Kakek Tom nampaknya tidak merasa bosan untuk terus mengomeli Carla agar kembali bekerja dan berhenti mengurusi orang sakit. Gadis bermata abu-abu itu sesekali memberikan tatapan kesal, lalu mencoba menganggap gurauan Kakek Tom sebagai candaan belaka.
Carla lebih nyaman menghabiskan waktu-waktunya dengan para pasien di rumah sakit karena selama ini sebagian besar di hidupnya memang banyak dihabiskan di sana. Ia senang menghibur orang-orang yang sedang tak sehat, bercanda bersama mereka, sesekali membawakan mereka bunga dari tokonya.
Pagi itu yang berusaha menasihati Carla agar tidak terlalu banyak menghabiskan waktu di rumah sakit bukan hanya Kakek Tom tetapi juga Suster Jane. Suster yang telah Carla anggap seperti keluarganya sendiri itu menyarankan Carla untuk mencari hiburan lain selain datang ke rumah sakit. Perempuan empat puluh lima tahun itu menyarankan Carla untuk bersenang-senang dengan hidupnya, sementara waktu melupakan tentang tempat bernama rumah sakit.
“Sudahlah Suster Jane, jangan menyarankanku untuk melakukan hal yang tidak mungkin bisa aku lakukan. Suster tahu bukan bahwa aku tidak mungkin jauh-jauh dari rumah sakit ini, aku juga tidak bisa jauh-jauh dari Suster,” ucap Carla sambil merangkul pundak Suster Jane.
Kak Tom berdecit kesal. Ia menyentil kening Carla, “Kau ini masih muda, carilah pergaulan dengan orang-orang sehat di luar sana!” ujar Kakek Tom dengan sinis. Carla tidak lagi mendengarkan ucapan pria tua itu, konsentrasinya terpecah ketika pandangan matanya tak sengaja menangkap sosok Sbastian yang sedang berjalan mendekati sahabat kecilnya.
Carla buru-buru berlari, meninggalkan Kakek Tom yang masih mengomeli dirinya. Pria tua itu memanggil-manggil nama Carla agar kembali mendengarkan ucapannya, tetapi Carla tak memedulikan ucapan Kakek Tom. Ia buru-buru berlari ke arah si dokter angkuh. Kakek Tom menggerutu kesal karena Carla tak mau mendengarkannya. Suster Jane mencoba untuk menenangkan pria tua itu. Mereka berdua terus memperhatikan arah perginya si gadis bermata abu-abu, merasa penasaran dengan apa yang membuat gadis itu berlari tanpa pamit.
“Apa yang kau lakukan?” ucap Carla dengan suara pelan, ia menarik paksa Sbastian untuk menjauh dari Cheril yang sedang asyik menggambar bersama beberapa temannya.
Sbastian menghempaskan tangan Carla dengan kasar, “Berani sekali kamu menyentuh tanganku?” ucap Sbastian dengan mata penuh kekesalan.
Carla bersidekap, memberikan tatapan mengejek, “Katakan apa yang kau lakukan di sini?” tanya Carla kembali.
“Aku bekerja di sini jadi wajar jika aku juga berada di sini. Aku yang harusnya bertanya padamu kenapa ada di sini, kau bukan dokter, bukan perawat, bukan staf, dan aku rasa kamu juga pasien di rumah sakit ini, kau terlihat sehat bahkan sangat sehat untuk menjadi pasien, mungkin jika kau pasien tempat yang cocok adalah rumah sakit jiwa bukan di sini. Jadi, katakan kenapa kau ada di sini?” ucap Sbastian dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke dalam saku jas dokternya.
Carla berkacak pinggang, “Itu bukan urusanmu, kenapa kau menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan. Sudah katakan saja kenapa kau mendekati Cheril?”
“Memangnya Cheril adik kamu sehingga aku harus laporan padamu jika ingin bertemu dengannya?”
Carla menarik kerah dokter spesialis kanker itu dengan kedua tangannya, Sbastian spontan mencengkram tangan Carla, “Apa yang kau lakukan? Lepaskan tanganmu itu!” ucap Sbastian dengan penuh amarah.
“Jangan pernah mendekati Cheril! Aku tahu kau ingin menemuinya hanya untuk memintanya agar tidak memberimu hadiah lagi bukan?” tuduh Carla.
Sbastian mendengus kesal, ia mencengkram tangan Carla dengan kencang hingga membuat gadis itu kesakitan dan terpaksa melepaskan kerah jas dokter milik Sbastian, “Kau jangan asal menuduh!”
