Tidak lama kemudian, Millie Raymond datang. Wanita itu mengenakan jeans panjang, tanktop ketat berkerah sangat rendah yang memberi pemandangan lebih jelas pada payudara besarnya. Wajahnya dipoles makeup berat yang menguatkan kecantikannya. Rambutnya yang lurus dan sangat panjang digerai dan diwarnai pirang terang.
Millie tampak mencolok, dan dia berjalan berlenggak-lenggok dengan sepatu berhak tinggi hitam, mengundang beberapa pasang mata tertuju padanya. Atau pada bokongnya yang seksi?
Untuk seorang wanita yang telah menyandang status sebagai istri dari seorang pria konglomerat kaya raya, Millie tentu saja tampak sangat muda dan modern. Wajahnya cantik dengan tubuh yang berbentuk sempurna. Sophia tidak ingin tahu apakah itu asli atau hanya hasil rekayasa tangan-tangan ahli para dokter kecantikan.
Ketika Millie telah sampai di meja mereka, wanita itu menyapa Albert dengan sangat antusias, lalu merunduk dan memeluk Albert, tidak lupa juga mendaratkan kecupan menggoda di pipinya.
Sophia hanya menatap interaksi ibu dan anak itu dengan tatapan bosan. Bahkan ketika Albert meliriknya setelah Millie duduk di tempatnya, raut wajah Sophia tidak berubah.
“Ah, Sophia, kau juga di sini rupanya.”
Memang sedari tadi dia ada di mana? Apa wanita ini buta?
Sophia tersenyum ramah. “Millie, apa kabar? Ya, aku sedari tadi memang di sini,” jawab Sophia, sedikit sarkas.
Namun sepertinya Millie tidak peduli. Dia kembali kepada Albert dan sepenuhnya mengabaikan Sophia.
“Albert, Sayang, bagaimana kabarmu?” tanya Sophia, menangkup wajah Albert dengan kekhawatiran yang dibuat-buat. “Apa kau makan dengan cukup baik? Oh Tuhan, kau pasti bekerja terlalu keras lagi, wajahmu tampak lelah.”
Ya, lelah karena kehadiranmu di sini, dengus Sophia dalam hati.
Selama mereka berbicara, yang Sophia ketahui bahwa hanya Albert seoranglah yang mencoba untuk fokus pada pembicaraan kerja sama bisnis mereka, karena sedari tadi Millie hanya melakukan hal-hal bodoh.
Sophia mendengus, melihat Millie menyentuh Albert setiap kali dia hendak mengucapkan sesuatu, lalu dengan sengaja melembutkan suaranya seolah dengan sengaja hendak menggodanya.
Sepanjang waktu itu berlalu, kehadiran Sophia sepenuhnya diabaikan, walau sesekali Albert meliriknya—tapi tentu saja Sophia tidak tahu.
Seorang pelayan datang membawakan segelas es krim vanila dan stroberi pesanan Sophia. Sontak Millie dan Albert menatapnya. Lalu entah sampai mana kebodohan wanita itu mempermalukan dirinya sendiri, Sophia berpikir, sampai Millie memesan es krim yang persis sama dengannya dan makanan-makanan manis penuh krim.
Mereka mengabaikan Sophia, Sophia juga tanpa pikir panjang mengabaikan mereka. Dia tengah sibuk dengan ponselnya, membaca-baca artikel berita terkini di internet yang rupanya jauh lebih menarik daripada keadaan sekitarnya.
Bahkan, saking asyiknya dengan ponsel, Sophia sampai tidak menyadari tatapan Albert yang menatapnya jengkel. Albert merasa sudah selesai pada pembicaraannya dengan Millie, masa bodoh dia menyimaknya atau tidak. Sama seperti yang Sophia pikirkan, Albert pun berpikir pertemuan ini sia-sia.
Namun, Albert tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Sophia. Wanita itu dengan santai memakan es krim vanilanya dengan tatapan yang terfokus pada layar ponsel. Apa yang membuat Sophia sangat tertarik pada benda itu? batin Albert tidak habis pikir.
Albert melihat cairan putih es krim di ujung bibir Sophia dan dengan refleks tangannya terulur mengusapnya.
“Kau seharusnya memperhatikan caramu makan,” decak Albert.
Sophia terkejut, tapi dengan cepat menutupinya. Dia segera mengambil tisu dan mengelap mulutnya sendiri untuk memastikan tidak ada lagi bekas es krim tertinggal di sana.
“Apa itu benar-benar lezat?” tanya Albert.
