Share

5.

Thami, dua minggu lagi proses syuting akan segera dimulai, kami sudah menemukan aktor dan aktris yang cocok untuk memerankan tokoh-tokoh yang ada di novel. Sekarang lagi proses reading, kalau kamu punya waktu, boleh datang ke kantor seperti biasa.'

Tiga minggu gak ada kabar kejelasan mengenai pemerannya, tiba-tiba udah sampe reading aja. Cukup istighfar dah gue.

Gue kira kurang lebih dalam tiga minggu gak ada kejelasan tuh, pihak production pusing nentuin pemerannya, ternyata udah sampai reading aja, itu berarti ya semua pemeran dari utama sampai figuran udah ada dong. Ya, pada akhirnya, se-selektifnya gue di projek film yang diangkat dari novel gue, akan kalah dengan keputusan mereka yang gak bisa diganggu gugat.

Ya udahlah kalau pemerannya udah pada ketemu, semoga sesuai harapan aja. Niat gue sekarang adalah diem di Apartement, dan kalau proses syuting udah mau dimulai, baru deh gue lihat. Apakah pemerannya sesuai dengan bayangan gue, atau malah mengecewakan? Let's see!

Bukan bermaksud perfeksionis ataupun idealis, tapi gue cuman mau  film yang diadaptasi dari karya gue harus sesuai dengan keinginan gue, maupun pencinta novel Mata untuk Anjani itu. Dulu pas nulis novel ini tuh bener-bener nguras pikiran, tenaga, waktu dan mood, karena ceritanya yang agak kompleks, terus gue harus bener-bener nge-feel pas nulisnya, supaya pembaca juga bisa merasakan feeling yang udah gue buat tentang novel ini.

Gue mengerjapkan mata lalu beristighfar saat merasa gue tersadar dari lamunan. Gue mulai menatap kembali laptop yang ada di hadapan gue, tentu saja dengan file cerita yang belum gue rampungkan. Jujur aja kali ini agak mentok dengan alur novel yang gue buat. Gue kurang bisa fokus karena pikiran gue benar-benar terbagi, tentang film, deadline novel selanjutnya dan eumm... masalah gue sama Tania. Sampai detik ini Tania ataupun gue belum melakukan kontak entah chatting, telpon ataupun ketemu. Karena pertama, Tania blokir semua kontak dan media sosial gue, ya gue cuman bisa bereaksi untuk nerima. Kedua, gue pernah nyoba datang ke Apartementnya beberapa kali, dan selalu gak ketemu, atau mungkin dia tahu gue ke sana dan selalu ngehindar, terus password Apartemennya juga kayaknya udah dia ganti, soalnya pas gue masukin password yang gue inget karena dikasih tahu Tania, password itu selalu salah. Gue dan Tania emang membebaskan buat mengetahui password Apartement satu sama lain, tapi itu dulu, ya.

Gue berharap semuanya bisa diperbaiki, karena emang bagi gue masalahnya sepele, tapi mungkin bagi Tania masalah besar sampai harus blokir nomor dan semua sosial media gue. Ini pertama kalinya Tania bertindak ke gue kayak gitu, ya gue terima-terima aja pada akhirnya. Gue rasa kekanakan sih tingkah Tania, karena dia tahu gue benci idolanya, dan dia maksain gue buat ikut ke acara idolanya, dan ketika gue bertindak mengutarakan rasa benci gue yang dia tahu, dia seolah menyudutkan bahwa dalam masalah ini memang gue orang yang paling bersalah, tanpa mikir dari mana akarnya.

Eh maaf ya jadi curhat begini, lost control banget ini pikiran gue.

***

Hari ini gue  ke kantor Katara production, mau main sekaligus lihat siapa aktor dan aktris yang dipilih untuk jadi pemeran di film mata untuk Anjani. Gue pengen tahu terutama tokoh Anjani dan Kahfi, siapa yang meraninnya. Semoga sesuai ekspektasi gue, dan filmnya bakal sesuai dengan apa yang dibayangin.

"Di ruangan F lantai 3, Mbak" Ujar salah satu staff di kantor Katara production, sesaat setelah gue bertanya di mana ruangan reading para pemain mata untuk Anjani.

Gue bersyukur novel gue 'dipinang' sama PH yang bener-bener bawa gue berkontribusi di filmnya, gue bisa mengemukakan pendapat gue kalau misalkan di naskah atau alur ceritanya kurang gimana atau gak sesuai.

"Eh Thami ke sini. Sini duduk Tha." Ucap Pak Rama, saat ia tahu yang membuka pintu ruangan adalah gue. Tentu aja sebelumnya udah ketuk pintu dan minta izin untuk masuk, ya masa mau nyelonong aja, dikira ini rumah bapak gue apa.

"Selamat siang semuanya!" Seru gue sesaat setelah mendudukan tubuh di kursi kosong yang tak jauh dari Pak Rama.

"Oh iya, perkenalkan ini Thamina atau bisa dipanggil Thami. Dia adalah penulis novel mata untuk Anjani, yang filmnya akan kalian perankan."

Gue tersenyum menanggapi mungkin belasan aktor dan aktris yang duduk berjejer di ruangan ini dengan tersekat meja panjang.

Mimpi apa ya sebelumnya gue, sampai bisa berhadapan dengan aktor dan aktris muda berbakat yang sebelumnya cuman bisa gue lihat di tv atau sosial media.

"Mbak, terima kasih sudah menciptakan karya luar biasa ini!"

