Share

Dua - Pertemuan

Mobil yang dikendarai Ray memasuki pelataran parkir sebuah apartemen di bilangan Jakarta Selatan.

Lantas, Ray melangkah santai menuju ke lantai enam apartemen itu. Saat Ray membuka pintu apartemen nomor 666 itu, dia langsung disambut oleh seorang wanita yang duduk di depan televisi. Kedua kakinya menyilang sedangkan tangan kanannya memegang cangkir yang berisi teh hangat.

“Prita,” tukas Ray heran, “kok kamu belum siap sih?”

Prita menyibakkan rambut gelombangnya. “Ray,” sambutnya sambil menyunggingkan bibir merahnya.

Ray melirik jam tangan hadiah dari Kiara. “Jam setengah sebelas ini kita meeting lho. Dan banyak hal yang harus dipersiapkan. Sekarang sudah hampir jam sembilan.”

Prita berjalan perlahan ke depan Ray, menatap pria bermata cokelat itu. “Sayang, semalam kamu bermain terlalu cepat.” Kemudian Prita merangkulnya.

Ray balas melingkarkan kedua lengannya di pinggang Prita. “Sorry, Ta. Kamu tahu sendiri kan, istriku missed call beberapa kali.”

Prita berdecak manja. “Jadi kamu cepat-cepat gara-gara dia?”

“Bukannya begitu Prita sayang, bisa berantakan kan kalau dia tahu aku sedang sama kamu. Dan tahu nggak, semalam itu ternyata ulang tahun pernikahan kami yang keempat.”

Prita menggeleng-gelengkan kepalanya. “Astaga, suami macam apa kamu, Ray.” Tukasnya dengan nada bercanda, menyentuh hidung mancung Ray.

“Yah, semua kan demi kamu, Ta.” Ray lalu  mendaratkan ciuman mesra di bibir Prita. “Nah, sekarang ganti jubah mandi kamu itu dan kita siap-siap pergi ke kantor.”

“Ray, masih ada satu jam lagi sebelum masuk kantor,” tukas Prita. “Kita lanjut yang semalam dulu gimana?” Prita mengedipkan mata kirinya dengan menggoda.

“Tapi, Ta—“

Prita melepaskan rangkulannya. Sedetik kemudian, jubah mandi itu melesat ke atas lantai, menyisakan tubuh Prita yang tidak dihiasi seutas benang sama sekali.

“Rey, kamu yakin mau ke kantor sekarang? Waktu kita masih banyak lho.” Prita mengerlingkan matanya.

Desakan nafsu langsung menguasai tubuh Ray. Dia tersenyum nakal dan mendorong tubuh Prita ke atas sofa. Dengan sigap Prita menanggalkan seluruh pakaian di tubuh Ray dan melemparnya sembarangan ke lantai.

“Gini dong, Ray. Kamu pakai parfum yang kuberikan untukmu.” Tukas Prita begitu Ray mulai menjelajahi tubuhnya. “Wanginya betul-betul membuatku bergairah.”

Setelah itu mereka asyik bergerumul di atas sofa. Desahan-desahan mereka pun memenuhi setiap langit-langit di ruangan apartemen itu.

***

“Gimana kalau kita ketemuan pas jam makan siang aja?” usul Kiara sambil memilah-milah baju kotor Ray. Dia tidak mau Ray marah lagi hanya karena kemejanya belum siap.

“Sebenernya gue pengin brunch, Ki. Tapi ya udahlah, gue paham kok jadi istri itu pasti sibuk kan?” jawab Nabila.

“Yah, begitulah Bil.” Jawab Kiara singkat.

“Kalo gitu sampe ketemu di Bakerzin, my girl!” suara Nabila yang ceria itu pun menghilang saat Kiara memutuskan sambungan telepon.

Akhirnya, dia bisa keluar sejenak dari rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga. Tapi sebelum itu dia harus izin dulu dengan Ray.

Ray, hari ini aku ketemuan dengan Nabila ya. Boleh kan? Ketik Kiara. Namun, pesannya itu tidak langsung dijawab.

“Ya sudahlah, yang penting aku sudah bilang sama Ray.” Batin Kiara lagi. Kemudian, Kiara melanjutkan kegiatan beberes rumah pagi itu.