Sophia mengangkat tatapannya menatap lelaki itu, lalu mengangguk. “Kau mau?” tawarnya, mengambil sesendok penuh es krim rasa stroberi kesukaan Albert dan menyuapkannya pada lelaki itu dengan gestur santai seolah apa yang mereka lakukan sudah biasa terjadi.
Sophia mendengar kesiap Millie dan beberapa perempuan di meja di samping mereka, tetapi Sophia mengabaikannya dan tanpa merubah raut wajahnya, dia lanjut memakan es krimnya.
Millie terkekeh. “Ah, ternyata kau memang suka makanan manis ya, Al. Aku tidak salah telah memesankanmu kue-kue lezat ini dan es krim kesukaanmu.”
Cih! Dasar penjilat! batin Albert, menatap Millie dari ujung matanya.
“Millie, sepertinya pertemuan kita hari ini berjalan dengan cukup baik, aku akan mengirim semua datanya kepada sekretarismu agar lebih jelas.” Albert berdiri.
“Kau sudah akan pergi?” Millie bertanya dengan nada manja. Sedangkan Albert sedikit pun tidak terpengaruh.
“Ayo, Sophie.” Albert mengulurkan tangan kepada Sophie, yang disambut cepat oleh perempuan.
“Millie, kami pergi dulu,” basa-basi Sophia kepada Millie, diikuti senyum singkat.
Millie tampak tidak senang, berdecak, lalu bangkit dari duduknya dan mencium pipi Albert mesra.
Sophia lagi-lagi mendengar kesiap kecil dari beberapa wanita yang duduk tidak jauh dari meja mereka. Genggaman tangan Albert pada tangan Sophia mengencang, lelaki itu nyaris menyeretnya keluar dari café dan memasukkannya ke mobil.
“Aku tidak akan pergi bersamamu. Aku sudah memberi tahu Jordy untuk menjemputku,” kata Sophia setelah Albert ikut masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya.
Rahang tegas nan tirus milik Albert yang ditumbuhi sedikit jenggot, mengencang. Dia menoleh pada Sophia dan berkata, “Kau akan ikut denganku!”
Sophia mengernyit heran pada nada berbicara lelaki itu yang seolah mengandung rasa keposesifan.
Atau itu hanya khayalan Sophia saja? Albert tidak akan pernah merasa seperti itu padanya.
“Baiklah,” sahut Sophia, tidak ingin membantah. Atau lebih tepatnya, tidak ingin berargumen apa pun dengan pria ini.
***
Matahari pagi menerpa wajahnya, memberikan ilusi seolah sinar suci keluar dari pori-porinya. Dan semua anak rambutnya yang berantakan di kepala dan sekitar wajah nya, berwarna keemasan alih-alih cokelat gelap.Albert tersenyum, menatap Sophia dengan mata teduh. Kebiasaan yang sudah dimilikinya sejak lama; bangun pagi-pagi supaya bisa menyisihkan waktu setidaknya setengah jam untuk berpuas diri menatap wajah istrinya itu.Anak pertama mereka sudah lahir, putra bermahkota yang membawa pesan baik; Istvanzino Raymond.Perhatian keduanya jadi terbagi antara satu sama lain dengan anak mereka yang baru berusia satu tahun. Tidak banyak waktu yang Albert habiskan bersama Sophia, begitu pun sebaliknya. Tapi itu tidak apa, karena dia menyayangi putranya lebih dari apapun, dia akan mengorbankan segalanya. Dan Albert tidak ragu bahwa Sophia juga pasti akan melakukan hal yang sama.Hanya pada waktu pagi hari, beberapa saat sebelum Istvanzino terbangun, Albert memiliki
“Albert.”Albert yang tengah memusatkan tatapannya pada layar laptop menoleh pada Sophia yang berdiri di hadapannya sembari berkacak pinggang. Perutnya yang telah membesar mengintip keluar dari kaus polos yang dia kenakan, dan pemandangan itu benar-benar menggemaskan, sukses mengalihkan fokus Albert seketika.“Ada apa, Sophie?”Kening wanita itu berkerut-kerut dalam. Albert mengernyit, kemudian bertanya dengan nada cemas. “Kenapa? Apa perutmu sakit?”Sophia menggeleng.“Lalu?”“Apa kau ingat dengan kalung yang … dulu aku berikan padamu?”“Kalung yang mana?”Tatapan mata Sophia tampak gelisah. Dia mencoba untuk menjelaskan sesuatu yang tampaknya sulit untuk dia jelaskan.“Kalung … yang dulu sering aku kenakan,” ucapnya.Albert mencoba untuk mengingat-ingat, tidak butuh lama dia pun langsung teringat. Tapi keberadaan benda tersebut memang benar-benar telah Albert lupakan.“Ya, kenapa dengan kalung itu?” tanya