Gue tersenyum menanggapi seruan dari salah satu aktris yang teramat gue kenal, karena gue follow sosial medianya. Dia, Anita Tamara, aktris yang baru berusia 20 tahun, blasteran Indonesia Jerman, film yang dia mainkan bahkan mungkin udah belasan, padahal seinget gue dia baru debut ke industri film sekitar 3 tahun yang lalu kurang lebih.

Setelah perkenalan singkat, akhirnya gue cuman duduk diam memperhatikan mereka, sesekali melihat ekspresi mereka saat membacakan dialog perannya.

Yang bikin gue kaget, pemeran Kahfi dimainkan oleh Gibran Rahandi, si artis songong yang paling gue benci. Pantesan dari awal cuman dia yang duduk diem, gak ikut nyapa gue, eh ternyata. Masih inget kali ya dia sama drama yang gue 'bikin' di acara fanmeetingnya.

Gak rela sebenernya pemeran Kahfi diperankan si aktor songong itu, karena Kahfi salah satu tokoh cowok di novel gue, yang gue paling sayang tentu aja. Ekspektasi dan bayangan gue, Kahfi adalah sosok laki-laki yang baik, penyayang dan pengertian, yang selalu lengkapin hidupnya Anjani. Udah dah patah harapan dan ekspektasi gue terhadap film ini. Mau protes untuk minta diganti pun, rasanya gue gak punya wewenang untuk itu.

***

Hujan begitu deras mengguyur Ibukota, dan gue sekarang masih ke jebak di kantor PH Katara. Padahal ini udah mau magrib, dan gue masih di sini aja. Yang gue lakuin, duduk di kursi panjang yang ada di depan PH, sambil mandangin hujan, siapa tahu cepat reda, walaupun sebenarnya hujan ini udah satu jam lebih belum reda juga.

Mau naik taksi online, uangnya sayang, soalnya Apartement gue cukup jauh dari kantor PH Katara, jadi ya gue nunggu sampai hujannya kecil atau reda aja, biar bisa naik ojek online, lumayan kan ongkosnya lebih murah daripada taksi online. Bukan bermaksud perhitungan soal transportasi, tapi gue emang harus menghemat uang yang gue punya, belum harus ditabung untuk masa depan gue. Royalti dari novel gue yang naik cetwk pun gak selalu tiap bulan, jadi gue harus menyisihkan uang yang gue punya untuk sehari-hari, tabungan dan dana darurat kalau sekiranya gue kehabisan uang untuk kehidupan sehari-hari, atau amit-amit kalau gue sakit.

"Oh lo penulis novelnya."

Gue langsung memutar tubuh gue, saat suara seorang cowok mengusik keheningan.

Dengusan kesal keluar gitu aja dari mulut gue pas tahu siapa yang ngomong. Gibran.

Gue mencoba menghiraukan omongan dia, dan kembali natap hujan. Gue gak kenal sama dia, gue cuman benci dia karena tengil dan songongnya ketika ada press conference atau wawancara apapun, belum gimmick cinloknya, aduh udah deh. Gue juga ketemu dia baru dua kali, di fanmeeting sama kali ini. Jadi, gak ada alasan untuk gue menanggapi omongannya.

"Gue akuin karya lo bener-bener bagus, gue udah bayangin penulis novel mata untuk Anjani tuh orang yang kalem, baik, cantik, karena bisa menciptakan karya seindah itu, ternyata gue salah, ekspektasi gue hancur pas tahu ternyata penulisnya punya atittude yang minus kayak lo."

Gue cuman bisa diam di tempat berdiri gue, dan gak perlu respon apapun ucapan dia, karena cuman buang-buang waktu.

"Heh! Lo denger gak omongan gue, penulis songong!"

Gue melirik sekilas Gibran yang udah ada di samping gue, tanpa perlu berpikir gue langsung menggeserkan tubuh, menjauhi posisi dia.

"Oh ternyata lo bisu, ya. Padahal tadi gue denger lo ngobrol dan diskusi sama pak Rama."

Gue mendelikan mata tajam saat Gibran dan gue bertatapan. Bisa gak sih dia pulang aja, gak perlu bersikap kayak gitu, yang makin buat gue yakin kalau langkah gue tepat untuk benci artis songong ini.

"Maaf ya Gibran yang terhormat. Gue gak kenal lo, ngapain gue repot-repot nanggepin ucapan lo." Jawab gue ketus, dan tanggapan dia senyuman sinis.

"Lo jangan belagak bego apalagi pura-pura lupa. Gue tentu aja inget perlakuan lo yang hancurin acara fanmeeting yang udah dibuat susah payah sama fans gue."

Ternyata ingatan dia tajam. Yaiyalah, gak tajam gimana, drama gue sama Tania waktu itu emang menguras emosi sekali.

"Yaudah si, mau gue gak punya atittude, mau gimana kek, mata untuk Anjani tetep karya gue. Yang ada lo tuh nanti peranin Kahfinya yang bener. Kalau bisa protes sih, gue gak mau ya Kahfi diperanin lo!"

Pertemuan pertama, drama. Pertemuan kedua, si artis songong yang omongannya pedes ini tiba-tiba sok kenal pake ngomongin atittude segala. Gue kayaknya gak sanggup deh kalau ada pertemuan-pertemuan selanjutnya sama dia, yang ada bisa gila ketemu orang kayak dia. Tapi, dari awal kan gue berniat pantau dan lihat proses syuting mata untuk Anjani, itu berarti tentu aja bakal ada pertemuan selanjutnya antara gue dan Gibran.

Tuhan, hidup gue udah penuh ujian, tolong jangan ditambah lagi dengan adanya si artis songong bernama Gibran ini.

Bersambung

(Selesai ditulis pada hari Rabu, 30 Juni 2021, pukul 10.50 wib).

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status