“Lalu untuk apa kau ingin mendekati Cheril?” Carla menuntut penjelasan.
“Aku ingin bicara dengannya. Ah…sudahlah, aku tidak perlu memberi tahumu, ini bukan urusanmu!” ucap Sbastian dengan kesal. Dokter itu kembali ingin mendekati Cheril, Carla tidak membiarkannya, ia buru-buru menghalangi jalan Sbastian.
“Menyingkirlah dari jalanku!” ucap Sbastian dengan tatapan penuh kekesalan.
“Aku tidak akan membiarkanmu berbicara dengan Cheril jika kau hanya akan menyakitinya,” ucap Carla dengan penuh rasa berani.
Sbastian mencengkram kedua bahu Carla, menatap gadis di hadapannya itu dengan tajam, “Aku tidak butuh persetujuanmu untuk menemuinya, jika kau khawatir dengannya kau bisa mendengarkan pembicaraan kami,” setelah itu Sbastian mendorong Carla ke samping dan ia pun melanjutkan rencananya untuk bertemu dengan Cheril.
***
Cheril yang sedang asyik menggambar bersama teman-temannya tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Sbastian. Gadis kecil berambut panjang terurai itu menatap Sbastian dengan tatapan takut. Ia ingat dengan kemarahan dokter tampannya itu. Ia takut jika dokter itu datang untuk memarahinya. Gadis umur sembilan tahun itu terus menundukkan kepala, tak berani menatap wajah Sbastian.
Carla yang berdiri tak jauh dari sana melihat pemandangan itu, ia tahu bahwa Cheril sedang ketakutan, buru-buru gadis bermata abu-abu itu menghampiri Sbastian. Dia menarik-narik tangan dokter tampan itu agar menjauh dari Cheril, tetapi Sbastian tak mau menuruti keinginan Carla. Pria itu menghempaskan tangan Carla dengan kasar.
“Cheril kau memberikan cokelat ini untukku bukan?” Sbastian mengeluarkan sebungkus cokelat batang dari saku jas kebesarannya, cokelat hadiah dari si gadis kecil.
Cheril melirik beberapa saat cokelat itu, lalu kembali menundukkan kepalanya. Ia masih merasa takut pada Sbastian.
“Pergilah dokter gila, dia takut padamu,” ucap Carla dengan suara pelan.
“Diamlah gadis kasar!” balas Sbastian.
Setelah tak mendapatkan tanggapan dari Cheril, Sbastian pun kahirnya mengambil langkah selanjutnya, ia akhirnya duduk di atas rerumputan taman, sama seperti yang sedang Cheril dan teman-temannya lakukan. Anak-anak itu sedang menggambar sembari duduk di atas rerumputan taman yang empuk.
“Hai…gambarmu bagus sekali,” puji Sbastian dengan nada datar setelah duduk tepat di depan si gadis kecil, sebuah gambar anak kecil dikelilingi bunga warna-warni, itu yang Sbastian lihat di buku gambar yang sedang dipangku Cheril.
Gadis kecil itu tak menanggapi, dia terus menundukkan kepala. Sbastian tidak pandai menghadapi anak-anak. Dia harus memikirkan cara agar gadis kecil itu tak lagi takut padanya.
“Hai, kau pasti takut padaku karena melihatku marah-marah saat menerima hadiah ini iya kan?” tanya Sbastian dengan suara yang lebih bersahabat. Cheril mengangguk ragu-ragu.
“Kau pasti takut dan sangat marah padaku karena melempar hadiahmu bukan?” Sbastian kembali bertanya, Cheril kembali menganggukkan kepalanya dengan ragu.
“Sebenarnya, aku tidak marah padamu atau pada hadiah yang kau berikan padaku,” ucap Sbastian. Kalimat itu berhasil membuat Cheril mengangkat wajahnya, gadis kecil itu kini menatap wajah Sbastian.
“Lalu, apa yang membuat dokter marah?” tanya Cheril dengan suara yang bergetar, ia masih merasa takut pada dokter tampannya.
Sbastian melirik Carla yang masih berdiri di sampingnya selama beberapa saat, kemudian dia membisikkan sesuatu di telinga Cheril. Tanpa diduga wajah gadis kecil yang sebelumnya itu ketakutan kini berubah. Cheril tertawa terbahak-bahak setelah Sbastian membisikkannya sesuatu. Wajah Sbastian tak berubah, ekspresinya tetap datar meski di depannya ada seorang gadis kecil yang sedang tertawa riang.
Carla menatap curiga pada dokter itu. Ia penasaran dengan kata-kata yang dibisikkan Sbastian pada Cheril hingga bisa membuat gadis kecil itu tertawa.
