Albert tidak pernah membawa teman wanitanya ke rumah. Atau yang lebih suka Sophia sebut secara gamblang, selingkuhannya.
Sophia tahu Albert memiliki unit apartemen mewah di kota, dan Sophia yakin ke sanalah Albert membawa selingkuhan-selingkuhannya singgah. Sophia sama sekali tidak merasa diperlakukan spesial karena hanya dirinya seoranglah yang Albert bawa ke sini. Tentu saja, karena dia istri pria itu.
Tapi sekali lagi, label istri itu tidak membuat Sophia merasa lebih.
Momen makan malam kemarin telah rusak dari pikiran Sophia ketika paginya dia membaca gosip tentang kembalinya si Pirang alias Cecile, ke pelukan Albert Raymond.
Sophia tidak tahu mengapa seseorang benar-benar dibayar untuk menulis sesuatu semacam itu. Tidakkah mereka memiliki topik lain yang lebih bermanfaat untuk disajikan? Apa bagusnya dari mengintili kehidupan hubungan gelap seseorang dan menghardik rumah tangganya?
Well, untuk beberapa orang, atau mungkin banyak orang, hal itu memang menarik untuk diikuti.
Tapi Sophia lebih berharap bahwa dirinya hanya orang biasa saja, yang namanya tidak pernah tertulis di media. Apalagi disangkutpautkan dengan kegiatan bejat sang suami yaitu perselingkuhannya.
Selama ini, Sophia hanya diam, mengorbankan banyak hal dalam hubungan pernikahan busuk ini, termasuk harga dirinya sendiri. Namun, Sophia tidak pernah mengatakan apa pun, dia menerima semuanya begitu saja tanpa syarat, sekalipun sakit.
Dua hari setelah berita itu dirilis, tidak ada lagi berita apa pun tentang Albert. Tidak ada foto yang menampilkan dirinya memasuki sebuah hotel dengan si Pirang, atau foto ketika mereka bersama. Dan siang ini, Albert meminta Sophia untuk datang ke sebuah restauran yang telah ia sebutkan alamatnya.
Sophia tentu tahu untuk apa. Satu dari beberapa hal dirinya bisa dikatakan berguna sebagai istri, yaitu ikut dalam sebuah pertemuan resmi dengan klien. Tidak mungkin, kan, Albert membawa sang selingkuhan secara terang-terangan.
Sophia pun bersiap untuk pergi ke sana. Dia mengenakan gaun selutut berwarna hitam, berkerah tinggi, dan berlengan panjang. Rambutnya yang bergelombang sengaja ia gerai di punggung dengan jepitan kecil sebagai pemanis di atas telinga. Lalu setelah itu memoleskan makeup natural pada wajahnya.
Beberapa saat kemudian, setelah sampai pada tujuan, pintu mobil dibuka oleh sopirnya. Sophia keluar dengan heels setinggi lima sentimeter, diikuti kaki mulus tanpa cela, dan berjalan memasuki restoran dengan raut datar dan tatapan dinginnya yang khas.
Sophia melihat Albert tengah menatap layar tabletnya di meja yang sepertinya terlalu terbuka untuk melakukan sebuah pertemuan, tapi Sophia tidak perlu bertanya alasannya. Dia mendekat dan pandangan mereka bertemu. Sophia ingin tidak merasakan apa pun, tapi tubuhnya justru bereaksi sebaliknya.
Albert tidak tampak seperti pria pemain wanita yang sering ada, pandai merayu dan memiliki tatapan mata menggoda. Karena Albert tidak perlu menggunakan kata rayuan apa pun untuk membuat wanita bertekuk lutut padanya. Tatapan lelaki itu juga tidak tampak seolah ia tengah menggoda, atau jenaka. Sophia mendapatinya selalu intens, tajam, dan misterius. Dia tampak seperti pria gila kerja alih-alih gila perempuan.
Tapi siapa sangka, kan? Dia tidak lebih dari seorang bajingan.
Sophia duduk di hadapan Albert dengan tatapan yang masih tertuju pada laki-laki itu. Akhir-akhir ini, entah kenapa mereka menjadi lebih sering melakukan kontak mata, entah disengaja maupun tidak.
“Jadi, siapa yang akan kita temui?” tanya Sophia, mengalihkan pandang pada buku menu di atas meja.
“Ibuku.”
