Share

2. Pesona Nicholas Isaac

“P-pamanku bekerja di perusahaan sebesar ini?”

Amarise menelan saliva berulang kali dengan pandangan mengerjap. Baru tiba di area lobi perusahaan ternama di negara yang baru ia singgahi setelah usia tiga tahun memutuskan hidup di Indonesia, ia dibuat terkesima tempat bekerja pamannya. “Sejak kapan Mama memiliki adik angkat? Atau sebenarnya Mama memiliki adik tiri, Om?”

Perempuan itu mendapati lelaki seusia orangtuanya tertawa kecil. “Adik angkat, bukan adik tiri atau kerap kita dengar sebagai saudara sambung. Mamamu anak tunggal dan itu tidak akan pernah berubah,” jelasnya.

“Tapi Mama tidak pernah menceritakan tentang hal ini. Tiba-tiba, Om menjemputku di dermaga terakhir, lalu membawa terbang ke Amerika dengan menjelaskan pernyataan ringkas selama perjalanan.” Ia mengeluh seraya memijat pelipis.

Dirinya sangat syok mengetahui hal yang diberitahu setelah belum genap satu minggu orangtua Amarise meninggal dalam kecelakaan menuju perkebunan. Tempat satu-satunya aset paling utama yang dimiliki keluarga Amarise, tapi harus ia lepas karena membayar seluruh utang menumpuk. Entahlah. Amarise sedih jika mengingat harta peninggalan orangtuanya yang tidak berbekas, kecuali rumah kecil di Jakarta.

“Sebentar lagi kamu akan bertemu dengan Pamanmu, Nak. Kamu bisa meminta penjelasan lebih runut. Saya hanya menjalankan tugas membawamu ke mari sesuai permintaan mendiang Mamamu,” balasnya menuntun Amarise mendekati meja resepsionis.

Ia terlalu kagum dengan perusahaan besar dan berniat mencari nama dari tempatnya menginjakkan kaki di sini. Belum sempat mencari di website, ia sudah harus disadarkan pengacara keluarga menuju lift.

“Nona Damaswara dan Tuan Adam?”

“Ya, kami berdua tamu Tuan Isaac.”

Amarise mengerjap melihat interaksi dua orang tersebut. Ia melihat saksama perempuan yang keluar dari lift, tepat saat Amarise berpikir mereka akan segera menaiki ruang kecil itu untuk sampai bertemu langsung dengan orang baru di hidup Amarise. “Saya sekretaris Tuan Isaac. Silakan masuk untuk saya antar ke ruangan beliau,” ungkapnya membuat degup jantung Amarise tidak keruan.

Telapak tangan Amarise mulai berkeringat. Ia seolah menggigil, meskipun suhu lift begitu normal. Atau bisa jadi, ia mendadak tidak menerima musim di negara Ibunya?

Ting!

“Om ... aku, aku takut,” cicit Amarise menautkan jemari tangan.

Ia semakin gelisah melihat koridor berbeda, lebih berkelas dan terlihat jika orang yang akan mereka datangi adalah orang paling penting di perusahaan ini. Amarise juga masih mengingat jelas, jika perempuan yang menuntun jalan adalah seorang tangan kanan; sekretaris. “A-apa Tuan Isaac, Paman angkatku?”

Lelaki di sampingnya hanya tersenyum simpul dan menepuk bahu Amarise sekilas. Raut gugup Amarise tidak diindahkannya.

“Silakan Nona. Anda bisa langsung masuk dengan keluarga Anda. Tinggal mengetuk dan segera membuka pintu saja. Karena Tuan sudah menunggu kedatangan kalian berdua.” Amarise menyeka peluh di kening.

Ia nyaris membeliak mendapati pernyataan tersebut. “Sebentar, Nona. Saya—“

“Selamat siang, Tuan Isaac.”

Amarise tidak dapat mengelak saat ia belum sempat menimpali, lelaki di hadapannya sudah meraih tangan Amarise seraya membuka pintu. Sapaan pengacara keluarga yang sudah membawa Amarise masuk, membuat perempuan itu kikuk dan memilih menunduk. Ia gemetar dan hanya melihat sekilas, jika ruangan ini jauh lebih besar dari perusahaan percetakan yang Amarise tahu untuk sebuah jabatan Direktur.

“Dia Amarise Damaswara?”

“Benar, Tuan.”

Jantung Amarise bergemuruh cepat mendengar namanya dipanggil oleh seorang pria dengan suara berat. Ia tanpa sadar mencengkeram lengan sang pengacara. “O-om, aku ....”

Napas Amarise tercekat saat ketukan pantofle beradu dengan lantai mahal ini. Indera penciumannya bergerak cepat meraup aroma maskulin. Ruangan yang terasa luas, kini mendadak sempit karena ia bisa melihat sepatu hitam mengkilat berada di depan matanya.

Uluran tangan itu membuat Amarise hampir kehilangan oksigen.

“Namaku Nicholas Isaac. Ibumu pernah menyelamatkanku dari penculikan saat usiaku sepuluh tahun. Sekarang, aku yang akan bertanggungjawab atas dirimu, Rishi.”

