Share

3. Ajakan Sensual

Amarise menyisir luas kamar yang sepuluh kali lipat lebih besar dibandingkan kamar kecilnya. Ia memang berada di stratas sosial menengah saja. Kebutuhan tercukupi selama bersama orangtua. Hanya saja, pendapatan terbesar dari perkebunan tidak menentukan selamanya akan stabil dengan hasil panen juga kebutuhan lain.

“Bagaimana aku menjalani hari di mansion megah ini?” Ia menggigit bibir bawah.

Amarise merasa sekujur tubuhnya menggigil, meskipun belum ada tanda pergantian musim. “Bahkan, aku sudah lancang tidak menghadiri makan malam untuk kali pertama,” lanjutnya merasa frustrasi.

Ia belum terbiasa dengan satu anggota keluarga baru yang tidak memiliki hubungan darah, tapi memperlakukan Amarise seperti ini. “Demi Tuhan. Dia pria dewasa yang sangat memesona. Hanya disentuh dan dipeluk, pikiran dan tubuhku mulai bergejolak,” keluh Amarise memukul pelan kepala berulang kali.

“Aku merasa sudah gila,” desis perempuan berkulit putih yang mengenakan setelan piama.

Suara erangan Amarise mengisi keheningan ruang kamar kedap suara tersebut. “Lebih baik aku meminta maaf atas ketidakpedulianku ini,” cetusnya beranjak cepat sebelum berubah pikiran.

Amarise harus mencari keberadaan Nic, lalu meminta maaf karena tidak bisa memenuhi panggilan makan malam bersama. Setidaknya, cukup sedari siang ia berasalan lelah dan tidak keluar kamar sama sekali.

Malam ini, Amarise harus meminta maaf.

“Tuan sedang berada di area kolam renang, Nona.”

Sebelah alis Amarise terangkat. Di balkon kamar saja, udara sudah cukup dingin menurutnya. “Sendirian?” tanya perempuan itu memastikan.

“Benar. Baru sekitar dua puluh menit lalu Tuan berada di sana,” jelas pelayan muda yang Amarise temui sembarang di ruang tengah.

Perempuan muda itu mengangguk perlahan, meskipun ia mulai melirik sekitar. Ada pikiran penuh tanya yang ingin ia dapatkan jawabannya dari pekerja di sini. “Apa Tuanmu sudah memiliki keluarga? Ah, maaf. Maksudku, keadaan mansion ini terasa sepi tanpa keluarga terdekat atau keluarga kecil Pamanku,” jelas Amarise yang mengabaikan raut bingung pelayan muda itu.

“Tuan pria lajang, Nona. Sedangkan untuk keluarga besar, mereka tinggal di kota lain di negara ini. Setidaknya, itu yang aku ketahui selama tiga tahun bekerja di mansion ini.”

Amarise segera mengangguk, berterima kasih dan melanjutkan jalan menemui sang tuan rumah.

Langkah dari kaki jenjang itu melambat saat gelombang dan percikan air menandakan baru ada seseorang yang balik menenggelamkan tubuh.

Bayangan tubuh dari pantulan air jernih ditambah area temaram, membuat Amarise mendekati pinggir kolam. “Paman!”

Seruan Amarise digubris dalam sepersekian detik. Paras tampan menyembul di tengah kolam renang. Amarise harus menahan gejolak desiran melihat kedua lengan itu terangkat sekadar mengusap wajah dan rambut coklat Nic.

Astaga! Belum genap dua puluh empat jam aku berada di dekat pria berbahaya dengan sorot manis ini. Apa yang bisa kulakukan saat harus disuguhkan pesona pria lajang ini?! Amarise menjerit dalam hati, meskipun kedua pipi putih itu menunjukkan respons kentara.

Kedua sudut bibir Nic terulas kecil. “Kamu ingin bergabung?”

Amarise merasa kedua bola matanya ingin keluar. “T-tidak. Maksudku, aku ingin berbicara padamu, Paman.” berulang kali Amarise kehilangan keseimbangan saat harus berbicara pada Nic di keadaan tidak terduga.

“Kamu tampak sangat serius,” cetus Nic di tengah kolam, sedangkan Amarise mengangguk cepat.

“Aku ingin berbicara padamu sebentar, Paman.”