Sophia langsung berhenti membaca deretan nama makanan itu dan menatap Albert dari balik buku menu.
“I-ibumu?”
Sophia teringat akan pertemuan pertamanya dengan wanita itu di hari pernikahannya dengan Albert. Sebenarnya, wanita yang sepanjang upacara pernikahan menatap Sophia penuh kebencian itu adalah ibu tiri Albert.
Hubungan pria itu dengan sang ibu tiri sangatlah buruk. Dan kalau boleh jujur, Sophia sangat tidak menyukainya. Millie Raymond selalu menatap Sophia dengan tatapan yang selalu membuat Sophia tidak nyaman, dan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya selalu terkesan menghina.
Dan dari apa yang Sophia perhatikan sepanjang upacara pernikahan mereka saat itu, Albert juga tidak menyukai ibu tirinya. Hanya saja sepertinya sang ibu tiri tampak sangat menyayangi Albert dengan cara yang, menurut Sophia, sedikit berlebihan.
“Aku tahu kau tidak menyukainya,” kata Albert, menatap Sophia, memperhatikan perubahan raut wajahnya dengan sangat jelas.
Sophia mendengus, kembali menatap daftar menu di tangannya. “Aku tidak bisa menyangkal,” sahutnya secara terang-terangan, sama sekali tidak peduli jika karena ucapannya itu Albert akan tersinggung.
Albert memang tidak tersinggung, malah menyeringai lebar seolah terhibur oleh respon Sophia itu.
“Akhir-akhir ini, kau tampak semakin menawan saja,” ungkap Albert tiba-tiba.
Sedang Sophia hanya menatapnya sekilas dan melengos begitu saja, seolah tidak terpengaruh sama sekali oleh pujian yang dilontarkan lelaki itu.
Seringaian Albert semakin lebar.
Matahari pagi menerpa wajahnya, memberikan ilusi seolah sinar suci keluar dari pori-porinya. Dan semua anak rambutnya yang berantakan di kepala dan sekitar wajah nya, berwarna keemasan alih-alih cokelat gelap.Albert tersenyum, menatap Sophia dengan mata teduh. Kebiasaan yang sudah dimilikinya sejak lama; bangun pagi-pagi supaya bisa menyisihkan waktu setidaknya setengah jam untuk berpuas diri menatap wajah istrinya itu.Anak pertama mereka sudah lahir, putra bermahkota yang membawa pesan baik; Istvanzino Raymond.Perhatian keduanya jadi terbagi antara satu sama lain dengan anak mereka yang baru berusia satu tahun. Tidak banyak waktu yang Albert habiskan bersama Sophia, begitu pun sebaliknya. Tapi itu tidak apa, karena dia menyayangi putranya lebih dari apapun, dia akan mengorbankan segalanya. Dan Albert tidak ragu bahwa Sophia juga pasti akan melakukan hal yang sama.Hanya pada waktu pagi hari, beberapa saat sebelum Istvanzino terbangun, Albert memiliki
“Albert.”Albert yang tengah memusatkan tatapannya pada layar laptop menoleh pada Sophia yang berdiri di hadapannya sembari berkacak pinggang. Perutnya yang telah membesar mengintip keluar dari kaus polos yang dia kenakan, dan pemandangan itu benar-benar menggemaskan, sukses mengalihkan fokus Albert seketika.“Ada apa, Sophie?”Kening wanita itu berkerut-kerut dalam. Albert mengernyit, kemudian bertanya dengan nada cemas. “Kenapa? Apa perutmu sakit?”Sophia menggeleng.“Lalu?”“Apa kau ingat dengan kalung yang … dulu aku berikan padamu?”“Kalung yang mana?”Tatapan mata Sophia tampak gelisah. Dia mencoba untuk menjelaskan sesuatu yang tampaknya sulit untuk dia jelaskan.“Kalung … yang dulu sering aku kenakan,” ucapnya.Albert mencoba untuk mengingat-ingat, tidak butuh lama dia pun langsung teringat. Tapi keberadaan benda tersebut memang benar-benar telah Albert lupakan.“Ya, kenapa dengan kalung itu?” tanya
