Share

6.

Heh! Demi apa gibran jadi pemeran film mata untuk Anjani? KOK LO GAK NGOMONG KE GUE?!!!'

Pagi-pagi udah disodorin chat w******p dari Tania. Antara gue harus bersyukur atau sedih, karena dia ngechat gue lagi tapi tentu aja gara-gara si Gibran meranin Kahfi. Mana ada orang yang udah ngeblokir nomor temennya dua bulan lebih, gak mau kontakin lagi, tiba-tiba ngechat berhubungan sama idolanya. Ada rasa bersyukur sedikit sih, karena dari typingnya Tania, dia udah keliatan 'biasa' lagi ke gue, tapi tentu aja bukan gue yang dia cari.

Kalau boleh jujur, sekalinya gue dikecewain atau dikhianatin sama seseorang, entah itu teman atau sahabat atau bahkan keluarga, karakter gue gak akan bisa balik seasik dulu sebelum dikecewain, karena meskipun mulut gue ngucapin maaf, tapi pikiran dan hati gue selalu ingat kejadian yang mengecewakan itu ketika ketemu orangnya.

Jadi dengan kesimpulan itu, gue cuman baca chat dari Tania tanpa membalasnya.

Yaiyalah, meskipun masalahnya udah dua bulanan, tapi gue bukan orang yang bisa seenaknya dijauhin terus dideketin semaunya. Dia juga langsung aja ngechat begitu, tanpa ngomong salam, tanpa ngomong maaf, seakan gue dan dia ya kayak biasa gak ada masalah.

Kalau kalian mau anggap gue selfish, egois atau lainnya, terserah ya, ini masalah hati gue, ya walaupun permasalahan gue sama Tania ya tentu aja dua-duanya punya kesalahan yang sama.

Kebiasaan nih si Thamina mah, pagi-pagi udah overthinking galau gak jelas.

Thami, tenang oke, gak usah terlalu dipikirin. Tarik nafas, buang nafas.

Setelah gue ngerasa cukup tenang, gue memilih menghubungi salah satu crew film mata untuk Anjani, minta izin kalau hari ini mau ke lokasi syuting, untuk lihat progres syuting filmnya sampai mana.

Sebenernya bukan wewenang gue buat tahu filmnya harus seperti apa, progresnya gimana, cuman gue kepo aja gimana proses syuting film, karena gue cuman penikmat film di bioskop aja. Buat nambah teman juga sebenernya, lumayan kan temenan sama artis, atau ada salah satu yang bisa nyantol jadi jodoh gue kan, siapa tahu.

Setelah pesan terkirim, gue menyandarkan tubuh gue di sofa, lalu memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan pikiran gue.

Padahal ini masih pagi, sekitar setengah 9, eh ini masih disebut pagi kan? Tapi rasanya otak gue udah dipaksa bercabang memikirkan banyak hal.

Kurang lebih 10 menit gue menunggu balasan pesan dari Mbak Aila--salah satu crew film yang gue maksud, dia sebagai Astrada--. Gue kenal Mbak Aila karena dikenalin pak Rama pas gue datang lihat para pemain lagi Reading naskah.

Gue tersenyum saat tahu Mbak Aila membolehkan gue untuk datang ke lokasi syuting, malahan udah dikasih alamat lokasinya segala.

Tanpa babibu gue langsung beranjak dari posisi gue untuk mengganti baju dan celana pendek santai gue dengan kemeja oversize bewarna biru muda, yang gue padukan sama celana jeans biru.

Ya beginilah kehidupan gue sebagai penulis, gabut tapi sebenernya ada tulisan cerita yang belum gue selesaikan yang tanggal deadlinenya udah mepet, tapi gue berasa gak ada beban santai aja.

***

Gue menyapa beberapa crew dan para artis yang gue kenal dengan senyuman, ketika papasan sama mereka.

Gue segera menghampiri Mbak Ana yang lagi istirahat di salah satu tenda yang ada di sekitar lokasi syuting. Beberapa tenda berjajar dibangun untuk istirahat para crew, sebagai tempat penyimpanan properti syuting atau kamera dengan penunjangnya, dan sebagai ruang tunggu pemeran yang akan take syuting. Di hari ke lima sampai hari ke sepuluh, syuting dilakukan di tempat outdoor.

