaha menepis halus pria itu tapi semakin Anna berusaha menolak pria itu justru semakin bringas.
“Panggil aku mas Welly,” ucapnya sembari membuka pakaian Anna.
Anna pasrah dengan apa yang dilakukan pelanggannya itu, meskipun di dalam batin dia sedikit mual akibat bau di mulut sang pria. Tapi itu adalah konsekuensi yang tidak bisa dihindari, tidak bisa memilih seperti apa pelanggan yang dia mau.
“Ini bayaran kamu,” memberikan segepok uang lembaran biru.
“Terima kasih, Mas,” Anna segera memakai bajunya kembali dan berpamitan pulang.
Welly juga sudah mengajarinya cara bemain dari aplikasi itu. Selama di jalan Anna menangisi dirinya, dia merasa sangat jijik dengan apa yang dia lakukan barusan.
.
.
Sore hari di akhir pekan ini dia gunakan untuk bekerja di restoran. Meskipun sudah mendapat uang dia masih merasa itu belum cukup untuk membiayai keluarganya.
Saat setelah Anna berganti pakaian dan berjaga di sudut resto dia melihat satu pelanggan tua yang sudah lebih dari enam puluh tahun menatapnya genit.
"Pelayan." pelanggan itu memanggil Anna dan Anna segera menghampiri nya.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Saya belum pernah melihat mu sebelumnya, apakah karyawan baru?" dia melontarkan pertanyaan sembari tersenyum genit.
"Kebetulan saya hanya sebagai perbantuan, saya bantu pak mau tambahan apa?" Anna berusaha profesional di tempat kerja. Lalu setelah pria itu memesan tambahan dia memberikan uang serta tip yang cukup besar.
Bukan itu saja, pelanggan itu memberikan nomor ponselnya untuk Anna hubungi.
"Kamu di goda om itu? Dia pelanggan tetap di sini uangnya banyak sekali," ucap Andre. Anna hanya diam tak ingin menjawab pertanyaan itu.
.
.
Flashback 2 tahun yang lalu.
Sore itu, matahari mulai condong ke barat, menyinari halaman rumah keluarga Pradeepa. Suara canda tawa anak-anak memenuhi udara. Anna, yang masih kuliah kala itu, terlihat sibuk membantu ayahnya memperbaiki sepeda adiknya.
“Ayah, kenapa harus repot-repot memperbaiki ini? Kan lebih mudah beli baru,” tanya Anna sambil menyerahkan obeng kepada ayahnya.
“Anna, ayah tidak hanya ingin memberikan barang baru untuk kalian, tapi juga pelajaran. Hidup ini tidak selalu tentang apa yang kita punya, tapi bagaimana kita memanfaatkan yang ada.” jawab ayahnya sambil tersenyum bijak.
Anna hanya mengangguk kecil. Kata-kata itu mungkin terdengar sederhana, tapi selalu membekas di hatinya.
Tidak jauh dari situ, bundanya sedang menyiapkan camilan di dapur, sementara adik-adiknya bermain bola di halaman. Kehangatan keluarga terasa begitu nyata, seolah tak ada beban yang terlalu berat untuk dipikul.
Ketika semua berkumpul di ruang tamu untuk menikmati teh hangat dan kue pisang buatan bunda, ayahnya berkata, “Anna, kamu anak pertama. Suatu hari nanti, ayah berharap kamu bisa menjadi pilar keluarga ini.”
“Ayah, jangan khawatir. Aku akan selalu ada untuk kalian,” jawab Anna dengan yakin.
.
Anna terbangun dari lamunannya. Ia duduk di kursi ruang istirahat restoran, matanya menatap kosong ke depan. Kata-kata ayahnya terus terngiang di pikirannya, menghantui setiap langkah yang ia ambil.
"Ayah, aku nggak tahu apakah yang kulakukan ini benar. Aku hanya ingin membantu, tapi kenapa rasanya begitu berat?" gumam Anna lirih sambil menghapus air mata yang mengalir tanpa sadar.
Berusaha tetap tegar dan kuat, usai tersadar dari lamunannya. Anna segera kembali bekerja hingga waktu sudah menunjukan tengah malam.
.
Tengah malam itu adalah waktu Anna pulang beristirahat di rumah. Sesampai nya di rumah seperti biasa seluruh keluarga nya sudah tidur, dia pun segera mandi dan tidur.
Baru sebentar rasanya Anna memejamkan mata nya, ayam pun belum berkokok bundanya sudah membangunkan Anna.
"Anna, bantu bunda cuci baju ya. Cucian sudah banyak, bunda capek sudah jagain ayahmu yang sakit-sakitan itu terus" omel Bundanya itu.
Bunda Anna memang sering mengeluh dan terkesan tidak sabar dengan keadaan yang di alami keluarganya. Dia ingin hidupnya kembali seperti dulu sebelum suaminya sakit. Maka Anna lah korban yang menjadi tulang punggung.
Meskipun lelah, Anna tetap menjalankan apa yang di perintahkan bunda.