“Jadi, kau memaafkanku?” Sbastian kembali bertanya di sela-sela tawa Cheril.
Gadis sembilan tahun itu menganggukkan kepalanya, “Aku memaafkanmu, tapi kau harus makan cokelat itu!” ucap Cheril dengan mata berbinar.
∞
Sbastian dengan terpaksa memakan cokelat pemberian Cheril meski dia sebenarnya tidak suka makan-makanan manis, ia tidak mau gadis kecil itu kembali merasa takut padanya. Carla masih berdiri di tempatnya, menatap Sbastian dengan pandangan awas, ia tidak ingin dokter itu kembali menyakiti hati sahabat kecilnya.“Kau lebih tampan saat dilihat dari dekat,” ucap Cheril sambil terus menatap Sbastian yang sedang memakan cokelat pemberiannya.“Benarkah? Aku tidak merasa tampan selama ini,” ucap Sbastian dengan wajah datar.“Sok rendah hati,” celetuk Carla yang membuat Sbastian langsung memberikan lirikan kesal.“Kau tampan tapi wajahmu juga terlihat sedikit menyeramkan, apalagi saat kau sedang marah,” ucap Cheril kembali.“Dia seperti monster saat sedang marah,” ucap Carla yang membuat Cheril dan teman-temannya tertawa. Sbastian berpura-pura tak mendengarnya. Ia sudah malas berdebat dengan Carla.
Jalanan Oxford memang tidak pernah mati, semakin sore suasana semakin ramai. Toko-toko berderet sepanjang jalan, menyediakan berbagai macam barang-barang bermerek, suvernir, kafe, dan lain-lain. Surga belanja bagi mereka yang hobi berbelanja.Sore itu ketika jalanan Oxford mulai bercahaya karena lampu-lampu jalanan dan pertokoan mulai dinyalakan, Carla masih sibuk dengan bunga-bunga di tokonya. Orchid, itulah nama tokonya. Diberi nama demikan karena ibunda Carla sangat menyukai bunga anggrek. Berbagai macam warna, jenis, bentuk, dan wangi bunga dapat ditemui di toko bunga miliknya. Terletak di salah satu sudut jalan Oxford. Bersebelahan dengan kafe dan toko buku.Di toko dengan interior bergaya Inggris modern itulah Carla menghabiskan hari-harinya jika sedang tidak menjadi relawan di rumah sakit. Toko peninggalan ibunda tercintanya itu ia rawat dengan penuh cinta. Dia sangat mencintai toko bunganya, selain karena alasan Carla begitu menyukai bunga dan tanaman, dia juga
“Hai, apa yang kau lakukan di sini?” tegur Suster Jane pada Carla yang sedang mengintip-intip di balik tembok tak jauh dari ruangan Sbastian.Gadis bermata abu-abu itu terkejut ketika ada seseorang yang menepuk pundaknya, “Oh Tuhan Suster Jane,” ucap Carla sambil memegang dada kirinya.“Apa aku mengejutkanmu?” tanya Suster Jane dengan wajah sedikit khawatir.“Ya, sedikit,” ujar Carla sambil mengerucutkan bibirnya.“Tapi, kau baik-baik saja bukan?” Suster Jane nampak khawatir.Carla tersenyum lembut, “Aku baik-baik saja Suster Jane.”“Syukurlah, tapi apa yang sedang kau lakukan di sini? Kenapa kau seperti bersembunyi?” tanya Suster Jane sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar.Carla menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tindakannya memang tak masuk akal karena terlihat seperti seorang pengintai, tapi dia benar-benar merasa penasaran ddengan si dokter
Suster Jane menatap Carla dengan tajam, gadis bermata abu-abu itu menggosok-gosok telinganya yang terasa panas karena mendapatkan jeweran yang cukup lama dari sang suster. Mereka kini berada di kantin rumah sakit.Carla berpura-pura mengamati kantin rumah sakit itu, ia tidak ingin langsung menatap Suster Jane yang masih terlihat sangat kesal padanya. Suster Jane meminum jus jeruk yang dipesannya, tatapannya tetap berkonsentrasi pada Carla.“Kau meman gadis keras kepala,” ucap Suster Jane dengan sinis.“Itu sudah takdirku,” ucap Carla dengan santai.Suster Jane melipat kedua tangannya di atas meja, “Kenapa kau tidak bisa sekali saja mendengarkan nasihatku?”“Aku hanya tidak bisa melakukannya. Aku tahu itu salah, tapi aku tidak bisa berhenti sebelum rasa penasaranku terobati,” ucap Carla sambil memainkan bunga plastic yang ada di atas meja mereka.Suster Jane menghembuskan nafas berat, menatap Ca