"Mbak, syutingnya udah kelar?" Tanya gue, setelah akhirnya bertanya-tanya ke beberapa orang di mana Mbak Ana istirahat, dan orang yang gue cari sekarang udah ada di hadapan gue dengan naskah tebal di tangannya.

Meskipun Mbak Ana hanya penulis naskah bersama Mas Fakhri, tapi mereka  ditugaskan stay di lokasi syuting tetapi gantian selang sehari atau beberapa hari sekali, siapa tahu ada naskah yang diimprovisasi oleh pemeran dan Mbak Ana, Mas Fakhri harus menjaga supaya naskah tetap aman dan improvisasi pemain tidak melenceng, ditakutkan improvisasinya nanti terlalu jauh dan merusak alur.

Gue ke sini langsung menghampiri Mbak Ana, karena dari awal ya memang dia yang gue kenal dan mulai akrab juga. Gue orangnya introvert, dan sejujurnya males untuk membuka diri berbaur dengan orang lain, jadi ya gini, ke lokasi syuting yang gue samperin malah Mbak Ana.

"Enggak, lagi break makan siang, duduk sini Tha. Sendirian ke sini Tha?"

Gue menganggukan kepala untuk menjawab pertanyaan Mbak Ana. Ya gini lah hidup jomblo gak punya keluarga--ada sih bang Ilyasa, tapi jauh kan--, ke mana-mana sendirian, tapi gue enjoy dan gak ngerasa sepi sih.

"Mbak, sejauh ini naskah masih aman dan sesuai sama keinginan gue 'kan? Gak melenceng?" Tanya gue penasaran, soalnya gue takut naskah direvisi lagi tanpa sepengetahuan gue.

Bukan bermaksud idealis, balik lagi ya gue cuman gak mau filmnya nanti melenceng jauh dari novelnya, trauma banget nontonin film yang diadaptasi dari novel tapi alurnya jauh banget dari novelnya.

"Aman kok, revisi naskah terakhir 'kan gue diskusiin sama lo walaupun lewat chat."

Gue menganggukan kepala untuk menanggapi pernyataan Mbak Ana.

"Perasaan lo gimana sekarang? Syuting filmnya udah lancar sampai hari ini, hari ke enam syuting loh."

Gue berpikir sejenak, jujur aja agak bingung gimana gue ngedeskripsiin perasaan gue.

"Sejujurnya kurang tahu apa yang gue rasain Mbak, karena semuanya campur aduk. Seneng, takut, ragu, bingung, dan ada kurang sukanya."

Gue terdiam menatap raut wajah Mbak Ana yang ketara bingungnya.

"Kok gitu? Jelasin dong senengnya kenapa, takut dan lainnya kenapa."

"Senengnya karena ya akhirnya ada salah satu novel gue bisa jadi film, takutnya ya takut ngecewain penggemar novel mata untuk Anjani karena mereka udah berekspektasi dan berharap banyak sama filmnya, ragu kalau karya gue gak sebagus itu buat dijadiin film, bingung karena masih gak percaya aja, dan eum.. kurang sukanya karena ada salah satu pemain yang aku kurang srek aja."

"Kurang srek gimana?"

"Mbak, kok pembicaraannya makin serius sih." Protes gue ketika nada bicara Mbak Ana semakin tegas, apalagi ekspresi wajahnya mendukung.

"Ya gak papa dong. Lo bisa cerita keluh kesah, kelebihan dan kekurangan untuk film ini yang rasanya mungkin ganggu pikiran lo."

"Euu.. kurang suka sama pemeran Kahfi, kenapa harus diperanin sama Gibran."

Gue lihat Mbak Ana mengerenyitkan dahinya nampak bingung dengan pernyataan yang gue lontarkan.

"Why? Pas gue baca naskah yang udah finalnya, gue malah bayangin Kahfi visualnya kayak Gibran."