"Kamu punya uang? Sebentar lagi sudah waktunya bayar motor adik kamu,"
"Iya sudah ada. Tapi semua angsuran yang aku tanggung nilai nya cukup besar, Bun. Kalau terus-terusan begini dan aku tidak mampu membayar lagi bagaimana?" tanya Anna.
"Kalau kamu rela motor adikmu di tarik oleh bank ya terserah saja. Bunda ini sudah capek lho urus ayah, kamu kan yang masih muda dan lebih dewasa dari adik-adikmu. Ya kamu gantikan ayahmu cari uang!" selalu kata-kata ketus yang keluar dari mulut Bundanya.
Anna hanya bisa menghela nafas panjang, ada rasa tidak tega jika dia bersikap acuh. Memikirkan bagaimana nasib adik-adiknya jika dia tidak mampu mencari uang lebih banyak.
Setelah membereskan seluruh pekerjaan rumah, Anna merasa lapar karena melihat bunda nya sudah masak dia ingin segera menyantap makanan itu.
"Ehhh jangan yang udang. Udang itu milik adik-adikmu!! Kamu sayur itu saja." cicitnya sembari menepis tangan Anna dan menunjuk sayur bayam.
"Laukku apa, Bun?" tanya Anna.
"Kamu pasti kan di luar sering makan enak, apalagi kerja di restoran. Makan sayur saja, sisa nya untuk adik-adikmu,"
Anna diam dan mengambil sayur itu, memakan nya secepat kilat membayangkan yang masuk ke dalam mulutnya adalah udang goreng yang di meja makan.
.
Ting!!
"Sudah dapat pelanggan lain?" ternyata itu pesan dari Welly.
“Belum, Mas. Ada apa?”
“Datang lah ke hotel nanti alamat nya akan aku kirimkan,”
Anna berpikir bahwa di rumah pun dirinya seperti tidak di anggap dan hanya seperti mesin pencari uang, maka dia memutuskan untuk datang ke hotel yang sudah di kirimkan Welly.
“Kamu seharusnya stay di sini saja, supaya lebih mudah mendapatkan pelanggan.” ucap Welly sembari mengutak atik ponsel Anna untuk memilih pelanggan.
“Nah ini kamu dapat pelanggan, sebentar lagi dia akan datang jadi kamu bersiaplah nanti aku tinggal,” imbuhnya.
Setelah menunggu setengah jam lama nya orang itu mengetuk pintu…
.
Tok Tok Tok !!
“Si..Silahkan masuk,” ucap Anna yang takut namun tetap membuka pintu dan menatap pria baru di hadapannya.
Anna menaikan pandangannya saat pria itu sudah ada di dalam kamar, ternyata pria itu begitu tampan memiliki badan tinggi besar dan masih cukup muda.
"Kenapa pria tampan seperti dia ada di sini? Apa dia tidak memiliki kekasih? Atau istri?" batin Anna.
"Mas, kamu di mana? Kita harus bicara."Anna membaca pesan itu sekilas dan menghela napas panjang. "Sudah cukup, Mas. Aku nggak butuh jawaban lagi. Aku tahu semua ini cuma kebohongan."Anna bangkit dari duduknya, meraih tasnya."Kita sudahi saja ini," suaranya terdengar tegas.Rama terkejut, langsung berdiri dan menahan lengannya. "Jangan gini, Anna. Aku mencintaimu."Anna menatapnya tajam, ada air mata yang tertahan di sudut matanya. "Cinta? Cinta yang penuh kebohongan?""Aku akan menyelesaikan semuanya," Rama berkata dengan nada putus asa."Terlambat," jawab Anna. "Seharusnya kamu menyelesaikan pernikahanmu sebelum mendekatiku. Hal ini pernah kita bicarakan sebelumnya, katamu sudah cerai dengan Fee setelah anak itu lahir. Kenyataannya tidak demikian bukan?"Rama terlihat semakin frustrasi. Dia meraih ponselnya, menekan nomor Fee, lalu menempelkan ponsel ke telinganya. Anna menatapnya tidak percaya.Saat panggilan tersambung, Rama berbicara dengan suara dingin. "Fee, aku ingin kita b
Anna yang masih terpaku di balik meja kasir sampai tidak sadar bahwa Welly telah menyelesaikan pesanannya.Setelah memesan dan membungkus beberapa cookies, Welly berjalan menuju meja di bagian belakang toko, memilih duduk dengan santai. Duduknya menghadap ke luar, seolah dia siap menerima Anna yang akan datang kepadanya.Tanpa menunggu lebih lama, Anna menghampirinya. Namun, sebelum dia sempat membuka suara, Welly sudah lebih dulu berbicara.“Kamu tahu kan, pria yang bersamamu kemarin itu sudah beristri?” katanya dengan nada datar, tapi penuh arti. "Dan yang di depan itu istrinya, hijab warna pink." tambahnya lagi.Anna terdiam sejenak, mencoba menampilkan ekspresi setenang mungkin. “Mereka sudah bercerai.”Welly mengangkat alisnya, ekspresinya tidak menunjukkan kepercayaan penuh. “Benarkah? Aku kurang yakin. Fee tidak pernah bercerita tentang perceraian. Aku akan menanyakannya sendiri.”"Untuk apa mencampuri urusanku? Lagipula wanita itu tidak tahu keberadaanku!" cegah Anna sebelum W