“Aku harap setelah kau mendengarkan ceritaku, kau tidak akan lagi memiliki niat untuk mengintai Dokter Sbastian,” ucap Suster Jane ketika Carla berpamitan padanya untuk kembali ke toko bunga.“Aku memang sudah tidak berniat untuk mengintainya lagi atau sembunyi-sembunyi memperhatikannya,” ucap Carla diiringi senyum misterius.“Aku tidak menyukai senyuman itu, aku sangat tahu arti senyuman itu Carla,” ucap Suster Jane dengan tatapan kesal.Carla memainkan matanya, “Jangan terlalu khawatir, aku akan baik-baik saja,” Carla mencoba untuk menyakinkan Suster Jane.“Kau memang keras kepal.”Carla tersenyum kecil, “Ya, itulah aku. Tapi aku masih penasaran bagaimana Suster tahu tentang ancaman yang diberikan oleh Kakek Sbastian?” Carla menatap penuh selidik suster kenalan baiknya itu.“Aku tidak akan mengatakan alasannya, lagi pula bukankah kau harus kembali ke toko bunga?&
“Gaun itu sangat cocok untukmu Carla,” ucap Joy dengan raut bahagia ketika gadis bermata abu-abu itu keluar ruang ganti.Halter dress berwarna cokelat muda nampak begitu indah dipakai Carla. Membuat leher gadis berambut panjang itu terlihat jenjang. Gaun sepanjang kaki Carla itu terbuat dari bahan Barbie Crepe kualitas nomor satu hingga terasa nyaman saat dipakai dan kainnya yang jatuh akan mengikuti bentuk tubuh. Terdapat belahan di bagian samping gaun itu dari bagian paha hingga ujung gaun yang akan terbuka jika digunakan untuk berjalan. Hal itu menambah kesan seksi dan membuat kaki jenjang Carla tampak terlihat indah.“Kau membuatnya dengan sempurna Joy. Ini indah sekali,” puji Carla dengan tulus.“Aku senang jika kau menyukainya,” Joy merapikan gaun itu sambil melihat jika ada kekurangan di gaun rancangannya.“Aku sangat menyukainya, bagiamana bisa kau membuat gaun ini begitu
Jalanan London terlihat begitu berkilau di malam hari. Lampu-lampu bergaya clasik menghiasi jalanan kota yang sedang menyambut musim gugur itu. Kafe-kafe di sepanjang jalan menuju rumah sakit St Thomas’ nampak ramai pengunjung. Itu memang sudah waktunya untuk makan malam.Carla dengan wajah ceria kembali ke rumah sakit St Thomas’, ia tahu hari itu Suster Jane sedang bertugas malam dan siang sebelumnya dia juga mengecek ke bagian adiministrasi bahwa Sbastian ada jadwal untuk mengoperasi pasiennya pukul enam sore. Oleh karena itu, Carla memutuskan untuk kembali berkunjung ke rumah sakit yang hanya berjarak sekitar dua puluh menit dari toko bungannya itu.“Kau ada di sini?” Suster Jane yang sedang berada di pos jaga bagian depan terkejut dengan kedatangan Carla.Gadis bermata abu-abu itu tersenyum riang sambil memberikan pelukan hangat pada sang suster.“Carla, apa yang kau lakukan di sini malam-malam begini?” tanya Suster
Carla tak menyerah meski di malam sebelumnya ia menerima penolakan dari Sbastian bahkan menerima amarah pemuda itu. Ia akan berusaha untuk mendekati si dokter angkuh dan dingin itu. Siang hari, ketika jam makan siang tiba, Carla kembali mengunjungi rumah sakit St Thomas’ dengan membawa makan siang berupas Fish and Chips. Salah satu hidangan yang umum di sajikan di Inggri. Ikan yang telah dibersihkan bagian durinya digoreng dengan baluran tepung yang telah diberi bumbu. Kemudian, disajikan dengan kentang goreng dan dipadukan dengan saus tartar dan saus sambal. Carla berharap agar kali ini Sbastian menerima makanan yang dibawanya.Pada saat Carla hampir tiba di ruangan si deokter bermata hijau itu, ia melihat seorang perempuan yang sangat dikenalnya dengan baik keluar dari ruangan sang dokter dengan wajah berurai air mata. Rasa panik menyergap diri Carla. Buru-buru ia menghampiri perempuan itu.“Evelyn, apa yang terjadi? Kenapa kau keluar dari ruangan ahli ka