“Berapa kali harus memintamu untuk memanggilku Nic saja?”

Napas Amarise tercekat. Ia gugup saat harus melupakan status baru tersebut. Amarise bisa melupakan banyak hal jika kesadarannya menganggap Nic hanyalah pria asing yang begitu panas dan menggoda.

“Tunggu sebentar. Aku akan mendekatimu saja,” lanjut pria itu berenang ke arah tangga kolam.

Bukan segera mengendalikan diri yang hampir mencapai titik tenang. Amarise merasakan tubuhnya memanas melihat kemunculan Nic menaiki tangga.

Tubuh atletis Nic selaras dengan bentuk dada bidang juga perut liat. Amarise meneguk saliva sebanyak mungkin, lalu mengatur deru napas yang balik tidak stabil. Semakin dekat, celana renang itu menganggu pemandangan Amarise.

Nic meraih handuk kecil di kursi jemur. “Apa yang membuat tidur malammu terganggu, Sayang?”

Amarise gemetar saat jemari dingin beradu dengan pipi panas dan hangat Amarise. Ia tanpa sadar sedikit mundur, ditangkap bingung Nic.

Perempuan itu segera menunduk dalam. “Maafkan aku yang menolak ajakan makan malam untuk kali pertama tinggal di mansionmu, Paman,” ucapnya memejamkan mata, sengaja mengalihkan kontak dari milik Nic.

Ia benar-benar berubah menjadi perempuan dewasa yang haus belaian juga hasrat membumbung tinggi. Sial! Entah karena dikhianati Dion atau karena Nicholas Isaac memanjakan Amarise dengan banyak hal.

“Pertama, berhenti memanggilku dengan sebutan Paman, meskipun sekarang statusmu sebagai keponakanku. Kedua, aku memaklumi karena dirimu harus beradaptasi secara perlahan di negara dan tempat bernaungmu yang baru.”

Amarise mengangguk cepat. “Tapi aku masih merasa bersalah karena pernah menawarimu tubuhku,” cicit Amarise bersemu. Sampai kapan pun permasalahan ini tidak akan pernah hilang dari benaknya.

“Kamu terlalu banyak berbohong di awal pertemuan kita,” lanjut Amarise tanpa sadar mengerucutkan bibir.

Nic tertawa kecil seraya meraih dagu Amarise, membawa mereka saling bersitatap. “Bahkan, aku tidak tahu jika kamu sedang berada di Paradise Cruise.”

Sifat asli Amarise keluar seiring tatapan yang mulai memicing. “Kamu sangat berbakat mempermainkan sebuah sandiwara.”

Pria dewasa di hadapan Amarise tidak dapat menutupi tawa puasnya. Ia menepuk hangat pipi Amarise dan menjawab, “Maafkan aku, Rishi. Apa kamu membutuhkan banyak permintaan sebagai bentuk memaafkan kesalahanku?”

“Tidak perlu. Aku sudah lebih baik dengan banyak pakaian dan juga perhiasan di kamar baruku,” cetusnya dengan berbinar.

Selain dibuat kagum oleh kemewahan mansion, koleksi mobil mahal Nic. Ia juga dibuat melongo dari isi walk in closet yang sudah menjadi miliknya. Pakaian dengan harga mahal dari brand terkenal belum pernah dicicipi Amarise.

“Wajahmu sedikit pucat. Apa kamu belum memasukkan sedikitpun makanan untuk mengisi perutmu?”

“Eh?”

Amarise terkesiap. Ia bergetar saat pelukan dari lengan itu meraih pinggang bagian kiri Amarise. Bulir air masih menetes dari ujung rambut Nic. Bahkan, sensasi panas kembali menjalar saat Amarise harus menempel sedikit lekat dengan pria dewasa bertelanjang dada itu. “N-nic, kamu ....”

“Ada apa?”

“Jangan terlalu dekat,” cicitnya tidak bisa lagi menyembunyikan rasa salah tingkah.

Sudut bibir Nic tertarik, lalu berbisik lirih di telinga Amarise membawa debaran dan tubuh yang beranjak kaku. “Jika kamu bukanlah keponakan angkatku. Mungkin, kita bisa menghabiskan satu malam panas sesuai tawaranmu, Rishi Sayang,” bisiknya menggoda dengan satu gigitan kecil di cuping Amarise.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status