"Menurut gue sih kurang cocok aja ya, Mbak. Pas nulis novel ini, bayangan Kahfi sama sekali jauh dari Gibran, dan menurut gue akting dia agak gimana gitu. Bukan maksud menjelekan, tapi peran Kahfi di sini kan penting banget, jadi berasa kurang rela aja kalau visualnya kurang sesuai."

Mbak Ana terkekeh mendengar alasan gue. Terserah dia lah mau mikir gimana, seenggaknya gue udah jujur 'kan? Walaupun gue gak menjelaskan lebih gamblang lagi.

"Iya sih, pemikiran kamu bener juga. Tapi gak ada salahnya kan Gibran jadi Kahfi, yang milih Gibran juga pak produser langsung loh tanpa casting, padahal artis lain casting termasuk Anara yang jadi Anjani. Daripada kamu overthinking ke sana, mending tunggu aja hasilnya, kita percayain sama pak sutradara dan pak produsernya. Atau nanti kamu lihat deh pas Gibran take adegan."

Gue hanya menganggukan kepala untuk menanggapi ucapan Mbak Ana, karena ya bingung harus ngomong atau nambahin apa, males juga kalau harus debat untuk mertahanin pendapat gue.

***

Gue agak menggerutu ketika nanya-nanya ke yang lain di mana toilet, dan ternyata agak jauh ke belakang dari tenda yang di tempati Mbak Ana.

Bukan bermaksud lebay, tapi ini tiba-tiba perut gue sakit pengen BAB dan ternyata toiletnya agak jauh, belum jalannya yang banyak kerikil, buat gue beberapa kali mau jatoh karena kurang seimbang dan buru-buru jalannya.

Gue akhirnya bisa bernafas lega ketika melihat toilet jaraknya tinggal tiga meter dari gue berdiri. Gue mengumpulkan sedikit tenaga, lalu mulai berlari buat masuk toilet.

"Heh! Awas gue duluan!"

Gue tersentak ketika tubuh gue terdorong ke samping, ketika baru aja sampai di depan pintu toilet.

Gue melirik ke arah orang yang berani dorong gue seenaknya, dan di sana udah ada si artis songong yang beberapa detik kemudian langsung nyelonong masuk ke dalam toilet.

Ingin rasanya mengumpat si artis songong itu lebih kasar, tapi urusan perut gue lebih penting sekarang. Akhirnya gue masuk ke toilet yang ada di sebelahnya.

Itu lah yang gue bingungin plus kesel, di sini ada tiga toilet berjajar, tapi dengan seenak jidat dia malah dorong gue buat masuk ke toilet yang tadinya emang mau gue masukin.

Desahan lega keluar dari mulut gue gitu aja ketika akhirnya gue bisa mendudukan tubuh gue di closet duduk, dan membuang hajat gue.

Gue mengerenyit dahi bingung ketika mendengar dua suara lawan jenis yang terdengar sedang berdebat lumayan hebat, sesaat setelah gue membuka pintu toilet untuk keluar dari sini.

Jiwa kepo gue merasa terpanggil tentu aja.  Dengan berjalan pelan supaya gak ada suara yang ditimbulkan langkah kaki gue, gue mulai mendekati sumber suara itu.

Baru beberapa langkah menjauh dari toilet, suara-suara debat yang nyaring itu tiba-tiba ilang.

Mata gue melotot tanpa bisa ditahan, tangan gue ngebekep mulut gue yang dengan kuat buat nahan teriakan yang mau gue keluarin pas tahu dari mana sumber suara tadi berasal, yang kemudian hilang.

Beberapa meter dari gue, terhalang pohon pinus tapi masih gue bisa lihat jelas, Gibran dan Anindita--salah satu aktris kesukaan gue, sekaligus pemeran di film untuk Anjani-- lagi asik ciuman. CIUMAN, gue tekenin.

YA ALLAH, MATA GUE TERNODAI!

Gue emang bukan orang alim, gue juga pernah nonton scene ciuman di drakor atau baca di novel, tapi nyaksiin secara langsung ya baru sekali seumur hidup.

"LAGI NGAPAIN KALIAN?!"

Bersambung

(Selesai ditulis pada hari Jumat, 2 juli 2021, pukul 22.52 wib).

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status