Pukul setengah dua belas siang, Kiara sudah duduk berhadapan dengan Nabila, sahabatnya semasa SMA. Mereka mengambil tempat di sebelah jendela yang menghadap ke koridor mal.

“Ya ampun, Ki. Gue bener-bener kangen sama lo!” pekik Nabila setelah mereka cipika-cipiki. “Lo nggak banyak berubah, masih cantik kayak dulu. Cuma yah agak terlihat lelah gitu sih. Emang jadi ibu rumah tangga sebegitu capeknya ya?”

Kiara hanya tersenyum tipis lalu mengedikkan bahu. “Yah, setiap pagi aku harus menyiapkan sarapan, nyuci baju, setrika, beberes rumah. Begitulah.”

“Kok bisa-bisanya sih lo nggak punya asisten rumah tangga?” tanya Nabila terkejut. Kiara hanya bisa mengedikan bahunya.

“Sebenernya, Ray nggak mengizinkan aku punya ART, Bil.” Tukas Kiara setelah menyeruput macchiato di hadapannya.

What?!” sela Nabila setengah memekik. “Bukannya Raymond anak orang kaya ya? Maksud gue mertua lo kan Keluarga Djaya, salah satu pengusaha besar di sini. Yah, walaupun nggak sampai masuk Majalah Forbes sih, tapi tetep aja kaya. Mereka punya usaha tekstil itu kan? Waktu SMA aja mobilnya Ray gonta-ganti kan?”

“Ray bilang gajinya nggak cukup untuk bayar ART.”

Alis Nabila bertautan. “Bentar, bentar. Gue nggak salah denger nih?”

Kiara menghela napas panjang. “Waktu awal menikah, kami memang tinggal di rumah mertuaku, Bil. Di sana segala kebutuhan terpenuhi. Selepas Raymond lulus kuliah, kami diharuskan untuk tinggal sendiri. Mertuaku, Arianto Djaya, yang kamu bilang pengusaha itu, tidak akan memberikan segalanya dengan mudah bagi anak-anaknya. Kakaknya Ray, Alex, bahkan memulai karirnya sebagai staf magang di kantor. Tapi aku tahu Ray kecewa. Dia pikir dia bisa langsung menjabat sebagai CEO di salah satu anak perusahaan ayahnya.”

Nabila manggut-manggut. “Tapi hebat juga si Ray, karena dia kan sekarang jadi manajer. Padahal waktu sekolah dulu dia sering banget bolos kan.”

“Itu juga atas usaha ibu mertuaku, Bil. Beliau sangat memanjakan Ray. Yah, mungkin karena Ray anak bontot. Ray marah besar dan mengancam akan kabur kalau dia harus jadi staf biasa di kantor ayahnya. Akhirnya, ibu mertuaku membujuk suaminya agar memberikan jabatan manajer pada Ray.” Terang Kiara.

“Tapi apa iya gaji sekelas manajer nggak bisa gaji ART?”

“Aku nggak masalah kok mengerjakan semua ini.” Tandas Kiara.

“Yah, kalian memang pasangan mengejutkan sekaligus serasi waktu SMA.” Balas Nabila setelah menggigit macaron. “Nggak ada yang menyangka Raymond si bad boy jadian sama bidadari berprestasi macam lo, Ki. Raymond ganteng dan lo cantik. Semua anak sirik sama kalian tau.”

“Masa sih? Aku nggak pernah merasa begitu.”

“Ah elah, Ki. Apalagi pas kalian nikah. Wah, pesta pernikahan kalian itu bak negeri dongeng. Temen-temen cewek sekelas kita pada pengin jadi lo, Ki.” Terang Nabila penuh semangat. “Tapi jujur gue sempet kaget waktu lo memutuskan untuk menikah di usia semuda itu. Maksud gue, lo harus merelakan beasiswa lo ke Belanda demi menikah dengan Raymond!”

“Aku memang begitu mencintai Raymond, Bil.”

Nabila berpangku tangan, memandang pengunjung mal yang lalu-lalang. “Hah, beruntungnya diri lo, bisa menemukan tambatan hati secepat itu. Sedangkan gue masih aja jomblo.”