"Saya salah satu klient—kantor Anna," dengan cepat pria itu menjawab. Hampir saja menimbulkan kecurigaan pada Rama."Iya betul, Sayang. Klient kantorku," ucap Anna pada Rama, dia segera mengambil kue yang sudah di pilih oleh pria di depannya.Saat Anna kembali ke pantry untuk melihat proses pembuatan kue lainnya, tiba-tiba Rama mengikuti...."Siapa sebenarnya dia?""Dia mana? Klientku tadi?" jawab Anna tanpa menoleh ke arah Rama."Ya, jelaskan padaku yang sebenarnya. Klient kantormu atau bekas klientmu lainnya?""Aku tidak mau berdebat denganmu disaat seperti ini, Mas. Sudahlah kalau kamu ingin memperpanjang masalah ini aku akan memilih diam!" cetus Anna kembali ke luar duduk bersama teman-temannya.Rama menatap kepergian pria itu dengan sorot mata penuh kebencian, pria itu juga seperti meledek Rama dan Anna. Senyum yang terpancar di wajahnya penuh celaan."Kenapa bisa kebetulan seperti ini, kenapa Mas Welly harus datang?" batin Anna, nama Welly jika kalian masih ingat dia adalah pela
Rama terkekeh geli. “Dari mana kamu bisa simpulkan bahwa pria yang jarang pulang itu berselingkuh. Apa dari sosial media yang sering kamu lihat itu?”Fee mengerucutkan bibirnya, sambil mengusap air mata yang sudah jatuh di pipinya.“Jadi itu tidak benar? Tapi ciri-ciri yang di sebutkan tepat seperti kamu, jarang pulang, sering sibuk dengan kehidupannya sendiri, emm… bahkan aku juga tidak pernah melihat ponselmu!”“Apa aku terlihat bisa hidup tanpamu? Kita sudah pacaran sejak sekolah, aku mengenal kamu lebih dari sepuluh tahun. Begitu juga dengan kamu, kamu juga tahu apa kegiatanku, hobiku?!” jelas Rama dengan nada sangat lembut.Fee merasa bersalah dengan tuduhannya pada Rama, dia memeluk Rama dengan hasr4t yang tidak terbendung lagi. Belum juga nifasnya selesai tapi dia merasa sudah tidak bisa di tahan lagi.“Mas, kamu malam ini tidur di sini kan? Nggak di rumah satunya lagi? Nggak di pabrik kan?” tanya Fee dengan nada menggoda.“Ya, aku sudah rindu padamu… ” Rama meng3cup pundak Fee
Suara lembut terdengar dari sebrang sana “Halo, maaf ganggu waktunya. Aku hanya ingin tahu apakah pekerjaanmu masih banyak?”“Masih, memangnya ada apa?” Rama terdengar sedikit terbata-bata saat menjawab.“Oh baiklah, maaf mengganggu waktumu. Aku hanya ingin tahu saja,” Fee mematikan teleponnya tanpa berkata apa-apa lagi.Anna semakin yakin dengan ucapan Rama bahwa mereka sudah bercerai. Karena obrolan mereka di telepon tidak seperti pasangan suami istri.“Sudah dengar kan?” ucap Rama sembari menge-cup kening Anna. Mereka melanjutkan istirahat agar keesokan harinya bisa beraktifitas kembali.**Saat mata Anna masih sayup terbuka, dia mer4ba-r4ba ranjangnya, ternyata Rama sudah tidak ada di sana. Entah kapan pria itu pergi meninggalkan Anna sendirian.“Br3ngsek sekali kamu, Mas. Pergi begitu saja tanpa pamit!” gerutu Anna saat bangun dari tempat tidur.Dia mencoba menghubungi Rama namun tidak ada jawaban sama sekali, akhirnya dia memutuskan untuk tetap berangkat ke kantor sendiri memb
"Hey sayang kenapa kamu menangis, sudah tidak masalah nanti kalau memang kamu perlu motor aku bisa belikan lagi," ucap Rama dengan mudahnya.Seseorang yang belum pernah mengalami menjadi generasi sandwich tidak akan pernah mengerti apa yang di rasakan Anna."Bukan seperti itu. Semua barang yang aku beli sudah habis terjual untuk keluargaku, bahkan aku kira semuanya sudah lebih dari cukup,"“Aku tidak meminta terlahir sebagai generasi sandwich, tapi aku juga tidak bisa menghindarinya. Kadang kala aku membenci diriku, kadang kala aku menyalahkan orang tuaku. Kenapa mereka memerahku seperti sapi? Maaf, aku hanya manusia biasa yang bisa kapan saja lelah. Bisa kapan saja mengeluh dan bisa kapan saja menangis. Peluk aku, aku butuh sebuah pelukan hangat yang dapat menenangkanku dan dapat mengatakan bahwa aku hebat! Aku dapat melalui semua ini hingga selesai,”Rama menepikan mobilnya, memberikan pelukan hangat pada Anna. Mengelus kepalanya dengan lembut, lalu berkata ;“Kamu tahu apa yang mem