Bulan-bulan berlalu begitu saja.Musim dingin telah berganti menjadi musim semi, kemudian matahari terasa semakin tinggi dan musim panas pun datang. Usia kandungan Sophia sudah menginjak minggu ke dua puluh enam, atau sekitar tujuh bulan.Semuanya masih terasa sama, kecuali tubuhnya yang membesar dan keposesifan suaminya yang semakin menjadi. Selain perut yang membuncit, Sophia tidak mengalami perubahan signifikan pada area tubuhnya yang lain, tapi justru Albert yang mengalami perubahan-perubahan itu.Selama tiga minggu terakhir, Albert merutinkan olahraga untuk menjaga kondisi tubuhnya dalam bentuk yang ideal. Dia telah memakan makanan yang seharusnya Sophia makan, dia melakukan hal-hal yang seharusnya Sophia ingin lakukan. Dia juga masih sangat sensitif pada aroma dan masing sering muntah-muntah.Sophia tidak mengerti kenapa justru Albert yang mengalami semua itu. Bukankah seharusnya dirinya sebagai ibu yang mengandung? Tapi Dokter mengatakan bahwa itu
Siang yang mendung ini Sophia bangun dengan perasaan ringan di dadanya. Dia menggeliat sekaligus menguap untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku. Saat melirik pada jendela yang gordennya telah terbuka, salju turun dari langit dan semuanya nyaris tampak berwarna putih.Sophia pun bangkit duduk sembari menahan selimut untuk menutupi dadanya. Dia mengusap leher ketika mengingat aktivitasnya semalam dengan sang suami, Sophia nyaris merasa bahwa sentuhan pria itu masih tertinggal di kulitnya.Saat menoleh ke samping, dia tidak menemukan Albert di sana, dan seprai terasa dingin yang artinya Albert sudah bangun cukup lama. Sophia lantas bangkit, lalu dilepasnya selimut yang tadi menutupi tubuhnya, kemudian berjalan tanpa sehelai benang pun menuju tempat lilin aroma terapi masih menyala, Sophia meniupnya.Dia membutuhkan benda itu, karena ada begitu banyak lukisan di kamarnya ini sekarang. Aroma cat minyak masih tercium dari lukisan-lukisan yang belum sepenuhnya kering,
Suara deburan ombak memecah kesunyian malam. Semilir angin kencang bertiup, membawa aroma laut yang khas, menerbangkan embun air asin ke bibir pantai. Paula yakin kalau dia berdiri lebih lama di sana dia mungkin akan kembali ke kamar hotelnya dengan pakaian basah.Di akhir tahun yang terasa dingin di Inggris, membuat Paula memutuskan untuk berlibur ke Miami. Dia tidak pernah menyukai musim dingin. Baginya fashion di musim dingin itu terlalu membosankan, dia punya segudang pakaian untuk dipadupadankan di lemarinya.Namun jauh di dalam, alasan mengapa Paula pergi adalah bukan karena itu. Melainkan sesuatu yang mengganggu sikap rasionalnya akhir-akhir ini.Alexander Harrison. Pria yang dia pikir akan benar-benar memberinya cincin pertunangan, pergi meninggalkannya, sama seperti pria-pria sebelumnya.Melihat bagaimana Sophia, adik bungsunya yang kaku itu, bahagia dengan curahan cinta dari seorang pria, membuat Paula iri. Terlebih, pria itu adalah Albert Raymo
Rasanya dingin.Sekujur tubuh dan ulu hatinya seolah membeku. Jalanan yang ramai tidak berhasil menepis rasa kesepian dan keputusasaan yang dia rasakan di dalam. Ucapan wanita itu terus terngiang dalam benaknya.Sophia Raymond.Apakah ini karma? pikir Cecilia.Sekarang, setelah dia tahu bahwa anak di dalam perutnya bukanlah anaknya bersama Albert, rasanya sedikit menyakitkan dan sulit dipercaya. Tapi kalau bukan Albert, siapa? Cecilia tahu bahwa dia telah bersikap seperti wanita murahan ketika memutuskan untuk mendekati Albert Raymond, namun pesona pria itu tidak bisa dia bantah, dan ayahnya saat itu begitu bangga ketika tahu Cecilia memiliki hubungan dekat dengan seorang seperti Albert.Cecilia merasa bahwa dia tidak bisa kehilangan lelaki itu, apapun alasannya, karena itu artinya dia akan kehilangan perhatian keluarganya juga. Sebab hanya dengan bersama Albert, dia akan dianggap berguna oleh ayahnya yang serakah.Namun kini, saat Cecilia s