Desiran halus menyebar ke seluruh aliran darah Amarise. Ia tertegun, merasa panggilan akhir itu begitu manis bersamaan dengan perasaan berdebar. Ia tidak berani mendongak atau sekadar berjabat tangan. Bahkan, Amarise mengabaikan ringisan sang pengacara saking gemetar jika tidak memiliki pegangan.

“Rishi? Kamu menolak berkenalan dengan Pamanmu?” tanya pria itu terdengar sedih dan sedikit jahil.

Kening Amarise mengernyit. Nada yang terucap itu seolah tidak asing. Namun, ia masih enggan mendongak dan terus saja memejamkan mata, berharap ini hanyalah mimpi.

Bagaimana bisa hidupnya menjadi tanggungjawab orang lain yang baru dikenal Amarise hari ini? Apa ini sekadar konspirasi atau lainnya? Ia juga seolah tidak sadar, menghabiskan berapa waktu untuk sampai di negara ini.

“Rishi? Apa uangku dua hari lalu masih kurang untuk memenuhi sakumu dalam beberapa pekan kedepan?”

“Apa?!” spontan manik coklat Amarise beradu dengan manik serupa yang menampilkan senyum menggoda.

Bibir Amarise terbuka sempurna dengan mata nyaris melotot, melihat pria yang sedari tadi akan menjadi keluarga barunya. “Kamu?!”

“Hai, Nona Muda,” sapanya seolah tidak terjadi apa pun selain perkenalan manis.

Sedangkan Amarise sudah merasakan kedua pipi yang memanas. Kepala Amarise mendadak pening. Kedua lututnya seolah sulit menahan beban tubuh mengetahui orang di hadapannya adalah orang yang ia tawari tubuhnya sendiri.

Tenggorokan Amarise tercekat.

“Tinggalkan kami berdua, Tuan.”

“Baik, Tuan Isaac.”

Amarise menegang. Lidahnya kelu dan tangannya sulit meraih sekadar menahan kepergian orang yang sangat dikenalinya. Pintu tertutup sebelum Amarise meneriaki, meminta tolong orang tersebut. “Bagaimana perjalanan menuju benua Amerika, Rishi?”

“A-aku,” sahut Amarise langsung menunduk dalam. Ia merutuki semua hal yang terjadi di hidupnya seperti kejutan.

Ia meremat kedua tangan di sisi tubuh. Sejauh mungkin mengenyahkan perihal malam di atas kapal pesiar. Tolong! Siapa pun tolong aku!

“Kenapa kamu lebih banyak diam? Di mana perempuan yang sedang menawariku keperawanannya?” Amarise langsung mendongak memelas.

“P-paman ... tolong maafkan kesalahanku. Aku, aku tidak tahu jika saat itu aku sedang berhadapan dengan wali baruku,” cicitnya menangkup kedua tangan di depan dada.

Berulang kali Amarise mengumpati dirinya sendiri dan ingin menenggelamkan wajah di dalam air bathub.

Pria itu tertawa ringan dan memberikan kesan yang sama; menaruh telapak tangan di kepala Amarise. Namun, kali ini berupa usapan lembut yang membuat tubuh Amarise kaku. “Nic. Panggil aku tanpa label Paman. Usiaku baru tiga puluh empat tahun. Tidak setua pengacara keluarga kalian.”

Amarise menelan saliva sebisa yang ia mampu. Perempuan itu mencoba mendongak perlahan, melirik pria tampan dalam balutan setelan jas mahal. Ia tidak melihat pria berpakaian santai malam itu. Dan ia pikir, pria di atas Paradise Cruise, hanya selisih tiga sampai lima tahun di atasnya.

“Sekarang kamu adalah tanggungjawabku,” tegas Nic mengikis jarak yang membuat Amarise gugup.

Pria ini masih sangat memesona. Bahkan, jauh lebih memesona dan terlihat berkali lipat kaya raya saat Amarise sudah mengetahui secuil latar belakangnya. “Bisakah kita menjadi keluarga mulai hari ini?”

Amarise kaku saat kedua telapak tangan itu menyentuh kulit pipinya. Ia menoleh ke arah lain, tidak sanggup lebih dari lima detik menatap Nic yang memperlihatkan perlakuan lembut. “Aku tidak ingin merepotkanmu,” lirihnya sekaligus menjadi alasan terbaik agar Amarise bisa menjejakkan kaki ke Indonesia.

Lupakan tentang pelarian Amarise. Kali ini jauh lebih sial dan menjadi malapetaka karena kecerobohan Amarise tidak akan bisa dihapusnya dalam sekejap. Bahkan, ia sudah berani berulang kali mengagumi paman angkatnya sendiri.

“Tidak sama sekali, Rishi,” balasnya mengulas senyum yang berhasil mendebarkan perasaan Amarise.

“Ikutlah denganku untuk hidup tanpa bayang mantan kekasihmu,” bisiknya merengkuh tubuh ramping Amarise.

Sekejap, tubuh Amarise terbakar gairah oleh dekapan hangat dan maskulin Nic. Ia bingung, apakah bisa bertahan hanya dengan menatap pria ini sebagai paman dan keponakan?

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status