“Tenang, Bil. Kamu pasti juga akan menemukan belahan jiwamu.” Hibur Kiara. “Jalan hidup setiap orang kan beda-beda.”

Hidangan yang mereka pesan pun datang. Sambil menyantap makan siang, Kiara dan Nabila pun bersnostalgia tentang masa SMA mereka. Sudah lama sekali Kiara tidak tertawa lepas seperti ini karena sebagian besar hidupnya belakangan ini hanya dihabiskan dengan rutinitas yang membosankan.

***

Ray memakirkan mobilnya di basement mal.

“Yuk, Ta. Perutku udah keroncongan nih.”

“Sebentar, Ray. Aku mau touch up dulu.” Prita mengeluarkan peralatan make-up dari tasnya. Dia memoles bibirnya berkali-kali dan membubuhkan bedak di wajahnya.

“Tadi kita bener-bener apes.” Ray menyandarkan punggungnya ke jok mobil. “Kita telat meeting setengah jam dan Papa ada di sana. Sial.”

“Memangnya Papamu nggak bilang apa bakal dateng ke meeting tadi?”

“Beliau memang suka muncul mendadak, Ta. Karena ada Papa, meeting jadi lebih lama dari biasanya. Sekarang kita jadi telat makan siang.”

Prita membereskan peralatan make-up-nya. “Tapi yang penting tadi presentasi kamu lancar kok. Wajah Pak Arianto Djaya terlihat manggut-manggut puas.”

“Masa sih, Ta? Padahal aku gugup banget saat tahu Papa ada di situ.”

Prita mengangguk. “Tenang aja, semua pasti berjalan lancar.”

Ray menoleh ke arah Prita dan menyentuh dagu wanita itu dengan lembut. “Itu semua karena bantuanmu, Ta. Kalo nggak ada kamu yang bantuin aku menyiapkan laporan, aku pasti sudah kelabakan.”

Prita tersenyum bangga. Mereka pun keluar dari mobil dan masuk ke dalam mal.

“Ray, aku toilet dulu ya.” Prita menyerahkan tas merahnya pada Ray.

“Lho, mau dandan lagi?”

“Bukan Ray, aku kebelet pipis.”

“Aku tunggu di sini aja ya.”

Prita segera berlalu menuju toilet. Saking terburu-burunya, dia sampai menyenggol bahu seorang perempuan yang baru saja keluar dari toilet. Barang yang dibawa perempuan itu terjatuh. Tapi Prita tidak peduli. Dia melenggang begitu saja tanpa rasa bersalah.

Kiara mendesah pelan sambil memunggut tas belanjaannya yang terjatuh. Dia sempat menoleh sebentar ke wanita yang menyenggolnya tadi karena wangi parfum wanita itu terasa familier.

Kiara menyampirkan tasnya dan bergegas menemui Nabila yang sedang menunggunya di salah satu gerai baju. Tapi seketika langkahnya berhenti begitu dia mendapati Ray yang sedang asyik menatap layar ponselnya.

“Ray?” Kiara langsung menghampiri suaminya itu. “Kamu ngapain di sini?”

Ray mendongak dan dia langsung melonjak kaget seperti habis melihat kuntilanak begitu mendapati Kiara berdiri di hadapannya.

“Ray, kamu nggak apa-apa?” tanya Kiara heran. Matanya tertuju pada tas merah yang dipegang Ray. “Itu tas siapa, Ray?”

Ray menelan ludah dalam-dalam. Tenggorokannya seakan tercekat. “Sial!” pekik Ray dalam hati. “Ini..ini tas..”

Kiara menatap Ray curiga. Gelagat Ray seperti maling yang tertangkap basah. Apalagi dia tergagap seperti itu. Napas Kiara memburu cepat. Matanya menyipit dan berujar, “Itu tas siapa Ray? Dan kenapa kamu ada di sini?”

“Hai,”

Pandangan Kiara kini beralih pada seorang wanita dengan rambut bergelombang yang muncul di sebelah Ray. Wanita itu mengenakan blus merah berdada rendah dengan rok ketat berbelahan tinggi. Heels sepatunya sepertinya mencapai lebih dari tujuh senti meter.

Kiara berdeham dan menarik napas panjang. “Hai juga.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status