Bulan-bulan berlalu begitu saja.Musim dingin telah berganti menjadi musim semi, kemudian matahari terasa semakin tinggi dan musim panas pun datang. Usia kandungan Sophia sudah menginjak minggu ke dua puluh enam, atau sekitar tujuh bulan.Semuanya masih terasa sama, kecuali tubuhnya yang membesar dan keposesifan suaminya yang semakin menjadi. Selain perut yang membuncit, Sophia tidak mengalami perubahan signifikan pada area tubuhnya yang lain, tapi justru Albert yang mengalami perubahan-perubahan itu.Selama tiga minggu terakhir, Albert merutinkan olahraga untuk menjaga kondisi tubuhnya dalam bentuk yang ideal. Dia telah memakan makanan yang seharusnya Sophia makan, dia melakukan hal-hal yang seharusnya Sophia ingin lakukan. Dia juga masih sangat sensitif pada aroma dan masing sering muntah-muntah.Sophia tidak mengerti kenapa justru Albert yang mengalami semua itu. Bukankah seharusnya dirinya sebagai ibu yang mengandung? Tapi Dokter mengatakan bahwa itu
Siang yang mendung ini Sophia bangun dengan perasaan ringan di dadanya. Dia menggeliat sekaligus menguap untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku. Saat melirik pada jendela yang gordennya telah terbuka, salju turun dari langit dan semuanya nyaris tampak berwarna putih.Sophia pun bangkit duduk sembari menahan selimut untuk menutupi dadanya. Dia mengusap leher ketika mengingat aktivitasnya semalam dengan sang suami, Sophia nyaris merasa bahwa sentuhan pria itu masih tertinggal di kulitnya.Saat menoleh ke samping, dia tidak menemukan Albert di sana, dan seprai terasa dingin yang artinya Albert sudah bangun cukup lama. Sophia lantas bangkit, lalu dilepasnya selimut yang tadi menutupi tubuhnya, kemudian berjalan tanpa sehelai benang pun menuju tempat lilin aroma terapi masih menyala, Sophia meniupnya.Dia membutuhkan benda itu, karena ada begitu banyak lukisan di kamarnya ini sekarang. Aroma cat minyak masih tercium dari lukisan-lukisan yang belum sepenuhnya kering,
Suara deburan ombak memecah kesunyian malam. Semilir angin kencang bertiup, membawa aroma laut yang khas, menerbangkan embun air asin ke bibir pantai. Paula yakin kalau dia berdiri lebih lama di sana dia mungkin akan kembali ke kamar hotelnya dengan pakaian basah.Di akhir tahun yang terasa dingin di Inggris, membuat Paula memutuskan untuk berlibur ke Miami. Dia tidak pernah menyukai musim dingin. Baginya fashion di musim dingin itu terlalu membosankan, dia punya segudang pakaian untuk dipadupadankan di lemarinya.Namun jauh di dalam, alasan mengapa Paula pergi adalah bukan karena itu. Melainkan sesuatu yang mengganggu sikap rasionalnya akhir-akhir ini.Alexander Harrison. Pria yang dia pikir akan benar-benar memberinya cincin pertunangan, pergi meninggalkannya, sama seperti pria-pria sebelumnya.Melihat bagaimana Sophia, adik bungsunya yang kaku itu, bahagia dengan curahan cinta dari seorang pria, membuat Paula iri. Terlebih, pria itu adalah Albert Raymo
Rasanya dingin.Sekujur tubuh dan ulu hatinya seolah membeku. Jalanan yang ramai tidak berhasil menepis rasa kesepian dan keputusasaan yang dia rasakan di dalam. Ucapan wanita itu terus terngiang dalam benaknya.Sophia Raymond.Apakah ini karma? pikir Cecilia.Sekarang, setelah dia tahu bahwa anak di dalam perutnya bukanlah anaknya bersama Albert, rasanya sedikit menyakitkan dan sulit dipercaya. Tapi kalau bukan Albert, siapa? Cecilia tahu bahwa dia telah bersikap seperti wanita murahan ketika memutuskan untuk mendekati Albert Raymond, namun pesona pria itu tidak bisa dia bantah, dan ayahnya saat itu begitu bangga ketika tahu Cecilia memiliki hubungan dekat dengan seorang seperti Albert.Cecilia merasa bahwa dia tidak bisa kehilangan lelaki itu, apapun alasannya, karena itu artinya dia akan kehilangan perhatian keluarganya juga. Sebab hanya dengan bersama Albert, dia akan dianggap berguna oleh ayahnya yang serakah.Namun kini, saat Cecilia s